Tuesday, November 14, 2023

LOVELESS CREATION – CHAPTER 7: THE BLIND IDIOT GOD

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

“Monster yang memakan planet? Makhluk organisme tunggal yang serukuran planet?”

“Sejujurnya aku sedih kau justru lebih tertarik dengan itu, Elena. Apakah kau tak terkesima dengan kenyataan bahwa ada kehidupan ekstraterestrial di luar sana yang memiliki kecerdasan tanpa batas dan mengetahui rahasia alam semesta?”

“Na ... namun isi buku ini amatlah mustahil, Prof! Apa kau yakin ini bukanlah fiksi semata?”

“Awalnya kami juga berpikir begitu. Namun lihatlah kertas-kertas kisut yang kau pegang itu ... apakah kau pikir mereka hanya menuliskan dongeng bualan yang konyol di atas kulit manusia?”

“Kulit manusia?” Elena mengernyit jijik hingga menjatuhkan buku itu, “Halaman-halaman buku ini terbuat dari kulit manusia?”

“Hei, hati-hati! Kau bisa merusaknya!” dengan sigap Profesor Eldritch menangkapnya. “Kau masih mau membacanya lagi atau tidak? Kisah-kisah berikutnya akan semakin menarik lho.”

Elena menggeleng, “Tidak, Dok! Aku tak mau menyentuhnya lagi.”

“Kalau begitu kubacakan saja, mau?”

Elena hanya terdiam. Sesungguhnya ia merasa ngeri dengan buku itu. Siapa yang bisa menjamin bukan pembunuh berantai psikopat yang menulisnya? Namun rasa penasaran terus-menerus menggelitiknya. Akan bercerita tentang apakah kisah selanjutnya?

“Akan kuanggap diammu sebagai jawaban 'iya'.” Profesor Eldritch kemudian membacakan cerita selanjutnya, “Cerita berikutnya tentang anak-anak yang memiliki berkah menakjubkan. Namun sayang, mereka justru mendapatkan perlakuan yang tidak adil dari orang tua mereka ...”

“Oya, bersiap saja,” potongnya, “Sebab kisahnya akan cukup panjang.”

***

 

IBU mana yang tak sedih jika harus berpisah dengan anaknya?

Itulah yang dirasakan Martha ketika ia menuntun Adit masuk ke dalam gedung abu-abu itu. Sementara itu anak bungsunya, Rama, masih menanti di dalam mobil.

“Apa kau yakin ini yang terbaik?” tanya Martha pada suaminya. Air mata hampir menitik di pelupuk matanya.

“Tentu saja, Sayang.” jawab Chris, “Rumah sakit ini memiliki fasilitas untuk merawatnya. Ada banyak dokter juga di sini yang bisa membantunya. Lebih baik dia berada di sini ketimbang di rumah kita.”`

“Tapi, Chris ...” Martha tahu suaminya takkan mengerti. Bukan dia yang sudah mengandung anak itu selama sembilan bulan, menahan semua rasa mual dan lelah, melahirkannya ke dunia, hingga terbangun tengah malam karena tangisannya lalu menyusuinya. Chris mungkin menggendong dan menidurkannya dalam buaian, tetapi hanya sejauh itu yang ia pernah lakukan untuk anak itu.

Martha pernah mendengar bahwa seorang anak akan selalu dekat dengan ibunya karena memiliki lebih banyak DNA ibunya ketimbang ayahnya. Ayah dan ibu memang sama-sama menyumbangkan 50 persen DNA kromosom kepada anak mereka, tetapi sang ibu juga menyumbangkan DNA mitokondria, sementara sang ayah tidak.

Namun di atas semua itu, Martha mengerti bahwa Chris benar, bahwa mereka tak bisa lagi merawatnya di rumah mereka. Setelah berkonsultasi dengan dokter kandungan, Chris dan Martha mengetahui bahwa jabang bayi mereka mengidap apa yang disebut Sindrom Exogenesis. Janinnya dibuahi dan tumbuh di luar rahim, sebuah kondisi yang langka dan juga berbahaya.

Dokter mengerti jika mereka ingin mengaborsi janin itu, toh kesempatannya untuk selamat amatlah kecil. Belum lagi, jika janin itu bisa selamat, ia harus dilahirkan secara prematur dan mungkin kehilangan sebagian besar kemampuan kognitif serta psikomotorik otaknya. Dengan kata lain, jikapun selamat, ia akan cacat, baik mental maupun fisiknya.

Namun, Martha memutuskan untuk mempertahankannya. Jikapun nanti janinnya meninggal, ia ingin itu karena keputusan Tuhan, bukan karena keputusan manusia.

Dan memang, bayi itu lahir, setelah operasi caesar yang lama dan menyakitkan untuk mengeluarkannya, karena hampir mustahil ia akan dilahirkan dengan cara normal. Semua perkiraan dokter benar. Hingga usia 12 tahun, anak mereka, Adit, sama sekali tak bisa berbicara dan berkomunikasi dengan siapapun. Matanya selalu kosong, terpenjara dalam dunianya sendiri.

