A LOVECRAFTIAN NOVEL
Mereka
berdua melanjutkan perjalanan mereka menyusuri pantai, tak lagi tertarik dengan
hewan aneh yang mereka temui tadi.
“Jadi
kau benar-benar belum pernah mendengar desas-desus itu?”
Amelia menggeleng, terlihat tak sabar.
Luthfi
menghela napas. “Baik, akan kuceritakan dari awal. Pada musim kemarau, pulau
ini bisa dibilang makmur. Angin yang bertiup ke arah daratan utama juga
disertai arus air yang membawa banyak ikan. Jadi, para nelayan di musim itu
mendapat banyak tangkapan. Mereka juga bisa mengirimnya ke dataran utama
berserta komoditi gula merah bersama kapal mereka mereka menggunakan angin itu.
Namun, kebalikannya terjadi pada musim hujan.”
“Musim
seperti ini?”
“Tepat
sekali. Pada musim ini, angin bertiup ke arah sebaliknya. Begitu juga arus air
membawa ikan menjauhi pulau ini. Singkatnya, musim ini adalah bencana bagi
mereka.”
“Karena
itu seluruh pria di pulau ini pergi pada musim ini dan kembali di musim
berikutnya?”
“Tidak
sesimpel itu! Apa kau menyadari bahwa benar-benar tak ada satu priapun di pulau
ini? Benar-benar tak ada? Maksudku, jikapun mereka harus bekerja, paling tidak
ada satu dua orang perangkat desa seperti lurah atau kepala desa. Atau paling
tidak, mereka meninggalkan laki-laki untuk menjadi penjaga keamanan atau
polisi. Namun, kenyataannya tidak.”
“Oke,”
Amelia berpikir sejenak, “Kuakui itu memang aneh.”
“Dan
yang lebih ganjil lagi, apa kau tahu bahwa ada konsensus tak tertulis bagi
semua nelayan atau pemilik kapal untuk menghindari pulau ini pada musim hujan.
Bahkan kapal ferry-pun tak mau berlayar ke sini saat malam.”
“Kurasa
itu masuk akal. Ada banyak karang kan di sini? Mereka mungkin mau
menghindarinya? Apalagi musim hujan cuacanya buruk.”
Luthfi
menunduk dan mengambil bungkus rokoknya, seolah menimbang-nimbang apakah ia
akan menyesapnya.
“Aku
mendengar rumor di dermaga bahwa mereka amat takut dengan pulau ini.”
“Takut?
Takut kenapa? Pada penduduknya?”
Luthfi
menggeleng, “Mereka semua mengatakan bahwa saat malam, kapal-kapal yang
melintasi pulau ini melihat sesuatu yang aneh dari kejauhan.”
“Aneh?
Aneh bagaimana?”
“Seperti
sesosok raksasa, keluar dari dasar laut dan berjalan ke pulau ini.”
Amelia
nyaris tertawa, bukan karena betapa konyolnya cerita itu terdengar, tapi karena
ekspresi muka Luthfi yang amat serius.
“Kau
boleh menertawakannya semaumu, tapi aku mendapat banyak sekali laporan saksi
mata mengatakan hal yang sama. Kau sendiri tak bisa menepis bahwa pulau ini
sangatlah aneh, bukan?”
“Iya,
pulau ini memang tidak biasa, seperti fakta bahwa tak ada laki-laki satupun di
sini dan ubur-ubur merah tadi. Tapi monster?”
“Bukan
monster. Mereka lebih menggambarkannya seperti dewa.”
“Dewa?”
“Ya,
semacam dewa pelindung pulau ini.” ujar pemuda itu, “Kau pernah mendengar
tentang conquistador Spanyol yang membantai suku Aztec pada abad ke-15?
Mereka melakukannya karena melihat Suku Aztec melakukan pengorbanan manusia,
yang amat bertentangan dengan agama yang mereka yakini.”
