Wednesday, May 20, 2020

GILANYA DUNIA QUANTUM: PART 3 – “COPENHAGEN CONSPIRACY” DAN KUCING SCHRÖDINGER

Hmm ... dia punya kesadaran nggak ya?



Ok guys, selamat udah betah berpusing-pusing ria “menikmati” tiga postingan gue terdahulu tentang “Mekanika Kuantum”. Mungkin ada di antara kalian yang bertanya, Bang, partikel itu kan bentuknya bola, yekan yekan? Terus dia juga punya kesadaran, yekan yekan? Terus semisal gue ngobrol ama bola tenis, kira-kira dia bakalan ngerti nggak ya? Atau mungkin kalian tergelitik pengen mencoba eksperimen celah ganda di Episode 1A tadi, tapi nggak punya laser buat hasilin foton. Alhasil, kita pake bola tenis dilempar-lempar ke tembok dan kita bikin dua bolongan di tembok, kira-kira hasilnya pola interferensi atau pola partikel?


Well, nggak semudah itu. Percobaan “celah ganda” hanya bisa dilakukan pada partikel, tapi nggak bisa untuk objek berukuran gede, kayak bola tenis. Alasannya apa? Gue jawab sekarang, karena de Broglie wavelength-nya beda. Apaan itu anjir??? Sabar, untuk memahaminya kita harus memahami tentang apa yang disebut sebagai “Interpretasi Copenhagen”, sebuah solusi yang ditawarkan dua ilmuwan untuk menjawab apa yang sebenarnya terjadi pada percobaan “celah ganda”.

Lagi-lagi, untuk membaca artikel ini gue harus meminta kalian berpikiran terbuka, sebab apa yang akan gue bahas (seperti semua hal di dalam Mekanika Kuantum) akan sangatlah aneh.


TEORI “KONSPIRASI” DARI COPENHAGEN

Di kota Copenhagen yang kalem ini terpercahkanlah salah satu misteri dunia kuantum




Antara tahun 1925-1927, dua orang fisikawan di Universitas Copenhagen, Denmark bernama Niels Bohr dan asistennya, Werner Heisenberg, berusaha memecahkan rahasia di balik Mekanika Kuantum. Walaupun terlihat bekerja sama, namun keduanya sebenarnya sering bersilang pendapat. Bahkan, suatu saat Bohr pernah kesal dan menolak berbicara dengan Heisenberg karena tak setuju akan pendapatnya yang dinilainya terlalu subjektif. Tapi yang jelas, keduanya kemudian bersatu padu merumuskan apa yang disebut dengan “Interpretasi Copenhagen” untuk menjelaskan hasil dari eksperimen “celah ganda”.

Kita ingat kembali, dalam eksperimen “celah ganda”. Cahaya berperilaku seperti gelombang apabila tidak diamati. Namun ketika diamati, cahaya akan berperilaku seperti partikel. Mereka berpendapat bahwa penyebabnya adalah demikian: suatu sistem fisika (dalam hal ini foton, yakni partikel cahaya) tidak memiliki sifat yang pasti sebelum diukur. Mekanika Kuantum hanya bisa memprediksi atau menebak kemungkinannya (“probabilitas-nya”). Barulah ketika diamati (dalam bentuk pengukuran), probabilitas itu “runtuh” menjadi hanya satu nilai yang didapatkan dari hasil pengukuran. Peristiwa ini disebut sebagai “runtuhnya fungsi gelombang” atau “wave function collapse”.

Pusing? Akan gue gambarkan demikian.

Kita ambil sebuah kotak yang di dalamnya berisi sebuah partikel cahaya atau foton. Kita nggak tahu dimana letak partikel ini karena ia terbang di dalam kotak. Maka menurut Interpretasi Copenhagen, di dalam kotak ada berbagai kemungkinan foton, yang ditandai dengan bola dengan garis putus-putus. Posisi-posisi ini (karena banyak) maka disebut “superposisi”. Kita tahu, dari Part 1, bahwa ketika foton berada dalam jumlah banyak, maka ia akan berperilaku seperti gelombang. Maka di dalam kotak tertutup itu, foton akan berperilaku seperti gelombang.


