A LOVECRAFTIAN NOVEL
GALAKSI
ini adalah tempat yang riuh.
Banyak
yang membayangkan alam semesta adalah tempat yang sunyi, tetapi kenyataannya
tidak. Elena tahu benar hal itu.
Secara
teoritis, tak ada suara di ruang hampa udara, sehingga tak ada molekul ataupun
atom yang dapat dirambati getaran energinya. Namun, ruang angkasa tidaklah
benar-benar hampa seperti anggapan orang. Ada banyak energi dan gelombang yang
bertabrakan secara acak di sana, mulai dari cahaya, gravitasi, elektromagnetik,
hingga radiasi nuklir. Getaran-getaran itu memang tak bisa didengar manusia,
tetapi itu tak serta merta menihilkan keberadaan mereka.
Seandainya
kita bisa mendengarnya, akankah suara itu acak dan berisik, ataukah justru
terdengar merdu seperti musik yang dialunkan alam semesta?
Jika
suara itu seperti sebuah bahasa, adakah yang mampu menerjemahkannya, seperti
sebuah wahyu yang diturunkan kepada para wali?
Majalah
“Time” sendiri sudah mendapuk Elena Banyubiru sebagai seorang nabiah yang
bertugas menguak rahasia yang dipendam alam semesta. Seorang aulia yang
memiliki intelegensi dan kharisma, sehingga matahari senja dan seluruh
konstelasi perbintangan di galaksi ini akan tunduk kepadanya; begitulah mungkin
jika sebuah puisi Kahlil Gibran ditulis untuk menggambarkannya.
Namun,
Elena sama sekali tak menyukai sebutan itu. Nabiah, aulia ... semua sebutan itu
terdengar seperti peramal dan ia tak pernah menghargai hal-hal mistik yang
berbau metafisika seperti itu. Ia lebih suka dipanggil sebagai “detektif
partikel”. Ia ingin menjadi Satyendra Nath Bose yang menemukan boson, Albert
Einstein yang menemukan foton, atau Peter Higgs yang menemukan Partikel Tuhan.
Hasratnya adalah menyelidiki setiap atom di alam semesta ini, merunut awal
mulanya.
Bahkan
bila ia bisa lebih jauh lagi, ia ingin mundur ke sebelum waktu dilahirkan,
mengetahui apa yang ada sebelum alam semesta ini menjelma.
Bukan
sebuah anomali jika majalah seprestise “Time” menganugerahi gelar “Wanita Abad
Ini” kepada Elena, bahkan menggunakan wajahnya sebagai cover depan edisi
khusus dekade mereka serta mengelu-elukan dirinya sebagai calon penerima Nobel
Fisika tahun ini. Ini karena Elena berhasil melakukan apa yang tak pernah bisa
dilakukan generasi demi generasi ilmuwan sebelumnya.
Ia
berhasil menangkap foto beresolusi tinggi pertama yang mengintip ke dalam
Lubang Hitam.
Foto
tersebut didapatnya dari 8 observatorium khusus yang dibangun di lokasi-lokasi
eksotik di penjuru dunia, mulai dari puncak vulkanik Mauna Kea di Hawaii,
puncak gunung berapi purba Sierra Negra di Meksiko, puncak bersalju Sierra
Nevada di Spanyol, puncak gunung suci bagi kaum pribumi Amerika di Mount Graham
di Arizona, gurun Atacama di Chile, hingga benua beku Antartika.
Delapan
gambar yang dikirimkannya bak sebuah pixel, yang apabila digabungkan
dengan algoritma ciptaan Elena, akan menghasilkan sebuah mahakarya utuh.
Elena
sendiri tak pernah muncul ke depan publik semenjak prestasinya itu viral di
dunia digital. Foto Lubang Hitam yang berhasil ia gabungkan telah ditayangkan
di semua stasiun televisi. Potretnya telah dibagikan jutaan kali di media
sosial dan namanya bergaung di hampir seluruh surat kabar di dunia.
Seperti
layaknya seorang ilmuwan manapun yang introvert, ia tak begitu suka
dengan jepretan kamera dan pertanyaan para wartawan. Hanya senior dan
atasannya, Profesor James Eldritch, yang menjawab semua pertanyaan media. Toh,
Profesornya itu yang seharusnya mendapatkan penghargaan, sebab ia-lah yang
menginisiasi dan memimpin penelitian ini. Namun, dunia lebih beranggapan Elena
lebih pantas disorot. Mungkin karena ia seorang wanita dan dunia yang
patriarkis ini membutuhkan sosok wanita berprestasi demi sebuah dinamisme
keseimbangan.
“The next Marie Curie.” seorang pria
menepuk pundaknya dari belakang.
