Sunday, February 11, 2024

LOVELESS CREATION: CHAPTER 19 – THE FREEMASON CHAMBER

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

PERINGATAN: SEBELUM MEMBACA CHAPTER INI, BACA DAHULU ARTIKEL GUE TENTANG MEKANIKA KUANTUM INI

 

YOG Sothoth mengetahui gerbangnya.

Yog Sothoth adalah gerbangnya.

Yog Sothoth adalah kunci sekaligus penjaga gerbangnya.

Masa lalu, sekarang, dan masa depan, semuanya satu di dalam Yog Sothoth.

“Eric?” Dimas dengan heran menoleh ke arahnya, “Apa kau tadi mengatakan sesuatu?”

“Oh tidak, hanya menggumam biasa kok. Maklum gugup.”

“Aku paham. Aku juga nervous kok. Aku harap hasilnya …”

Tiba-tiba mesin di depan mereka berbunyi. Sebuah kertas mencetak hasilnya dan keluar dari mulut printer. Dengan tercekam Eric membaca hasil data hasil percobaan mereka itu.

“Ada apa? Apa yang dikatakan grafik itu?”

“Diulang berapa ribu kalipun akan tetap sama.” Dimas menunjukkannya. Eric hanya terdiam menyaksikannya.

***

 

“Waktu hanyalah ilusi. Waktu tak benar-benar ada, apalagi bagian dari realita kita dalam Fisika. Menurut Albert Einstein, waktu hanyalah efek samping dari keberadaan entropi. Hukum Kekekalan Energi yang ketiga mengatakan …”

“BRAAAK!”

Semua mahasiswa di ruangan itu menoleh ketika dua orang pemuda yang masih mengenakan jas lab putih membuka pintu kelas mereka (bahkan hampir membantingnya) lalu masuk tanpa tedeng aling-aling. Sang profesor yang tengah mengajar, seakan mengerti apa yang hendak mereka sampaikan, segera mematikan proyektornya dan membubarkan kuliah.

“Sekian dulu. Saya akan upload file presentasinya ke Google Classroom. Jangan lupa belajar untuk ujian semester kalian minggu depan.”

Dengan mendesah, para mahasiswa itu mulai mengemasi buku dan alat tulis mereka.

“Bagaimana?” sang profesor mendekati mereka berdua. “Apa kalian sudah mendapatkan hasilnya?”

“Tetap nihil. Apapun yang kita lakukan, elektron itu tetap …”

“Ssssst! Jangan keras-keras!” ia melirik ke arah para mahasiswanya yang berbaris keluar dari pintu. Beberapa masih duduk dan bercakap-cakap di kursi mereka, seolah tak sedang dikejar waktu. “Jangan bicarakan di sini! Jika ada yang dengar, maka akan terjadi kehebohan. Kalian ke ruanganku sekarang dan jangan lupa bawa data kalian!”

***

 

Mereka berdua menatap foto lubang hitam yang kini dipigura dengan bangga di ruangan tersebut.

“Bagaimana? Hebat bukan?” kata dosen itu sembari menutup pintu, “Apakah kalian percaya foto itu ditangkap oleh alumni kampus kita?”

Eric dan Dimas mendengus kesal. Mereka yakin ada ribuan programmer dan insinyur yang bekerja di proyek teleskop itu, belum lagi mengatur algoritmanya. Namun kenapa hanya wanita itu yang mengambil semua kredit mereka, bahkan digosipkan bakalan meraih hadiah Nobel berkat kerja keras mereka semua?

“Kami ada masalah yang lebih penting, Prof. Dualitas gelombang partikel telah terpatahkan. Kini apapun yang terjadi, elektron …”

Pria itu mengangkat tangannya, seolah ingin menghentikan cercaan mereka.

“Aku paham. Hasil penelitian yang sama juga telah dilaporkan di berbagai belahan dunia. Dimanapun eksperimen itu dilakukan, di India, di Uni Eropa, di Amerika, di Australia, bahkan lokasi terisolir di Antartika, semua melanggar hukum Fisika Kuantum. Bahkan yang lebih meresahkan, hasil sama juga diperoleh dari percobaan di ISS.”

