A LOVECRAFTIAN NOVEL
“Monster
yang memakan planet? Makhluk organisme tunggal yang serukuran planet?”
“Sejujurnya
aku sedih kau justru lebih tertarik dengan itu, Elena. Apakah kau tak terkesima
dengan kenyataan bahwa ada kehidupan ekstraterestrial di luar sana yang
memiliki kecerdasan tanpa batas dan mengetahui rahasia alam semesta?”
“Na
... namun isi buku ini amatlah mustahil, Prof! Apa kau yakin ini bukanlah fiksi
semata?”
“Awalnya
kami juga berpikir begitu. Namun lihatlah kertas-kertas kisut yang kau pegang
itu ... apakah kau pikir mereka hanya menuliskan dongeng bualan yang konyol di
atas kulit manusia?”
“Kulit manusia?” Elena mengernyit jijik hingga menjatuhkan buku itu, “Halaman-halaman buku ini terbuat dari kulit manusia?”
“Hei,
hati-hati! Kau bisa merusaknya!” dengan sigap Profesor Eldritch menangkapnya.
“Kau masih mau membacanya lagi atau tidak? Kisah-kisah berikutnya akan semakin
menarik lho.”
Elena
menggeleng, “Tidak, Dok! Aku tak mau menyentuhnya lagi.”
“Kalau
begitu kubacakan saja, mau?”
Elena
hanya terdiam. Sesungguhnya ia merasa ngeri dengan buku itu. Siapa yang bisa
menjamin bukan pembunuh berantai psikopat yang menulisnya? Namun rasa penasaran
terus-menerus menggelitiknya. Akan bercerita tentang apakah kisah selanjutnya?
“Akan
kuanggap diammu sebagai jawaban 'iya'.” Profesor Eldritch kemudian membacakan
cerita selanjutnya, “Cerita berikutnya tentang anak-anak yang memiliki berkah
menakjubkan. Namun sayang, mereka justru mendapatkan perlakuan yang tidak adil
dari orang tua mereka ...”
“Oya,
bersiap saja,” potongnya, “Sebab kisahnya akan cukup panjang.”
***
IBU mana yang tak sedih jika harus berpisah dengan anaknya?
Itulah
yang dirasakan Martha ketika ia menuntun Adit masuk ke dalam gedung abu-abu
itu. Sementara itu anak bungsunya, Rama, masih menanti di dalam mobil.
“Apa
kau yakin ini yang terbaik?” tanya Martha pada suaminya. Air mata hampir
menitik di pelupuk matanya.
“Tentu
saja, Sayang.” jawab Chris, “Rumah sakit ini memiliki fasilitas untuk
merawatnya. Ada banyak dokter juga di sini yang bisa membantunya. Lebih baik
dia berada di sini ketimbang di rumah kita.”`
“Tapi,
Chris ...” Martha tahu suaminya takkan mengerti. Bukan dia yang sudah
mengandung anak itu selama sembilan bulan, menahan semua rasa mual dan lelah,
melahirkannya ke dunia, hingga terbangun tengah malam karena tangisannya lalu
menyusuinya. Chris mungkin menggendong dan menidurkannya dalam buaian, tetapi
hanya sejauh itu yang ia pernah lakukan untuk anak itu.
Martha
pernah mendengar bahwa seorang anak akan selalu dekat dengan ibunya karena
memiliki lebih banyak DNA ibunya ketimbang ayahnya. Ayah dan ibu memang
sama-sama menyumbangkan 50 persen DNA kromosom kepada anak mereka, tetapi sang
ibu juga menyumbangkan DNA mitokondria, sementara sang ayah tidak.
Namun
di atas semua itu, Martha mengerti bahwa Chris benar, bahwa mereka tak bisa
lagi merawatnya di rumah mereka. Setelah berkonsultasi dengan dokter kandungan,
Chris dan Martha mengetahui bahwa jabang bayi mereka mengidap apa yang disebut
Sindrom Exogenesis. Janinnya dibuahi dan tumbuh di luar rahim, sebuah kondisi
yang langka dan juga berbahaya.
Dokter
mengerti jika mereka ingin mengaborsi janin itu, toh kesempatannya untuk
selamat amatlah kecil. Belum lagi, jika janin itu bisa selamat, ia harus
dilahirkan secara prematur dan mungkin kehilangan sebagian besar kemampuan
kognitif serta psikomotorik otaknya. Dengan kata lain, jikapun selamat, ia akan
cacat, baik mental maupun fisiknya.
Namun,
Martha memutuskan untuk mempertahankannya. Jikapun nanti janinnya meninggal, ia
ingin itu karena keputusan Tuhan, bukan karena keputusan manusia.
Dan
memang, bayi itu lahir, setelah operasi caesar yang lama dan menyakitkan
untuk mengeluarkannya, karena hampir mustahil ia akan dilahirkan dengan cara
normal. Semua perkiraan dokter benar. Hingga usia 12 tahun, anak mereka, Adit,
sama sekali tak bisa berbicara dan berkomunikasi dengan siapapun. Matanya
selalu kosong, terpenjara dalam dunianya sendiri.
