A LOVECRAFTIAN NOVEL
“Kisah-kisah
ini,” ujar Elena sembari membuka-buka manuskrip itu, “Siapa yang menulisnya?”
“Entah.”
profesor itu mengangkat bahunya, “Nama mereka jelas tercantum di situ, tapi
kami tak pernah berhasil melacak keberadaan mereka. Kami berkesimpulan, mereka
yang tidak berasal dari dunia ini.”
“Apa
maksudnya?” Elena tercengang.
“Kisah
dari dimensi lain. Dunia yang mirip dengan kita, tapi mengalami nasib yang jauh
dari serupa.”
“Dunia
paralel?” multiverse bukan lagi konsep asing di kalangan ilmuwan, sehingga sama
sekali tak membuatnya heran, apalagi meragukannya. “Lalu kisah-kisah ini, semuanya tentang apa?
Mengapa kampus kita menganggapnya amat penting sehingga harus menyembunyikannya
dari dunia luar seperti ini?”
“Karena
jantung perpustakaan kita hanya menyimpan pengetahuan yang tak boleh dimiliki
manusia, Elena. Termasuk tentang makhluk-makhluk itu dan sejarah mereka, bahkan
cara memanggil mereka.”
“Dari
tadi kau terus menyebutkan tentang mereka, Prof. Namun, sebenarnya siapa mereka
itu?”
“Percuma
jika aku sendiri yang menjelaskannya. Mungkin kau takkan mampu menalarnya.
Lebih mudah jika kau baca saja cerita-cerita itu, mulai dari yang ini.”
Profesor Eldritch menunjuk ke salah satu halaman manuskrip, “Cerita ini
tidaklah berat untuk dipahami karena hanya menggambarkan entitas rendahan, dewa
kelas teri.”
Rasa
penasaran menarik Elena untuk membuka halaman tersebut dan mulai membacanya.
***
LAUT
hari ini begitu muram. Semua pasti akan berkesimpulan sama jika melihat warna
samudra dan langit yang sama-sama suram ini. Amelia bahkan menyangka bahwa
selama sejenak, dirinya menjadi buta warna. Sebab, hanya ada warna kelam
abu-abu yang ia lihat sepanjang perjalanan ini.
Kapalnya
akan merapat satu jam lagi. Udara dingin berhembus, akan ada badai katanya.
Apabila cuaca buruk, maka tak akan ada kapal ferry yang berani berlayar
dan pulau itu akan terputus dari dunia luar. Namun, Amelia siap mengambil
resiko itu. Toh, dia juga tak tahu berapa lama waktu yang akan ia habiskan di
pulau itu. Iapun tak berniat pulang sebelum ia menyelesaikan misinya.
“Kau
mau berlibur ke Pulau Merah?” tanya seorang pemuda. Dilihatnya ia bersandar
sambil merokok. “Ini musim hujan, waktu yang agak aneh untuk berjemur di pulau
itu.”
Amelia
tertawa, “Hanya ini satu-satunya waktu yang kupunya untuk liburan. Kau
sendiri?”
“Wartawan!”
pemuda itu menunjukkan kartu identitasnya.
“Muhammad
Luthfi?” tanya gadis itu, “Nama yang bagus.”
“Makasih,
kau sendiri?”
“Amelia.”
ia tersenyum, “Kau wartawan travel?”
“Yah,
bisa dibilang begitu.” Luthfi melepas rokoknya dan menghembuskan asap putih
berbentuk donat, mungkin untuk mengesankan gadis itu. “Pulau ini terkenal akan
pariwisatanya kan? Yah, walaupun nggak sekencang Bali atau Raja Ampat sih.
Bahkan di majalah Lonely Planet, kepopuleran pulau ini masih di bawah
Nusakambangan. Nusakambangan, bayangkan itu! Padahal itu pulau penjara.”