“International Space Station?” pekik mereka tak percaya, “400 kilometer dari permukaan Bumi?”

“Ya. Berita ini belum tersebar luas, namun aku sudah mendengarnya dari mantan kolegaku yang kini bekerja di NASA.”

“Eric dan Dimas saling berpandangan, “Lalu bagaimana dengan hasil di CERN? Hanya mereka insititusi yang kami percayai.”

“Itulah mengapa kalian akan ke sana.” pungkas dosen itu sembari memberikan dua buah tiket pesawat, “Pihak Uni sudah setuju akan mengirim kalian ke sana. Toh, ini program Ph.D kalian kan?”

“Apa? Kami?” tanya Eric tak paham, “Maksud Bapak ke Geneva?”

“Ya, ini tiket kalian. Ilmuwan dari seluruh dunia juga akan berkumpul di sana. Hebat bukan, berkat status universitas ini menelurkan ilmuwan secerdas Elena Banyubiru, kampus kita sampai mendapat kepercayaan seperti ini? Namun ingat!” ia menatap mereka dengan tajam, “Jangan katakan kepada siapapun bahwa dualitas partikel-gelombang kini telah runtuh menjadi singularitas!”

Mereka berdua mengangguk.

***

 

Tomo melihat orang-orang berlarian ke arah aula. Sementara itu, ia hanya menatap keheranan dari balik mejanya di ruangan post-doctoral itu.

“What the hell is happening?” ia bangkit dan menarik lengan koleganya yang sesama mahasiswa senegaranya, Brian, yang juga berlari ke arah yang sama. “Bukan active shooter, kan?”

Sebagai mahasiswa Indonesia yang kuliah di Virginia Tech, Amerika Serikat, ia amatlah awas terhadap isu penembakan massal. Apalagi karena hal yang sama pernah terjadi di kampus ini.

“Bukan! But you gotta see this!”

Tomo akhirnya merelakan untuk meninggalkan pekerjaannya dan bergegas mengikuti Brian serta para mahasiswa lain yang berlarian dengan panik ke aula. Di sana, dekan Departemen Fisika sedang memberikan wejangan.

“Jangan panik! Kita belum tahu benar ini akhirnya terjadi.”

“Tapi berita ini sudah beredar di semua kalangan fisikawan. Dualitas telah kolaps menjadi singularitas!”

“Apa maksudnya itu?” bisik Tomo heran ke telinga temannya itu.

“Ah, kau ini mahasiswa astrofisika, mana mengerti hal beginian.”

“Aku tak sebodoh itu! Coba saja jelaskan!”

“Apa kau masih ingat Mekanika Kuantum?”

“Huh, aku benci topik itu. Ruwet dan tak masuk akal.”

“Tapi paling tidak kau tahu sedikit kan? Semisal tentang dualitas partikel dan gelombang?”

“Percobaan celah ganda maksudmu? Coba aku ingat. Ketika sebuah elektron ditembakkan ke sebuah celah ganda yang amat tipis, maka elektron itu akan berperilaku sebagai gelombang. Namun ketika diamati, maka elektron itu justru akan berperilaku sebagai partikel.”

“Ya, dengan kesimpulan bahwa kesadaran kita sebagai pengamat dapat mempengaruhi hasil eksperimen, apakah elektron akan berperilaku sebagai partikel atau gelombang.”

“Aku dari dulu merasa itu aneh sekali. Seakan-akan elektron itu memiliki kesadaran dan tahu kapan ia akan diamati. Jika ia diamati ia akan menjadi partikel, jika tidak diamati maka ia akan menjadi gelombang.”

“Ini namanya dualitas. Namun kini, semua berubah menjadi singularitas.”

“Apa maksudnya itu?”

“Singular; tunggal. Dengan kata lain, apapun yang kita lakukan, mau mengamatinya atau tidak, elektron akan berperilaku sama, yakni menjadi partikel.”

“Apa? Bagaimana bisa?” pekik Tomo. Semua orang pun menoleh ke arahnya dengan tampang gusar, lalu kembali memusatkan perhatian pada perkataan sang dekan.

