A LOVECRAFTIAN NOVEL
“Dimana
Luke?” tanya Amara dengan resah. Sam membaringkan dirinya di atas ranjang
klinik di pesawat mereka. “Seharusnya dia sudah kembali sekarang.”
“Jangan
khawatirkan dia!” dengus Sam dengan kesal, “Dia yang mencari masalah sendiri.”
“Jangan
lupa, Sam! Hanya dia yang bisa membantu kita keluar dari planet ini.”
Sam
menghela napas, “Baiklah, akan kucari dia ...”
“Amara!
Sam!” tiba-tiba radio mereka berbunyi, “Ce ... cepat buka pintunya!”
“Itu suara Luke!” Amara segera terbangun. “Kita harus menolongnya! Dia terdengar berada dalam kesulitan.”
“Bukankah
dia bisa membuka pintunya sendiri? Ini aneh?” Sam merasakan kejanggalan, namun
ia tetap bergegas untuk membuka pintu pesawat mereka.
Udara
dalam atmosfer planet itu berhembus masuk ketika ia membuka pintu itu. Luke
langsung ambruk ke dalam dalam kondisi berlumuran darah. Sam langsung mengerti
mengapa Luke tak mampu membuka pintu itu sendirian.
Salah
satu lengannya telah lenyap, seakan tercabut dari torsonya, meninggalkan darah
yang mulai menggenang di lantai.
“Astaga!
Apa yang terjadi padamu?” Sam langsung menariknya masuk dan menutup pintu itu
rapat-rapat. Dilihatnya kondisi di luar melalui jendela untuk memastikan tak
ada yang mengikutinya.
“Ki
... kita harus pergi dari planet ini!” gigi Luke bergemeretak, seolah-olah ia
telah menyaksikan sesuatu yang amat mengerikan, “SEKARANG!”
“Ada
apa ini?” tanya Amara tiba-tiba.
“Tapi
hanya kau yang tahu caranya pergi dari sini!” balas Sam.
Dengan
satu tangannya yang tersisa, ia merogoh sakunya dengan kepayahan dan
mengeluarkan sebuah kunci, lalu melemparkannya ke arah Sam.
“Tuas
itu! Tuas berwarna merah yang berada dalam kotak kaca. Tuas yang ada di depan
kursiku ... dorong tuas itu maju ke depan! Ingat, jangan tarik tuas itu ke
belakang!”
Sam
bergegas ke panel kendali dan duduk di kursi kapten. Dilihatnya sebuah tuas
merah sesuai perkataan Luke tadi. Dibukanya kotak kaca itu menggunakan kunci
yang diberikan Luke. Iapun menggenggam tuas itu dengan tangannya dan ...
“JANGAN!”
teriak Amara tiba-tiba, “Jangan lakukan itu! Dia berbohong!”
'”Apa
maksudnya?” Sam menoleh ke arah gadis itu dengan raut bingung.
“Jika
kau lakukan itu, pesawat ini akan menghancurkan dirinya sendiri.” Amara menatap
Luke, “Benar kan?”
“Self
destruct?” Sam makin tak paham, “Pesawat ini dilengkapi dengan sistem self-destruct?
Tapi ... bagaimana kau bisa tahu hal ini?”
“Aku
membaca pikirannya.”
“Apa?”
Amara
masih menatap Luke dengan tajam.
“Aku
tak tahu bagaimana, namun pikirannya berdengung di dalam kepalaku ... Kau harus
menarik tuasnya ke belakang, itu akan menciptakan wormhole.”
“JANGAN!”
teriak Luke, “Pesawat ini tak boleh kembali ke Bumi! Jika kau melakukannya, kau
akan menghancurkan planet kita!”
“Pembohong
keparat!” maki Sam, “Berapa kali kau harus membohongi kami, Luke?!”
“Kau
tidak mengerti! Kau tidak melihat apa yang aku lihat!” Luke tiba-tiba menarik
pistolnya.
“Sam!
Cepat bawa kita pergi dari sini!” jerit Amara.
Dengan
segera, Sam langsung menarik tuas itu ke belakang. Namun bersamaan dengan itu,
Luke menembakkan pistolnya hingga menciptakan lubang di pesawat itu.
***
“I
...itu semua terjadi?” Sam memandang Amara dengan tatapan tak percaya. “A ...
apa yang terjadi setelah itu?”
“Yang
jelas kau berhasil, Sam. Kau menyelamatkan kita.” Amara tersenyum, “Namun
lubang yang diciptakan akibat tembakan dari pistol itu Luke sempat merusak
pesawat dan menyebabkan pesawat kita jatuh setelah masuk ke dalam wormhole
itu ...”