Amelia
tertawa, “Yah, pulaunya kan memang kecil. Belum lagi jaraknya dengan daratan
utama juga cukup jauh.”
“Apa
karena itu kau ke sini? Kau mencari pulau yang masih sepi untuk menghindari
turis lain?”
“Yah,
bisa dibilang begitu.” Amelia menatapnya, “Boleh kutanya sesuatu? Kenapa pulau
itu dinamakan Pulau Merah? Nama itu cukup seram menurutku.”
“Merah,”
pemuda itu menghembuskan asap dari mulutnya lagi, “Karena di pulau ini banyak
tumbuh pohon aren yang getahnya bisa untuk membuat gula merah. Bahkan saking
banyaknya, konon gula merah dari pulau ini dijual sampai ke pulau-pulau lain.
Tapi ada cerita lain pula tentang asal-usul nama pulau ini.”
“Cerita
apa?” Amelia menaikkan alisnya.
“Konon
dulu pulau ini tak bernama. Penduduknya tak repot-repot memberinya nama karena
toh mereka takkan pernah pergi dari pulau ini. Mereka juga jarang kedatangan
pendatang. Kemudian datanglah VOC dan seperti yang mereka lakukan di Banda
Naira, mereka melakukan genosida besar-besaran. Hanya beberapa puluh penduduk
yang katanya selamat dari ribuan orang yang dulu mendiami pulau ini.”
Luthfi
menghentikan ceritanya sebentar dan menatap Amelia, “Katanya akibat kejadian
itu, air laut di pulau ini berubah dari biru menjadi merah. Konon selama bulan
purnama dan air pasang, air laut di pantai pulau ini akan berubah menjadi
semerah darah.”
“Benarkah?”
Amelia teringat bahwa bulan purnama akan terjadi beberapa hari lagi.
Pemuda
itu tertawa, “Tapi tentu itu bukan karena kutukan atau apa. Saat bulan purnama,
permukaan air laut naik dan ganggang merah terbawa ke pantai. Karena itu, lautnya
jadi terlihat seperti darah.”
Amelia
tertawa. “Kau ini memang penghamba logika ya?”
“Itu
kemudian diperparah lagi oleh Tragedi 1965. Konon saat itu banyak mayat dari
daratan utama tersapu ke pantai dan lagi-lagi, lautan berubah menjadi seperti
darah. Tapi itu hanya cerita. Boleh percaya atau tidak.”
“Jadi
sepertinya ada banyak tragedi di pulau ini.” ujar Amelia, “Aku pernah membaca
kalau ganggang merah itu beracun dan membuat ikan mati. Pasti fenomena itu
memukul industri perikanan di tempat ini.”
“Yah,
kau benar. Dulu memang mayoritas penduduk di sini bekerja sebagai nelayan.
Namun sekarang, tidak lagi.”
“Mereka
bekerja di hotel?” Amelia menarik kesimpulan.
“Haha,
industri pariwisata di pulau ini belum semaju itu. Palingan hanya ada beberapa
penginapan kecil. Maksudku, semua laki-laki di pulau ini pergi ke luar negeri
untuk bekerja menjadi TKI. Itulah salah satu keunikan pulau ini.”
Luthfi
menoleh dan menatap karang-karang di Pulau Merah yang mulai terlihat. Amelia
sempat merasa pulau itu diombang-ambingkan oleh laut, padahal seharusnya kapal
mereka-lah yang tengah dipermainkan ombak.
“Hanya
tersisa perempuan saja di seluruh penjuru pulau itu.”
***
Jika
saja ia belum mendengar cerita Luthfi tadi, Amelia tentu akan heran mengapa
penduduk yang menyambutnya, membawakan tasnya untuk meraup sedikit uang jasa,
hingga melayaninya di penginapan, seluruhnya adalah perempuan. Bahkan selama
perjalanan ke satu-satunya desa di pulau ini dengan menaiki delman, hanya
wanitalah yang ia lihat bercengkerama, berjalan-jalan, dan duduk di teras rumah
mereka, menatap kedatangannya dengan paras ingin tahu. Tentu, karena kecilnya
pulau ini, mereka bisa membedakan dengan mudah siapa penduduk asli dan siapa
yang pendatang.
