Dalam episode pertama ini, Fikar dan keluarganya pindah ke sebuah rumah baru dan diperkenalkan kepada para tetangganya. Namun apakah ini akan menjadi awal baru yang indah, ataukah permulaan dari mimpi buruk?
1740
“TIDAK!
JANGAN!” teriak wanita itu, terus berlari menuju ke kampungnya, menembus hutan.
Ia menatap ke
belakang sesekali di tengah dengusan napasnya yang berderu tiada henti. Ia masih
mendengarnya; suara babi hutan itu.
“Ta … aku tak
sengaja melakukannya!” teriaknya. “Tameng VOC dengan semua senjata itu … kami
harus memajangnya … Jika tidak, kami akan dianggap pengkhianat! Kumohon
mengertilah!”
Ia makin
terengah-engah, memohon ampun, “Ma … Maafkan aku! Aku tak berniat
menyinggungmu!”
Namun suara
meringkik itu masih mengejarnya.
Ia menarik anting
mutiara di kedua daun telinganya, lalu melemparkannya ke arah suara itu. Rasa
perih menjalarinya ketika darah menetes dari cupingnya yang kini sobek, namun
ia tak peduli.
“Ini! aku tak
menginginkannya lagi!”
NGOIK NGOIK!”
suara itu seakan menyahutnya dari dalam belantara hutan.
“Masih
kurang? Akan kukembalikan semuanya!” ia meraih cincin giok di jemarinya lalu
melemparkannya kembali, namun tak ada tanda-tanda babi hutan itu berhenti
mengejarnya.
“Tolong aku …
“ teriaknya lagi ketika ia sadar semua usahanya sama sekali tak membuahkan
hasil, “To ….”
Ia menyibak
rimbunnya dedaunan palem di hadapannya, namun tersentak ketika melihat
kampungnya kini tengah terbakar. Para tentara dengan simbol VOC berjaga dengan
senapan mereka, menatap para warga yang kini berlarian tak karuan mencoba
menyelamatkan diri.
“Masih ada
yang lain!” teriak mereka ketika melihatnya keluar dari dalam hutan. Ia
berjalan mundur, namun ia tahu, ia tak bisa lari lagi.
Gadis itu
menoleh ke belakang, ke arah babi hutan yang menerjangnya.
***
MASA SEKARANG
Dalam episode pertama ini, Fikar dan
keluarganya pindah ke sebuah rumah baru dan diperkenalkan kepada para
tetangganya. Namun apakah ini akan menjadi awal baru yang indah, ataukah
permulaan dari mimpi buruk?
“Fikar,
lepaskan earphone-mu itu dan mulai
bantu Papa dengan …” ia lalu menoleh ke arah anak tertuanya, Aiman. “Apa itu
namanya?”
“Waze,” bisik
Aiman sambil masih menorehkan tatapan matanya ke layar handphone-nya yang bercahaya, seperti nyala lentera yang menggoda
ngengat api.
“Huh, kenapa
sih nggak pakai hapenya Aiman saja?” Fikar menggerutu sambil melepas earphone bluetooth-nya, “Kan dia juga nggak ngapa-ngapain?”
“Hapemu kan
lebih bagus dan mahal, Kar.” balas Aiman sambil masih menatap layar, sesekali
tertawa terkikik dan menggerakkan kedua jempolnya untuk mengetik di keypad maya itu.
“Huh, bilang
saja kamu lagi sibuk pacaran!” Fikar masih menggerutu sembari membuka aplikasi
map itu, “Lagian kenapa sih nggak suruh Mama aja share-loc lewat Whatsapp?”
“Kan Papa
sedang menyetir, Kar. Mana bisa buka hape dalam waktu bersamaan?” dengus sang
ayah. “Kau mau kita ditilang?”
“Lagian pakai
gaya-gayaan segala lewat jalur alternatif setelah keluar tol tadi. Kejebak
macet sih enggak, tapi kesasar iya!”