Mereka
semula menganggap Adit mengidap salah satu spektrum autisme, tetapi semua ahli
yang mereka temui mengatakan hal lain. Kecerdasannya bahkan di atas rata-rata.
Mereka merasa Adit sebenarnya mampu berbicara dan berkomunikasi; dia hanya
tidak mau. Dia seakan menunggu sesuatu. Bahkan ada psikolog anak lain yang
mengatakan bahwa ia tak melakukannya karena ia takut.
Takut? Takut akan apa?
Mereka sebagai orang tuanya selalu memperlakukannya dengan baik. Tak ada yang
lebih Martha cintai selain anaknya itu.
Kemudian
setelah Rama, anak kedua mereka lahir, mereka sudah tak sanggup lagi. Mereka
harus menelan kenyataan pahit bahwa mereka harus mengorbankan salah satunya.
Jika tidak, maka perkembangan Rama juga bisa terganggu. Merawat Adit benar-benar
menghabiskan seluruh tenaga, waktu mereka, dan sekeras apapun mereka coba tak
mengakuinya, juga uang mereka.
Kemudian
mereka mendengar tentang Profesor Alghiffari. Pamfletnya ada dimana-mana,
bahkan di iklan YouTube dimana Martha
sedang mencari informasi tentang apa yang dialami putranya.
Ia
mengaku sebagai ahli Sindrom Exogenesis. Ia bahkan dengan aktif mencari
anak-anak penderita sindrom itu dan menawarkan untuk merawat mereka di rumah
sakit miliknya dengan gratis. Menurut apa yang Martha lihat, gedung itu amat
besar, modern, serta fasilitasnya amat lengkap.
Chris
menganggap itu sebagai kesempatan dari surga. Martha, walaupun dengan berat
hati, akhirnya menyetujuinya dengan pertimbangan mungkin kehidupan Adit akan
sedikit lebih baik di sana, dimana dia dimengerti.
“Bapak
dan Ibu Chris?” seorang perawat menyambut mereka, “Nama saya Frida. Selamat
datang di rumah sakit ini.”
“I
... ini bukan rumah sakit jiwa kan?” Martha bertanya dengan cemas.
“Oh,
tentu saja bukan.” jawab perawat itu sambil tersenyum, “Ini adalah fasilitas
medis, Anda bisa menyebutnya begitu. Mari ikuti saya, Profesor Alghiffari sudah
menunggu Anda berdua.”
Perawat
itu sama sekali tidak mengacuhkan keberadaan Adit. Mungkin ia sudah lama
bekerja bersama anak-anak yang mengindap sindrom yang sama dengan anaknya,
sehingga ia tahu usaha komunikasi apapun dengan anaknya akan percuma. Begitu
pikir Martha.
Kantor
profesor itu terlihat amat kuno, berlawanan dengan interior rumah sakit ini
yang amat modern. Panel-panel kayu menutupi dindingnya, diserta rai-rak buku
kayu yang bervernis cokelat, sofa bergaya Victoria dengan bantal rajutan, serta
sebuah meja jati berukir yang besar dan kokoh dengan jendela menghadap
pepohonan yang mulai meranggas di halaman luar.
“Ini
pasti orang tuanya Adit,” sambut pria berkepala botak itu ketika keluarga itu
memasuki kantornya, “Sangat senang akhirnya bisa bertemu dengan Anda.”
“Terima
kasih sudah menerima kami, Prof.” Chris segera maju untuk menyalaminya.
“Bagaimana
dengan perjalanan Anda berdua kemari? Apakah ....”
“Bagaimana
Anda akan merawat anak kami?” potong Martha tiba-tiba. Basa-basi bukanlah
kebiasaannya, apalagi jika menyangkut masa depan anaknya. “Terapi apa yang akan
kalian lakukan? Apa kami masih bisa mengunjunginya?”
Chris
segera menegur istrinya yang dirasanya tidak sopan, tapi profesor berdarah Siria
itu justru tertawa.
“Wah,
Ibu sungguh to the point sekali. Jangan khawatir, kami selalu
memperlakukan pasien kami bak raja,” profesor itu berdiri dari kursinya dan
mulai berjalan ke arah pasangan itu, “Memang ada kesan bahwa rumah sakit kami
seperti sebuah rumah sakit jiwa. Para orang tua seringkali khawatir anak-anak
mereka akan mendapat stigma sebagai penderita gangguan jiwa. Namun, yang
terjadi sesungguhnya malah kebalikannya.”
Profesor
itu menatap Adit sembari tersenyum, “Anak Anda justru sangat cerdas. Mereka
memahami rahasia kosmos.”
“Rahasia
kosmos?” tanya Martha, “Apa maksudnya?”
“Silakan
duduk, saya akan menjelaskannya kepada Anda.”
Merekapun
duduk dan profesor itu berdiri di depan mereka sembari bersandar di meja
kayunya.