“Maksudmu?
Karena alasan itu pula VOC membantai penduduk pulau ini dahulu?”
“Penduduk
pulau ini konon percaya pada dewa yang sesat, sesosok makhluk yang bisa
mengabulkan permintaan mereka dan menjaga pulau ini, tetapi dengan menuntut
imbalan mengerikan ...”
“Mengerikan
bagaimana?”
“Semacam
… tumbal.”
“Tumbal?
Itukah pengorbanan manusia yang tadi kau maksud itu?” tanya Amelia heran.
“Namun tumbal semacam apa?”
Luthfi
mengangkat bahunya, “Entahlah. Itu tujuanku datang ke sini, untuk memastikan
kebenarannya.”
Sembari
bercakap-cakap, tanpa sadar mereka telah tiba kembali di losmen tempat mereka
menginap.
“Bu
Amelia?” seorang pelayan losmen tiba-tiba mendatangi mereka, “Ada pesan untuk
Anda.”
Ia
menyodorkan secarik kertas yang kemudian dibacanya.
***
“Adikmu
yang mengundangmu ke sini?” Luthfi memutuskan menemani gadis itu karena hari
sudah malam. Pulau itu sebenarnya cukup aman bagi perempuan, ironisnya karena tak ada laki-laki di pulau itu.
Namun, tetap saja Luthfi merasa bertanggung jawab untuk menjaganya.
“Malam-malam
begini?” tanya pemuda itu lagi, “Untuk apa sih?”
“Katanya
Mama mau bertemu.” jawab Amelia sambil menjejakkan sandalnya di atas pasir.
Debur ombak di pantai terdengar jelas, walaupun lautan tampak menghitam karena
awan kelam yang menggelayuti langit tak menyisakan cahaya bulan sedikitpun.
“Dan ia menegaskan bahwa kami hanya bisa berjumpa pada jam ini saja, tak lebih
awal, tak lebih larut.”
“Lihat!”
pemuda itu menunjuk ke arah laut ketika mendung mulai tersibak dan sinar
rembulan purnama perlahan menaungi laut dan menyingkapkan warnanya.
“Astaga!”
Amelia menahan napas, “Airnya masih berwarna semerah darah walaupun hari sudah
semalam ini?”
“Itu
artinya ubur-ubur itu memiliki kemampuan bioflouresensi atau menyala dalam gelap”
Luthfi segera mengambil beberapa foto, kemudian Amelia mulai mendengar sesuatu
yang aneh.
“Kau
dengar itu?” ia menepuk pundak pemuda itu.
“Apa?”
“Seperti
suara dentuman!”
“Kau
benar!” Luthfi merasa pasir yang ia injak mulai bergetar. “Apa ada gempa kecil?
Atau ada sesuatu yang terjatuh?”
“Sebesar
apa sampai getarannya seperti ini?”
Amelia
mengikuti arah suara dentuman itu. Tanah yang ia injak juga bergetar semakin
kencang begitu ia makin dekat dengan asal suara itu.
Ia
menyingkap dedaunan palem yang menutupi tepi pantai dan terkesiap.
***
Amelia
tak percaya akan apa yang ia lihat.
Raksasa.
Semua
yang diucapkan Luthfi ternyata benar.
Makhluk
itu amat besar; hanya bayangannya saja yang tampak karena kelamnya malam. Tubuh
makhluk itu pasti setinggi puluhan meter dan dentum kakinya saat melangkah
cukup untuk membuat tanah bergetar. Sosok itu tampak seperti manusia dengan
tangan dan kaki serta kepala. Namun, semuanya terlihat hitam kelam karena
suasana malam yang gelap. Hanya satu yang dikenali Amelia dengan baik, yakni
jalur-jalur seperti urat saraf yang menjalar di tubuh raksasa itu, berwarna
merah menyala dan berdenyut-denyut.
“A
... apa kau melihat ini semua?”
