Monday, October 2, 2023

LOVELESS CREATION: CHAPTER 1 – THE WATCHER

 A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

GALAKSI ini adalah tempat yang riuh.

Banyak yang membayangkan alam semesta adalah tempat yang sunyi, tetapi kenyataannya tidak. Elena tahu benar hal itu.

Secara teoritis, tak ada suara di ruang hampa udara, sehingga tak ada molekul ataupun atom yang dapat dirambati getaran energinya. Namun, ruang angkasa tidaklah benar-benar hampa seperti anggapan orang. Ada banyak energi dan gelombang yang bertabrakan secara acak di sana, mulai dari cahaya, gravitasi, elektromagnetik, hingga radiasi nuklir. Getaran-getaran itu memang tak bisa didengar manusia, tetapi itu tak serta merta menihilkan keberadaan mereka.

Seandainya kita bisa mendengarnya, akankah suara itu acak dan berisik, ataukah justru terdengar merdu seperti musik yang dialunkan alam semesta?

Jika suara itu seperti sebuah bahasa, adakah yang mampu menerjemahkannya, seperti sebuah wahyu yang diturunkan kepada para wali?

Majalah “Time” sendiri sudah mendapuk Elena Banyubiru sebagai seorang nabiah yang bertugas menguak rahasia yang dipendam alam semesta. Seorang aulia yang memiliki intelegensi dan kharisma, sehingga matahari senja dan seluruh konstelasi perbintangan di galaksi ini akan tunduk kepadanya; begitulah mungkin jika sebuah puisi Kahlil Gibran ditulis untuk menggambarkannya.

Namun, Elena sama sekali tak menyukai sebutan itu. Nabiah, aulia ... semua sebutan itu terdengar seperti peramal dan ia tak pernah menghargai hal-hal mistik yang berbau metafisika seperti itu. Ia lebih suka dipanggil sebagai “detektif partikel”. Ia ingin menjadi Satyendra Nath Bose yang menemukan boson, Albert Einstein yang menemukan foton, atau Peter Higgs yang menemukan Partikel Tuhan. Hasratnya adalah menyelidiki setiap atom di alam semesta ini, merunut awal mulanya.

Bahkan bila ia bisa lebih jauh lagi, ia ingin mundur ke sebelum waktu dilahirkan, mengetahui apa yang ada sebelum alam semesta ini menjelma.

Bukan sebuah anomali jika majalah seprestise “Time” menganugerahi gelar “Wanita Abad Ini” kepada Elena, bahkan menggunakan wajahnya sebagai cover depan edisi khusus dekade mereka serta mengelu-elukan dirinya sebagai calon penerima Nobel Fisika tahun ini. Ini karena Elena berhasil melakukan apa yang tak pernah bisa dilakukan generasi demi generasi ilmuwan sebelumnya.

Ia berhasil menangkap foto beresolusi tinggi pertama yang mengintip ke dalam Lubang Hitam.

 


Foto tersebut didapatnya dari 8 observatorium khusus yang dibangun di lokasi-lokasi eksotik di penjuru dunia, mulai dari puncak vulkanik Mauna Kea di Hawaii, puncak gunung berapi purba Sierra Negra di Meksiko, puncak bersalju Sierra Nevada di Spanyol, puncak gunung suci bagi kaum pribumi Amerika di Mount Graham di Arizona, gurun Atacama di Chile, hingga benua beku Antartika.

Delapan gambar yang dikirimkannya bak sebuah pixel, yang apabila digabungkan dengan algoritma ciptaan Elena, akan menghasilkan sebuah mahakarya utuh.

Elena sendiri tak pernah muncul ke depan publik semenjak prestasinya itu viral di dunia digital. Foto Lubang Hitam yang berhasil ia gabungkan telah ditayangkan di semua stasiun televisi. Potretnya telah dibagikan jutaan kali di media sosial dan namanya bergaung di hampir seluruh surat kabar di dunia.

Seperti layaknya seorang ilmuwan manapun yang introvert, ia tak begitu suka dengan jepretan kamera dan pertanyaan para wartawan. Hanya senior dan atasannya, Profesor James Eldritch, yang menjawab semua pertanyaan media. Toh, Profesornya itu yang seharusnya mendapatkan penghargaan, sebab ia-lah yang menginisiasi dan memimpin penelitian ini. Namun, dunia lebih beranggapan Elena lebih pantas disorot. Mungkin karena ia seorang wanita dan dunia yang patriarkis ini membutuhkan sosok wanita berprestasi demi sebuah dinamisme keseimbangan.

“The next Marie Curie.” seorang pria menepuk pundaknya dari belakang.