“Kau
juga menginap di sini?” Amelia heran melihat Luthfi keluar dari salah satu
kamar di losmennya.
“Ya,
hanya losmen ini saja yang buka di seluruh penjuru pulau. Hanya kita juga turis
di sini. Kan ini memang bukan peak season.”
“Omong-omong,
kau benar. Hanya ada perempuan di seluruh penjuru pulau. Aku masih merasa agak
aneh.”
Ia
tersenyum. “Cerita unik pulau inilah yang ingin kurekam. Aku ingin
berjalan-jalan, kau mau ikut?”
“Cuacanya
terlihat jelek. Aku ingin cari makan dulu.”
“Oke,
sampai ketemu nanti.” Luthfi tersenyum sambil meraih sepuntung lagi rokok dari
sakunya, “Aku punya feeling kita bakalan sering bertemu.”
***
Pulau
ini menyimpan rahasia, tapi Amelia tak menyalahkannya. Ia sendiri juga
menyimpan rahasia.
Ia
sudah berbohong pada wartawan itu. Ia tak ke sini untuk berlibur. Suasana pulau
ini pada musim hujan terlalu gloomy bagi siapapun untuk menikmatinya.
Bahkan kuda-kuda yang berkeliaran di sekitar jalan terlihat murung. Juga
burung-burung tak terdengar seperti bernyanyi, melainkan riuh menjerit. seakan
mereka tengah terperangkap dalam kandang tak terlihat dan ingin lepas. Ironis,
sebab mereka berada di alam dan bebas terbang kemana saja, kapanpun mereka mau.
Alasannya
datang bukanlah berwisata. Ia ke sini untuk menemui seseorang.
Sebuah
warung menarik perhatiannya. Warung itu bercat biru dengan atap dari rumbai dan
berdiri kokoh di tepi pantai. Jika saja ini musim yang ramah, Amelia
membayangkan betapa menyenangkannya duduk di sana sembari mendengar deburan
ombak dan terbuai angin yang tertiup dari laut. Sayang, langit abu-abu ini
bahkan tak membiarkan sesuap sinar matahari-pun turun menjelajahi pantai ini.
Amelia
duduk di sana, kemudian seorang gadis berpakaian tradisional keluar. Amelia
diam-diam kagum bagaimana pulau ini masih menjaga adat istiadatnya. Bahkan para
wanita di pulau ini semuanya masih bersanggul.
“Selamat
siang, Anda ingin memesan apa?” gadis itu tersenyum dengan ramah, “Kalau boleh
menyarankan, warung kami membuat milkshake paling enak di pulau ini.”
Amelia
balas tersenyum. “Apa benar ini Warung Bu Mutia?”
“Iya
benar.” senyum gadis itu masih belum luntur.
“Apa
saya bisa menemuinya?”
Pertanyaan
itu mengagetkan pelayan itu.
“Anda
ingin menemui ibu saya? Untuk apa?”
“Nora,
dengan siapa kamu berbicara? Apa ada tamu?” seorang wanita muncul dari balik
bilik yang Amelia duga adalah dapur. Wanita itu terlihat terkejut ketika
melihat Amelia.
Amelia
pun sama terkejutnya.
“Ma
... Mama?” bisiknya.
***
Amelia
menyodorkan kertas hasil tes DNA itu ke arah Bu Mutia.