Luthfi
sepertinya terperangah hingga tak ingat lagi dengan kamera di tangannya.“Li ...
lihat! Di sebelah sana!”
Amelia
melihat ke arah lain dan menyaksikan sesuatu yang jauh lebih mengejutkan.
Di
sana berdiri para perempuan yang ada di pulau itu, semuanya memakai gaun yang
sama, semacam batik. Namun pakaian tradisional mereka itu berbeda dengan apa
yang biasa ia lihat atau kenakan. Batik itu memiliki motif … gurita? Atau
sesuatu dengan tentakel, Amelia tak bisa melihatnya dengan jelas. Namun satu
hal yang pasti, mereka tengah melakukan ritual; terbukti dengan sesajen di atas
kepala mereka. Mereka berbaris, seolah menyambut makhluk itu.
Makhluk
itu berhenti di depan mereka. Tanah tak lagi bergetar karena dentuman
langkahnya. Makhluk itu membuka tangannya dan menuangkan sesuatu dari dalam
kepalannya.
Suara
gemerincing yang tercipta saat benda-benda itu jatuh ke tanah. Tak salah lagi,
pikir Amelia, itu adalah suara koin-koin emas.
Cahaya
bulan akhirnya menyisip dari balik awan dan menerangi makhluk itu.
Amelia
menjerit sekeras-kerasnya ketika akhirnya melihat wujud makhluk itu lebih
jelas.
Makhluk
itu terdiri atas manusia ... ya, ratusan tubuh manusia yang saling menempel.
Tangan mereka saling berkait dengan tangan atau kaki manusia teranyam menjalin
tubuh sang raksasa.
Tak
hanya itu, Amelia juga menyadari bahwa yang tadinya ia pikir sebagai urat saraf
sebenarnya merupakan jel dari ubur-ubur merah yang digunakan untuk merekatkan
tubuh para manusia itu menjadi satu, seperti semacam lem.
Teriakan
itu membuat penduduk pulau itu menyadari kehadiran Amelia dan Luthfi. Semua
mata dalam tubuh raksasa itu menatap ke arah mereka.
“Ce
... celaka! Kita harus pergi dari sini!” tarik Luthfi.
“Kemana?
Ini kan pulau di tengah lautan!”
“Apa
kau menyukainya, Kak?” terdengar seutas suara yang tak asing lagi di telinga
Amelia. Gadis itupun menoleh.
“Nora?”
bisiknya tak percaya, “Kaukah yang mengundangku ke sini? Ke ... kenapa? Apa kau
ingin aku melihat semua ini?”
“Ini
yang kau inginkan kan? Semua keingintahuanmu ... dan juga wartawan itu?” Nora
menatap Luthfi dengan sinis, “Apa kau menyukainya? Kebenaran ini?”
“Makh
... makhluk apa itu?”
“Dewa
kami,” jawabnya sambil tersenyum, “Sekarang kau tahu kan kenapa semua laki-laki
di pulau ini menghilang? Mereka menjadi tubuh dewa kami yang kami juluki 'Sang
Tinggi'.”
“Dia
Yang Tinggi.” bisik Luthfi, “Aku tak percaya mitos itu benar-benar ada.”
“Dewa
itu yang membuat kami bertahan tahun demi tahun. Ketika pulau kami menderita
dan ikan-ikan pergi, 'Dia Yang Tinggi' membawakan kami harta dari dasar
lautan.”
“Kapal
VOC yang tenggelam itu,” ujar Luthfi lagi, “Ada legenda yang menyatakan kapal
VOC itu karam sebagai bentuk hukuman dari dewa kalian.”
“Begitu
juga kapal-kapal lain yang dimurkai 'Dia Yang Tinggi' karena melintasi wilayah
kami tanpa izin. Harta tak terhingga itu berada jauh di dasar laut dan untuk
mendapatkannya, kami harus menggabungkan tubuh kami dengan Sang Dewa untuk
meraihnya, menggunakan berkah alam berupa ubur-ubur yang ia damparkan di pantai
kami tiap kali musim hujan datang.”