“Dan
mundur selama 6 menit ...” Sam akhirnya mengerti. “Ta ... tapi apa yang terjadi
sebenarnya? Kau bilang kau bisa membaca pikirannya. Itu amat tidak mungkin ...”
“Kau
melihat kehidupan alien di luar sana. Apa kau masih tidak membuatmu menyadari
bahwa ada sistem lain di luar sana yang bekerja dengan cara main dan peraturan
yang berbeda dengan batasan-batasan yang kita miliki di Bumi?” tanya Amara,
“Setelah aku bertemu dengan kaum Mi-Go, tiba-tiba saja aku memiliki kekuatan
itu. Aku juga tak tahu ...”
“JAUHI
DIA, SAM!” terdengar suara di belakangnya. Pemuda itupun menoleh dan melihat
Bill tengah menodongkan senjatanya ke arah Amara.
“Komandan?”
tanya Sam, “A ... apa yang Anda lakukan?”
“Kau
harus tahu, kami sudah menguburkan Luke karena ia meninggal akibat tabrakan
itu. Namun Amara ... dia sudah mati bahkan sebelum itu ...”
“A
... apa maksud Anda?”
“Dia
sudah mati ketika ia masih di planet itu, Sam! Apapun yang ada di depan kita
... itu bukanlah Amara!”
“Saya
tak percaya lagi pada Anda, Komandan! Saya menghormati Anda, sungguh ... bahkan
saya sudah menganggap Anda sebagai ayah saya sendiri. Namun Anda membohongi
saya! Anda berbohong tentang misi itu!”
“Maksudmu
tentang wormhole? Harusnya itu menjadi sebuah kejutan yang manis, Sam.
Perjalanan yang seharusnya mencapai 300 hari dipersingkat menjadi hanya
beberapa detik. Kalian tak perlu mempelajari detail tentang misi kalian karena
akan mempengaruhi psikologi kalian. Sebagai tentara seharusnya kau tahu bahwa kau
hanya menuruti perintah, tak lebih dari itu!”
“Dan
sistem self-destruction itu? Anda ingin kami semua mati di sana!”
“Aku
hanya tak ingin kalian membawa virus atau kehidupan lain yang berbahaya dari
Mars kembali ke sini. Aku hanya menjaga keselamatan penduduk Bumi, Sam! Sistem itu
hanya dipergunakan pada keadaan yang sangat darurat dan jika memang tak ada
pilihan lain!”
Bill
masih menodongkan pistol itu ke arah Amara, tapi gadis itu hanya menanggapinya
dengan santai. Tak ada ketakutan sedikitpun terpancar dari wajahnya.
“Tapi
aku berkata jujur kali ini tentang gadis itu. Dia bukan Amara ... walaupun
memang terlihat seperti dia!”
“Bagaimana
Anda tahu?” tantang Sam, “Apa buktinya?”
“Ketika
kami menemukan pesawat kalian kandas, kami menemukan Luke sudah tewas karena
amputasinya dan kau sendiri dalam keadaan terluka parah hingga koma. Namun dia
... dia selamat tanpa luka lecet sedikitpun. Apa menurutmu itu masuk akal?”
Sam
balik menatap Amara. “A ... apa itu benar?”
Amara
hanya tersenyum.
“Kami
mencoba mewawancarainya bahkan pada suatu kesempatan kami berhasil membedahnya
dan hasilnya ... dia bukanlah Amara. Ada entitas lain yang mendiami tubuhnya.
Seekor parasit. Amara yang sesungguhnya telah terbunuh di planet itu dan
makhluk itu mengambil alih raganya. Sebelum kabur dari fasilitas kami, ia
sempat mengaku dan menyebut dirinya sebagai Mi-Go ...”
“Ta
...tawon raksasa itu?” bisik Sam tak percaya.
“Bukan
tawon, Sam.” Amara akhirnya membuka bibirnya, “Tapi jamur itu ...”
“Apa?”
“Jamur
yang menjulang tinggi bak pilar penopang langit di permukaan planet itu ...
itulah kami. Itulah Mi-Go.” senyumnya, “Pria tua itu memang benar, di kamus
kalian, kami disebut parasit. Kami hidup; kami memiliki kesadaran; kecerdasan
kami bahkan jauh melampaui ras kalian. Namun hanya ada satu kekurangan ... kami
terpenjara dalam tubuh pasif kami. Kami hanyalah menara-menara menyerupai batu
yang tak mampu melakukan apa-apa.”
“Karena
itulah, kami menguasai tubuh makhluk lain. Kami menghasilkan spora dari tubuh
asli kami yang kemudian terbang dan mendiami makhluk apapun yang berhasil kami
darati. Aku kebetulan berada di dalam tubuh tawon-tawon raksasa itu, yang
ironisnya, merupakan parasit juga bagi planet itu. Kemudian aku melihat tubuh
kalian ... sungguh sempurna ... dan itu membuatku tergoda ...”
“Apa
yang kau lakukan dengan Amara!” teriak Sam.
“Jangan
khawatir. Ia sama sekali tak menderita saat ia mati.” gadis itu tertawa,
“Justru dia harusnya bangga mendapat kehormatan didiami tubuhnya oleh ras
unggul dan nyaris sempurna seperti kami ...”
“Kau
... jadi kau yang dimaksud Luke saat ia ingin menghancurkan planet kami!
Kau-lah yang seharusnya tak kami bawa kembali ke Bumi ...”
Amara
tertawa, “Oh, kau lagi-lagi salah besar, Sam! Bukan aku, melainkan tubuhnya
sendiri.”
“Maksudmu
Luke? Apa yang terjadi dengannya?”
“Kau
harus mengerti terlebih dahulu planet apa yang kalian darati, Sam. Bahkan,
sesungguhnya benda itu bukanlah sebuah planet, melainkan seorang Outer Gods.”
“Outer
Gods?”
“Ya,
sesungguhnya planet itu adalah satu organisme tunggal. Ia adalah seekor dewa
yang dipanggil dengan nama Yuggoth.”
“Satu
makhluk hidup tunggal? Itu mustahil, ukurannya ratusan kali lebih besar
daripada Bumi!”
“Kitab
Suci seluruh agama di dunia menyebutkan bahwa jauh sebelum manusia ada, alam
kita ditempati oleh makhluk-makhluk raksasa. Ketika kalian membayangkan
raksasa, otak kecil kalian yang terbatas hanya mampu menafsirkannya sebagai
manusia dengan tinggi 5 atau 10 meter. Namun sesungguhnya, raksasa itu jauh
lebih besar. Satu makhluk itu bisa menggenggam seluruh tata surya dalam kepalan
tangannya. Mereka disebut Outer Gods!”
“Mereka
adalah sisa-sisa dari alam semesta yang tercipta sebelum ini. Mereka sudah ada
sebelum Big Bang. Namun, karena waktu mereka habis, seperti seluruh ciptaan
yang ada sebelumnya, maka alam semesta merekapun dihancurkan. Akan tetapi,
beberapa dari mereka berhasil selamat dan menyelinap masuk ke alam semesta yang
baru ini. Beberapa bahkan sengaja dibuang di ruang antardimensi, di luar alam
semesta ini sendiri.”
“Ada
Outer Gods yang amat berkuasa, hingga mampu melihat menembus waktu dan
mengetahui segalanya. Namun ada pula Outer Gods yang amat lemah hingga
mereka terus tertidur semenjak waktu tercipta. Yuggoth adalah salah satu yang
amat lemah. Pada awal mulanya, ketika alam semesta mereka masih ada, ia hanya
seukuran bakteri di planet asal mereka. Karena itulah, banyak parasit yang
kemudian tertarik mendiaminya.”
“Kau
salah satunya?”
“Bukan,”
dengan manis, Amara menggeleng, “Itu sebenarnya tujuan awalku datang ke
tubuhnya, namun ternyata dia sudah telanjur didiami parasit lain. Sesuatu yang
tak bisa kulawan.”
“Jika
planet itu sesungguhnya adalah satu tubuh maka ...” Sam tiba-tiba menyadari
sesuatu, “Rongga-rongga dalam planet itu ... terowongan-terowongan itu ... itu
digali oleh parasit lain yang ada dalam tubuhnya! Menjadikannya hollow?”
“Tepat
sekali,” bisik Amara, “Ia adalah parasit raksasa yang menggali dan memakan
planet dari dalam, seperti cacing dalam usus kalian. Kami menyebutnya
'Gnatothoa', yakni 'sang tuhan yang berahang'. Ia adalah satu dari Outer
Gods pula. Sangat ironis bukan, mereka saling memakan satu sama lain?”
“Mars
...” balas Sam, “Kehidupan di Mars juga musnah karena parasit itu.”
“Dan
sebentar lagi, Bumi kalian akan mengalami nasib serupa.”
“A
... apa maksudmu?”
“Gnatothoa
bukanlah makhluk tunggal, itu adalah nama spesies. Artinya, ada banyak dari
mereka yang tersebar di alam semesta ini. Begitu sebuah planet selesai mereka
makan, maka mereka akan kehabisan nutrisi dan akhirnya mati. Sebelum mereka
mati, mereka akan menghasilkan keturunan berupa larva yang amat kecil. Jika
larva itu tak mampu mencapai planet lain sebelum induknya mati, maka larva
malang itu juga akan mati. Beruntung, sebelum itu terjadi, Luke datang.”