Mereka semula menganggap Adit mengidap salah satu spektrum autisme, tetapi semua ahli yang mereka temui mengatakan hal lain. Kecerdasannya bahkan di atas rata-rata. Mereka merasa Adit sebenarnya mampu berbicara dan berkomunikasi; dia hanya tidak mau. Dia seakan menunggu sesuatu. Bahkan ada psikolog anak lain yang mengatakan bahwa ia tak melakukannya karena ia takut.

Takut? Takut akan apa? Mereka sebagai orang tuanya selalu memperlakukannya dengan baik. Tak ada yang lebih Martha cintai selain anaknya itu.

Kemudian setelah Rama, anak kedua mereka lahir, mereka sudah tak sanggup lagi. Mereka harus menelan kenyataan pahit bahwa mereka harus mengorbankan salah satunya. Jika tidak, maka perkembangan Rama juga bisa terganggu. Merawat Adit benar-benar menghabiskan seluruh tenaga, waktu mereka, dan sekeras apapun mereka coba tak mengakuinya, juga uang mereka.

Kemudian mereka mendengar tentang Profesor Alghiffari. Pamfletnya ada dimana-mana, bahkan di iklan YouTube dimana Martha sedang mencari informasi tentang apa yang dialami putranya.

Ia mengaku sebagai ahli Sindrom Exogenesis. Ia bahkan dengan aktif mencari anak-anak penderita sindrom itu dan menawarkan untuk merawat mereka di rumah sakit miliknya dengan gratis. Menurut apa yang Martha lihat, gedung itu amat besar, modern, serta fasilitasnya amat lengkap.

Chris menganggap itu sebagai kesempatan dari surga. Martha, walaupun dengan berat hati, akhirnya menyetujuinya dengan pertimbangan mungkin kehidupan Adit akan sedikit lebih baik di sana, dimana dia dimengerti.

“Bapak dan Ibu Chris?” seorang perawat menyambut mereka, “Nama saya Frida. Selamat datang di rumah sakit ini.”

“I ... ini bukan rumah sakit jiwa kan?” Martha bertanya dengan cemas.

“Oh, tentu saja bukan.” jawab perawat itu sambil tersenyum, “Ini adalah fasilitas medis, Anda bisa menyebutnya begitu. Mari ikuti saya, Profesor Alghiffari sudah menunggu Anda berdua.”

Perawat itu sama sekali tidak mengacuhkan keberadaan Adit. Mungkin ia sudah lama bekerja bersama anak-anak yang mengindap sindrom yang sama dengan anaknya, sehingga ia tahu usaha komunikasi apapun dengan anaknya akan percuma. Begitu pikir Martha.

Kantor profesor itu terlihat amat kuno, berlawanan dengan interior rumah sakit ini yang amat modern. Panel-panel kayu menutupi dindingnya, diserta rai-rak buku kayu yang bervernis cokelat, sofa bergaya Victoria dengan bantal rajutan, serta sebuah meja jati berukir yang besar dan kokoh dengan jendela menghadap pepohonan yang mulai meranggas di halaman luar.

“Ini pasti orang tuanya Adit,” sambut pria berkepala botak itu ketika keluarga itu memasuki kantornya, “Sangat senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda.”

“Terima kasih sudah menerima kami, Prof.” Chris segera maju untuk menyalaminya.

“Bagaimana dengan perjalanan Anda berdua kemari? Apakah ....”

“Bagaimana Anda akan merawat anak kami?” potong Martha tiba-tiba. Basa-basi bukanlah kebiasaannya, apalagi jika menyangkut masa depan anaknya. “Terapi apa yang akan kalian lakukan? Apa kami masih bisa mengunjunginya?”

Chris segera menegur istrinya yang dirasanya tidak sopan, tapi profesor berdarah Siria itu justru tertawa.

“Wah, Ibu sungguh to the point sekali. Jangan khawatir, kami selalu memperlakukan pasien kami bak raja,” profesor itu berdiri dari kursinya dan mulai berjalan ke arah pasangan itu, “Memang ada kesan bahwa rumah sakit kami seperti sebuah rumah sakit jiwa. Para orang tua seringkali khawatir anak-anak mereka akan mendapat stigma sebagai penderita gangguan jiwa. Namun, yang terjadi sesungguhnya malah kebalikannya.”

Profesor itu menatap Adit sembari tersenyum, “Anak Anda justru sangat cerdas. Mereka memahami rahasia kosmos.”

“Rahasia kosmos?” tanya Martha, “Apa maksudnya?”

“Silakan duduk, saya akan menjelaskannya kepada Anda.”

Merekapun duduk dan profesor itu berdiri di depan mereka sembari bersandar di meja kayunya.