“Dua
tahun lalu saya membutuhkan transfusi darah setelah kecelakaan yang menimpa
saya. Darah saya amatlah langka, tapi dokter mendapatkan seorang donor
bergolongan darah sama dari pulau ini yang katanya menjual darahnya. Uang sama
sekali bukan masalah bagi orang tua angkat saya. Akan tetapi semenjak itu saya
penasaran, sebab dokter mengatakan tipe darah saya ini hanya bisa diturunkan
oleh kerabat dekat saja. Karena itu, saya berusaha mencocokkan DNA darah saya
dengan darah Ibu dan hasilnya cocok.”
Bu
Mutia hanya terdiam.
“Bu
Mutia adalah mama kandung saya.” ujar Amelia dengan tatapan tajam.
“Aku
punya kakak?” Nora menatap ibunya tak percaya, “Kenapa Ibu tak menceritakannya
kepadaku? A ... apa Ayah tahu?”
Amelia
terkesiap mendengar nama itu. Ia bahkan tadinya tak berani berharap ayah
kandungnya masih hidup. “Dimana Papa sekarang?”
“Berlayar
jauh, seperti semua laki-laki di pulau ini.” guman Bu Mutia, “Tapi dia tidak
boleh tahu.”
“Kenapa?”
Amelia dan Nora berseru hampir bersamaan.
“Karena
dia bahkan tak tahu aku pernah mengandungmu. Sekarang pergilah!” Bu Mutia
bangkit dan kembali ke dapur warung berbilik bambu itu.
“Tu
... tunggu!” Amelia berusaha mencegahnya, tapi sia-sia.
***
Amelia
melangkah dengan gontai ke arah kamarnya. Rasa kecewa kembali menyeruak ketika
mengingat perlakuan ibu kandungnya tadi. Ia tak berharap bisa menjalin hubungan
yang harmonis dengan ibu yang baru saja ditemukannya. Tetapi Amelia juga tak
menduga ibunya akan sekejam itu menolak darah dagingnya sendiri.
Ia
berjalan-jalan di pantai tadi untuk mengusir rasa sedihnya. Namun, cuaca yang
memburuk memaksanya kembali ke losmen.
“Hei,
kau sudah kembali?” Luthfi memanggilnya, “Ada yang mencarimu tuh.”
“Mencariku?”
Amelia heran. Tak ada yang mengenalnya di pulau itu.
Ia
menoleh dan melihat Nora duduk menantinya.
***
“Maafkan
perlakuan Ibu tadi.” Nora akhirnya berkata setelah beberapa menit mereka
terdiam, “Ibu mungkin hanya shock melihatmu setelah lebih dari 20
tahun.”
“Apa
Mama tak menceritakannya kepadamu? Apa dia tak mengatakan kenapa dia
membuangku?”
Nora
menggeleng, “Mungkin karena terpaksa. Kondisi ekonomi pulau ini terpuruk sejak
20 tahun lalu. Semua laki-lakinya terpaksa harus bekerja di luar pulau dan
meninggalkan kami sendiri di sini. Mungkin Ibu tak sanggup merawatmu sendirian,
jadi terpaksa memberikanmu kepada orang lain.”
“Tapi
Mama mau merawatmu.” dalam hati Amelia merasa iri pada adiknya itu, akan tetapi
buru-buru ia menghapus perasaan itu.
“Yah,
mungkin karena kondisinya berbeda. Setiap kali pulang, para pria membawa uang
yang cukup untuk kami. Mungkin setelah itu, Ibu mampu untuk merawat seorang
anak dan mempertahankanku.” Nora menatap mata Amelia dengan hampir terisak,
“Kumohon jangan marah kepadanya.”
Amelia
menggeleng, “Tentu tidak. Aku tak berharap banyak saat datang ke sini. Aku
hanya ingin tahu kenapa, itu saja.”
“Apa
kau akan pergi setelah ini?”
Amelia
menatap ke langit yang mengintip dari patio losmennya, “Mungkin besok
atau lusa, jika cuaca membaik. Aku dengar di pelabuhan tadi kapal ferry
belum akan berlayar jika cuaca terus memburuk.”