“Apa
Anda percaya Teori Evolusi?”
“Ya,
tentu saja,” kata Chris ragu sambil melirik istrinya. Ia tahu Martha adalah
wanita yang teramat religius, “Saya pernah belajar tentangnya di sekolah.”
“Bagaimana
dengan Anda?”
Martha
hanya mengangguk, “Kurasa semua teori harus dibuktikan dulu, bukan? Namun saya
tak keberatan mendengar pendapat Anda.”
“Seluruh
makhluk hidup yang ada di Bumi ini berasal dari satu organisme tunggal yang
disebut LUCA atau 'Last Universal Common Ancestor'. Kenapa kami bisa tahu bahwa
LUCA ada? Sebab para ilmuwan telah mengomparasi gen dari seluruh makhluk hidup
yang ada di Bumi dan menemukan bahwa kita semua, apapun spesiesnya, memiliki
355 gen yang sama, yang kemungkinan besar diturunkan oleh makhluk ini. Aeon
demi aeon, gen-gen ini bermutasi dan berevolusi menjadi macam-macam kehidupan
seperti sekarang, mulai dari bakteri, hewan, tumbuhan, fungi, hingga manusia.”
“Kami
yakin salah satu gen ini merupakan gen ingatan. Artinya, memori evolusioner
selama milyaran tahun, mulai dari LUCA pertama ada hingga berevolusi menjadi
manusia, masih tersimpan dalam diri kita. Sebagai contoh, jika nenek moyang
kita melihat dinosaurus, maka ada kemungkinan ingatan itu masih tersimpan dalam
gen itu.”
“Memori
evolusioner? Tapi tunggu dulu ...” potong Chris, “Jika gen itu benar-benar ada
mengapa kita tak bisa mengingat kehidupan kita sebelumnya?”
“Sebab
pada manusia normal, gen itu tidaklah diekspresikan. Namun uniknya, penelitian
kami menemukan bahwa pada anak dengan Sindrom Exogenesis, gen itu berada dalam
keadaan aktif.” profesor itu ganti memandang Adit.
“Aktif,
apa maksudnya itu?” tanya Martha, masih terkandung kecemasan seorang ibu dalam
suaranya.
“Dia
tidak pernah berbicara, bukan? Padahal semua dokter yang Anda berdua temui
pasti menyatakan bahwa ia sebenarnya mampu berbicara.” profesor itu balik
memandangnya. “Ia menekannya karena merasa takut.”
“Takut?
Takut pada apa?” tanya Martha kembali. Ini bukan pertama kalinya para ahli yang
menangani anaknya menyebut kata tersebut.
“Takut
pada semua monster yang pernah ia lihat selama proses evolusi berlangsung. Pada
semua jenis predator yang pernah ia hadapi dalam kehidupan sebelumnya, semenjak
Bumi masih sangat muda.” profesor itu menatapnya tajam “Bayangkan Anda sedang
bermimpi buruk, tapi mimpi itu terus datang membayangi Anda, bahkan ketika mata
Anda sedang terbuka.”
“I
... itu penjelasan yang agak aneh,” komentar Chris, “Agak ...”
“Esoterik?”
tanya profesor itu, “Namun jangan khawatir. Justru karena kami memiliki sudut
pandang yang berbeda, maka kami memiliki pendekatan yang lain pula terhadap
anak Anda. Dan teknik ini kemungkinan akan berhasil, sebab selama ini kami
berkonsentrasi pada anak dengan Sindrom Exogenesis. Bukankah Anda sudah datang
ke banyak ahli, akan tetapi tak ada satupun yang berhasil?”
Chris
menghela napas. “Anda benar. Kurasa tak ada salahnya kami mencoba.”
“Anda
belum menjawab pertanyaan kami tadi,” kata Martha, “Apa kami masih bisa menemui
anak kami?”
“Mengunjunginya
maksud Anda? Tentu saja! Namun beri kami waktu seminggu, kami yakin anak Anda
akan mampu berbicara pada saat itu.” jawabnya penuh keyakinan.
Martha
tersenyum dengan wajah ceras. Kharisma profesor itu mampu meluluhkan bahkan
hati se-skeptis Martha sekalipun.
“Baiklah,
Prof! Kami memasrahkan anak kami kepada Anda, tapi berjanjilah.” ia menatap
Adit untuk terakhir kalinya, kali ini dengan mata berlinang air mata, “Jagalah
anak saya baik-baik.”
“Tentu
saja,” jawab Profesor Alghiffari, “Dia amat berharga bagi kami!”
BERSAMBUNG
Namanya sama kaya anak gw bang,anak gw juga ada kelainan,hyper aktif
ReplyDeleteLanjut bang dave ,mantap,keren ceritanya
ReplyDeleteDitunggu kelanjutannya bang
ReplyDeleteTh
ReplyDeletewasu!! mulai lagi deh ga bisa berenti baca kalo bang dave udah bikin cerita
ReplyDeleteMenarik 😏
ReplyDelete