“Sudah!
Masukkan saja namanya, Townhouse Dharmaraja, pasti akan langsung muncul.” Pak Fathur,
sang ayah, mulai kesal dengan kekeraskepalaan anak bungsunya yang masih SMA
itu.
“Nggak perlu
susah-susah. Belok saja sebelah sana!” tunjuk Aiman dengan matanya masih
melekat ke layar, namun jemarinya terangkat, menuding ke arah kanan.
“Apa? Ke
sana?” karena belokan itu sudah di depan mata, mau tak mau Pak Fathur langsung mengikutinya,
“Darimana kau tahu? Ayah saja sering kesasar di sini karena perubahan Pecinan ini
yang begitu cepat.”
“Sudah, ikuti
saja.” Aiman tampak melongok ke arah jendela, mencari seseorang.
“Di sebelah
kiri jalan … Nah, itu dia!”
Pak Fathur
menepikan mobilnya dan parkir di bawah pepohonan yang rindang.
“Lho kita
sudah sampai?” tanya Fikar keheranan.
“Yap, itu townhouse-nya!” tunjuk ayahnya.
Pemuda itu kemudian
menatap ke luar jendela dan terperangah. Suasana di depannya sudah bukan lagi
terlihat seperti kota Jakarta yang panas dan macet. Ia merasa seperti di
jalanan kota London dengan ruko-ruko bergaya arsitektur Inggris kolonial.
Teduhnya pepohonan juga menambah kesan ia seperti berada di sebuah taman di
luar negeri, tempat orang-orang bule biasa mengajak anjing mereka jalan-jalan.
“Wah,
pengembangnya memang bukan main-main.” Pak Fathur pun ikut terpana. “Pasar Pecinan
juga tinggal jalan ke situ sedikit dan Kota Tua juga hanya 5 menit perjalanan
dari halte busway yang ada di sana. Benar-benar strategis.”
“Belum ada
satu menit sampai, otak bisnis Papa sudah jalan aja ya?” ujar Fikar dengan
kesal, “Kalau dijual lagi, pasti untung milyaran, iya kan?”
“Tidak, Nak!”
balas ayahnya, seakan mengerti apa maksud anak bungsunya itu. “Ini akan menjadi
rumah kita selamanya. Kita tidak akan pindah lagi.”
Namun Fikar
sudah bosan dengan janji-janji itu. Ayahnya adalah seorang arsitek lulusan UI,
akan tetapi ia tak kunjung mendapat pekerjaan tetap semenjak firma tempatnya
dulu bekerja bangkrut. Akhirnya mau tak mau, ayahnya memutar otak mencari
penghasilan lain.
Bukan
kebetulan jika Pak Fathur memiliki pengalaman dalam membangun rumah, belum lagi
istrinya juga bekerja sebagai agen real
estate. Untuk itu ia kemudian memutuskan untuk membeli rumah,
merenovasinya, kemudian menjualnya kembali dengan harga tinggi. Flip istilahnya, sebuah konsep yang
dipopulerkan HGTV, sebuah stasiun televisi yang menayangkan acara khusus desain
interior. Keuntungan yang mereka dapat memang lumayan, tapi tentu saja dengan
mengorbankan kenyamanan kedua anak mereka.
Karena
pekerjaan itu mereka terpaksa sering berpindah-pindah rumah, bahkan bisa sekali
dalam setahun. Begitu rumah mereka selesai direnovasi dan dijual kembali,
merekapun mencari proyek berikutnya. Bahkan tak jarang, mereka harus berpindah
kota. Jakarta, Depok, Tangerang, Bekasi, Bogor, bahkan sekali mereka sampai di
Karawang. Akibatnya, kedua anak mereka selalu berpindah sekolah. Belum lagi
ketika pulang, hanya debu, plastik terpal, dan suara alat pertukangan yang
menyambut mereka.