“Apa Anda percaya Teori Evolusi?”

“Ya, tentu saja,” kata Chris ragu sambil melirik istrinya. Ia tahu Martha adalah wanita yang teramat religius, “Saya pernah belajar tentangnya di sekolah.”

“Bagaimana dengan Anda?”

Martha hanya mengangguk, “Kurasa semua teori harus dibuktikan dulu, bukan? Namun saya tak keberatan mendengar pendapat Anda.”

“Seluruh makhluk hidup yang ada di Bumi ini berasal dari satu organisme tunggal yang disebut LUCA atau 'Last Universal Common Ancestor'. Kenapa kami bisa tahu bahwa LUCA ada? Sebab para ilmuwan telah mengomparasi gen dari seluruh makhluk hidup yang ada di Bumi dan menemukan bahwa kita semua, apapun spesiesnya, memiliki 355 gen yang sama, yang kemungkinan besar diturunkan oleh makhluk ini. Aeon demi aeon, gen-gen ini bermutasi dan berevolusi menjadi macam-macam kehidupan seperti sekarang, mulai dari bakteri, hewan, tumbuhan, fungi, hingga manusia.”

“Kami yakin salah satu gen ini merupakan gen ingatan. Artinya, memori evolusioner selama milyaran tahun, mulai dari LUCA pertama ada hingga berevolusi menjadi manusia, masih tersimpan dalam diri kita. Sebagai contoh, jika nenek moyang kita melihat dinosaurus, maka ada kemungkinan ingatan itu masih tersimpan dalam gen itu.”

“Memori evolusioner? Tapi tunggu dulu ...” potong Chris, “Jika gen itu benar-benar ada mengapa kita tak bisa mengingat kehidupan kita sebelumnya?”

“Sebab pada manusia normal, gen itu tidaklah diekspresikan. Namun uniknya, penelitian kami menemukan bahwa pada anak dengan Sindrom Exogenesis, gen itu berada dalam keadaan aktif.” profesor itu ganti memandang Adit.

“Aktif, apa maksudnya itu?” tanya Martha, masih terkandung kecemasan seorang ibu dalam suaranya.

“Dia tidak pernah berbicara, bukan? Padahal semua dokter yang Anda berdua temui pasti menyatakan bahwa ia sebenarnya mampu berbicara.” profesor itu balik memandangnya. “Ia menekannya karena merasa takut.”

“Takut? Takut pada apa?” tanya Martha kembali. Ini bukan pertama kalinya para ahli yang menangani anaknya menyebut kata tersebut.

“Takut pada semua monster yang pernah ia lihat selama proses evolusi berlangsung. Pada semua jenis predator yang pernah ia hadapi dalam kehidupan sebelumnya, semenjak Bumi masih sangat muda.” profesor itu menatapnya tajam “Bayangkan Anda sedang bermimpi buruk, tapi mimpi itu terus datang membayangi Anda, bahkan ketika mata Anda sedang terbuka.”

“I ... itu penjelasan yang agak aneh,” komentar Chris, “Agak ...”

“Esoterik?” tanya profesor itu, “Namun jangan khawatir. Justru karena kami memiliki sudut pandang yang berbeda, maka kami memiliki pendekatan yang lain pula terhadap anak Anda. Dan teknik ini kemungkinan akan berhasil, sebab selama ini kami berkonsentrasi pada anak dengan Sindrom Exogenesis. Bukankah Anda sudah datang ke banyak ahli, akan tetapi tak ada satupun yang berhasil?”

Chris menghela napas. “Anda benar. Kurasa tak ada salahnya kami mencoba.”

“Anda belum menjawab pertanyaan kami tadi,” kata Martha, “Apa kami masih bisa menemui anak kami?”

“Mengunjunginya maksud Anda? Tentu saja! Namun beri kami waktu seminggu, kami yakin anak Anda akan mampu berbicara pada saat itu.” jawabnya penuh keyakinan.

Martha tersenyum dengan wajah ceras. Kharisma profesor itu mampu meluluhkan bahkan hati se-skeptis Martha sekalipun.

“Baiklah, Prof! Kami memasrahkan anak kami kepada Anda, tapi berjanjilah.” ia menatap Adit untuk terakhir kalinya, kali ini dengan mata berlinang air mata, “Jagalah anak saya baik-baik.”

“Tentu saja,” jawab Profesor Alghiffari, “Dia amat berharga bagi kami!”

 

BERSAMBUNG

6 comments:

  1. Namanya sama kaya anak gw bang,anak gw juga ada kelainan,hyper aktif

    ReplyDelete
  2. Lanjut bang dave ,mantap,keren ceritanya

    ReplyDelete
  3. Ditunggu kelanjutannya bang

    ReplyDelete
  4. wasu!! mulai lagi deh ga bisa berenti baca kalo bang dave udah bikin cerita

    ReplyDelete