Wednesday, May 20, 2020

GILANYA DUNIA QUANTUM: PART 1A – SAKTINYA SEBUAH PARTIKEL, MULAI DARI PUNYA “KESADARAN” HINGGA “MEMUTAR BALIK WAKTU”




Kebetulan sekali salah satu member grup WA MBP (grup Line MBP sekarang nggak jalan karena gue udah uninstall Line) bertanya mengenai time travel. Mungkinkah kita melakukan time travel? Mungkin kalian pernah dengar tentang John Titor yang mengaku sebagai time traveler, tapi kebanyakan berita yang beredar tentang bukti time travel biasanya merupakan hoax. Kita saat ini memang belum bisa membangun mesin waktu, namun bagaimana dengan di masa depan? Apakah suatu saat kelak nanti perjalanan waktu akan menjadi hal yang lumrah?

Untuk menjawabnya, gue berpaling bukan ke hal-hal klenik atau supranatural (pake ilmu terawang Roy Kiyoshi semisal), namun ke dunia sains, terutama fisika (seperti postingan-postingan gue terdahulu tentang alien dan Multiverse). Di artikel ini (dan beberapa sambungannya) kita akan melihat bukti adanya telepati, teleportasi, hingga perjalanan waktu, semuanya dirangkum dalam sebuah cabang ilmu fisika yang disebut: MEKANIKA KUANTUM. Tema itu (termasuk 'time traveling') akan meliputi tujuh artikel.


Sebagai pengantar, gue pengen flashback. Pada saat SMA, hidup gue berubah gara-gara membaca sebuah novel. Sejak SMP gue memang hobi banget baca novel detektif, semacam Agatha Christie. Bahkan pas gue pertama kali mendapat uang hasil kerja (jadi staf majalah sekolah), hal pertama yang gue beli adalah novel Sherlock Holmes. Tapi hobi gue membaca “semata buat hiburan” berubah ketika gue membaca sebuah novel yang mengobrak-abrik pemahaman gue tentang dunia ini.

Novel itu bernama “Supernova”


Saat itu dunia gue benar-benar dijungkirbalikkan, bagaimana sebuah novel bisa begitu “pop” dan menghibur, namun juga bisa begitu filosofis dan cerdas. Novel itu benar-benar menginspirasi hingga saat ini, cita-cita terbesar gue adalah menjadi novelis sekelas Dewi “Dee” Lestari. Bisa dibilang, gue nggak akan pernah menulis jika saja gue nggak pernah membaca "Supernova". Salah satu yang paling gue ingat dibahas dalam novel itu adalah tentang Mekanika Kuantum (Quantum Mechanics).


PENGERTIAN “QUANTUM”

Apa itu Mekanika Kuantum? Gampangannya, Mekanika Kuantum adalah cabang ilmu fisika yang mempelajari hal-hal yang teramat kecil hingga tak bisa dilihat dengan mata. Mekanika kuantum mempelajari tentang perilaku partikel yang kasat mata. Tanpa Mekanika Kuantum kalian nggak akan bisa lho bisa nge-game atau nonton Netflix. Lho kok bisa? Karena semua peralatan elektronik yang kalian pakai, mulai dari layar LCD, komputer, hingga smartphone semuanya bisa diciptakan melalui Mekanika Kuantum.

Kenapa disebut “kuantum”? Gue akan membahasnya dengan mengambil contoh: cahaya. Ilmuwan zaman dahulu (Newton, Maxwell, dsb) menganggap cahaya adalah sebuah gelombang. Kita pelajari dulu apa pengertian gelombang. Jika kalian menjatuhkan sebuah batu ke dalam kolam yang tenang, maka apa yang terjadi? Akan terbentuk riak bukan? Riak merupakan bukti adanya gelombang.

Gelombang riak di sebuah danau
SUMBER GAMBAR

Gelombang memiliki perilaku unik. Semisal jika melewatkan gelombang ke sebuah celah kecil (kita menyebutnya “single slit” atau “celah tunggal”), maka akan terbentuk gelombang baru.