Aiman lebih
beruntung ketimbang adiknya. Ketika memutuskan kuliah, iapun berhasil keluar
dari siklus “kumal” orang tuanya dan tinggal sendirian. Walaupun sekedar
ngekost dekat kampusnya, namun ia amat mensyukuri ketenangan batin yang bisa ia
cicipi. Kini, tinggal Fikar yang berada di tahun terakhir sebagai senior di
sekolahnya, yang harus menanggungnya.
“Ah, itu dia!
Hai!” Aiman yang semenjak tadi menempelkan handphone-nya
di telinganya lalu melambaikan tangan dan berlari ke arah trotoar dekat mereka.
Seorang gadis yang tengah menunggunya langsung memeluknya.
Hati Fikar
terasa berdegup lebih kencang menyaksikannya.
“Pantesan
tiba-tiba Aiman tahu lokasinya,” Pak Fathur menghampirinya, “Rupanya ada
informannya.”
“Halo, Pak Fathur”
Nila, gadis itu, segera sungkem kepadanya, “Bapak tidak bareng Bu Isma?”
“Dia ada di
dalam kok, menunggu kita. Dimana Pak Sinaga?”
“Ah, maaf.
Ayah sedang sibuk dan tak sempat ke sini, jadi saya yang kesini untuk
mewakilkannya.” Jawab Nila, nama panggilan akrab gadis itu. Ia lalu melihat
kehadiran Fikar dan melambai ke arahnya, “Hai, Fikar!”
“Hai!” dengan
gugup Fikar membalas lambaian itu.
“Oh,” raut
wajah Pak Fathur terlihat kecewa, “Padahal beliau terdengar bersemangat sekali waktu
kami membicarakan townhouse ini tadi
malam.”
“Sibuk?
Ayahmu?” Aiman berbisik ke arah pacarnya, “Kita semua tahu kalau ayahmu itu
pensiunan polisi yang sehari-hari hanya leyeh-leyeh.
Apa ayahmu sengaja tak mau datang karena tahu aku di sini?”
“Jangan
bilang begitu, Man!” balas Nila, “Kau tahu sendiri kan ayahku punya bisnis
sampingan barang antik? Kadang kliennya datang dari luar kota. Aku yakin ayah
pasti sibuk menemui mereka.”
“Ah iya, hobi
ayahmu itu.” Aiman memutar-mutar bola matanya. “Ayahmu sudah presbiopi bahkan
sebelum ia pensiun, Nil. Apa kau yakin dia masih bisa membedakan mana barang
antik yang asli dan yang palsu?”
“Hei, Aiman!”
teriak Fikar. “Mama manggil tuh!”
Ia mendongak
dan melihat Bu Isma melambaikan tangan dari atas lantai dua townhouse itu. Iapun segera masuk
mengikuti ayahnya.
“Aku
benar-benar iri dengan kalian.”
“Hah?” Fikar
menengok dengan keheranan.
“Kau tak
repot-repot memanggil Aiman ‘Kak’, padahal selisih usia kalian sangat jauh.
Hampir sembilan tahun kan?” Nila mendekat, “Itu bukti bahwa kalian sangat
dekat.”
“Huh, ‘Kak’
itu untuk saudara yang dihormati. Sedangkan Aiman, ih, amit-amit jabang bayi!”
cibirnya.
“Hei, aku
dengar itu!” seru Aiman dari dalam rumah. Nila hanya tertawa mendengarnya.
Fikar ikut
tersenyum. Ia selalu bahagia, entah mengapa, ketika melihat gadis itu gembira
dan tertawa.
“Memangnya …”
ucapan Fikar membuat perhatian Nila kembali teralihkan kepadanya, “Hubunganmu
dengan saudara-saudaramu tak begitu dekat?”