“Hanya
laki-laki ... itulah pengorbanan yang diminta Dewa kalian!” bisik Luthfi dengan
geram.
“A
... apa maksudnya?” Amelia terlihat tak mengerti.
“Apa
kau tak lihat? Dentuman itu. Orang-orang yang berada paling bawah menjadi alas
kakinya tentu tubuhnya akan remuk redam. Itulah pengorbanan yang diinginkan
Dewa itu!”
“Ini
semua demi kebaikan desa dan pulau ini!” Nora bersikeras.
“Nora!”
jerit Bu Mutia yang berlari menghampiri mereka, “Kau memberitahunya tentang
semua ini?”
Matanya
lalu menatap ke arah Amelia penuh kemarahan, “Kau! Bukankah sudah kukatakan
untuk pergi dari pulau ini? Kenapa kau kembali dan mencampuri urusan kami?”
“Ibu
selalu ingin dirinya aman kan? Kenapa Ibu justru membuangnya? Bukan aku? Aku
tak ingin tinggal di pulau terkutuk ini!” jerit Nora.
“Karena
itukah Mama membuangku?” Amelia menatap ibunya dengan mata berkaca-kaca, “Su
... supaya aku jauh dari semua ini?”
Amelia
mulai sadar selama ini ia salah paham. Ibunya membuangnya bukan karena
membencinya, akan tetapi justru sebaliknya. Ia menyayanginya dan menginginkannya
memiliki kehidupan yang normal, jauh dari jajahan dewa bejat yang menuntut
tumbal darah manusia.
“Sekarang
kau harus jadi tumbal, Amelia!” Nora tiba-tiba mengeluarkan sebilah pisau,
“Dewa kami amat membenci siapapun yang tidak menyembahnya, termasuk pendatang
seperti kalian! Kalian tak boleh keluar dari pulau ini dan menyebarkan rahasia
kami!”
“Nora,
apa yang kau lakukan?” Bu Mutia segera berusaha menghentikannya dengan
mencengkeram tangan anaknya, “Amelia! Cepat pergi dari sini!”
“Sial,
kita harus cepat pergi dari sini!” Luthfi kembali menarik lengan Amelia, “Lihat
itu!”
Mata
gadis itu membelalak ketika raksasa itu mulai berjalan ke arah mereka. Dentuman
kembali terdengar, kali ini diiringi suara raungan yang amat keras,
masing-masing bersahutan dari mulut para penduduk pria desa itu yang terikat
menjadi satu dalam tubuh sang raksasa.
Namun,
mata salah pria di tubuh raksasa itu menatap Amelia dengan raut berbeda. Bukan
kemarahan, melainkan kerinduan. Gadis itu segera mengenali siapa pria itu,
walaupun ini baru kali pertama ia berjumpa dengannya.
“Papa!”
jeritnya, “Papa!”
Pria
itu terlihat menggeliat dan berusaha memberontak. Ia berniat membebaskan diri
dari belitan anyaman manusia itu. Kulitnya bahkan mengelupas ketika ia berusaha
melepaskan diri dari kulit pria di sebelahnya yang menempel erat padanya berkat
cairan ubur-ubur itu. Akan tetapi, satu rontaan kecil itu membuat koordinasi
seluruh tubuh raksasa itu menjadi kacau balau. Satu ikatan yang lepas memicu
reaksi berantai yang menyebabkan seluruh tubuh itu mulai tercerai berai.
Terdengar teriakan yang amat keras, baik dari tubuh raksasa itu maupun para
wanita yang berjaga di pantai, ketika sang “dewa” itu mulai runtuh. Satu demi
satu pria yang menyusun tubuh itu terjatuh dan rubuh.
“Tidaaaaak!”
jerit Nora, “Kau merusak segalanya!”
Iapun
menikam perut ibunya hingga wanita itu tersungkur di tanah.
“Ibuuuu!!!”
jerit Amelia.
“Berikutnya
kau!” dengan tatapan yang tak waras ia mengacungkan pisau itu ke arah Amelia
dan hendak menerkamnya. Namun ...
“Amel,
cepat lari!” Luthfi segera menyalakan lampu flash kameranya dan memecah
perhatian Nora. Gadis itu terkejut dengan terangnya kilatan itu dan menjatuhkan
pisau itu. Pemuda itu segera memanfaatkannya dengan menggamit lengan Amelia dan
menariknya pergi.
“Ayo,
cepat!”
Ta
...tapi ...”
Tubuh
raksasa itu jatuh tepat di air laut dan menimbulkan tsunami yang langsung
menerpa para wanita dan seluruh desa itu. Hantaman ombak itu juga langsung
menyapu tubuh Amelia dan Luthfi hingga mereka tak sadarkan diri.
***
Baik
Amelia dan Luthfi tak tahu apa yang terjadi berikutnya. Yang jelas begitu
sadar, mereka telah berada di dalam helikopter SAR. Para petugas penyelamat
mengatakan bahwa guncangan itu terbaca oleh alat pendeteksi tsunami sehingga
memperingatkan para seismolog di daratan utama. Mereka segera mengirimkan tim
SAR ke sana untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari pulau itu.
Namun,
tak banyak.
Tim
SAR memutuskan mengevakuasi mereka berdua dan membawanya dengan helikopter.
Anehnya, walaupun membutuhkan bantuan medis, warga lain yang selamat menolak
pergi dari pulau itu. Mereka memutuskan tinggal, walaupun bencana tadi
menghempaskan seluruh desa mereka dan konon, menewaskan sebagian besar populasi
pria di pulau itu.
Semenjak
kejadian itu, Amelia tak pernah lagi mendengar kabar tentang keluarga
kandungnya. Polisi dan tim penyelamat tak berkata apa-apa. Mereka hanya
mengatakan bahwa tsunami itu disebabkan oleh letusan vulkanik sebuah gunung berapi
di dasar laut, tak lebih dari itu. Sebuah fenomena alam yang tragis, namun memang
rentang terjadi di Ring of Fire.
Akan
tetapi tak ada yang menyebutkan kenapa tubuh para pria itu telanjang, beberapa
dengan tubuh masih terikat satu sama lain oleh substansi merah yang aneh,
hingga koin-koin emas Belanda itu. Hanya ada sekilas berita bahwa saat kejadian
itu, para penduduk kebetulan sedang melakukan sebuah upacara keagamaan yang
diadakan tiap bulan purnama, sehingga banyak korban jiwa yang lenyap.
Amelia
sempat menghubungi Luthfi setelah kejadian itu. Ia bertanya kenapa pemuda itu
tidak membuat berita tentangnya, padahal ia beruntung menjadi saksinya. Luthfi
hanya mengatakan bahwa ia sudah menulisnya, tapi atasannya menolak untuk
menerbitkan berita itu. Pemuda itu juga meminta Amelia agar tak lagi menghubunginya.
Entah apa yang sudah dialami pemuda itu.
Tak
ada kabar lain tentang pulau itu, sekeras apapun Amelia mencari. Artikel
terakhir menyebutkan pulau itu ditutup dari kunjungan wisatawan untuk pemulihan
kondisi pulau itu pasca-tsunami.
Hingga
pada hari ini, Amelia tak sengaja menyaksikan sebuah berita tentang kecelakaan
pesawat yang terjadi tepat di atas pulau itu. Tak ada yang tahu penyebabnya dan
barang-barang milik korban juga belum ditemukan.
BERSAMBUNG
Ditunggu lanjutannya bang dave
ReplyDeleteLuthfi mencurigakan 🙄
ReplyDelete