Thursday, May 7, 2020

KISAH SANG "INTI IBLIS": APA YANG TERJADI DENGAN BOM ATOM KETIGA?



Dunia tentu mengingat bagaimana Perang Dunia II berakhir pada Agustus 1945. Jepang menyerah tanpa syarat kepada Sekutu setelah kedua kota vitalnya, Hiroshima dan Nagasaki, hancur lebur oleh serangan bom atom Amerika Serikat. Namun tahukah kalian, bahwa pada tanggal 19 Agustus 1945, militer AS sebenarnya berniat untuk menjatuhkan bom atom ketiga ke Tokyo. Namun tentu rencana itu tak diejawantahkan karena Jepang keburu takluk, “cukup” oleh dua bom nuklir yang mereka miliki.

Ini membawa kita ke pertanyaan lain, apa yang terjadi dengan bom atom ketiga yang tak jadi dipakai ini? Dimana dia kini?

Inti dari bom atom tersebut awalnya dinamakan “Rufus”. Namun karena tragedi naas yang menghantui bom atom ini, namanya-pun lebih dikenal dengan nama “Demon Core” atau “Inti Iblis”. Mengapa mereka menyematkan nama yang begitu mengerikan tersebut? Peristiwa tragis apakah yang terjadi kala itu?

Dear readers, simaklah Dark Case kali ini.


Laboratorium Los Alamos di New Mexico menjadi kelahiran energi nuklir lewat peneltian yang dilakukan militer Amerika Serikat kala itu untuk memenangkan Perang Dunia II. Tiga bom atom dibuat, salah satunya masihlah dalam bentuk inti plutonium berbentuk bola. “Demon Core”, inti yang dimaksud itu merupakan massa subkritis Plutonium yang dilingkupi sebuah bola metal seberat 6,2 kilogram dan diamater 8,9 cm. Namun jangan salah, inti sekecil itu dimaksudkan sebagai bahan bakar bom atom berkekuatan mahadashyat yang rencananya kala itu akan digunakan untuk membumihanguskan Tokyo.

Inti plutonium harus dijaga dalam kondisi massa subkritis supaya tetap aman. Bila massa plutonium tersebut menjadi “superkritis”, maka akan terjadi reaksi berantai di dalam inti plutonium yang bisa menghasilkan radiasi berbahaya. Sayang, sebuah kecelakaan kecil menyebabkan inti plutonium itu menjadi superkritis dan memakan korban, bahkan terjadi dua kali.

Dua korban keganasan sang "Inti Iblis" yakni Harry Daghlian (tengah kiri) dan Louis Slotin (tengah kanan)


Seperti gue singgung di awal, inti plutonium ini hendak digunakan oleh Sekutu untuk membom Tokyo pada 19 Agustus 1945. Akan tetapi karena Jepang keburu menyerah pada 15 Agustus, maka rencana tersebut pun dibatalkan. Inti tersebut tidak jadi dikirimkan ke garda terdepan kala itu dan tetap berada di Laboratorium Los Alamos. Pada 21 Agustus 1945, seorang fisikawan bernama Harry Daghlian tengah melakukan eksperimen terhadap inti plutonium tersebut, ditemani seorang petugas keamanan bernama Robert J. Hemmerly. Namun sayang, terjadi kecelakaan hingga inti plutonium berubah menjadi superkritis sehingga melancarkan radiasi mematikan .

Kejadian itu berlangsung cepat karena Harry buru-buru memperbaikinya, namun terlambat. Tubuhnya kala itu telah menerima radiasi neutron sebesar 200 rad dan radiasi sinar gamma sebesar 110 rad (sebagai catatan, dosis radiasi paling aman adalah di bawah 25 rad). Iapun meninggal 25 hari kemudian karena “acute radiation syndrome”. Sang pengawalnya kala itu berada di jarak cukup jauh sehingga dampaknya tak terasa langsung. Namun 33 tahun setelah kejadian itu, Robert, sang tentara tersebut akhirnya meninggal karena leukimia yang bisa hampir dipastikan disebabkan oleh radiasi plutonium tersebut.

Rupanya kematian Harry tak membuat para fisikawan di Los Alamos gentar. Bahkan kecelakaan serupa kembali terjadi di tahun berikutnya. Pada 21 Mei 1946, seorang fisikawan bernama Louis Slotin menggelar demo di depan tujuh personel lain, yang kemudian berujung bencana.