Nila
mengangkat bahunya, “Saat kami kecil iya, namun setelah kami dewasa dan
memiliki kehidupan sendiri, perlahan-lahan hubungan kami mengendor. Lalu ibu
meninggal dan ayah tinggal sendirian, jadi mau tak mau aku sebagai anak
terkecil harus merawatnya.”
“Oh, maaf …”
Fikar merasa bersalah telah mengingatkannya.
“Lelah ...”
“Eh?” Fikar
keheranan.
“Kadang
sangat melelahkan … hidup seperti ini …” gadis itu menatapnya. Sebutir air mata
seolah siap menitik dari pelupuk matanya.
“Kau tidak
apa-apa?”
“Ah, maaf.
Aku malah meracau seperti ini.” Nila segera menghapus air mata itu sebelum
siapapun menyaksikannya, “Ayo kita masuk dan melihat-lihat. Kita juga nanti
akan jadi tetangga kan?”
Fikar segera
mengantar Nila masuk dan di dalam sana, ibunya melambaikan tangan memanggilnya.
“Sayang,
cepat ke sini! Akan Mama perkenalkan pada tetangga baru kita!”
Namun sebelum
Fikar sempat menghampirinya, tiba-tiba Nila meraih tangannya.
“Fikar,
tolong jangan bilang kakakmu tentang tadi ya?” pintanya. Fikar hanya bisa
menjawabnya dengan anggukan singkat sembari memalingkan wajahnya, supaya
kekasih kakaknya itu tak melihat raut mukanya yang memerah.
“Fikar, cepat
sini! Lihat itu mamamu memanggilmu!” tiba-tiba saja seorang wanita berpakaian
blazer abu-abu segera meraihnya dan menyeretnya. Fikar hanya mendengus kesal
mengikutinya.
“Tante
Mauliza, pelan-pelan …”
“Panggil aku
MJ, Sayang!”
Fikar selalu
saja dibuat kesal dengan rekan kerja ibunya itu. Intrusif dan kelewat
bersahabat. Seorang sangunis; ekstrovert sejati. Berbeda sekali dengan dirinya
yang introvert dan melankolis.
“Nah, itu dia
datang!” Bu Isma segera mendekap anaknya itu.
“Nah, ini anak saya yang bungsu, Akhmad Zulfikar namanya. Nak,
perkenalkan ini tetangga baru kita, Mas Adit dan istrinya yang orang asing!”
“Adhitya
Soetjipto,” pria itu menyalaminya, “Dan ini istriku, Yoonji Min.”
Fikar hanya
mengangguk melihatnya. “Korea?” tanyanya penasaran.
“Ya, tapi
saya sudah hampir 10 tahun di sini. Bahkan SMA saya di Jakarta, jadi sudah
fasih berbahasa Indonesia.” wanita itu tersenyum.
“Sebentar
lagi mereka juga jadi orang tua lho, Nak!” Bu Isma melirik perut Yoonji yang tengah
membuncit, “Kapan lahirannya?”
“Tiga bulan
lagi jika semua berjalan sesuai rencana.”
“Ya benar,
setelah lahiran kami akan meninggalkan Indonesia dan pindah ke Korea. Tempat
yang aman untuk membesarkan anak, bukan?” Adit mencium kening istrinya itu,
“Lalu rumah yang kami beli ini akan kami kontrakkan untuk penghasilan
tambahan.”
“Waaaaah!
Selamat! Punya anak dan rumah baru dalam waktu bersamaan, kalian sungguh
beruntung!” Tante MJ langsung berteriak penuh rasa girang. Fikar yang ada di
sampingnya sampai harus menutup telinganya gara-gara pekikan yang entah berapa
desibel itu.
“Tentu saja,
semua yang pindah ke townhouse ini
dijamin bakalan hoki!” sang ayah menimpali. “Nah semuanya, kenalkan ini adalah
Pak Ocot. Pak Adit mungkin sudah mengenalnya saat merubah KK kemarin, karena
semua administrasi kan harus lewat bapak ini.”