“Sekali lagi ini belum diputuskan. Kita harus menunggu hasil penelitian CERN yang akan diumumkan pada konferensi darurat di Geneva Kamis depan. Kampus kita juga akan mengirimkan representatif …”

“Dualitas runtuh? Bagaimana bisa terjadi?”

“Seakan kita tengah diawasi.”

“Diawasi?” tanya Tomo heran, “Apa maksudmu?”

“Coba pikir, anggap saja kita menembakkan elektron dan melewatkannya ke celah ganda, apa yang akan terjadi?”

“Tergantung apakah kita mengamatinya atau tidak kan? Ketika kita tak mengamatinya, maka ia akan berperilaku menjadi gelombang dan menimbulkan pola interferensi. Sedangkan jika kita memutuskan untuk mengamatinya, maka ia akan menjadi partikel dan pola interferensi takkan terbentuk.”

“Namun kini elektron akan terus berperilaku seperti partikel walaupun tak diamati. Apa menurutmu itu artinya?”

“Artinya ada sesuatu yang mengawasi elektron itu, namun bukan kita?”

“Tepat sekali! Dan ini terjadi di berbagai penjuru dunia! Siapa yang bisa mengamati seluruh elektron yang ada di seluruh dunia ini secara bersamaan, hah?”

“Apa jangan-jangan …” Tomo tampak berpikir, kemudian menggamit lengan temannya itu, “Cepat sini! Kutunjukkan sesuatu!”

***

 

Kampus mereka terlihat sepi setelah semua orang sibuk berdebat di aula. Tomo mendudukkan Brian ke kursinya dan menunjukkan hasil penelitiannya.

“Apa-apaan sih? Apa kau tak mau mendengar apa kata dekan?”

“Mau belajar seratus tahun pun kita tak mungkin dikirim ke Geneva, Brian. Kita bukan orang kulit putih. Sekarang lihat ini!”

“Apa ini grafik luminositas sebuah bintang?” ujarnya mempelajari data itu, “Tapi hasilnya naik turun …”

Tiba-tiba dengan wajah tercengang, ia menoleh ke arah Tomo. “Apa ini seperti Tabby Star?”

“Kau benar! Aku ingin menceritakannya kepada seseorang, namun mereka semua pasti menganggapku gila.”

“Da … darimana kau mendapatinya?”

“Konstelasi Cygnus, sama dengan Tabby Star yang terkenal. Jaraknya bahkan lebih dekat dengan kita, hanya 400 parsec. Aku sama sekali tak sengaja saat menemukannya. Dan lihat ini, fluktuasi kecerahannya terjadi secara periodik. Dengan kata lain, ada sesuatu yang amat besar menutupi bintang itu dan berotasi di sekitarnya, sebuah …”

“Jangan gila! Dyson sphere?”

Well, jika kau berkata begitu …”

“Tapi itu bisa saja awan planetisimal, asteroid Trojan, atau debris dari planet yang hancur. Atau bahkan itu hanya sekedar sebuah planet yang memang mengorbit planet itu …”

“Dan lewat setiap tiga hari sekali?” dengusnya kesal, “Bahkan Merkurius saja butuh 2 bulan untuk berevolusi mengelilingi Matahari dan bintang ini tiga kali lebih besar.”

“Tapi belum tentu juga itu sebuah megastruktur raksasa yang dibangun oleh alien untuk memanen energi bintang itu!” bantah Brian, “Ingat Occam’s Razor? Penjelasan paling sederhana biasanya adalah yang paling mendekati kebenaran.”

“Tuh kan! Ini sebabnya aku tak mengatakan pada siapapun. Karena itulah aku harus membuktikannya sebelum mengatakan ini pada dosen pembimbingku.”

“Membuktikannya?” picingnya curiga, “Apa yang sudah kau lakukan, Tom?”

“Kau ingat teman kita yang bekerja di Arecibo? Hanya itu satu-satunya teleskop radio terbesar yang mampu mengirimkan sinyal ke luar angkasa.”

“Kau mengirimkan sinyal ke sana? Ke bintang itu?” ujarnya tak percaya, “Lalu kau bilang apa? Halo? Apa benar ini alien? We come in peace?”

“Hanya ‘KAIXO’ dan ‘ZER MODUZ’ kok.”

“Apa itu?”