Peristiwa yang berbeda akan terjadi apabila kita melewatkan gelombang ke dua buah celah kecil yang berdempetan (jaraknya tak terpisah jauh). Kita sebut dua celah itu sebagai “double slit” atau “celah ganda”. Apa yang terjadi?



Akan terbentuk pola yang disebut “interferensi” ketika dua gelombang baru yang terbentuk akan saling mempengaruhi. Ada yang saling menguatkan, ada pula yang saling meniadakan (panah di gambar di bawah ini merupakan pola interferensi yang saling menguatkan). Apabila kita menaruh sebuah layar di tepi kolam, semisal, menghadap ke gelombang tersebut, maka pola interferensi itu akan tercetak demikian.


Panah menunjukkan bagian yang saling menguatkan, ditandai warna putih di layar (karena tercetak di layar hitam). Sedangkan bagian yang kosong (bagian layar berwarna asli/hitam) menunjukkan bagian yang saling meniadakan. Kita bisa lihat bahwa bagian yang paling “kuat” adalah bagian tengah, kemudian semakin ke pinggir akan semakin lemah.

Nah, yang membuktikan cahaya adalah sebuah gelombang adalah ketika ilmuwan bernama Thomas Young pada 1801 memancarkan cahaya ke “celah ganda” ini dan diarahkan ke dinding, maka akan terlihat pola interferensi. Ini membuktikan bahwa cahaya, mirip dengan riak air di kolam tadi, adalah sebuah gelombang.

Pola interferensi terlihat di percobaan cahaya menggunakan celah ganda

Namun ternyata tak selamanya cahaya adalah sebuah gelombang.

Max Planck pada 1918 menerima hadiah Nobel berkat penelitiannya pada tahun 1900 saat ia menemukan konstanta Planck (“Stranger Things 3” reference, anyone?). Penemuan konstanta Planck ini mengungkap sisi mengejutkan yang selama ini selalu dirahasiakan oleh “cahaya”. Yah, anggap aja kalian nemu pacar kalian ternyata selingkuh dan punya pacar lain, mungkin seperti inilah reaksi ilmuwan ketika rahasia tentang “cahaya” ini ditemukan oleh Planck.

Planck menemukan dasar dari teori kuantum, bahwa cahaya tersusun atas paket-paket energi yang ia sebut sebagai “kuantum” sebesar 6,626x10-34 Joule.sekon. Nggak usah perhatikan nilainya, nggak penting kok buat artikel ini. Sekarang gue ingin membuat pengandaian mengapa teori ini begitu aneh dan tak mudah dinalar oleh ilmuwan pada zaman itu.

Katakanlah kalian menyalakan sebuah senter. Sekarang analogikan cahaya dari senter itu adalah sebuah air terjun. Asyik dong mandi di bawah air terjun? Nah, ilmuwan menganggap energi cahaya adalah seperti air membasahi tubuh kita, bahwa energi tuh ya seperti air, kita nggak bisa menangkapnya dengan tangan, tapi jelas efeknya terasa (tubuh kita bisa basah).

Ilustrasi air terjun
Tapi ketika Planck mengatakan cahaya datang dalam bentuk paket-paket kuantum dengan nilai konstanta Planck, itu bagaikan kita mengatakan bahwa air terjun tuh mengalir dalam “paket-paket” air mineral botolan 600 ml.

Aneh kan Teori Kuantum itu? Kita sekarang bisa menyebut energi cahaya dalam bentuk paket air mineral botolan itu sebagai “partikel cahaya”. Einstein mendapat hadiah Nobel pada 1921 setelah mempelajari dan menamai partikel cahaya itu “foton”.

Sekarang masalahnya yang bikin ilmuwan kala itu pusing tujuh keliling, partikel dan gelombang adalah dua hal yang berbeda, seperti dua sisi mata uang koin yang berlawanan, yakni kepala dan ekor. Namun sebenarnya jawabannya nggak terlalu memusingkan kok. Toh, “ekor” dan “kepala” sama-sama ada di koin yang sama kan?