“Berhentilah memanggilku begitu, Profesor.” tanpa menolehpun, Elena sudah tahu siapa pemilik suara itu.

“Aku takkan mendapatkan hadiah Nobel itu, saingannya terlalu berat. Mana mungkin aku bersaing dengan ilmuwan CERN dan MIT? Lagipula, untuk menjadi setara dengan Marie Curie, aku perlu memenangkan dua Nobel di dua bidang yang berbeda.”

“Tapi kau patut mendapatkannya, Elena.” pria itu mulai memijat bahunya. Elena memejamkan matanya, mengistirahatkan batinnya sejenak dari semua kepenatan yang bahkan tak ia sadari telah menggerayangi tubuhnya semenjak tadi. Iapun menaikkan jemarinya dan menyentuh tangan pria itu dengan lembut.

“Hentikan, Prof!”

“Yang mana? Perkataanku atau pijatanku?”

Elena tertawa, “Kau tahu maksudku. Omong kosongmu tentu saja.”

Tak susah memang menebak apa sebenarnya hubungan yang terjalin antara profesor dan muridnya itu. Umur mereka terpaut amat jauh, hampir tiga dekade. Namun, baik Elena maupun Profesor Eldritch tak pernah mempermasalahkannya. Elena menganggapnya sebagai mentor, guru, juga satu-satunya laki-laki yang pernah baik kepadanya.

Wanita itu kini tahu mengapa ia selalu menjauhi lelaki: karena semua pria yang ditemuinya kekanak-kanakan. Berbicara dengan pria sedewasa profesornya adalah hal yang baru, sebab seolah-olah ia mampu mengerti semua yang diucapkan Elena, bahkan sebelum wanita itu mengutarakannya.

“Elena,” Profesor Eldritch menghela napas, “Dari 900 penerima Nobel sepanjang sejarah, hanya 51 di antaranya wanita. Bila dihitung, itu hanya 6 persen.”

“Prof, kumohon hentikan!” Elena mulai merasa kesal, “Aku mulai merasa bahwa mereka menghargaiku dan menyebutku pahlawan bukan karena prestasiku, melainkan karena aku seorang wanita.”

“Kau malah marah karenanya?” profesor itu heran, “Seharusnya kan kau bangga?”

“Aku ingin diakui karena hasil jerih payahku, bukan sebagai agenda politis, gerakan feminis, woke culture, atau apalah itu.” wanita itu memutar kursinya dan menghadapnya.

“Oke, karena itukah kau bekerja sampai jam 1 malam seperti ini?”

“Astaga, sudah jam 1 malam?” dengan terkejut Elena menatap jam tangannya.

“Apa yang kau kerjakan hingga lupa waktu begini?” Profesor Eldritch menaikkan alisnya, “Gambar Lubang Hitam lagi? Bukanlah itu sudah selesai?”

“Tak ada yang selesai, Prof! Bukankah kita sepakat mengabadikan lubang hitam ini dari waktu ke waktu untuk melihat evolusinya?”

“Tapi orang lain kan bisa melakukannya? Kau sudah membuat algoritmanya, biarkan teknisi lainnya yang ...”

“Aku hanya mengeceknya kembali,” Elena buru-buru memotong, “Karena aku tak yakin algoritmaku melakukan hal yang benar.”

“Apa maksudmu?” profesor itu memicingkan mata, “Maksudmu algoritmanya salah? Bagaimana bisa?”

Elena menghela napas panjang, lalu menatap profesor itu dalam-dalam.

“Prof, aku akan mengatakan sesuatu kepadamu, tapi berjanjilah kau akan merahasiakannya!”

Tatapan Elena begitu serius hingga nyaris membuat profesor itu tertawa.

“Ada apa sih? Masa kau masih tidak pede dengan ciptaanmu sendiri?”

“Karena algoritmaku melakukan hal yang tak mungkin.” Elena berbalik dan mengambil sebuah file berisi gambar-gambar Lubang Hitam itu, kemudian mengulurkan foto yang pertama kali ia ambil. “Aku mengambilnya setiap 15 hari semenjak foto pertama.”

“Ya, semua orang tahu foto ini. Foto Lubang Hitam yang terkenal dengan halo emasnya, sisa radiasi foton yang terpencar ketika ia menelan sebuah bintang.”

“Ini 15 hari kemudian.” Elena mengulurkan foto lain. “Lihat di pusatnya!”

“Hmmm ...” profesor itu mengambil kacamata di sakunya dan mengenakannya, “Terlihat tidak berbeda. Hanya ada warna hitam pekat.”

“Lihat baik-baik, Profesor!”

Pria tua itu memicingkan matanya, “Apa ini? Bercak abu-abu?”

Ia melepas kacamatanya dan menatap Elena, “Ini bukan apa-apa. Mungkin pantulan cahaya atau refraksi debu di lensa teleskop.”

“Ya, Prof. Semula itu juga yang kupikirkan. Namun, ini foto berikutnya yang saya ambil 15 hari setelah foto itu.”

“Noda itu ... noda itu bertambah besar?” pria itu kaget.

“Maka dari itu, aku tak habis pikir.” Elena menyandarkan punggungnya ke kursi. Pikirannya sudah terlalu lelah untuk memahami semua ini. “Apapun noda itu, jelas ia keluar dari Lubang Hitam itu.”

“Keluar?” profesor itu menatapnya tak percaya. “Kau tahu sendiri kan sifat Lubang Hitam seperti apa? Tak ada yang mampu keluar darinya karena gaya gravitasinya yang mahatinggi. Bahkan cahaya sekalipun!”

“Ini belum apa-apa, Prof. Hasilnya akan lebih aneh jika aku memperjelas gambarnya.”

“Kau bisa memperjelasnya lagi? Bukankah ini resolusi terkuatnya?”

“Bukan dengan zoom, tapi dengan mengatur kecerahannya.”

Tangan Elena mulai bergerak. Ia membuka file foto itu dan mulai mengatur brightness dan contrast-nya.

“Astaga!” tatap profesor itu penuh tanda tanya, “Itu mustahil. Itu seperti ...”

“Tentakel bukan?” Elena menatap dari balik kaca matanya, “Seperti tentakel cumi-cumi atau gurita ...”

“Yang berukuran raksasa!” lanjut profesor itu, “Kau tahu kan diameter lubang hitam itu 3 ribu kali ukuran Matahari?”

“Itulah mengapa kupikir letak kesalahannya ada di algoritmaku. Jelas ada sesuatu yang salah di sini ...”Elena tak meneruskan perkataannya. Ia masih memegangi kepalanya sambil menyandarkan lengannya ke meja.

Sejenak ia diam, lalu menatap mata profesor itu.

“Prof, pernahkah kau merasa diawasi?”

“Diawasi?” ia heran akan perubahan topik pembicaraan itu, “Maksudmu?”

“Ya, perasaan seperti seseorang atau sesuatu tengah memperhatikan kita tanpa sepengetahuan kita?”

“Kenapa kau menanyakan itu?”

“Karena ...” ia mengangkat foto Lubang Hitam pertama yang membuat namanya harum di penjuru dunia, “Ketika aku melihat foto ini, aku merasa ada yang mengawasi kita dari dalam Lubang Hitam ini.”

Elena kembali menoleh ke profesor itu (yang jelas terdiam karena perkataan Elena barusan) sambil tertawa.

“Ah, maaf! Aku meracau. Ini kedengaran gila bukan?”

“Ini seperti yang sudah diramalkan Hawkings.”

“Stephen Hawkings?” Elena mengacu pada fisikawan penerima Nobel itu.

“Ya. Dia mengatakan bahwa usaha kita untuk mengontak kehidupan lain di luar sana amatlah berbahaya. Sebab jika mereka benar ada, kemungkinan besar kehidupan alien itu akan berusaha menjajah kita. Ia mengibaratkan para alien itu sebagai para penjelajah Eropa yang berusaha memusnahkan penduduk Benua Amerika ketika mereka pertama kali tiba di sana.”

“Alien?” kini Elena merasa bahwa perkataan profesor itu lebih gila daripada dirinya tadi.

“Hanya kali ini kita tanpa sengaja mengadakan kontak pada mereka.” bisik profesor itu, “Ketika kita menatap-nya, ia balik menatap kita. Kini, ia menyadari keberadaan kita.”

“Apa yang Prof maksudkan? Siapa 'dia' itu?” Elena bingung karena penjelasan gurunya itu kini menggelitik bak teka-teki.

Profesor Eldritch membalik semua gambar-gambar lubang hitam itu dan menggengam tangannya.

“Ayo, ikut aku!”

***

 

“Aku tak pernah masuk sedalam ini hingga ke perpustakaan.” Elena pertama kali berjalan di lorong itu. Bagian bangunan yang lebih modern dari kampusnya kini telah ia tinggalkan. Semakin jauh ia memasuki lorong ini, interior bangunan bertambah tua dengan lengkung-lengkung khas Romawi dan pilar-pilar bergaya Corinthian. Jelas, dari gaya arsitekturnya yang amat kuno, bangunan ini sudah dibangun semenjak ratusan tahun, mungkin tak lama setelah para kolonis-kolonis Eropa pertama menginjakkan kakinya di Benua Amerika.