“Berhentilah
memanggilku begitu, Profesor.” tanpa menolehpun, Elena sudah tahu siapa pemilik
suara itu.
“Aku
takkan mendapatkan hadiah Nobel itu, saingannya terlalu berat. Mana mungkin aku
bersaing dengan ilmuwan CERN dan MIT? Lagipula, untuk menjadi setara dengan
Marie Curie, aku perlu memenangkan dua Nobel di dua bidang yang
berbeda.”
“Tapi
kau patut mendapatkannya, Elena.” pria itu mulai memijat bahunya. Elena
memejamkan matanya, mengistirahatkan batinnya sejenak dari semua kepenatan yang
bahkan tak ia sadari telah menggerayangi tubuhnya semenjak tadi. Iapun
menaikkan jemarinya dan menyentuh tangan pria itu dengan lembut.
“Hentikan,
Prof!”
“Yang
mana? Perkataanku atau pijatanku?”
Elena
tertawa, “Kau tahu maksudku. Omong kosongmu tentu saja.”
Tak
susah memang menebak apa sebenarnya hubungan yang terjalin antara profesor dan
muridnya itu. Umur mereka terpaut amat jauh, hampir tiga dekade. Namun, baik
Elena maupun Profesor Eldritch tak pernah mempermasalahkannya. Elena
menganggapnya sebagai mentor, guru, juga satu-satunya laki-laki yang pernah
baik kepadanya.
Wanita
itu kini tahu mengapa ia selalu menjauhi lelaki: karena semua pria yang
ditemuinya kekanak-kanakan. Berbicara dengan pria sedewasa profesornya adalah
hal yang baru, sebab seolah-olah ia mampu mengerti semua yang diucapkan Elena,
bahkan sebelum wanita itu mengutarakannya.
“Elena,”
Profesor Eldritch menghela napas, “Dari 900 penerima Nobel sepanjang sejarah,
hanya 51 di antaranya wanita. Bila dihitung, itu hanya 6 persen.”
“Prof,
kumohon hentikan!” Elena mulai merasa kesal, “Aku mulai merasa bahwa mereka
menghargaiku dan menyebutku pahlawan bukan karena prestasiku, melainkan karena
aku seorang wanita.”
“Kau
malah marah karenanya?” profesor itu heran, “Seharusnya kan kau bangga?”
“Aku
ingin diakui karena hasil jerih payahku, bukan sebagai agenda politis, gerakan
feminis, woke culture, atau apalah itu.”
wanita itu memutar kursinya dan menghadapnya.
“Oke,
karena itukah kau bekerja sampai jam 1 malam seperti ini?”
“Astaga,
sudah jam 1 malam?” dengan terkejut Elena menatap jam tangannya.
“Apa
yang kau kerjakan hingga lupa waktu begini?” Profesor Eldritch menaikkan
alisnya, “Gambar Lubang Hitam lagi? Bukanlah itu sudah selesai?”
“Tak
ada yang selesai, Prof! Bukankah kita sepakat mengabadikan lubang hitam ini
dari waktu ke waktu untuk melihat evolusinya?”
“Tapi
orang lain kan bisa melakukannya? Kau sudah membuat algoritmanya, biarkan
teknisi lainnya yang ...”
“Aku
hanya mengeceknya kembali,” Elena buru-buru memotong, “Karena aku tak yakin
algoritmaku melakukan hal yang benar.”
“Apa
maksudmu?” profesor itu memicingkan mata, “Maksudmu algoritmanya salah? Bagaimana
bisa?”
Elena
menghela napas panjang, lalu menatap profesor itu dalam-dalam.
“Prof,
aku akan mengatakan sesuatu kepadamu, tapi berjanjilah kau akan
merahasiakannya!”
Tatapan
Elena begitu serius hingga nyaris membuat profesor itu tertawa.
“Ada
apa sih? Masa kau masih tidak pede dengan ciptaanmu sendiri?”
“Karena
algoritmaku melakukan hal yang tak mungkin.” Elena berbalik dan mengambil
sebuah file berisi gambar-gambar Lubang Hitam itu, kemudian mengulurkan
foto yang pertama kali ia ambil. “Aku mengambilnya setiap 15 hari semenjak foto
pertama.”
“Ya,
semua orang tahu foto ini. Foto Lubang Hitam yang terkenal dengan halo emasnya,
sisa radiasi foton yang terpencar ketika ia menelan sebuah bintang.”
“Ini
15 hari kemudian.” Elena mengulurkan foto lain. “Lihat di pusatnya!”
“Hmmm
...” profesor itu mengambil kacamata di sakunya dan mengenakannya, “Terlihat
tidak berbeda. Hanya ada warna hitam pekat.”
“Lihat
baik-baik, Profesor!”
Pria
tua itu memicingkan matanya, “Apa ini? Bercak abu-abu?”
Ia
melepas kacamatanya dan menatap Elena, “Ini bukan apa-apa. Mungkin pantulan
cahaya atau refraksi debu di lensa teleskop.”
“Ya,
Prof. Semula itu juga yang kupikirkan. Namun, ini foto berikutnya yang saya
ambil 15 hari setelah foto itu.”
“Noda
itu ... noda itu bertambah besar?” pria itu kaget.
“Maka
dari itu, aku tak habis pikir.” Elena menyandarkan punggungnya ke kursi.
Pikirannya sudah terlalu lelah untuk memahami semua ini. “Apapun noda itu,
jelas ia keluar dari Lubang Hitam itu.”
“Keluar?”
profesor itu menatapnya tak percaya. “Kau tahu sendiri kan sifat Lubang Hitam
seperti apa? Tak ada yang mampu keluar darinya karena gaya gravitasinya yang
mahatinggi. Bahkan cahaya sekalipun!”
“Ini
belum apa-apa, Prof. Hasilnya akan lebih aneh jika aku memperjelas gambarnya.”
“Kau
bisa memperjelasnya lagi? Bukankah ini resolusi terkuatnya?”
“Bukan
dengan zoom, tapi dengan mengatur kecerahannya.”
Tangan
Elena mulai bergerak. Ia membuka file foto itu dan mulai mengatur brightness
dan contrast-nya.
“Astaga!”
tatap profesor itu penuh tanda tanya, “Itu mustahil. Itu seperti ...”
“Tentakel
bukan?” Elena menatap dari balik kaca matanya, “Seperti tentakel cumi-cumi atau
gurita ...”
“Yang
berukuran raksasa!” lanjut profesor itu, “Kau tahu kan diameter lubang hitam
itu 3 ribu kali ukuran Matahari?”
“Itulah
mengapa kupikir letak kesalahannya ada di algoritmaku. Jelas ada sesuatu yang
salah di sini ...”Elena tak meneruskan perkataannya. Ia masih memegangi
kepalanya sambil menyandarkan lengannya ke meja.
Sejenak
ia diam, lalu menatap mata profesor itu.
“Prof,
pernahkah kau merasa diawasi?”
“Diawasi?”
ia heran akan perubahan topik pembicaraan itu, “Maksudmu?”
“Ya,
perasaan seperti seseorang atau sesuatu tengah memperhatikan kita tanpa
sepengetahuan kita?”
“Kenapa
kau menanyakan itu?”
“Karena
...” ia mengangkat foto Lubang Hitam pertama yang membuat namanya harum di
penjuru dunia, “Ketika aku melihat foto ini, aku merasa ada yang mengawasi kita
dari dalam Lubang Hitam ini.”
Elena
kembali menoleh ke profesor itu (yang jelas terdiam karena perkataan Elena
barusan) sambil tertawa.
“Ah,
maaf! Aku meracau. Ini kedengaran gila bukan?”
“Ini
seperti yang sudah diramalkan Hawkings.”
“Stephen
Hawkings?” Elena mengacu pada fisikawan penerima Nobel itu.
“Ya.
Dia mengatakan bahwa usaha kita untuk mengontak kehidupan lain di luar sana
amatlah berbahaya. Sebab jika mereka benar ada, kemungkinan besar kehidupan
alien itu akan berusaha menjajah kita. Ia mengibaratkan para alien itu sebagai
para penjelajah Eropa yang berusaha memusnahkan penduduk Benua Amerika ketika
mereka pertama kali tiba di sana.”
“Alien?”
kini Elena merasa bahwa perkataan profesor itu lebih gila daripada dirinya
tadi.
“Hanya
kali ini kita tanpa sengaja mengadakan kontak pada mereka.” bisik
profesor itu, “Ketika kita menatap-nya, ia balik menatap kita. Kini,
ia menyadari keberadaan kita.”
“Apa
yang Prof maksudkan? Siapa 'dia' itu?” Elena bingung karena penjelasan
gurunya itu kini menggelitik bak teka-teki.
Profesor
Eldritch membalik semua gambar-gambar lubang hitam itu dan menggengam
tangannya.
“Ayo,
ikut aku!”
***
“Aku
tak pernah masuk sedalam ini hingga ke perpustakaan.” Elena pertama kali
berjalan di lorong itu. Bagian bangunan yang lebih modern dari kampusnya kini
telah ia tinggalkan. Semakin jauh ia memasuki lorong ini, interior bangunan
bertambah tua dengan lengkung-lengkung khas Romawi dan pilar-pilar bergaya
Corinthian. Jelas, dari gaya arsitekturnya yang amat kuno, bangunan ini sudah
dibangun semenjak ratusan tahun, mungkin tak lama setelah para kolonis-kolonis
Eropa pertama menginjakkan kakinya di Benua Amerika.
“Simbol
ini?” Elena berhenti karena tertegun melihat simbol yang terukir di salah satu
pilar. “Freemason?”
“Ya,
benar. Freemason yang mendesain perpustakaan kampus ini ratusan tahun lalu.”
profesor itu menatapnya. “Nah, mulai dari sini kita harus menggunakan ini.”
Profesor
itu mengambil dua buah lentera minyak. Ia lalu menunjuk ke sebuah tangga yang
mengarah ke dalam kegelapan.
“Kita
akan pergi ke sana. Kau tidak membawa alat elektronik apapun kan, I-Phone, smartwatch, atau airpod?”
Elena
menggeleng, “Tapi kenapa kita memakai lentera ini? Apa tidak ada listrik di
bawah sana?”
“Tidak,
alat-alat modern sangatlah tabu untuk berada di sana. Tak boleh ada gelombang
elektromagnetik sedikitpun di dalam sana, supaya tempat itu tidak terlacak.”
“Terlacak?”
“Walaupun
sudah didirikan lebih dari seratus tahun lalu, tapi para pembuat bangunan ini
sudah tahu suatu saat gelombang elektromagnetik akan dapat dimanfaatkan untuk
komunikasi, kita kini menyebutnya wi-fi.”
pria itu menjelaskan, “Jadi, tidak boleh ada satupun gagdet yang tersambung dengan internet, apapun yang bisa dilacak
atau dibajak, boleh masuk ke bawah sana!”
“Apa
ada sesuatu yang penting yang disimpan di dalam perpustakaan?”
Profesor
Eldritch hanya tersenyum, tak menjawab. Ia kemudian menuntun Elena menuruni
tangga itu, menuju ke sebuah bunker dengan pintu yang amat tebal. Ia
mengeluarkan sebuah kunci besar yang terlihat amat tua dan membukanya.
“Apa
ini bunker nuklir?” Elena tak paham rahasia sepenting apa yang disimpan di
perpustakaan kampusnya hingga mereka harus menguncinya seketat ini. “Apakah saat
membangunnya, para Freemason juga tahu di masa depan akan ada kekuatan senjata
sedahsyat nuklir, sehingga mereka membuat bunker ini begitu tebal?”
Elena
makin terperangah ketika menyadari hanya ada sebuah rak kaca di ruangan itu. Di
dalam rak itu, tergeletak sebuah buku.
“Selamat
datang di koleksi paling berharga dari kampus ini.” Profesor Eldritch
mengeluarkan sebuah buku berlapis sampul kulit yang sudah terlihat amat usang.
Ada tanda di sampul depannya, seperti pentagram dengan bintang terbalik di
dalamnya.
“Buku
apa itu, Prof?”
“Necronomicon.”
“Necronomicon?”
tanya Elena, “Apa itu?”
“Sebuah
buku yang dilarang,” Profesor itu membukanya, “Buku ini lebih tua dari agama
apapun, bahkan banyak bagiannya yang telah hilang. Namun, yang paling menarik
adalah ...”
Ia
melepaskan beberapa lembar kertas dari buku itu. Terlihat bahwa
lembaran-lembaran naskah itu bukan merupakan bagian asli dari buku itu, melainkan
tambahan yang seakan diselipkan di dalamnya.
“Membaca
Necronomicon amatlah terlarang, tapi naskah-naskah ini berbeda.” ujarnya
sembari menyodorkannya kepada Elena.
“Naskah
apa ini?” Elena menerimanya.
“Kesaksian.”
“Kesaksian?
Tentang apa?”
“Pengalaman
mereka yang telah bertemu dengan Outer Gods.”
“Outer Gods?” Elena menatapnya, “Apa
itu?”
“Tuhan,”
jawabnya singkat, tapi buru-buru ia meralat, “Namun bukan seperti Tuhan dalam
agama Abrahamaik yang digambarkan penuh cinta kasih. Tuhan-tuhan ini jauh lebih
tua ketimbang alam semesta ini. Mereka memiliki kekuatan yang amat besar, akan
tetapi ...”
“Tapi
apa?”
“Bisakah
kau bayangkan jika seandainya tuhan yang memiliki kekuatan mahadahsyat itu bukanlah
sosok penyayang? Seperti itulah mereka.” jelas profesor itu dengan wajah
tegang, “Mengetahui keberadaan mereka adalah pengetahuan yang dilarang dan
sangatlah berbahaya.”
Elena
memicingkan matanya, “Apakah ini ada hubungannya dengan entitas yang keluar
dari dalam Lubang Hitam itu?”
BERSAMBUNG
bang dave boleh ga ceritanya di share ke group wa?
ReplyDeleteWoah 👁👄👁
ReplyDelete