Namun ketika kotak itu dibuka, atau paling tidak diamati (gue kasi simbol “mata” di dalam), maka tiba-tiba seluruh fungsi gelombang di dalam kotak itu “runtuh”. Semua kemungkinan partikelnya (yang ditandai dengan bola bergaris putus-putus) tiba-tiba lenyap dan meninggalkan hanya satu foton dengan letak yang sudah pasti (bola dengan garis tebal). Foton, karena “runtuhnya fungsi gelombang” itu, kini berada dalam status partikel dan harus berperilaku seperti partikel.


Namun penjelasan ini tak masuk akal. Bagi otak para fisikawan, mendengar teori ini bak mendengar teori konspirasi yang tak bisa dinalar. Semisal seperti ilmuwan NASA yang mendengar bahwa pendaratan di Bulan adalah hoax, atau seorang dokter yang mendengar bahwa vaksin bisa menyebabkan autisme (konspirasi anti-vaxxer), atau astronot yang mendengar teori “Bumi Datar”, atau survivor peristiwa penembakan di Las Vegas yang mendengar bahwa penembakan itu palsu dan menggunakan “crisis actor”.

Kalo kalian pengen tahu betapa tidak masuk akalnya Interpretasi Copenhagen, seorang ilmuwan lain bernama Erwin Schrödinger mengajukan usulan percobaan yang melibatkan seekor kucing.


SCHRÖDINGER'S CAT

Mungkin perasaan kucing ini nggak enak karena akan digunakan dalam eksperimen Schrodinger


Erwin Schrödinger berpendapat demikian. Taruhlah seekor kucing di dalam sebuah kotak dengan peralatan rumit melibatkan bahan radioaktif, Geiger Counter, palu, dan botol kaca berisi sianida. Bahan radioaktif tersebut memiliki 50% kemungkinan untuk mengeluarkan radiasi dan 50% kemungkinan untuk tidak mengeluarkan radiasi.

Jika bahan radioaktif tersebut mengeluarkan radiasi, maka alat Geiger Counter akan menyala (karena alat ini berfungsi mengukur kadar radiasi) yang kemudian memicu sebuah palu untuk memecahkan botol kaca berisi sianida. Akibatnya, kucing mati. Namun ada 50% kemungkinan bahwa bahan radioaktif itu tidak menghasilkan radiasi, alat Geiger Counter tidak menyala, palu tidak memecahkan botol kaca berisi sianida, dan si kucingpun selamat.

Jika kita menerapkan Interpretasi Copenhagen dalam kasus ini, maka sebelum kotak itu dibuka dan diamati yang terjadi adalah: di dalam kotak itu terdapat dua kucing, satu hidup dan satu mati (sebab hanya ada dua kemungkinan, antara kucing itu mati atau hidup). Begitu kotak itu dibuka, “fungsi gelombang” kucing itu akan runtuh dan meninggalkan hanya satu “posisi”, yakni semisal kucing itu mati.

Salah satu variasi eksperimen tersebut disebut dengan “Quantum Suicide” dimana alih-alih menggunakan kucing, kita menggunakan diri kita sendiri, dikurung di dalam kotak dengan alat radioaktif tersebut, dengan kemungkinan 50% kita selamat dan 50% kita mati.

Tapi tentu, tanpa menaruh kucing di dalam kotak ataupun mengorbankan nyawa kita sendiri untuk eksperimen itu, kita pasti tahu bahwa hal tersebut sangatlah tidak mungkin. Mustahil jika kita menaruh diri kita di kotak “bunuh diri” itu, tiba-tiba kita akan melihat diri kita ada dua di dalam kotak, satu masih hidup dan satu sudah mati. Mustahil pula di dalam kotak Schrödinger, kucing tersebut menjelma menjadi dua, satu hidup dan satu mati.

Eksperimen kucing Schrödinger

Ini menunjukkan bahwa Interpretasi Copenhagen itu salah dong, seperti sebuah teori konspirasi asal-asalan? Bahkan ilmuwan sekelas Albert Einstein pun menolak interpretasi tersebut. Einstein, yang seorang Yahudi, amatlah tidak nyaman dengan konsep “probabilitas” yang ditawarkan oleh Bohr dan Heinsenberg dan menyatakan bahwa “Tuhan tak bermain dadu.”