“Pak Ocot?”
tanya Fikar dengan heran.
“Ya, gara-gara
nama yang mengundang salah paham itu saya lebih suka dipanggil Pak RW sesuai
jabatan saya di lingkungan ini.” pria paruh baya itu tertawa terbahak-bahak
atas leluconnya sendiri. Perutnya yang gembul terlihat naik turun ketika ia
tertawa. Dalam hati Fikar merasa ngeri, apakah ia akan terlihat seperti itu
ketika dewasa dan menua nanti?
“Nona itu,”
tunjuk Pak Fathur ke arah Nila yang tengah berduaan dengan Aiman, “adalah Sharnila,
putri Pak Sinaga yang juga akan tinggal di sini.”
“Ada lima
keluarga bukan yang akan tinggal di kompleks townhouse ini?” tanya Adhitya, “Saya, keluarga Pak Fathur, Pak RW,
Pak Sinaga … lalu yang terakhir?”
“Ah, yang Mas
Adit maksud pasti Bu Ummi. Dia sedang mengantar anaknya untuk terapi di rumah
sakit jadi tidak bisa ikut ke sini.” jawab Bu Isma.
“Huh, sama
sekali tak berubah.” dengus Pak RW sembari meneguk minuman kaleng yang ada di
tangannya. Fikar memandangnya dengan heran. Apa mereka saling mengenal?
“Townhouse ini amat mewah, letaknya juga
amat strategis. Saya heran bisa mendapatkannya dengan harga murah seperti ini.”
ucap Adit. “Apalagi sebagai pasangan muda yang terbiasa ngontrak seperti kami, rumah
ini bak durian runtuh.”
“Apalagi
saya,” timpal Pak RW, “Selama ini saya yang tinggal di pemukiman kumuh dekat
sini, hanya bisa ngiler punya tanah di tempat seelit ini.”
“Ah, Pak RW
ini hanya merendah. Kan di sini Bapak dikenal sebagai bos bemo yang kaya raya.”
goda Pak Fathur. “Istri pun sudah ada beberapa.”
“Beberapa?”
lirik Bu Isma dengan curiga.
“Kapan-kapan
saya akan kenalkan.” Pak RW menyeringai, “Kapan kita kumpul lagi? Malam
minggu?”
“Ah iya,
sebagai permintaan maaf karena tak bisa hadir hari ini, Bu Ummi mengajukan diri
untuk menyiapkan pesta selamatan di rumahnya Sabtu ini. Kita semua pasti sudah
pindah ke sini kan pada hari itu?”
“Kau juga
bisa mengajak temanmu kok, Kar.” ibunya menoleh ke arahnya.
Fikar
menghela napasnya. Teman yang mana? Gara-gara orang tuanya, kini ia harus
pindah sekolah lagi. Beberapa tahun terakhir semenjak masuk SMA, ia sudah
berhenti berusaha untuk berteman. Toh, pada akhirnya ia juga akan pindah lagi
kan?
“Teman yang mana,
Bu? Aku kan baru masuk sekolah yang baru hari Senin kemarin.”
“Temanmu dari
sekolah yang lama dong, Nak.”
Fikar
memutar-mutar bola matanya, “Yah, aku yakin mereka akan kegirangan jika harus
menempuh perjalanan dari Bekasi untuk berpesta semalam suntuk dengan sekumpulan
bapak-bapak.”
“Jangan
ngomong begitu, Sayang. Mama yakin kau akan segera menemukan teman baru.
Percaya saja.” ujarnya sambil mengelus kepala Fikar.
Fikar hanya
menghela napas lagi, apalagi menyaksikan kakaknya memamerkan kemesraannya
dengan kekasihnya di hadapannya.
Namun ketika
memutuskan keluar, Fikar amat terkejut melihat siapa yang kini berdiri di depan
rumah barunya itu.
BERSAMBUNG
Bang, bahas novel blood meridian dong, pliss....
ReplyDelete