Ilmuwan menyebut teori ini “Dualisme Cahaya”, yaitu cahaya bisa memiliki dua bentuk, partikel dan gelombang, dengan syarat tertentu. Cahaya pada dasarnya hadir dalam bentuk paket “kuantum” atau partikel berbentuk foton. Dengan kata lain, cahaya adalah partikel. Namun ketika foton-foton itu berjumlah amat banyak dan berinteraksi satu sama lain, maka foton-foton itu (hence, cahaya) akan berperilaku seperti gelombang. 

Cahaya dari senter ini tersusun atas triliunan partikel cahaya (foton) yang saling berinteraksi, karena itulah cahaya dari senter ini berbentuk gelombang dan menghasilkan pola interferensi

Tapi ternyata ada satu “trik” lain yang disembunyikan cahaya. Cahaya tak hanya berperilaku seperti partikel/gelombang tergantung jumlah fotonnya saja. Cahaya juga bisa secara “sadar” memilih kapan ia akan menjadi partikel dan kapan ia akan menjadi gelombang.

Lho kok bisa?



EKSPERIMEN CELAH GANDA 
 (DOUBLE SLIT EXPERIMENT)

Kita kembali “double slit” experiment atau percobaan “celah ganda” yang tadi gue singgung. Ketika cahaya dilewatkan pada “celah ganda” maka di layar akan tertangkap fenomena interferensi seperti di bawah ini. Jelas kan penyebabnya, karena gue sebut tadi cahaya kan kumpulan foton dan ketika foton-foton itu saling berinteraksi maka cahaya akan berperilaku seperti gelombang. Piece a cake.

Nah, sekarang setelah ilmuwan tahu bahwa cahaya tersusun atas foton dan mereka bisa menembakkan foton satu demi satu menggunakan sebuah alat laser canggih (bayangkan aja alat ini seperti pistol atau meriam yang bisa menembakkan bola foton satu demi satu) kemudian mereka menembakkannya ke sebuah papan dengan “celah ganda”.

Apa kalian bisa tebak apa yang mungkin terjadi? Mungkin bola yang kita tembakkan akan menghantam papan (contoh: panah merah dan oranye) sehingga terpantul kembali. Tapi ada kemungkinan bola yang kita tembakkan bisa menyisip masuk ke lubang itu (contoh: panah biru dan ungu). Masalahnya cuman kita nggak tahu lubang yang mana, bisa saja lubang A dan lubang B, karena saking kecilnya foton itu.

Nah, semisal kita memasang sebuah layar hitam di belakang “celah ganda” tersebut untuk menangkap foton, maka foton demi foton yang ditembakkan akan tertanam di layar itu dan meninggalkan jejak berupa titik cahaya (putih). Semakin banyak foton yang menempel di layar itu, maka akan semakin banyak jejaknya bukan? Lalu seperti apa jejak yang ditinggalkan? Secara logika, pasti jejak yang tertinggal ada di belakang A dan B, betul kan?


Tapi ternyata tidak. Di layar tersebut malah terlihat pola interferensi.

Bagaimana itu mungkin? Bagaimana mungkin fotonnya bisa nyasar ke X, Y, ataupun Z? Bahkan X, bagian paling terang (inget ya kita ngomongin cahaya), malahan ada di batas antara lubang A dan B, yang seharusnya merupakan dinding padat.

Ilmuwan tentu dibikin pusing tujuh keliling dan akhirnya melakukan percobaan baru. Mereka memasang “mata-mata” berupa sensor yang ditaruh di belakang papan sehingga mereka bisa melihat apakah foton yang ditembakkan melewati lubang A atau B.

Dan ketika mereka memutuskan mengamatinya, hasilnya langsung berubah. Pola interferensi yang tadinya ada kini pada percobaan 2 digantikan oleh pola seperti ini.