Namun, Einstein tentu menyanggah teori tersebut dengan ilmiah dan saintifik. Ia menyebut Interpretasi Copenhagen terdengar “keliru” (seperti dibuktikan percobaan “Kucing Schrodinger”) karena adanya “hidden variable” atau “variabel tersembunyi” yang masih belum ditemukan. Dengan kata lain, ada yang “kurang” dari teori Bohr dan Heinsenberg, yang menyebabkan interpretasi mereka bisa diterapkan pada partikel, tapi tak bisa diterapkan pada kucing.

Dan variabel tersembunyi itu bernama de Broglie wavelength.


APA ITU “VARIABEL TERSEMBUNYI”?

Sebelum gue jelaskan apa itu de Broglie wavelength (atau terjemahannya: “panjang gelombang de Broglie”), gue jelaskan dulu apa itu “variabel” dan “hidden variable (variabel tersembunyi)”. Katakanlah lu pengen coba-coba menanam cabe di pot (gara-gara gabut parah pas karantina), apalagi harga cabe pas naik. Akhirnya buat permulaan, lu beli empat pot, tanah satu karung, dan bibit cabe. Lalu penjualnya bilang, “Nggak beli pupuk sekalian? Kalo ada pupuk nanti cabenya lebih subur lho”. Lu nggak niat beli pupuk sih tapi apa boleh buat, lu beli buat coba-coba.

Sesampainya di rumah, lu mengambil dua pot, A dan B (keduanya berukuran sama persis) dan lu isi tanah (tanahnya bisa dianggap sama karena berasal dari satu sumber, yakni satu karung). Lalu lu kasi biji cabe yang lagi-lagi sama (berasal dari satu tanaman cabe yang sama, kata penjualnya). Jadi sama sekali nggak ada variasi di pot, tanah, sama biji cabe. Lalu pot A nggak lu kasi pupuk dan pot B lu kasi pupuk. Lu biarin tanaman itu tumbuh, tapi nggak pernah lupa menyiraminya tiap jam 3 sore dengan jumlah air yang sama di tiap pot. Hasilnya setelah beberapa minggu, tanaman di pot B ternyata lebih tinggi dan subur, sedangkan di pot A biasa-biasa aja.


Kenapa hasilnya begitu? Pasti lu jawab karena di pot B lu kasi pupuk, dan pot A enggak. Nah, itu artinya “pupuk” merupakan “variabel” yang menyebabkan hasil di pot A dan pot B berbeda.

Terus lu ingat lu masih punya dua pot lagi, C dan D. Lu sekarang isi kedua pot itu dengan tanah, pupuk, dan biji cabe, semuanya dalam jumlah yang sama. Lu juga sirami tiap jam 3 sore dengan jumlah air yang sama. Tapi sekarang ada yang aneh. Tanaman di pot D lebih subur ketimbang C. Lho kok aneh? Padahal pot C dan D isinya sama persis, harusnya tumbuhnya sama-sama subur dong? Apa yang membuatnya berbeda?


Akhirnya karena penasaran, lu coba gali pot D (yang subur) dan menemukan hasil mengejutkan. Ada cacing tanah ternyata di sana. Ternyata bagian tanah yang lu masukkan ke pot D secara kebetulan mengandung telur cacing, sedangkan di pot C tidak. Adanya cacing tanah itu (karena membuat terowongan di dalam tanah) akhirnya membuat tanah menjadi gembur dan oksigen bisa masuk, sehingga membuat tanaman di D menjadi lebih subur. Nah di sini berarti “cacing tanah” menjadi “hidden variable” atau “variable tersembunyi”, yakni sesuatu yang menyebabkan hasil di pot C dan D berbeda. Akan tetapi saat itu, lu belum tahu apa yang menyebabkan perbedaan itu, sampai lu menyelidikinya.

Nah Einstein berpendapat di Interpretasi Copenhagen, ada variabel tersembunyi yang Bohr dan Heinsenberg belum tahu dan variabel itu menyebabkan kenapa interpretasi tersebut nggak akan berhasil jika diterapkan pada kucing Schrödinger, semisal. Variabel tersembunyi itu ternyata adalah de Broglie wavelenght.


