A LOVECRAFTIAN NOVEL
Dimas
terbangun dan mencoba membuka matanya.
“Mimpi
yang benar-benar aneh …” pikirnya, “Kenapa AC-nya dingin sekali?”
Namun
ia tercengang ketika menyaksikan atap yang seharusnya menaunginya kini
menampakkan birunya angkasa. Rasa dingin kembali menyergapnya dan iapun,
sembari mendekap lengannya untuk mempertahankan sedikit kehangatan, menoleh ke
Gertrude yang ada di sampingnya.
Ia buru-buru menjerit begitu melihat wanita itu kini tergeletak tanpa kepala dan seluruh sisi bagian pesawat itu telah terkoyak.
“Kau
sudah bangun?”
Suara
Eric di sampingnya membuat menoleh.
Seluruh
pesawat kini telah hancur. Mayat-mayat berserakan dan iapun melihat sesuatu
yang lain.
Salju.
“A
… apa yang terjadi?”
“Pesawat
kita jatuh.” Eric akhirnya menarik sesuatu dari reruntuhan. Handphone-nya. “Sial, tak bisa dipakai lagi!” makinya.
“Ja
… jatuh?” ia menoleh ke sekelilingnya, “Dimana? Di Himalaya?”
“Kurasa
bukan.” ia mendongak ke arahnya, “Tak ada pilot yang cukup gila untuk terbang
di atas pegunungan tertinggi di dunia. Cari mati namanya.”
“La
… lalu dimana yang lain? Tak mungkin hanya kita yang selamat kan?”
Eric
bangkit dan menunjuk ke arah hamparan salju di luar pesawat itu. Entah mengapa,
ia tetap bisa setenang itu walaupun kematian mengelilinginya.
“Saat
aku bangun dari pingsanku mereka sudah menghilang, “Namun lihat itu!”
Dimas
menoleh ke arah yang ditunjukkan Eric.
“Je
… jejak kaki itu? Mereka semua berjalan menuju ke arah sana?” Dimas buru-buru
melepaskan sabuk pengamannya. “Ke … kenapa tak kita ikuti mereka?”
“Apa
menurutmu tidak aneh?”
“Aneh
bagaimana?”
“Semua
jejak kaki itu menuju ke arah yang sama, seakan mereka berbaris. Itu tidak
masuk akal kan? Dalam siuasi panik setelah kecelakaan seperti ini, seharusnya
mereka bergerak ke semua arah. Jejak kaki harusnya ada dimana-mana. Namun lihat
itu, seakan-akan ada Pied Piper yang meniup seruling dan mereka semua mengikuti
arah suaranya.”
“Mungkin
mereka melihat sesuatu yang bisa menolong mereka. Rumah mungkin.”
“Aku
ragu ada yang tinggal di altitude
setinggi ini. Namun jika kau mau mencobanya, ayo.”
Mereka
berdua keluar dari reruntuhan pesawat itu dan mulai berjalan mengikuti jejak
langkah itu. Ada berbagai ukuran dan kedalaman. Dimas menduga, menggunakan otak
ilmuwannya, bahwa ada anak-anak hingga penumpang kulit putih yang bertubuh
besar mengikuti jalur ini, mungkin dari berbagai kenegaraan dan bahasa. Namun
mengapa mereka begitu seia sekata seperti ini? Dalam keadaan stress dan darurat
seperti ini, bagaimana mereka bisa setuju untuk berjalan ke satu arah saja,
tanpa perdebatan?
“Aneh.
…” Eric tiba-tiba berhenti lalu mengamati sesuatu di bebatuan.
“Ada
apa?” Dimas menoleh ke arahnya.
“Anaphalioides papuana.” tunjuknya ke setangkai
bunga putih mungil yang tumbuh di sela bebatuan, bergerak ke kanan dan ke kiri
tertiup angin, “Sejenis edelweis.”
“Lalu
kenapa? Ini kan puncak pengunungan. Maklum jika kita melihat edelweis.”
“Tapi
spesies ini hanya hidup di Papua. Ini tanaman endemik dan tak ditemukan di
tempat lain.”
“Aneh-aneh
saja kau ini. Mana mungkin kita ada di Papua? Itu bahkan bukan jalur
penerbangan pesawat kita. Kan kita terbang ke arah barat?”
Namun
ada sesuatu yang menggelitik nalarnya. Dimas lalu berpikir sembari
memperhatikan hamparan salju di sekitarnya.
“Bukankah di Papua
juga ada salju abadi?”
***
“Eric
…” Dimas dengan napas tersengal menunduk dan menumpukan kedua tangannya ke
lututnya, “Ku …kurasa kita harus beristirahat sebentar …”
“Kau
tidak kena altitude sickness kan?”
Eric menghampirinya dengan khawatir.
“Ka
… kau benar. Jika ada salju di sini, ketinggiannya pasti ada di atas 2 ribu
meter. Tapi aku tak apa-apa …” Dimas berusaha menghirup napas dalam-dalam.
“Kau
akan baik-baik saja. Kurasa kita semakin dekat. Lihat, jejaknya menuju ke arah
…” namun tiba-tiba perkataan Eric terhenti.
“A
… ada apa? Apa yang kau lihat?”
“Je
… jejaknya hilang …”
“Hilang?”
ucap Dimas tak percaya, “Apa maksudmu?”
“Lihat
saja sendiri!” tunjuknya.
Dimas
segera menghampiri rekannya itu dan tercekam. Ia benar. Jejak-jejak kaki itu
tiba-tiba saja menghilang di atas salju, seakan-akan mereka lenyap menguap ke
udara begitu saja.
“Di
… dimana mereka? Apa mereka terkubur longsor salju?”
“Lihatlah
permukaan tanahnya rata, sama sekali tak ada tanda-tanda longsor.”
“Kalau
begitu apa mereka jatuh ke sinkhole?
Gua bawah tanah?”
“Mana
mungkin! Lihat sendiri Dim, tak ada lubang menganga di atas tanah!”
“Tapi
pasti ada penjelasan logisnya! Mereka tak mungkin tiba-tiba …” tiba-tiba napas
Dimas makin tersengal. Ia terlihat kesulitan bernapas.
“Dim!
Jangan panik … kau akan membuat kondisimu makin parah!” Eric melihat
sekeliling, “Lihat, ada gua di sana! Kita bisa berlindung di sana sementara
waktu!”
Eric
segera memapahnya menuju ke gua yang tersembunyi di balik tebing bersalju itu.
“Beristirahatlah
di sini!” Eric mendudukkannya ke sebuah batu yang teronggok di dalamnya. Di sana
mereka terlindung dari dinginnya angin yang semenjak tadi serasa berniat
merasuki tulang mereka. Ia kemudian menyalakan senter yang ia bawa tadi dari
dalam pesawat sebagai bekal.
“Semoga
ada air atau sesuatu di sini … AAAAAAH!”
“A
… ada apa?”
Dimas
buru-buru menoleh ke arah yang disinari senter itu dan terperangah.
Ada
seorang pemuda di sana, duduk meringkuk dalam keadaan basah kuyub.
Menatap
mereka dengan ketakutan.
***
“Ini!”
Eric menelanjangi jenazah itu, “Pakai saja jaket ini! Aku yakin dia tak
keberatan!”
“Dimana
yang lain? Apa kau tadi bersama mereka?” tanya Dimas, masih penasaran dengan
pemuda tak dikenal yang tengah menggigil kedinginan di hadapannya itu.
“Sudah,
biarkan saja dia beristirahat, Dim!” sergah Eric, “Ada banyak makanan di sini
jadi …”
“Dimana
Lyla dan yang lain? Apa mereka ada di sini juga?”
“Lyla?
Siapa maksudmu?”
“Rekan
seperjalananku! Aku dan Lyla serta kru yang lain … kami tenggelam saat kapal
kami diterjang ombak besar.”
“Tenggelam?
Apa maksudmu?” Eric menatap Dimas dengan heran. “Dim, kurasa dia mengalami
shock. Dia pasti …”
“Aku
tenggelam bersama dengan yang lain, lalu begitu aku bangun, aku berada di sini.
Ini semua tak masuk akal!”
“Tunggu,
ceritakanlah dari awal.” Dimas berusaha menenangkannya, “Siapa kau sebenarnya?”
“Arya
Pangestu.” tatapnya balik, “Aku adalah seorang …”
“Kameramen
…” bisik Eric perlahan. Mereka berdua kemudian memandangnya.
“Kau
mengenalnya?” tunjuk Dimas.
“Dia
Arya, kameramen yang hilang saat syuting sebuah acara survival National
Geographic di Papua.”
“Kau
tahu aku hilang? Be … berarti mereka mencariku kan? Dimana mereka? Apa Lyla
selamat?”
“Maksudmu
Lyla Amanda? Presenter terkenal itu?” Dimas keheranan.
“Kau
benar anggota kru yang hilang itu? Semua orang membicarakannya di podcast misteri setahun lalu.”
“Setahun?
Apa maksudmu? Apa itu podcast?”
tanyanya heran, “Aku tak mungkin hilang selama itu. Aku baru saja tenggelam …”
“Arya,”
Eric memotongnya, “Kau tak hanya hilang setahun lalu. Kau lenyap 21 tahun
lalu.”
“A
… apa?” Arya tercekam, “Ka … kau bercanda kan?”
“Dia
pasti berbohong!” tegur Dimas, “Pasti seperti katamu tadi, ia mengalami shock
dan …”
“Aku
tidak gila! Aku Arya Pangestu!”
Dimas
menggamit lengan jaket pria yang basah kuyub itu untuk menenangkannya, namun ia
tercekam. Air itu lengket, seperti …
Pemuda
itu lalu memberanikan diri untuk mencicipinya.