Sebenarnya protokol tambahan sudah diterapkan untuk mencegah tragedi yang menimpa Harry setahun sebelumnya terulang kembali. Kala itu, reflektor yang terbuat dari Berilium ditambahkan di inti tersebut untuk memantulkan radiasi neutron. Akan tetapi, agar bisa berfungsi, reflektor dan inti tersebut harus benar-benar terpisah dan tak boleh sama sekali bersentuhan. Ada alat khusus yang dirancang untuk “mengganjal” reflektor tersebut. Sayang sekali, safety protocol itu tak diindahkan oleh Louis Slotin.

Louis Slotin sendiri dikenal sebagai seorang “koboi” di laboratorium tersebut. Tak hanya karena trademark-nya yang senantiasa mengenakan jeans biru dan sepatu boots ala koboi, namun juga karena perilakunya yang “selengekan” dan kerap melanggar peraturan. Alih-alih menggunakan alat yang sesuai dengan protokol keamanan, Louis lebih memilih menggunakan sebuah obeng yang dipegang dengan tangannya sendiri untuk mengganjal lempeng reflektor, di tengah ruangan penuh penonton.


Gambaran apa yang terjadi pada eksperimen naas tersebut

Enrico Fermi, seorang fisikawan terkenal (yang juga mencetuskan “Paradoks Fermi”) sempat geleng-geleng kepala melihat ulah “bengal” Louis tersebut, bahkan mengomentari bahwa ia akan “mati dalam setahun” jika terus mengindahkan protokol keamanan tersebut. Fisikawan lain, Richard Feynman, menyebut apa yang dilakukan Louis tersebut seperti “menggelitiki ekor naga yang sedang tidur” yang tentu saja, hanya akan berujung marabahaya ketika sang “naga” akhirnya bangun dan marah.

Ramalan mereka terbukti mengejawantah menjadi nyata.

Pada 21 Mei 1946, Louis tengah memamerkan kemampuannya di depan tujuh orang lain, meliputi pihak militer, ilmuwan, hingga wartawan. Namun saat tengah bekerja, obeng di tangannya terselip hingga inti dan reflektor itu menyatu. Akibatnya, semburan cahaya biru diikuti pancaran panas segera muncul dan merambat di tangan Louis. Louis dengan segera mengembalikan kondisi reflektor itu seperti semua, namun terlambat. Walaupun kejadian itu mungkin hanya terjadi selama setengah detik, radiasi dengan kadar yang membahayakan sudah telanjur menerpa tubuhnya. Kala itu ia menerima dosis 1.000 rad radiasi neutron dan 114 rad radiasi gamma, jauh lebih besar dari apa yang diterima Harry setahun sebelumnya. Akibatnya, ajalpun menjemput Louis lebih cepat. Ia meninggal 9 hari kemudian karena keracunan radiasi akut.

Tak hanya Louis, orang-orang disekitarnya-pun ikut menerima “azab” tersebut. Tercatat seorang ilmuwan bernama Marion Edward Cieslicki kemudian meninggal 19 tahun kemudian karena leukimia.

Akibat dua tragedi yang terjadi berurutan tersebut, inti plutonium yang tadinya bernama “Rufus” kemudian lebih dikenal dengan nama “Demon Core” atau “Inti Iblis”. Semenjak saat itu, tak ada satupun yang berani mendekati sang iblis tersebut. Ilmuwan yang bekerja di sana kemudian mengembangkan mesin yang dikendalikan dengan remote control untuk memegang dan ataupun bereksperimen dengan inti tersebut. Tak hanya itu, karena dianggap terlalu berbahaya, akhirnya militer AS memutuskan untuk melelehkan inti tersebut dan mendaur ulangnya untuk digunakan bersama inti lain.

Inti Iblis” tersebut bersama dengan dua bom atom yang diledakkan di Hiroshima dan Nagasaki merupakan bagian dari “Manhattan Project”, sebuah proyek rahasia militer AS untuk menyelidiki potensi energi nuklir sebagai senjata pemusnah massal. Itulah kala pertama energi nuklir dipergunakan dan bisa dibilang, pengetahuan tentang nuklir hingga saat ini memang masihlah kontroversial. Nuklir memang bermanfaat menghasilkan energi listrik dan sudah biasa dipergunakan di negara-negara maju. Namun energi nuklir juga memiliki bahayanya sendiri karena bisa memusnahkan kehidupan dalam sekejab. Namun tetap, keputusan apakah energi nuklir akan menjadi malaikat ataukah iblis, tetap berada di tangan umat manusia.


SUMBER: WIKIPEDIA



3 comments: