A LOVECRAFTIAN NOVEL
“Luke!
Luke!” panggil Sam melalui radio. Ia dan Amara kini menuruni pesawat mereka dan
berjalan di atas permukaan planet aneh itu. Mereka menggunakan hel astronot
tentu saja, karena tak yakin dengan keamanan atmosfer planet tersebut.
“Luke!”
Luke
menoleh. Ia tersenyum melihat kedatangan mereka dan berjalan menghampiri.
“Luke,
apa yang kau lakukan di sini!” panggil Sam, “Ayo cepat kembali ke ...”
Namun, tiba-tiba saja Luke melakukan hal yang tak terbayangkan. Ia melepas helm yang menutupi kepala pemuda itu.
“Apa
yang kau lakukan?” jeritnya berontak, “Kau bisa membunuh kita semua!”
“Bernafaslah,
tak apa-apa. Planet ini dipenuhi oksigen.” ujarnya masih dengan seutas senyum.
Sam
mau tak mau bernapas di atmosfer planet itu.
Ia
lalu menoleh ke arah Amara.
“Ayolah,
ini aman.”
Demi
solidaritas, gadis itu akhirnya juga melepas helm yang ia kenakan.
“Aku
pikir kita harus segera kembali.” kata Sam, “Kita harus segera menghubungi
Houston. Mereka harus tahu kondisi kita.”
“Apa
kau pikir alat komunikasi kita bisa mencapai mereka? Kau tak lihat, kita sudah
berada jauh dari tata surya kita. Lihatlah sekelilingmu!”
“Tapi
kurasa tak aman di sini.” kata Sam lagi, “Bagaimana jika ada kehidupan alien di
planet ini? Mereka mungkin bisa mengancam kita!”
“Apa
kau ini menyebut dirimu eksplorer, Sam? Apa tujuanmu ikut misi ini? Untuk
mengeksplor Mars bukan? Planet ini sama dengan Mars; sebuah planet asing yang
tak pernah dikunjungi oleh manusia. Di planet ini justru kita-lah alien-nya!”
Sam
mau tak mau menyetujuinya. Rasa penasaran mau tak mau menggelitiknya. Rasa
ingin tahunya sebagai ilmuwan sekaligus penjelajah mulai mengalahkan
ketakutannya.
“Pilar-pilar
hitam itu,” tunjuk Amara, “Apa itu? Dari teksturnya jelas itu bukan batu.”
“Kurasa
itu jamur. Aku sudah memeriksanya.”
“Apa?
Jadi benda itu hidup?”
“Ya,
kau pernah mendengar Prototaxites, jamur purba raksasa yang merupakan
salah satu kehidupan darat pertama di Bumi? Mirip dengannya.”
“Tapi
jika itu jamur, darimana ia makan?” Sam melihat ke sekelilingnya, “Jamur butuh
bahan organik. Di sini ... hanya ada tanah kering dan batuan.”
“Kurasa
aku tahu dimana jamur itu mendapatkan bahan organik.” tunjuk Luke, “Di sana
lanskapnya berbeda dengan di sini, tidak seperti gurun sama sekali. Ayo,
kutunjukkan!”
Amara
dan Sam saling memandang, sebelum kemudian setuju untuk mengikuti Luke.
“Oya,
karena aku yang menemukannya duluan,” Luke berbalik ke arah sambil tersenyum,
“Kita namakan planet ini Planet Lukoth.”
***
Sam
terkesima dengan pemandangan di depannya. Jika ia melihatnya di Bumi, maka
mungkin ia akan menganggapnya menjijikkan. Berbeda dengan wilayah tandus
seperti gurun tempat pesawat mereka kandas tadi, daerah di sini begitu berbeda,
bahkan kaya kehidupan. Tempat itu seperti rawa-rawa di Bumi dengan lumpur dan
lumut sebagai lantainya, serta apa yang mereka lihat sebagai pohon, yakni
batang-batang bercabang yang menjulang dari lantai rawa.
“Apa
itu tanaman?” tanya Amara penuh keingintahuan,
“Kurasa
tidak, lihatlah.” Luke menunjuk dan terlihat lubang-lubang di permukaan apa
yang mereka sebut sebagai pohon itu. Permukaannya juga licin dan berlendir.
Bahkan jika diamati, benda itu terlihat seperti tentakel ketimbang batang
pohon.
“Seperti
hewan laut, Bryozoa, yang hidup dengan cara menempel di dasar laut.” celetuk
Sam, “Apa itu sejenis binatang?”
“Mungkin
batas antara hewan ataupun tumbuhan di planet ini sangatlah kabur, berbeda
dengan planet kita. Pasti akan sangat menarik melihat seperti apa penampakan
sel-selnya di atas mikroskop!”
“Tidak,
Luke!” cegah Sam, “Kita tidak akan menyentuhnya! Siapa yang bisa menjamin benda
itu tidak menularkan penyakit?”
“Berhentilah
berpikir dengan naif, Sam!” Luke terlihat mulai marah, “Kau pikir berapa lama
kita akan selamat di sini? Sehari? Sebulan? Lalu apa yang akan kita lakukan?
Menunggu NASA menyelamatkan kita?”
Sam
dan Amara tertegun. Baru kali ini mereka memikirkan kemungkinan itu. Mereka
tidak sedang terdampar di bagian lain Bumi, ataupun di Bulan, apalagi di Mars.
Di sana mereka masih bisa diselamatkan. Paling tidak NASA masih bisa mencapai
mereka.
Namun
di sini ... mereka bahkan tak tahu dimana mereka. Mungkin mereka berada di
ujung alam semesta yang lain? Bahkan, mungkin mereka berada di dimensi lain.
Luke
benar, tak akan ada yang bisa menyelamatkan mereka dari planet ini.
“Ta
... tapi kita bisa memperbaiki pesawat kita, benar kan Sam?” Amara menoleh.
Kepanikan mulai menelan wajahnya bulat-bulat, “Ki ... kita masih bisa pergi
dari sini!”
“Lalu
kemana? Kembali ke Bumi? Bagaimana caranya? Apa kau tahu arahnya?” tanya Luke
dengan sinis.
“Hentikan,
Luke!” tegur Sam, “Aku tahu kau skeptis, tapi perilakumu ini tidak akan
membantu kita.”
“Kapan
kalian akan sadar, kita semua adalah ilmuwan, eksplorer, pioner ... bukan
pengecut! Jika kita adalah pengecut, bukankah sekarang kita semestinya berada
di Bumi, duduk dengan nyaman di sofa rumah kita? Tapi nyatanya tidak ... kita
semua punya ambisi untuk melakukan apa yang tak bisa dilakukan manusia lain.
Dan inilah kesempatannya!”
“A
... apa maksudmu?” Amara bertanya-tanya.
“Kataku
kita menjelajahi planet ini. Mempelajarinya. Memuaskan seluruh rasa ingin tahu
kita. Planet ini seperti mata air pengetahuan yang menunggu untuk kita teguk!”
Mata
Luke berbinar-binar ketika mengucapkannya.
Amara
menatap Sam sejenak. Sam tahu apa yang ada di pikiran gadis itu. Tak biasanya
Luke bersikap seperti ini. Justru dia-lah yang berkepala paling dingin di
antara mereka bertiga. Oleh sebab itulah ia dipilih sebagai pemimpin misi ini.
Prioritasnya pastilah keselamatan mereka bertiga, lebih dari sains apapun juga.
Maka tak heran di mata mereka berdua, Luke bagaikan tengah meracau.
“Kurasa
Luke benar, Sam.” jawaban itu mendadak meluncur dari mulut Amara, “Jika kita
mempelajari planet ini dan mengenalnya lebih baik, maka kesempatan kita untuk
bertahan hidup di sini akan meningkat. Mungkin juga kita akan menemukan cara
untuk keluar dari sini pula.”
Dengan
enggan Sam akhirnya mengangguk.
***
Sam
menoleh ke arah Luke ketika mereka berjalan menapaki permukaan planet itu.
“Apakah
menurutmu ada kehidupan cerdas di planet ini? Mungkin puncak evolusi?”
Luke
memandang ke kejauhan, “Entahlah, tapi tak menutup kemungkinan kita akan
menemukan kota di planet ini. Bukankah itu menarik?”
“Bagaimana
jika kita malah menemukan puncak rantai makanan?” bisik Amara pada Sam,
“Seperti predator?”
“Luke,”
panggil Sam lagi, “Pada saat kapal kita masuk ke atmosfer dan terjadi goncangan
yang membuat kami berdua pingsan, kau masih sadar bukan? Kau melihatnya kan?
Apa yang sebenarnya terjadi pada kita?”
“Jembatan
Einsten-Rosen.” Luke menoleh kembali dan menatap mereka berdua dengan tajam,
“Koyakan di fabrik dimensi alam semesta. Dengan kata lain, Lubang Cacing atau Wormhole.”
“Jembatan
Einsten-Rosen masihlah teori!” bantah Sam tak percaya, “Untuk membuatnya, kau
perlu membuat lubang hitam dan untuk itu kau memerlukan partikel eksotis;
sebuah partikel yang memiliki gaya gravitasi yang amat besar hingga bisa
membengkokkan ruang dan waktu, bahkan merobek fabrik dimensi.”