“Eric
…” Dimas menoleh ke arah temannya dengan wajah pucat, “Rasanya asin. Ini air
laut.”
***
Mereka
menyalakan api unggun itu dengan berbekalkan busa styrofoam dari bantalan tempat duduk mereka. Hanya ini yang bisa
menghangatkan mereka dari deru debu es yang menerpa mereka.
“Jadi
kita ada di Papua?” Dimas menatap ke Eric, “Yakin tidak di Kashmir atau Tibet?
Hanya itu tempat di lintasan pesawat kita yang bisa kupikirkan memiliki
pegunungan bersalju. Kita jelas belum sampai di Eropa karena seharusnya kita
transit dulu di Abu Dhabi.”
“Lalu
jelaskan mengapa dia bisa ada di sini jika kita memang jatuh di India atau Nepal.”
tunjuk Eric.
Dimas
menatap pemuda itu. “Apa kau yakin kau tak ingat bagaimana kau bisa sampai di
sini?”
“Ti
… tidak !” ujarnya gugup, “Yang terakhir aku ingat aku tenggelam karena ombak
menerjang kapal kami dan begitu terbangun, aku sudah berada di dalam gua itu,
bersama kalian.”
“Ini
sama sekali tak masuk akal. Kita …”
“Bagaimana
kau menjelaskan jejak kaki yang tiba-tiba menghilang itu? Lalu pria ini? Lalu
pesawat kita yang tiba-tiba berada di tempat yang tak seharusnya tak kita
lewati?”
“Teleportasi.
Hanya itu yang bisa kupikirkan.”
“Apa?”
“Kau
tahu sendiri kan, elektron bisa mengalami teleportasi – quantum tunneling. Mungkin saja itu yang bisa terjadi pada kita …”
“Jangan
gila! Coba dengarkan apa yang barusan kau katakan!”
“Aku
juga tak percaya semua itu bisa terjadi, namun hanya itu satu-satunya
penjelasan yang masuk akal! Kau lihat sendiri hasil penelitian kita. Dualitas
gelombang partikel sudah runtuh dan akibatnya tak bisa ditebak. Bisa jadi
elektron akan bertindak di luar logika. Tubuh kita sendiri, bahkan semua materi
di alam semesta ini, termasuk badan pesawat ini, semua tersusun atas elektron.”
“Aku
sama sekali tak mengerti apa yang kalian bicarakan,” potong Arya, “Namun jika
aku sudah menghilang 21 tahun lalu, apa kalian tahu apa yang terjadi pada Lyla
dan kru yang lain?”
Eric
dan Dimas saling bertatapan.
“Dari
delapan kru yang tenggelam kala itu, hanya kau yang menghilang. Arya. Yang lain
diselamatkan oleh tim SAR beberapa hari kemudian, terombang-ambing di lautan.
Mereka sangat beruntung tak dimangsa hiu. Sedangkan kau … tak ada yang tahu
keberadaanmu selama 20 tahun. Kemudian pada peringatan 2 dekade menghilangnya
dirimu, Lyla membuat story di
Instagram tentang dirimu. Karena itulah kami ingat tentang dirimu.”
“Story? Apa itu?”
“Ah
sudahlah. Kau takkan paham. Yang jelas, kau sama sekali tak menua selama 21
tahun dan karena itulah kami segera mengenalimu sebagai Arya. Lyla setahuku
telah menikah dan memiliki dua anak yang sudah masuk kuliah.”
“Oh,”
Arya terlihat kecewa ketika mendengarnya. “Aku mengerti. Ia memang berhak untuk
melanjutkan hidupnya. Aku sudah pergi terlalu lama.”
Eric
dan Dimas saling berpandangan, seolah mencari sepakat apakah mereka akan
menceritakan kepadanya yang sesungguhnya. Namun mereka berdua memutuskan untuk bungkam
dan menyimpannya dalam-dalam.
“Di
gua itu aku mendengar sesuatu. Aku sempat mengira itu Lyla …”
“Mendengar
sesuatu?” Eric tampak tertarik, “Maksudmu ada orang di sana?”
“Entahlah.
Aku hanya mendengar suara, namun aku tak berani ke sana. Terlalu gelap.”
“Eric,
itu mungkin mereka! Para penumpang yang menghilang! Salah satu dari mereka bisa
jadi membawa radio komunikasi, suar, atau apapun yang bisa membantu kita keluar
dari tempat ini!”
Eric
menatapnya setuju, “Baiklah. Ayo kita kembali ke sana!”
BERSAMBUNG
Lanjut bang
ReplyDeleteHalo guys, ada yg bisa nebak ga nih cerita ini terinspirasi dari kasus real life apa?
ReplyDeleteLyla Amanda itu Medina Kamil kah ? Kisah kameramen hilang di jejak petualang ?
DeleteHehe bener, ternyata ada yg tau jg
DeleteUp..cerita bagus
ReplyDeletenemu blog ini lagi, terakhir baca waktu SD sekarang uda kuliah
ReplyDelete