Foton-foton yang ditembakkan kini benar-benar jatuh di belakang titik A dan B, seolah-olah mereka berperilaku seperti partikel pada umumnya. Padahal awalnya, mereka berperilaku layaknya gelombang dan menghasilkan pola interferensi. Para ilmuwan kala itu tak mengubah apapun dari kedua percobaan itu. Satu-satunya yang berbeda adalah mereka memasang sensor dan mengamati percobaan itu.

Kesimpulan yang bisa didapat? Keputusan para ilmuwan untuk mengamati percobaan itu mengubah perilaku foton dari awalnya berperilaku sebagai gelombang menjadi partikel. Degan kata lain, keputusan atau kesadaran sang pengamat (dalam hal ini ilmuwan) mengubah hasil penelitian tersebut.

Hal tersebut jelas tidak masuk akal. Kita analogikan seperti ini. Kita membuat sebuah kotak tertutup, semisal dari kotak sepatu, dimana di dalamnya ada siput dan kaki seribu berlomba lari. Otomatis kaki seribu menang dong, kan kakinya ada banyak, yekan yekan? Tapi tidak, begitu kotak dibuka, justru siput duluan yang sampai ke garis finish.

Karena kamu mikir, “Ini kan impossible?”, makanya kamu memilih mengamati balapan itu dengan membuka kotak itu. Tapi kini hasilnya si kaki seribu menang.

Kemudian begitu kamu menutupnya dan kamu memutuskan tak mengamatinya, lagi-lagi si siput menang.

Tak hanya perbedaan hasil itu yang aneh, namun juga fakta dimana si partikel cahaya (alias foton) seakan-akan bisa mengetahui bahwa kita mau mengamatinya. Jika kita tak mengamatinya, foton akan berperilaku seperti gelombang. Tapi bila kita mengamatinya, seolah-olah tahu dia bakal ketahuan, foton segera berperilaku seperti partikel.

Analogi lain, anggap saja foton yang berperilaku partikel sebagai “anak baik-baik” yang alim, sedangkan “gelombang” adalah sisi lainnya sebagai anak nakal. Foton aslinya memang partikel, seperti dibuktikan Max Planck dan Einstein, tapi ia hanya berperilaku “baik-baik” sebagai partikel hanya ketika ia diamati oleh manusia. Ketika nggak diamati, ia berperilaku “nakal” menjadi gelombang.

Hal ini menimbulkan pertanyaan filosofis bagi kita: apakah partikel memiliki kesadaran? Apakah partikel menyadari kondisi di sekitarnya? Apa partikel bisa mengetahui bahwa ia sedang diamati oleh para ilmuwan?

Percobaan ini terus memiliki hasil yang sama, tak peduli berapa juta kali dilakukan. Bahkan jika dilakukan pada partikel yang berbeda, semisal elektron, hasilnya tetap sama. Jadi fenomena ini tak hanya berlaku bagi foton, namun pada semua partikel.

Jika ini berlaku bagi semua partikel, apakah seluruh alam semesta ini sebenarnya memiliki kesadaran?

BERSAMBUNG KE EPISODE BERIKUTNYA


7 comments:

  1. Seketika teringat pelajaran fisika sma wkwkkw

    ReplyDelete
  2. Mungkin gak sih, dengan adanya variabel tambahan kaya sensor pengamat, bikin hasil eksperimen nya berubah?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Kalo di part 1B dijelasin sih variabel sensornya ga ngefek jika emg ilmuwannya ga niat mengamati

      Delete
  3. Yap, Saya pribadi percaya semua hal di alam semesta ini memiliki kesadaran. Karena itulah apapun di alam semesta ini seharusnya bisa diperintah.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Eits punya kesadaran ga berarti bisa diperintah lho. Kalopun bisa, pastinya ga sama manusia, tapi entitas yg jauh lebih tinggi derajatnya

      Delete
  4. Mau dong gabung grup WA-nya, Bang Dave.

    ReplyDelete
  5. Novel Supernova emang mantul sih bikin pusing, tapi penjelasan Bang Dave disini lumayan bisa masuk ke otak ku yang rada lemot 🤭🤭🤭 thank you Bang Dave nambah ilmu baru lagi ☺️

    ReplyDelete