“Simbol ini?” Elena berhenti karena tertegun melihat simbol yang terukir di salah satu pilar. “Freemason?”

 


“Ya, benar. Freemason yang mendesain perpustakaan kampus ini ratusan tahun lalu.” profesor itu menatapnya. “Nah, mulai dari sini kita harus menggunakan ini.”

Profesor itu mengambil dua buah lentera minyak. Ia lalu menunjuk ke sebuah tangga yang mengarah ke dalam kegelapan.

“Kita akan pergi ke sana. Kau tidak membawa alat elektronik apapun kan, I-Phone, smartwatch, atau airpod?”

Elena menggeleng, “Tapi kenapa kita memakai lentera ini? Apa tidak ada listrik di bawah sana?”

“Tidak, alat-alat modern sangatlah tabu untuk berada di sana. Tak boleh ada gelombang elektromagnetik sedikitpun di dalam sana, supaya tempat itu tidak terlacak.”

“Terlacak?”

“Walaupun sudah didirikan lebih dari seratus tahun lalu, tapi para pembuat bangunan ini sudah tahu suatu saat gelombang elektromagnetik akan dapat dimanfaatkan untuk komunikasi, kita kini menyebutnya wi-fi.” pria itu menjelaskan, “Jadi, tidak boleh ada satupun gagdet yang tersambung dengan internet, apapun yang bisa dilacak atau dibajak, boleh masuk ke bawah sana!”

“Apa ada sesuatu yang penting yang disimpan di dalam perpustakaan?”

Profesor Eldritch hanya tersenyum, tak menjawab. Ia kemudian menuntun Elena menuruni tangga itu, menuju ke sebuah bunker dengan pintu yang amat tebal. Ia mengeluarkan sebuah kunci besar yang terlihat amat tua dan membukanya.

“Apa ini bunker nuklir?” Elena tak paham rahasia sepenting apa yang disimpan di perpustakaan kampusnya hingga mereka harus menguncinya seketat ini. “Apakah saat membangunnya, para Freemason juga tahu di masa depan akan ada kekuatan senjata sedahsyat nuklir, sehingga mereka membuat bunker ini begitu tebal?”

Elena makin terperangah ketika menyadari hanya ada sebuah rak kaca di ruangan itu. Di dalam rak itu, tergeletak sebuah buku.

“Selamat datang di koleksi paling berharga dari kampus ini.” Profesor Eldritch mengeluarkan sebuah buku berlapis sampul kulit yang sudah terlihat amat usang. Ada tanda di sampul depannya, seperti pentagram dengan bintang terbalik di dalamnya.

“Buku apa itu, Prof?”

Necronomicon.”

“Necronomicon?” tanya Elena, “Apa itu?”

“Sebuah buku yang dilarang,” Profesor itu membukanya, “Buku ini lebih tua dari agama apapun, bahkan banyak bagiannya yang telah hilang. Namun, yang paling menarik adalah ...”

Ia melepaskan beberapa lembar kertas dari buku itu. Terlihat bahwa lembaran-lembaran naskah itu bukan merupakan bagian asli dari buku itu, melainkan tambahan yang seakan diselipkan di dalamnya.

“Membaca Necronomicon amatlah terlarang, tapi naskah-naskah ini berbeda.” ujarnya sembari menyodorkannya kepada Elena.

“Naskah apa ini?” Elena menerimanya.

“Kesaksian.”

“Kesaksian? Tentang apa?”

“Pengalaman mereka yang telah bertemu dengan Outer Gods.”

Outer Gods?” Elena menatapnya, “Apa itu?”

“Tuhan,” jawabnya singkat, tapi buru-buru ia meralat, “Namun bukan seperti Tuhan dalam agama Abrahamaik yang digambarkan penuh cinta kasih. Tuhan-tuhan ini jauh lebih tua ketimbang alam semesta ini. Mereka memiliki kekuatan yang amat besar, akan tetapi ...”

“Tapi apa?”

“Bisakah kau bayangkan jika seandainya tuhan yang memiliki kekuatan mahadahsyat itu bukanlah sosok penyayang? Seperti itulah mereka.” jelas profesor itu dengan wajah tegang, “Mengetahui keberadaan mereka adalah pengetahuan yang dilarang dan sangatlah berbahaya.”

Elena memicingkan matanya, “Apakah ini ada hubungannya dengan entitas yang keluar dari dalam Lubang Hitam itu?”

 

BERSAMBUNG

 

2 comments:

  1. bang dave boleh ga ceritanya di share ke group wa?

    ReplyDelete
  2. Woah 👁👄👁

    ReplyDelete