“Tinggallah
selama yang kau mau di pulau ini.” Nora menggenggam tangannya, “Aku yakin Ibu
akan berubah pikiran.”
Amelia
tersenyum.
***
“Kau
mau menjual ceritamu ke stasiun televisi? Mungkin mereka akan membuat satu
episode reality show khusus untukmu.”
Amelia
tertawa mendengar candaan Luthfi itu. “Kupikir kau justru malah tertarik
menulis kisahku untuk surat kabarmu.”
“Aaaah,
aku tidak mengejar cerita semacam itu. Aku lebih tertarik pada pulau ini.”
“Memangnya
apa sih yang kau kerjakan?” sebagai satu-satunya turis di pulau itu, Amelia mau
tak mau hanya bisa berkeluh kesah pada Luthfi. Apalagi mereka memang terjebak
di pulau ini karena tak ada kapal yang beroperasi. “Seperti kau bilang sendiri,
ini bukan musim yang bagus untuk pelesiran di sini. Pasti kau mengerjakan
sesuatu yang lain, bukan laporan travelling.”
“Aku
lebih tertarik dengan mitologinya.” Luthfi menjelaskan.
“Oh,
itu menjelaskan kenapa kau tahu legenda asal mula nama Pulau Merah yang
menyeramkan itu. Kau juga benar! Lihat! Ganggang merah!” tunjuk Amelia.
Luthfi
tersenyum melihatnya. Teori itu benar. Lautan yang berdebur di depan mereka
seolah larut dalam warna merah menyala. Namun bukannya menyeramkan, samudra
justru terlihat makin indah. Warna terangnya begitu kontras dengan suasana
langit yang muram.
“Samudra
seolah berdenyut. Lihat, nyala warnanya seirama dengan deburan ombak,
seolah-olah mereka sedang bernapas.” Amelia menunduk dan melihat seekor makhluk
yang terdampar di pantai itu. “Dan kau salah, mereka bukan alga merah. Mereka
sejenis ubur-ubur.”
“Oh
ya? Kau benar. Bentuknya seperti jeli dan kenyal.” Luthfi hendak menyentuhnya,
tapi Amelia buru-buru melarangnya.
“Apa
kau gila? Itu adalah sejenis Portuegese Man O’War, salah satu hewan paling
beracun di dunia!”
“Beracun?
Kalau begitu, kenapa kerang-kerang itu menempel di atas tubuhnya?” tunjuk
Luthfi heran.
Amelia
mendekat dan Luthfi ternyata benar. Lantunan ombak membuat ubur-ubur merah itu
tergulung-gulung dan kulit-kulit kerang serta pasir menempel di sekelilingnya
begitu ia menggelinding di air.
“Mungkin
ubur-ubur itu mengekskresikan sejenis zat perekat? Seperti lem? Sebagai bentuk
adaptasinya untuk mencari makan?” Amelia tampak berpikir, “Namun hewan-hewan
yang menempel ini … mereka tak terlihat kesakitan, bahkan tak mencoba melarikan
diri? Bukankah ubur-ubur ini harusnya beracun?”
“Hmmm
... makhluk ini aneh sekali. Sama anehnya dengan mitologi pulau ini.”
“Mitologi
apa lagi? Bukannya kita baru saja mendapat jawaban kenapa pulau ini disebut
Pulau Merah?”
“Bukan,
lebih dari itu. Kau benar-benar belum pernah mendengar desas-desus tentang
pulau ini ya?”
“Desas-desus
apa?” Amelia terlihat tertarik.
“Pengorbanan
manusia.”
BERSAMBUNG
This comment has been removed by the author.
ReplyDeleteBang Dave, Teddy ada Chat di Karyakarsa. Semoga bisa dibaca ya😁👍.
ReplyDeleteTerima Kasih Bang Dave
Mana chapter 1 nya bang?
ReplyDeleteWadidaw 👁👄👁
ReplyDelete