“Luke?
Apa hubungannya dengan semua ini?”
“Luke
mengikuti dua tawon itu karena penasaran dan rekan-rekanku dalam tubuh mereka
memikatnya ke arah salah satu terowongan itu, dimana larva-larva Gnatothoa
hidup ...”
“Astaga
... merekalah yang memutuskan tangannya ... karena itu Luke amat ketakutan!”
“Salah
satu bahkan berhasil masuk ke dalam tubuhnya.”
“Apa?!”
“Pada
dasarnya mereka adalah parasit. Ia tinggal dalam tubuh Luke dan tumbuh besar,
memakan dirinya dari dalam. Dan walaupun Luke sudah mati, aku yakin larva itu
masih bisa bertahan hidup ...”
“Astaga!”
Bill akhirnya menyadari kesalahannya, “Dan kami sudah menguburkannya di dalam
tanah.”
Amara
kembali tersenyum, “Mengertikah kalian? Parasit itu sudah masuk ke Bumi dan
mulai memakan planet kalian dari dalam. Beberapa ratus tahun ke depan, dunia
kalian akhirnya akan mati, berserta seluruh penduduk yang diam di atasnya.”
“Kenapa
kau lakukan ini?” teriak Bill, “Kenapa kau lakukan ini pada Bumi?”
“Sudah
kuberitahu kan, kami adalah parasit yang mencari tubuh baru?”
“Kalian
ingin mendiami tubuh kami?” tanya Sam geram.
Amara
malah tertawa terbahak-bahak mendengarnya.
“Jika
Yuggoth yang sebuah planet saja seukuran debu bagi para Outer Gods lain,
menurut kalian seberapa berhargakah kalian? Untuk apa kami mendiami tubuh tak
berguna seperti milik kalian?” tawa Amara, “Aku datang ke planet ini karena aku
tahu bahwa ada seorang Outer God yang luar biasa hebat tertidur di planet ini.
Dia-lah yang kuinginkan!”
“Si
... siapa dia?”
“Namanya
adalah Cthu ...”
“DOOOOR!!!”
Amara
jatuh dengan lubang di kepalanya. Sam menoleh dan melihat Bill masih memegang
pistolnya yang kini berasap.
“A
... apa yang kau lakukan?”
“Dia
tak boleh menyebut namanya ...” dengan putus asa, Bill meletakkan momcong
pistol itu ke pelipisnya, “Jika apa yang ia katakan benar, maka tak akan ada
lagi harapan bagi planet ini.”
“TI
.. TIDAK! TUNGGU ...”
Namun
terlambat, Bill sudah menarik pelatuknya dan diiringi suara letusan yang
menggaung, iapun jatuh terjerembap, tak bernyawa.
Sam
ambruk ke tanah. Ia tak mampu lagi mencerna apa yang telah terjadi di depan
matanya. Begitu banyak kengerian yang ia hadapi dalam sehari ini.
“Kami
tak bisa mati ....”
Suara
itu terdengar dari belakangnya. Sam menoleh.
Dari
dalam tubuh Amara yang kini terkulai di tanah, terlihat sebuah jamur berwarna
hitam menyeruak dari dalam tubuhnya. Jamur itu tumbuh semakin tinggi hingga
menyerupai sebuah pilar, sama seperti yang ia lihat di Planet Yuggoth.
“Kami
satu spesies dengan apa yang kalian sebut sebagai tuhan. Kami lebih tua
ketimbang alam semesta ini. Kalian pikir kalian bisa membunuh kami?”
Sam
mengernyit jijik melihat wujud asli makhluk itu.
“Tapi
paling tidak aku bisa membuatmu menderita.” pemuda itu mengeluarkan pemantik
api miliknya kemudian menyalakannya.
“Ini
demi Amara!” iapun melemparkannya ke arah makhluk itu hingga membakarnya.
“AAAAAAARGH!!!”
makhluk itu berteriak kesakitan. Sam hanya memandanginya ketika makhluk itu terbakar
habis.
Namun
Sam tahu, semua yang ia lakukan masihlah jauh dari kemenangan.
Larva
Gnathotoa masihlah berada di dalam Bumi. Entah kapan, mungkin sehari, seminggu,
setahun, seribu tahun, hingga larva itu akhirnya cukup besar.
Untuk
memangsa Bumi dari dalam.
BERSAMBUNG
Keren ceritanya bang dave
ReplyDeletekapan publish lg dave?
ReplyDeleteLanjut dong bang dave
ReplyDeleteTernyata bukan Luke, tapi Amara 😩😩😩
ReplyDelete