A LOVECRAFTIAN NOVEL
“Kecelakaan
pesawat itu ...” Elena berbisik tak percaya setelah menuntaskan kisah itu, “Aku
pernah mendengarnya entah dimana. Begitu pula dengan pulau yang seluruhnya
penghuninya perempuan. Aku pernah melihatnya di sebuah film dokumenter, tapi
ingatanku hanya samar.”
“Hati-hati,”
koleganya tersenyum, “Aku tak ingin kau mengalami Mandela Effect.”
“Apa
kisah ini sungguhan?” Elena menatap profesor itu.
Ia hanya mengangkat bahunya, “Mungkin ya, mungkin tidak.”
“Namun,
jika raksasa ini benar-benar ada, mustahil kita tak menyadarinya hingga
sekarang! Lagian, kau menyebutkan dia hanya dewa sekelas teri, padahal
ukurannya begitu besar hingga menyebabkan tsunami ...”
“Kau
masih belum paham dengan ukuran alam semesta, Elena. Sayang sekali, mengingat
kau adalah astronom kebanggaanku. Kita melihat matahari sebagai maha-raksasa
dengan gravitasinya mengikat planet-planet sejauh Pluto, yang dengan teknologi
tercanggih manusia baru bisa kita capai dalam 11 tahun perjalanan. Namun, di
hadapan bintang UY Scuti, matahari hanyalah sebutir debu.”
“Belum
lagi kehidupan di planet sekecil Bumi, sangatlah insignifikan bila dibandingkan
dengan luasnya alam semesta. Ukuran para dewa ini tak bisa dinalar oleh manusia
karena pandangan kita yang amat antroposentris, menganggap kitalah puncak
evolusi dan ciptaan termulia. Padahal kenyataannya, kita tidaklah berarti di
hadapan mereka.”
“Mereka?”
tanya Elena, “Masih ada yang lain?”
“Bacalah,”
anjur profesor itu, “Maka kau akan mengerti.”
Elena
pun membuka halaman berikutnya dari manuskrip itu. Sebuah kisah tentang para astronot.
Hati Elena tergetar ketika membacanya, karena keinginan terdalamnya adalah
menjelajahi alam semesta dan melihatnya secara langsung. Namun, identitasnya
sebagai perempuan membuatnya terkurung di Bumi ini.
Jermarinya
meniti ke halaman kertas itu dan matanya mulai membaca.
***
SAM
perlahan membuka matahari. Sinar matahari dengan kencang meniup matanya hingga
sesaat ia merasa dibutakan oleh semua tamparan cahaya itu.
“Sam?
Kau bangun?” terdengar suara di sampingnya. Suara yang terdengar estatik itu
terasa tak asing di telinganya. Namun di lain pihak terdengar berbeda, sehingga
ia hampir tak mengenalinya.
“Mama?”
rintihnya perlahan. Sinar matahari yang menimpa tubuhnya terasa menindihnya.
Tidak, tidak mungkin cahaya bisa seberat itu. Tubuhnya sendiri-lah yang tak
mampu bergerak.
Celaka!
“Dokter!
Anakku bangun!” teriaknya lagi.
Ya,
tak salah lagi, Sam mendengar suara ibunya. Namun, suara itu terdengar lebih
tua ... dan lebih letih.
Ia
mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menoleh. Bahkan untuk menggerakkan
kepalanya saja ia sudah amat kepayahan, seolah-olah sebilah barbel yang tak
terlihat tengah menindih wajahnya.
“Jangan
terlalu banyak bergerak, Nak.” dilihatnya wajah keriput itu tersenyum ke
arahnya. “Kau sudah tertidur, lama sekali.”
“Tertidur?
Apa yang terjadi denganku?”
“Pesawatmu
... pesawatmu jatuh kembali ke Bumi ...”
“Aletheia
20 ...” bisiknya. Ia ingat benar akan pesawat itu. Ia dan dua kru lainnya,
Kapten Luke Carolan, seorang pilot berdarah Irlandia dan Dokter Amara Goode,
seorang ahli astronomi kelahiran Kanada. Ya, Amara ... kekasihnya.
“Kami
seharusnya mendarat di Mars ...” bisiknya dengan kepala masih pusing. Bayangan
warna-warni muncul di kepalanya. Kemudian ia tersadar, itu adalah ingatannya
akan ledakan itu.
“Amara
... apa yang terjadi padanya? Apa yang terjadi pada kami ...”
“Terjadi
kecelakaan, Nak ... Seperti Mama bilang, pesawat kalian jatuh ...” wanita itu
tak mampu meneruskan. Ia tahu apa yang akan ia katakan sama sekali tidak akan
mampu dinalar oleh akal sehat, apalagi bagi seseorang yang baru saja tersadar
dari komanya.
Sam
masih menatap ibunya, seolah menuntut jawaban.
“Pesawat
kalian ditemukan jatuh ke Bumi ... enam menit sebelum kalian bahkan lepas
landas ....”
***
“Kau
sudah sadar?” seorang pria berseragam militer datang menjenguknya. Memandangi
kedatangannya dari atas tempat tidurnya, Sam tahu benar siapa dia.
“Komandan!”
senyumnya. Sam sudah mulai bisa menggerakkan otot-otot di wajahnya yang tadinya
serasa kaku.
“Bagaimana
kondisimu sekarang?” tanya pria itu sembari mengambil tempat duduk di samping
ranjangnya. Lencana-lencana yang menempel di seragamnya berkilauan ditimpa
sinar matahari yang masuk melalui kisi-kisi jendela.
“Mama
saya mengatakan hal yang aneh ketika saya sadar, Komandan.” Sam menatap
atasannya, berharap ia bisa mendengar penjelasan yang lebih masuk akal. “Beliau
mengatakan kapal saya jatuh sebelum lepas landas. Apa maksudnya itu?”
Bill
Jefferson menghela napas. Selama 30 tahun berkiprah di dunia militer, ia banyak
mendengar hal yang aneh. Para pilot yang melihat UFO, kapal induk yang
menyaksikan makhluk aneh berenang di lautan, penampakan misterius di dalam
hutan saat para tentara mengadakan latihan militer, dan masih banyak lagi.
Namun, tak ada yang menyamai keganjilan kasus ini.
“Pada
pukul 10.54 waktu Texas, penduduk setempat menyaksikan sebuah pesawat yang
jatuh di sebuah ladang pertanian di luar kota Austin. Polisi dan paramedis
dikirim ke sana. Mereka membutuhkan waktu hingga dua jam untuk mencapainya
karena daerah itu cukup terisolir. Di sanalah kami menemukanmu, terluka parah,
di sela-sela reruntuhan pesawat kalian.”
Pria
itu menghela napas lagi, tahu bahwa apa yang akan dikatakannya takkan terdengar
masuk akal.
“Padahal
baru pada jam 11 tepat, pesawat kalian berangkat dari pangkalan ulang-alik NASA
di Houston.”
“Apa?”
Sam seakan tak mempercayainya, “Satu-satunya hal itu bisa terjadi adalah ...”
“Jika
pesawat kalian memasuk vorteks waktu. Ya, aku tahu.”
“Wormhole?
Ta ... tapi wormhole hanya teori kan? Apa ada wormhole seperti
itu di orbit Bumi?”
“Seharusnya
tidak. Kami semestinya bisa mendeteksinya jika hal semacam itu ada.”
“La
... lalu pesawatku yang tinggal landas ... apa yang terjadi dengannya?”
“Kami
kehilangan kontak dengannya begitu kami mengetahui tentang keberadaanmu di
pesawat yang jatuh itu.”
“Kolapsnya
fungsi gelombang karena adanya observasi,” jawab Sam, sembari berusaha menarik
logika atas kejadian yang menimpanya, “Menurut Teori Mekanika Kuantum yang
dibuktikan dengan eksperimen Kucing Schrodinger, dua realita yang berbeda tak
bisa menempati satu semesta yang sama. Salah satu harus dipilih berdasarkan
keputusan sang pengamat.”
“Mungkin
wormhole itu menangkap pesawat kalian setelah kalian lepas dari orbit
Bumi dan kemudian menarik kalian ke suatu tempat yang jauh. Namun, kemana?”
Bill menatapnya lekat-lekat, “Apa kau ingat kemana kalian pergi?”
Sam
menggeleng, “Tidak. Komandan. Aku bahkan tak ingat apa yang terjadi pada Amara
dan Luke. Dimana mereka?”
“Kami
sudah menguburkan jenazah Kapten Luke. Dia meninggal akibat kecelakaan itu. Tragis
sekali. Namun Dokter Amara … ” Bill menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kami tak
pernah menemukannya.”
***
Sam
akhirnya dilepaskan dari rumah sakit. Pihak NASA berusaha melindunginya dari
liputan media massa dan tak membiarkan siapapun mendekatinya. Bukan hanya demi
menjaga kewarasan pemuda itu, tapi juga untuk melindungi reputasi mereka
sendiri.
Bayangkan
headline surat kabar jika kasus yang
menimpa astronot itu terbongkar.
“Misi
untuk mendaratkan manusia pertama di Mars gagal! Pesawat mereka lenyap begitu
tiba di orbit Bumi dan ditemukan kandas kembali di Bumi, enam menit sebelum
pesawat itu berangkat, melanggar semua hukum fisika yang ada.”
Seharusnya
mereka sampai di Mars 300 hari setelah mereka lepas landas dari Bumi,
menghabiskan 10,5 jam di permukaan Mars (separuh dari waktu yang dihabiskan
awak Apollo 11 yang menginjak Bulan untuk pertama kalinya) untuk menghindari
radiasi, kemudian menempuh 300 hari perjalanan kembali. Ya, semestinya
perjalanan itu menghabiskan waktu hingga 20 bulan. Namun, nyatanya mereka
kembali enam menit sebelum mereka bahkan berangkat. Bagaimana bisa?
Sam
duduk di atas sebuah kursi kayu. Para wartawan ribut mengikuti mobil yang
ditumpangi ibunya dan seorang pria di atas kursi roda yang dibayar untuk
menyaru sebagai dirinya. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat van dari
berbagai stasiun berita terkenal dunia, mulai dari CNN, BBC, hingga Al-Jazeera
mengikuti mobil berisi gadungan itu.
Dikeluarkannya
sebuah pemantik api dari dalam jasnya. Tertulis inisial “A” di atasnya. Benda
ini adalah satu-satunya kenangan yang ia miliki tentang Amara. Gadis itu
membelikannya untuk ulang tahunnya.
“Sam.”
panggil seorang gadis. Ia tersentak mendengar suara itu. Dimasukkannya kembali
korek itu ke dalam saku jasnya, kemudian ia menoleh.
“Amara?”
tanyanya tak percaya, “Kau masih hidup?”
***
“Apa
kau benar-benar tak ingat akan apa yang terjadi pada kita?” tanya Amara. Mereka
berdua kini duduk di sebuah bangku di taman, menatap lautan.
“Tidak,
sama sekali.”
“Bahkan
planet yang kita darati?”
“Planet?”
Sam terkesiap, “Maksudmu kita berhasil mendarat di Mars?”
Amara
menggeleng, “Bukan, Sam. Awalnya kita juga mengira itu Mars, tapi ternyata ...”
“Ceritakan
padaku, Amara! Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana kau bisa selamat?”
“Kenapa
kau tidak menanyakannya pada Bill?”
“Komandan?
Bagaimana bisa dia tahu semua ini?”
“Komandan?
Cih!” Amara meludah karena marah, “Kau masih memanggilnya dengan sebutan
seperti itu setelah apa yang ia lakukan pada kita?”
“Apa
maksudmu? Aku tidak paham!”
“Dia
menjadikan kita kelinci percobaan, Sam! Dia menjebak kita. Dia-lah yang
mengarahkan kita menuju wormhole itu.”
“Apa?
Itu mustahil!” seru Sam tak percaya, “Teknologi kita belum mampu menciptakan wormhole.”
“Sudah,”
balas Amara, ia bahkan tak menatap wajah Sam.
“Apa?
Bagaimana bisa?” Sam tertegun.
“Itu
tidak penting,” balas Amara, “Yang jelas NASA diam-diam mengembangkan teknologi
itu dan mereka mengetesnya kepada kita dalam misi ke Mars itu. Hanya saja ...
kita tak pernah mendarat ke planet itu.”
“La
... lalu dimana kita mendarat? Katakan kepadaku, aku tak bisa mengingat itu
semua! Apa yang sebenarnya terjadi pada misi kita?”
Amara
menatapnya, “Awalnya kita berpikir, dimanapun kita mendarat saat itu, tempat
itu adalah neraka ...”
***
“Sam!
Bangun!” Amara menggoncang-goncangkan bahunya. Pemuda itupun membuka matanya dan melihat gadis berambut
pirang itu menatapnya cemas.
“Amara?
A ... apa yang terjadi?” tanyanya lirih.
“Kita
mendarat ... di suatu tempat ...”
“Dimana?”
Sam bergegas bangun, “Apa kita sudah sampai di Mars?”
Ada
gravitasi yang menarik kaki mereka ke bawah, berarti mereka berada dalam
kungkungan suatu planet. Mungkin Bumi, atau mungkin lokasi yang lebih eksotik
lagi.
Amara
menggeleng, “Mustahil! Baru beberapa jam setelah peluncuran. Seharusnya kita
masih berada di orbit Bumi, tapi tempat ini jelas bukan Bumi.”
“Bulan?
Apa mungkin ini Bulan?”
“Tidak!”
Amara kembali menggeleng, “Ada atmosfer di sini, sehingga Luke ...”
“Luke?”
Sam tiba-tiba tersadar bahwa ia masih memiliki satu lagi rekan di sini, “Dimana
dia?”
“Dia
sudah gila! Dia pergi keluar tanpa helm!”
Sam
segera bergegas. Dicapainya jendela terdekat dan ia terkesiap melihat panorama
alien di depan matanya.
“I
... ini ...” pria itu tercengang, “Planet apa ini?”
Sam
melihat pilar-pilar hitam menjulang bak pepohonan di antara apa yang dilihatnya
seperti bebatuan dan tanah yang kering. Pemandangan eksotik seperti itu tak
pernah dilihatnya di planet asalnya. Langitnya juga tak kalah ganjil, dengan
awan-awan ungu dan atmosfer yang berwarna keemasan. Selain itu, dilihatnya
bulan yang biasanya menghiasi angkasa digantikan dengan dua planet yang
terlihat menggantung dari kejauhan. Salah satu diantaranya memiliki cincin,
seperti Saturnus.
Namun,
ia lebih terperanjat lagi melihat rekannya berjalan di antara lanskap yang aneh
itu.
“Luke?”
jeritnya, “Apa yang dia lakukan di luar sana!”
Ia
langsung menoleh ke arah Amara, “Tega-teganya kau biarkan dia sendirian di
sana? Kenapa kau tidak melarangnya keluar?”
“Aku
sudah!” Amara berusaha membela dirinya, “Namun ... namun ia terus mengatakan
hal aneh.”
“Hal
aneh apa?” Sam tak bisa membayangkan apa yang terdengar lebih aneh ketimbang
planet asing yang mereka darati ini.
Amara
terlihat enggan menceritakannya, “Bahwa pesawat kita masuk ke terowongan
setelah kita lepas landas dan kita berdua pingsan, tetapi dia tetap sadar,
terikat di kursinya. Dan ...”
“Dan
apa?” tanya Sam tak sabar.
“Dan
bahwa sepanjang perjalanan melalui terowongan itu, kita sudah melalui waktu
ratusan tahun lamanya ... dan ia terus tersadar selama berabad-abad ...”
BERSAMBUNG
Mantap ceritanya bang dave
ReplyDeleteHah? Kok bisa? 😱😱😱😱😱😱😱😱
ReplyDeleteHah? Kok bisa? 😱😱😱
ReplyDelete