DE BROGLIE WAVELENGTH


Sebenarnya pada 1924, seorang ilmuwan Prancis bernama Louis de Broglie sudah mengajukan hipotesisnya tentang panjang gelombang de Broglie, namun sayang Bohr baru mengetahuinya sekitar tahun 1926-an. Gue nggak akan menjelaskan panjang lebar tentang apa itu de Broglie wavelenght karena isinya rumus dan persamaan matematik, namun yang jelas de Broglie wavelenght berhubungan dengan probabilitas sebuah benda ditemukan dalam kondisi tertentu. Semakin besar sebuah objek, de Broglie wavelenght-nya akan semakin kecil dan semakin kecil sebuah objek, de Broglie wavelenght-nya akan semakin besar.

Lagi-lagi kita harus memahaminya melalui perumpamaan.

Sekarang bayangin kamar lu. Buat yang anak kos ya bayangin aja kamar kos kalian. Kalo lu anak rumahan ya bayangin aja kamar tidur lu di rumah. Lu mau pergi keluar (sebenarnya nggak gue saranin ya soalnya kan ini lagi musim Covid-19), mungkin karena alasan mendesak seperti cari makan buat buka puasa. Nah lu kemudian mengunci kamar lu itu dan pergi. Eh, di tengah jalan lu baru ingat kalo kucing lu (anggap aja lu punya kucing) ternyata masih ada di kamar.


Nah coba bayangkan kemungkinan di mana kucing itu berada? Mungkin kalian akan membayangkan, mungkin si kucing ada di atas kasur, di atas lemari, di atas meja, di atas kursi, di bawah tempat tidur, di atas lantai, dan sebagainya. Bahkan jika si kucing ada di atas kasur pun kemungkinannya ada banyak, bisa di ujung kasur, di atas bantal, di tengah, di pinggir, dan lain-lain. Jadi ada banyak kemungkinan kan si kucing ada dimana?

Sekarang ganti kucing itu dengan gajah. Apa kemungkinannya dimana si gajah ini berada masih sama seperti si kucing? Tentu tidak. Jika tadi si kucing bisa berada di bawah meja, si gajah nggak akan mungkin ada di sana. Jika tadi si kucing bisa berada di atas lemari, si gajah nggak mungkin nyasar ke sana. Yang mungkin, si gajah ada di atas lantai atau di atas kasur (dengan catatan kasurnya langsung jebol). Apalagi jika kamar kos lu sempit, bahkan seukuran ama si gajah, cuma ada satu kemungkinan dimana si gajah berada, yakni memenuhi kamar itu sendiri.


Kita mengatakan, panjang gelombang de Broglie kucing lebih tinggi daripada gajah, karena kemungkinan posisinya di dalam kamar lebih banyak.


Sekarang coba si kucing dengan bola ping pong. Tentu karena ukuran bola ping pong lebih kecil dari si kucing, kemungkinan posisinya kini makin banyak. Coba ganti lagi bola ping pong-nya ama butiran debu. Lah lebih banyak lagi dong? Debu bisa ada dimana-mana. Terakhir, coba ganti butiran debu itu dengan satu butir partikel. Waduh, kemungkinannya hampir tak terhingga, karena partikel adalah penyusun terkecil di alam semesta ini. Nah, maka kita bisa mengkalkulasi bahwa panjang gelombang de Broglie partikel (bisa elektron, proton, atau foton) itu adalah yang terbesar di antara semuanya.

Teori kuantum, termasuk di antaranya “dualisme cahaya” (percobaan “celah ganda tadi, dimana cahaya bisa menjadi gelombang atau partikel tergantung pengamatan) hanya berlaku bagi benda dengan panjang gelombang de Broglie yang tinggi. Kita misalkan aja deh pajak. Jika penghasilan lu tinggi (katakanlah di atas 5 juta per bulan), maka otomatis lu dikenakan pajak. Tapi jika penghasilan lu masih rendah (katakanlah masih 1 juta per bulan), ya ngapain lu bayar pajak, yekan? Kan nggak diharusin sama pemerintah?