“’Halo, apa kabar?’ dalam Bahasa Basque. Itu satu-satunya bahasa di dunia ini yang tak tergolong ke dalam keluarga bahasa apapun dan tak ada yang tahu asal muasalnya. Bahkan bahasa Sansekerta dan Inggris saja memiliki nenek moyang sama, yakni Proto Indo-European. Namun Basque tak memiliki kemiripan apapun dengan bahasa manapun di muka bumi ini.”

“Lalu karena itu kau pikir itu bahasa alien?”

“Hei, memangnya kau pikir mereka akan bicara bahasa apa? Bahasa Inggris? Itu teori tercerdas yang bisa kupikirkan.”

“Tercerdas? Coba pikir ini, jarak bintang itu dengan Bumi adalah 400 parsec, itu sekitar 1300 tahun cahaya. Dengan kata lain, pesan itu baru akan mereka terima 1300 tahun yang akan datang. Itu berlaku juga untuk pesan yang mereka pancarkan jadi kau baru akan menerima balasan mereka pada tahun 4623 Masehi!”

“Kau pikir aku belum memikirkannya? Mereka peradaban tipe II yang sudah bisa membangun Dyson Sphere, berarti teknologi mereka amat maju. Bisa jadi mereka sudah mampu memanipulasi waktu.”

“Waktu?”

“Ya. Mereka memang akan menerima pesanku 1300 tahun yang akan datang, namun mereka bisa mengirimkan balasannya ke masa lalu, mungkin ke waktu yang sama dengan kapan aku mengirimkannya. Jika itu terjadi, maka aku akan menerima balasannya malam ini.”

Brian mendesah putus asa, “Kau benar-benar sudah gila!”

“Hei, bahkan ilmuwan sekelas Stephen Hawking saja mengadakan pesta untuk time traveler!”

“Dan tak seorang pun datang!”

“Jangan ketus begitu dong! Kita tunggu saja jawabannya malam ini. Jika tidak terbukti, maka aku akan menerima teorimu bahwa itu bukan Dyson Sphere. Bagaimana?”

Brian hanya memandanginya dengan kesal.

***

 

“Ladies and gentleman, welcome aboard to Flight 616 from Jakarta to Geneva. We ask that you please fasten your seatbelt before we take off …”

“The collapse of wave-particle duality? Apa itu artinya?”

Dimas menoleh ke gadis yang duduk di sampingnya. “Oh, hanya paper yang aku buat.”

“Ilmuwan ya?” tanyanya lagi.

Dimas tersenyum, “Semacam itulah.”

Well, perjalanannya 20 jam. Jadi kau memang butuh bacaan.”

“Memang.” Dimas menghela napas sejenak, mengumpulkan keberaniannya, dan akhirnya bertanya, “Siapa namamu?”

“Gertrude. I know, nama yang jadul. Namun ayahku yang memberikan nama itu. Itu nama nenekku.”

“Blasteran ya?” Dimas tersenyum dengan gugup. “Seperti nama penyihir di Puella Magi Madoka Magica.”

“Maaf?”

“Anime.” jawabnya buru-buru, “Itu judul anime.”

Gertrude hanya tersenyum mendengarnya, “Apa aku bisa minta tolong?”

“Ya?”

“Bisakah kita bertukar tempat duduk? Aku suka melihat pemandangan di luar sana.”

“Oh, tentu saja!” Dimas segera memberikan tempat duduknya di dekat jendela kepadanya.

“Danke!”

No problem, apa kau …”

Begitu duduk, Gertrude segera memasang earphone ke telinganya dan memalingkan wajahnya ke arah jendela.

Eric yang melihat semua itu dari kursinya yang berada di seberang lorong hanya tertawa terkekeh.

***

 

“Dimas! Pakai sabuk pengamanmu!” pemuda itu mendengar teriakan Eric membangunkannya dari tidurnya.

Ia merasakan kokpitnya bergoncang. Segera ia memandang ke sekitarnya, namun situasi begitu kacau, diikuti teriakan menggema para penumpang.

“A … apa yang terjadi?”

Turbulence! Cepat pakai sabuk pengamanmu!” teriaknya lagi, “Kurasa pesawat ini akan jatuh!”

BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment