Monday, October 23, 2023

LOVELESS CREATION – CHAPTER 4: THE ASTRONAUTS

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

“Kecelakaan pesawat itu ...” Elena berbisik tak percaya setelah menuntaskan kisah itu, “Aku pernah mendengarnya entah dimana. Begitu pula dengan pulau yang seluruhnya penghuninya perempuan. Aku pernah melihatnya di sebuah film dokumenter, tapi ingatanku hanya samar.”

“Hati-hati,” koleganya tersenyum, “Aku tak ingin kau mengalami Mandela Effect.”

“Apa kisah ini sungguhan?” Elena menatap profesor itu.

Ia hanya mengangkat bahunya, “Mungkin ya, mungkin tidak.”

“Namun, jika raksasa ini benar-benar ada, mustahil kita tak menyadarinya hingga sekarang! Lagian, kau menyebutkan dia hanya dewa sekelas teri, padahal ukurannya begitu besar hingga menyebabkan tsunami ...”

“Kau masih belum paham dengan ukuran alam semesta, Elena. Sayang sekali, mengingat kau adalah astronom kebanggaanku. Kita melihat matahari sebagai maha-raksasa dengan gravitasinya mengikat planet-planet sejauh Pluto, yang dengan teknologi tercanggih manusia baru bisa kita capai dalam 11 tahun perjalanan. Namun, di hadapan bintang UY Scuti, matahari hanyalah sebutir debu.”

“Belum lagi kehidupan di planet sekecil Bumi, sangatlah insignifikan bila dibandingkan dengan luasnya alam semesta. Ukuran para dewa ini tak bisa dinalar oleh manusia karena pandangan kita yang amat antroposentris, menganggap kitalah puncak evolusi dan ciptaan termulia. Padahal kenyataannya, kita tidaklah berarti di hadapan mereka.”

Mereka?” tanya Elena, “Masih ada yang lain?”

“Bacalah,” anjur profesor itu, “Maka kau akan mengerti.”

Elena pun membuka halaman berikutnya dari manuskrip itu. Sebuah kisah tentang para astronot. Hati Elena tergetar ketika membacanya, karena keinginan terdalamnya adalah menjelajahi alam semesta dan melihatnya secara langsung. Namun, identitasnya sebagai perempuan membuatnya terkurung di Bumi ini.

Jermarinya meniti ke halaman kertas itu dan matanya mulai membaca.

***

 

SAM perlahan membuka matahari. Sinar matahari dengan kencang meniup matanya hingga sesaat ia merasa dibutakan oleh semua tamparan cahaya itu.

“Sam? Kau bangun?” terdengar suara di sampingnya. Suara yang terdengar estatik itu terasa tak asing di telinganya. Namun di lain pihak terdengar berbeda, sehingga ia hampir tak mengenalinya.

“Mama?” rintihnya perlahan. Sinar matahari yang menimpa tubuhnya terasa menindihnya. Tidak, tidak mungkin cahaya bisa seberat itu. Tubuhnya sendiri-lah yang tak mampu bergerak.

Celaka!

“Dokter! Anakku bangun!” teriaknya lagi.

Ya, tak salah lagi, Sam mendengar suara ibunya. Namun, suara itu terdengar lebih tua ... dan lebih letih.

Ia mengerahkan seluruh kemampuannya untuk menoleh. Bahkan untuk menggerakkan kepalanya saja ia sudah amat kepayahan, seolah-olah sebilah barbel yang tak terlihat tengah menindih wajahnya.

“Jangan terlalu banyak bergerak, Nak.” dilihatnya wajah keriput itu tersenyum ke arahnya. “Kau sudah tertidur, lama sekali.”

“Tertidur? Apa yang terjadi denganku?”

“Pesawatmu ... pesawatmu jatuh kembali ke Bumi ...”

“Aletheia 20 ...” bisiknya. Ia ingat benar akan pesawat itu. Ia dan dua kru lainnya, Kapten Luke Carolan, seorang pilot berdarah Irlandia dan Dokter Amara Goode, seorang ahli astronomi kelahiran Kanada. Ya, Amara ... kekasihnya.

“Kami seharusnya mendarat di Mars ...” bisiknya dengan kepala masih pusing. Bayangan warna-warni muncul di kepalanya. Kemudian ia tersadar, itu adalah ingatannya akan ledakan itu.

“Amara ... apa yang terjadi padanya? Apa yang terjadi pada kami ...”

“Terjadi kecelakaan, Nak ... Seperti Mama bilang, pesawat kalian jatuh ...” wanita itu tak mampu meneruskan. Ia tahu apa yang akan ia katakan sama sekali tidak akan mampu dinalar oleh akal sehat, apalagi bagi seseorang yang baru saja tersadar dari komanya.

Sam masih menatap ibunya, seolah menuntut jawaban.

“Pesawat kalian ditemukan jatuh ke Bumi ... enam menit sebelum kalian bahkan lepas landas ....”

***

 

“Kau sudah sadar?” seorang pria berseragam militer datang menjenguknya. Memandangi kedatangannya dari atas tempat tidurnya, Sam tahu benar siapa dia.

“Komandan!” senyumnya. Sam sudah mulai bisa menggerakkan otot-otot di wajahnya yang tadinya serasa kaku.

“Bagaimana kondisimu sekarang?” tanya pria itu sembari mengambil tempat duduk di samping ranjangnya. Lencana-lencana yang menempel di seragamnya berkilauan ditimpa sinar matahari yang masuk melalui kisi-kisi jendela.

“Mama saya mengatakan hal yang aneh ketika saya sadar, Komandan.” Sam menatap atasannya, berharap ia bisa mendengar penjelasan yang lebih masuk akal. “Beliau mengatakan kapal saya jatuh sebelum lepas landas. Apa maksudnya itu?”

Bill Jefferson menghela napas. Selama 30 tahun berkiprah di dunia militer, ia banyak mendengar hal yang aneh. Para pilot yang melihat UFO, kapal induk yang menyaksikan makhluk aneh berenang di lautan, penampakan misterius di dalam hutan saat para tentara mengadakan latihan militer, dan masih banyak lagi. Namun, tak ada yang menyamai keganjilan kasus ini.

“Pada pukul 10.54 waktu Texas, penduduk setempat menyaksikan sebuah pesawat yang jatuh di sebuah ladang pertanian di luar kota Austin. Polisi dan paramedis dikirim ke sana. Mereka membutuhkan waktu hingga dua jam untuk mencapainya karena daerah itu cukup terisolir. Di sanalah kami menemukanmu, terluka parah, di sela-sela reruntuhan pesawat kalian.”

Pria itu menghela napas lagi, tahu bahwa apa yang akan dikatakannya takkan terdengar masuk akal.

“Padahal baru pada jam 11 tepat, pesawat kalian berangkat dari pangkalan ulang-alik NASA di Houston.”

“Apa?” Sam seakan tak mempercayainya, “Satu-satunya hal itu bisa terjadi adalah ...”

“Jika pesawat kalian memasuk vorteks waktu. Ya, aku tahu.”

Wormhole? Ta ... tapi wormhole hanya teori kan? Apa ada wormhole seperti itu di orbit Bumi?”

“Seharusnya tidak. Kami semestinya bisa mendeteksinya jika hal semacam itu ada.”

“La ... lalu pesawatku yang tinggal landas ... apa yang terjadi dengannya?”

“Kami kehilangan kontak dengannya begitu kami mengetahui tentang keberadaanmu di pesawat yang jatuh itu.”

“Kolapsnya fungsi gelombang karena adanya observasi,” jawab Sam, sembari berusaha menarik logika atas kejadian yang menimpanya, “Menurut Teori Mekanika Kuantum yang dibuktikan dengan eksperimen Kucing Schrodinger, dua realita yang berbeda tak bisa menempati satu semesta yang sama. Salah satu harus dipilih berdasarkan keputusan sang pengamat.”

“Mungkin wormhole itu menangkap pesawat kalian setelah kalian lepas dari orbit Bumi dan kemudian menarik kalian ke suatu tempat yang jauh. Namun, kemana?” Bill menatapnya lekat-lekat, “Apa kau ingat kemana kalian pergi?”

Sam menggeleng, “Tidak. Komandan. Aku bahkan tak ingat apa yang terjadi pada Amara dan Luke. Dimana mereka?”

“Kami sudah menguburkan jenazah Kapten Luke. Dia meninggal akibat kecelakaan itu. Tragis sekali. Namun Dokter Amara … ” Bill menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kami tak pernah menemukannya.”

***

 

Sam akhirnya dilepaskan dari rumah sakit. Pihak NASA berusaha melindunginya dari liputan media massa dan tak membiarkan siapapun mendekatinya. Bukan hanya demi menjaga kewarasan pemuda itu, tapi juga untuk melindungi reputasi mereka sendiri.

Bayangkan headline surat kabar jika kasus yang menimpa astronot itu terbongkar.

Misi untuk mendaratkan manusia pertama di Mars gagal! Pesawat mereka lenyap begitu tiba di orbit Bumi dan ditemukan kandas kembali di Bumi, enam menit sebelum pesawat itu berangkat, melanggar semua hukum fisika yang ada.”

Seharusnya mereka sampai di Mars 300 hari setelah mereka lepas landas dari Bumi, menghabiskan 10,5 jam di permukaan Mars (separuh dari waktu yang dihabiskan awak Apollo 11 yang menginjak Bulan untuk pertama kalinya) untuk menghindari radiasi, kemudian menempuh 300 hari perjalanan kembali. Ya, semestinya perjalanan itu menghabiskan waktu hingga 20 bulan. Namun, nyatanya mereka kembali enam menit sebelum mereka bahkan berangkat. Bagaimana bisa?

Sam duduk di atas sebuah kursi kayu. Para wartawan ribut mengikuti mobil yang ditumpangi ibunya dan seorang pria di atas kursi roda yang dibayar untuk menyaru sebagai dirinya. Ia hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat van dari berbagai stasiun berita terkenal dunia, mulai dari CNN, BBC, hingga Al-Jazeera mengikuti mobil berisi gadungan itu.

Dikeluarkannya sebuah pemantik api dari dalam jasnya. Tertulis inisial “A” di atasnya. Benda ini adalah satu-satunya kenangan yang ia miliki tentang Amara. Gadis itu membelikannya untuk ulang tahunnya.

“Sam.” panggil seorang gadis. Ia tersentak mendengar suara itu. Dimasukkannya kembali korek itu ke dalam saku jasnya, kemudian ia menoleh.

“Amara?” tanyanya tak percaya, “Kau masih hidup?”

***

 

“Apa kau benar-benar tak ingat akan apa yang terjadi pada kita?” tanya Amara. Mereka berdua kini duduk di sebuah bangku di taman, menatap lautan.

“Tidak, sama sekali.”

“Bahkan planet yang kita darati?”

“Planet?” Sam terkesiap, “Maksudmu kita berhasil mendarat di Mars?”

Amara menggeleng, “Bukan, Sam. Awalnya kita juga mengira itu Mars, tapi ternyata ...”

“Ceritakan padaku, Amara! Apa yang terjadi sebenarnya? Bagaimana kau bisa selamat?”

“Kenapa kau tidak menanyakannya pada Bill?”

“Komandan? Bagaimana bisa dia tahu semua ini?”

“Komandan? Cih!” Amara meludah karena marah, “Kau masih memanggilnya dengan sebutan seperti itu setelah apa yang ia lakukan pada kita?”

“Apa maksudmu? Aku tidak paham!”

“Dia menjadikan kita kelinci percobaan, Sam! Dia menjebak kita. Dia-lah yang mengarahkan kita menuju wormhole itu.”

“Apa? Itu mustahil!” seru Sam tak percaya, “Teknologi kita belum mampu menciptakan wormhole.”

“Sudah,” balas Amara, ia bahkan tak menatap wajah Sam.

“Apa? Bagaimana bisa?” Sam tertegun.

“Itu tidak penting,” balas Amara, “Yang jelas NASA diam-diam mengembangkan teknologi itu dan mereka mengetesnya kepada kita dalam misi ke Mars itu. Hanya saja ... kita tak pernah mendarat ke planet itu.”

“La ... lalu dimana kita mendarat? Katakan kepadaku, aku tak bisa mengingat itu semua! Apa yang sebenarnya terjadi pada misi kita?”

Amara menatapnya, “Awalnya kita berpikir, dimanapun kita mendarat saat itu, tempat itu adalah neraka ...”

***

 

“Sam! Bangun!” Amara menggoncang-goncangkan bahunya. Pemuda  itupun membuka matanya dan melihat gadis berambut pirang itu menatapnya cemas.

“Amara? A ... apa yang terjadi?” tanyanya lirih.

“Kita mendarat ... di suatu tempat ...”

“Dimana?” Sam bergegas bangun, “Apa kita sudah sampai di Mars?”

Ada gravitasi yang menarik kaki mereka ke bawah, berarti mereka berada dalam kungkungan suatu planet. Mungkin Bumi, atau mungkin lokasi yang lebih eksotik lagi.

Amara menggeleng, “Mustahil! Baru beberapa jam setelah peluncuran. Seharusnya kita masih berada di orbit Bumi, tapi tempat ini jelas bukan Bumi.”

“Bulan? Apa mungkin ini Bulan?”

“Tidak!” Amara kembali menggeleng, “Ada atmosfer di sini, sehingga Luke ...”

“Luke?” Sam tiba-tiba tersadar bahwa ia masih memiliki satu lagi rekan di sini, “Dimana dia?”

“Dia sudah gila! Dia pergi keluar tanpa helm!”

Sam segera bergegas. Dicapainya jendela terdekat dan ia terkesiap melihat panorama alien di depan matanya.

“I ... ini ...” pria itu tercengang, “Planet apa ini?”

Sam melihat pilar-pilar hitam menjulang bak pepohonan di antara apa yang dilihatnya seperti bebatuan dan tanah yang kering. Pemandangan eksotik seperti itu tak pernah dilihatnya di planet asalnya. Langitnya juga tak kalah ganjil, dengan awan-awan ungu dan atmosfer yang berwarna keemasan. Selain itu, dilihatnya bulan yang biasanya menghiasi angkasa digantikan dengan dua planet yang terlihat menggantung dari kejauhan. Salah satu diantaranya memiliki cincin, seperti Saturnus.

Namun, ia lebih terperanjat lagi melihat rekannya berjalan di antara lanskap yang aneh itu.

“Luke?” jeritnya, “Apa yang dia lakukan di luar sana!”

Ia langsung menoleh ke arah Amara, “Tega-teganya kau biarkan dia sendirian di sana? Kenapa kau tidak melarangnya keluar?”

“Aku sudah!” Amara berusaha membela dirinya, “Namun ... namun ia terus mengatakan hal aneh.”

“Hal aneh apa?” Sam tak bisa membayangkan apa yang terdengar lebih aneh ketimbang planet asing yang mereka darati ini.

Amara terlihat enggan menceritakannya, “Bahwa pesawat kita masuk ke terowongan setelah kita lepas landas dan kita berdua pingsan, tetapi dia tetap sadar, terikat di kursinya. Dan ...”

“Dan apa?” tanya Sam tak sabar.

“Dan bahwa sepanjang perjalanan melalui terowongan itu, kita sudah melalui waktu ratusan tahun lamanya ... dan ia terus tersadar selama berabad-abad ...”

BERSAMBUNG

 

3 comments:

  1. Mantap ceritanya bang dave

    ReplyDelete
  2. Hah? Kok bisa? 😱😱😱😱😱😱😱😱

    ReplyDelete
  3. Hah? Kok bisa? 😱😱😱

    ReplyDelete