Sama logikanya dengan Interpretasi Copenhagen yang berhasil “disempurnakan” dengan penemuan de Broglie wavelength ini. Jika panjang gelombang de Broglie lu besar (semisal lu adalah partikel), ya Interpretasi Copenhagen bakal berlaku. Kalo panjang gelombang de Broglie lu kecil, ya ngapain lu aneh-aneh pake gaya-gayaan nurut teori Kuantum segala?

Tenang, dia nggak akan berubah jadi pola interferensi kalo lewat celah-celah sempit dan pastinya, nggak bisa "time traveling", tapi tetap, dia punya kesadaran

Inilah sebabnya di pengantar artikel tadi gue menyinggung, jika foton di percobaan celah ganda diganti bola tenis semisal, apakah masih akan ada pola interferensi? Tentu tidak. Karena bola tenis berukuran amat besar (dari sudut pandang “teori kuantum” yang cuman ngurusin partikel) sehingga panjang gelombang de Broglie-nya kecil, akibatnya dia nggak akan nurut Interpretasi Copenhagen. Itu sebabnya pula percobaan Kucing Schrödinger takkan pernah berhasil, karena kucing memiliki panjang gelombang de Broglie teramat kecil sehingga nggak akan nurut aturan-aturan teori Kuantum.

Bagaimana dengan bola tenis punya kesadaran? Ya kagak lah. Yang mungkin adalah, tiap partikel elektron di dalam bola tenis itu-lah yang “mungkin” memiliki kesadaran. Bola tenisnya mah kagak, mau curhat selama apapun ampe dunia kiamat di depan bola tenis juga dia nggak bakal ngerti perasaan lu. Jangankan bola tenis, orang yang udah kita kasi kode-kode aja tetep nggak ngerti perasaan kita (lah, kenapa nyambung ke sini yak?).

Oke, emang nggak banyak sih konsep metafisika yang gue bahas di sini. Tujuan postingan ini agar kalian paham aja tentang percobaan “celah ganda” dan kenapa percobaan itu nggak berlaku buat benda berukuran besar. Tapi next episode gue akan bahas sifat-sifat aneh partikel lainnya. Lah Bang, emang ada yang lebih aneh ketimbang partikel punya kesadaran dan bisa mundurin waktu. Oya ada dong. Partikel bisa menjadi “hantu” bahkan bisa teleportasi. Keren kan?



6 comments:

  1. bang kalo bola tenis gak punya kesadaran, kenapa kucing punya? kan ukuran mereka sama-sama besar.
    Bang, referensinya apa sih? berbagi dong. Entah itu buku atau apa referensinya.

    ReplyDelete
  2. Damn, gw takjub dengan pemahaman fisis bang Dave. Padahal bukan dari latar belakang Fisika tapi menurut gw komunikasi saintifik nya lebih keren daripada dosen gw, terlalu matematis wkwkwk. Salut gw bang

    ReplyDelete
  3. Kasian kucingnya scrodinger. Denger2 mati gak bang si kucing?

    ReplyDelete
  4. Soal yg kucing, iya bener kucing berukuran besar jadi wavelength nya kecil. Tp kan unsur radioaktif tadi bisa dibilang ukurannya kecil sehingga wavelength cukup besar dan 'superposisi' 50-50 kemungkinan radiasi nya tetep berlaku. Otomatis ngefek juga dong ke hidup si kucing

    Jadi emg kucing ngga superposisi Karena wavelength kecil tp karena dipengaruhi chance racun ya ngikut Chance nya

    Gmn tu bang

    ReplyDelete
    Replies
    1. Itu kan satu partikel aja aja sedangkan yg namanya radiasi pasti melibatkan jutaan partikel. Anggap aja gini, kalo kita pake satu partikel foton kita bisa bisa mengulang hasil hasil percobaan celah ganda (ada superposisi), tapi jika kita pake cahaya senter semisal (kumpulan foton) maka hasilnya akan selalu berbentuk gelombang krn mrk bisa bisa dianggap satu kesatuan which is gelombang de de broglie nya gede. Begitu sih menurut gue, CMIIW

      Delete