“Kita
sudah menemukan partikel eksotis itu. Melalui akselerator raksasa CERN di
Eropa. Kita menyebutnya: Partikel Tuhan.”
Sam
terkesiap. Bukan karena kenyataan bahwa teknologi manusia mampu menciptakan
lubang hitam, namun karena pernyataan kapten mereka tadi membuatnya menyadari
sesuatu.
“Be
... berarti kau mengetahui tentang wormhole tadi?” matanya membelalak,
“Kalian yang membuatnya?”
“Apa?”
seru Amara, “NASA yang membuatnya? Ki ... kita adalah kelinci percobaan?”
“Jika
kalian tahu, kalian tak akan menyanggupinya bukan? Padahal kemampuan kalian
unik, Amara sebagai ahli astrofisika sekaligus memiliki kemampuan medis serta
Sam sebagai ahli biologi evolusioner sekaligus punya background militer.
Kemampuan kalian sangat kami butuhkan, karena itu ...”
“Kalian
membohongi kami!” jerit Amara penuh tangis. “Kalian bilang kalian akan membawa
kami Mars!”
“Memang
itu tujuannya! Wormhole itu seharusnya membawa kita ke Mars, namun ada
kesalahan ...”
“Kesalahan?
Maksudmu kita terdampar?” ujar Sam dengan marah.
“Namun
lihatlah di sekeliling kalian! Fokuslah ke gambaran besarnya! Kita sudah
menemukan kehidupan ekstraterestrial! Kehidupan alien di luar Bumi sudah tak
terbantahkan! Ini terobosan baru yang ...”
“Yang
takkan berguna jika kita tidak bisa kembali ke Bumi untuk menceritakannya!” sergah
Amara.
Luke
menghela napas, “Bagaimana apabila kukatakan, bahwa jika aku bisa membawa
kalian ke sini, maka aku juga bisa membawa kalian kembali?”
“Apa
maksudmu?”
“Aku
bisa menciptakan Lubang Cacing itu lagi untuk kita semua. Kita bisa pulang
kembali ke Bumi.”
“Be
... benarkah?”
“Namun
dengan satu syarat!” Luke mengacungkan jarinya, “Kita akan mempelajari dan
mendokumentasikan kehidupan yang ada di planet ini. Setuju?”
Amara
dan Sam saling berpandangan kembali.
***
“Planet ini ukurannya 500 kali Bumi. Besar
sekali. Hampir sepertiga Jupiter.” Luke menyalakan sensor dari peralatan
canggih mereka yang seharusnya mereka gunakan di Mars. Mereka saat itu berada
di dalam pesawat untuk menyelidiki sampel mereka.
“Tunggu!”
“Ada
apa, Luke? Apa ada yang aneh?”
“Planet
ini juga hollow.”
“Hollow?
Berongga? Sama seperti dugaan kita tentang Mars?” tanya Sam heran. Salah satu
yang mendorong dilaksanakannya misi mereka ke Mars adalah penemuan terbaru yang
menyimpulkan bahwa ada rongga di dalam Planet Mars. Para ahli sebelumnya
mengira bahwa inti planet Mars sama seperti Bumi, yakni berupa besi cair yang
amat panas, dikelilingi batuan yang teramat padat hingga ke permukaan planet.
Namun, teknologi terbaru membuktikan bahwa ada rongga-rongga menyerupai gua
yang teramat masif di kedalam planet itu. Bahkan pusat planet itu sendiri
adalah sebuah rongga besar sehingga planet tersebut lebih mirip bola pingpong
atau kue onde-onde yang tak berisi.
Penemuan
itu memicu perdebatan. Kemungkinan pertama, apapun yang menyebabkan terbentuknya
rongga-rongga itu mungkin telah menyebabkan kehidupan di Mars hancur dan
lenyap. Atau justru kebalikannya, kemungkinan kedua, justru kehidupan di Mars
mampu bertahan di dalam rongga-rongga itu.
Ya,
pertanyaannya memang bukan apakah ada kehidupan di Mars, tapi apakah kehidupan
itu masih ada, dan jika masih ada, dimana?
Oleh
sebab itulah, misi Aleithea 20 diluncurkan. Tak hanya sebagai ego umat manusia
untuk mendaratkan spesiesnya di sana, melainkan demi tujuan yang lebih suci
lagi: untuk memberikan salam yang pertama, setelah milyaran tahun, kepada
saudara se-ciptaan di sana. Ya, jika memang di Mars terdapat kehidupan, maka
hanya merekalah mungkin satu-satunya keluarga kita di tata surya ini.
“Apa
yang menyebabkannya?” Sam masih bertanya tentang kondisi “hollow” di planet
itu.
“Entahlah.
Di sini hanya terlihat seperti sistem gua yang kompleks dan amat besar di bawah
permukaan planet ini. Aku sendiri juga tak bisa melihat intinya. Kemungkinan
berupa batuan padat.”
“Teman-teman,
ini gawat!” terdengar suara Amara di radio. Sebagai satu-satunya ahli astronomi
di tim itu, ia masih berada di luar, mempelajari langit planet tersebut.
“Ada
apa Amara?” Luke membalasnya.
“Disini
ada ... AAAAAAAAA!!!”
“Amara!
Ada apa?” Sam segera merebut radio itu, “Amara!”
Namun
suara itu kemudian terputus. Tanpa banyak bicara, kedua astronot itu segera
bergegas keluar.
***
“AMARA!”
teriak Sam. Apa yang dilihatnya di luar sama sekali di luar dugaannya.
Mereka
telah melihat jamur dan rawa-rawa di planet itu, namun mereka tak menyangka
akan secepat ini bertemu dengan hewan penghuni planet itu.
Mereka
adalah serangga; dua ekor tawon raksasa tengah mengelilingi Amara, seolah
sedang mengepungnya. Masing-masing panjangnya mencapai satu meter dengan mata
besar dan sepasang sayap. Mereka memiliki enam kaki dengan ujung runcing
seperti kait serta tubuh yang ditutupi eksoskeleton berwarna kuning. Suara
“Zzzzzzz ...” terdengar ketika mereka melayang sembari mengepakkan sayapnya.
“TOLONG
AKU!” jeritnya.
“Amara!
Bertahanlah!” seru Sam, tapi ia sendiri tak tahu apa yang harus ia lakukan.
Pendidikannya di NASA sebagai astronot tidak mencakup cara melawan alien di
planet asing!
“DUAAAAR!
DUAAAAAR!!!” suara yang amat keras terdengar ketika peluru-peluru menghantam
tubuh kedua monster tersebut. Terdengar suara kernyitan makhluk itu dan
merekapun terbang pergi, menjauhi kami.
Sam
menoleh dan terkesiap melihat Luke tengah memegang sebuah senjata.
“Da
... darimana kau dapat itu?” Sam membelalakkan mata, “Kau ... kau sudah
mempersiapkannya! Kau sudah tahu kita akan menghadapi makhluk itu!”
“Hanya
untuk jaga-jaga semisal kita harus menghadapi alien.” Luke menyarungkan
senjatanya kembali, “Misi kita berbahaya, Sam! Cepat, tolong Amara!”
Sam
segera tersadar dan tak membuang waktu untuk memeriksa kondisi gadis itu.
“A
... aku tidak apa-apa ...” bisiknya dengan wajah pucat. Saat itu ia tengah
terjerembap di tanah, “A ... aku hanya ketakutan melihat makhluk-makhluk itu
...”
“Monster
apa tadi?” bisik Sam tak mengerti. “Tawon raksasa?”
“Mi-Go.”
jawab Amara, masih dengan napas tersengal, “Mereka menyebut diri mereka ras
Mi-Go.”
Sam
dan Luke terkejut mendengar jawaban itu.
“Mereka
bisa bicara?”
“En
... entah ... mereka sama sekali tak mengeluarkan suara, selain dengungan sayap
mereka yang membuatku pusing, namun ...” Amara mencoba mengatur napasnya,
“Suara mereka ... suara mereka terngiang begitu saja di kepalaku. Aku bahkan
tak tahu bagaimana aku bisa memahami bahasa mereka ...”
“Telepati,
apa itu maksudmu?” tanya Luke dengan kegirangan, “Kau berkomunikasi secara
telepatis dengan mereka? Wow ... itu sangat menakjubkan sekali!”
“Ini
sama sekali tidak lucu, Luke!” protes Sam, “Reaksimu sama sekali tidak pantas!
Amara hampir saja mati!”
“Kurasa
mereka tak bermaksud jahat. Kau dengar kan kata Amara, mereka memperkenalkan
dirinya ...”
“Kalau
begitu kau saja yang berkawan dengan makhluk-makhluk itu!” Sam segera
menggenggam tangan Amara dan membantunya berdiri, “Aku akan membawa Amara
kembali ke dalam pesawat kita.”
Luke
hanya menatap kepergian mereka berdua sembari tersenyum. Kemudian ia menoleh
dan menatap ke lembah kemana kedua makhluk itu terbang dan pergi.
BERSAMBUNG
Lanjut bang dave
ReplyDeleteAh Mi-Go ya, aku baru ingat...
ReplyDeleteKeren bang dave lanjut...
Luke ini beneran gila atau emang sengaja dari awal niatnya udah jahat? 🙄
ReplyDelete