Sunday, July 14, 2024

SHIO: BAB 2 – PRIBUMI

 Fikar bertemu dengan dua teman baru yang akan menjelaskan, mengapa kepindahannya ke rumah baru itu mungkin saja suatu langkah yang akan membawa malapetaka bagi keluarga mereka.

 

Fikar akhirnya memutuskan keluar. Hanya jokes garing ala bapak-bapak yang ia dengar di dalam dan ia pun hanya bisa menggerutu melihat kemesraan kakaknya yang dirasanya tak tahu malu itu. Begitu menginjakkan kaki di tangga depan, ia melihat dua anak SMA, masih dengan seragam putih abu-abu, tengah berbicara tepat di depan townhouse yang baru dibeli orang tuanya itu.

“Halo?” Fikar tertarik dengan logo sekolah yang mereka kenakan di saku baju mereka. “Kalian dari SMA Taruna Bakti Husada juga?”

Mereka berdua, satu lelaki dan satu perempuan, menatapnya keheranan.

Melihat wajah kebingungan mereka, Fikar segera menyibak jaketnya. “Lihat, aku dari SMA yang sama, kelas tiga. Namun aku baru masuk Senin ini, jadi wajar kalian jika nggak mengenaliku.”

“Oh, kau siswa baru itu!” tunjuk sang gadis, “Aku sudah dengar tentangmu. Aku anak kelas 3 juga, tapi beda kelas.”

“Dan aku anak kelas 2, tapi aku lebih tua dari kalian karena aku sempat tak naik tiga kali, ah sudahlah …”

“Maaf, kalian ….” tunjuk Fikar.

“Namaku Elliot, yah aku tahu, nama kebarat-baratan, tapi kau bisa memanggilku El.” Pemuda itu mengajaknya bersalaman, “Dan ini …”

“Aku Radinda, tapi kau bisa memanggilku Dinda.” gadis itu tersenyum ke arahnya, “Senang berkenalan denganmu.”

“Oh, namaku Zulfikar.” balasnya.

Gadis itu kembali tersenyum, “Ya, kami tahu.”

“Uhm, kau menempel namamu di baju seragammu.” tunjuk El. “Tak ada yang melakukannya di sekolah kami. Karena itu kami tahu kau anak baru.”

“Eh,” Fikar dengan heran menatap namanya, “Tapi ini diberikan dari sekolah kok.”

“Ya, kami tahu. Tapi kau bisa jadi sasaran bully jika orang-orang tahu namamu. Apalagi jika bertemu anak dari sekolah lain, kau bisa jadi incaran.”  balas Dinda.

“Oh, aku tidak tahu itu! Nanti aku akan melepasnya. Terima kasih!”

“Ehm, kau tidak kebetulan tinggal di tempat ini kan?” tanya El dengan ragu-ragu.

Fikar menatap rumah-rumah lain di deretan townhouse itu. tampak baru dan indah. Namun cara kedua teman barunya itu memandang rumahnya, entahlah, seperti rasa takut?

“Sayangnya iya,” jawab Fikar, “Papaku baru saja membeli rumah ini dan mamaku juga kebetulan adalah agen properti yang menjual keempat rumah lainnya di townhouse ini kepada para pemiliknya sekarang. Ada apa memangnya?”

“Kutebak ayahmu membelinya dengan harga murah?” selidik El lagi.

“Ya, kurasa begitu. Jika dibandingkan dengan amenities yang kami dapatkan, maksudnya ada tiga lantai, lokasinya di pusat kota dan dekat halte busway, kurasa iya.”

El dan Dinda saling menatap.

“Apa kau tak curiga mengapa mereka menjualnya dengan harga murah?”

“Kenapa memang?” Fikar memicingkan mata.

“Astaga, jadi kau benar-benar tak tahu?” tanya Dinda keheranan.

“Tahu apa?”

“Kita tunjukkan kepadanya?” El menatap Dinda, meminta persetujuannya. Fikar hanya mampu menatap mereka dengan keheranan.

 

***

 

Kedua remaja itu mengajak Fikar memutari kompleks townouse itu. Mereka bahkan terlihat lebih mengenal tempat itu ketimbang Fikar sendiri.

“Lihat! Untung belum dirubuhkan!” El menunjuk ke sebuah tembok dengan warna putih yang kusam, sebagian juga telah menyerah ditelanjangi waktu dan menyisakan fasad batu bata merah yang berlumut. Namun, masih ada yang tersisa dari masa lalunya: sebuah tulisan masih terbaca di dindingnya.

Pribumi?” tanya Fikar heran. Iapun menoleh ke arah kedua teman barunya itu. “Apa ini?”

“Kau pernah dengar Tragedi Kerusuhan Mei 1998?” tanya Dinda.

“Tentu saja, kita pernah belajar itu kan pas pelajaran sejarah di sekolah? Kerusuhan yang terjadi saat krisis moneter yang menyebabkan mundurnya Presiden Soeharto dan menandai berakhirnya masa Orde Baru?”

“Jadi kau pasti tahu asal tulisan ‘Pribumi’ ini?”

Fikar menoleh ke arah tembok yang menyisakan relik tempo dulu itu dan menatapnya lekat-lekat. “Ya sepertinya aku ingat. Kala itu banyak yang menuliskan kata ini di tembok luar kediaman mereka supaya rumah mereka tidak dijarah atau dibakar. Jangan-jangan …”

“Ya benar. Rumahmu dan rumah lain di townhouse itu, semua dibangun di atas rumah-rumah yang dibakar pada saat kerusuhan 1998 itu.”


BERSAMBUNG

No comments:

Post a Comment