A LOVECRAFTIAN NOVEL
Mereka
berdua menyusuri lorong gua itu, kali ini dengan senter di tiap tangan mereka.
“Tetesan
air ini …” Dimas menatap stalaktit di atap gua yang mulai mencair. “Darimana
asalnya?”
“Salju
abadi di Jayawijaya mulai mencair dan akan hilang sepenuhnya kurang dari 3
tahun lagi. Bahkan kini hanya tertinggal 1% saja dari luasnya semua.”
Dimas menoleh ke arah Eric, “Apa karena global warming?”
Eric
mengangguk, “Sayang sekali bukan? Padahal Puncak Jayawijaya adalah satu-satu
tempat di ekuator yang memiliki salju. Bahkan orang Belanda pertama yang
menemukannya dianggap gila ketika ia pulang ke negaranya dan memberitakan
penemuannya.”
“Manusia
memang kodratnya merusak Bumi.” desah Dimas sembari meneruskan perjalanan.
“Karena
itulah kita perlu kembali ke cara lama
kita.” bisik Eric pelan, seolah-olah ia hanya menginginkan dinding-dinding gua
itu yang mendengarnya.
“Apa
katamu tadi?” tolehnya lagi.
“Tak
apa-apa.” elaknya, “Bagaimana dengan pemuda itu? Apa dia menemukan sesuatu?”
“Eric,”
Dimas segera berbisik ke rekan seperjalanannya itu, “Kurasa kita harus
memberitahu yang sesungguhnya kepadanya.”
“Untuk
apa?”
“Dia
berhak tahu!”
“Lihat
saja dia, Dim! Dia sama sekali tak menua walaupun sudah hilang lebih dari 20
tahun! Kau pikir masyarakat akan menerimanya jika ia kembali?”
“Apa
maksudmu?”
“Jika
kita benar menemukan alat komunikasi dan berhasil keluar dari sini, kurasa kita
sebaiknya meninggalkannya.”
“APA?”
sentak Dimas. Namun ia segera menurunkan nada suaranya. “Tega sekali kau?”
“Dia
adalah anomali, Dim! Bahkan, menurutku tak seharusnya ia masih hidup!”
“Hei!
Aku menemukan sesuatu!” terdengar teriakan Arya dari arah depan mereka,
tertutup oleh dinding gua yang berliku-liku itu.
“Ka
… kami akan segera ke sana!” teriak Dimas dengan gugup.
“Pokoknya
diam saja, Dim!” tatap Eric dengan tajam.
Mereka
berdua bergegas menyusulnya. Senter mereka seakan saling berkejaran menerangi
lantai gua.
“Ada
apa? Apa yang kau temukan?”
Arya
segera menunjuknya dengan cahaya senternya. Di dinding terlihat sesuatu.
“Lukisan
gua!” Eric langsung terkesima, “Pasti ini dibuat puluhan ribu tahun yang lalu.”
“Apa
ini?” sorot Dimas, “Raksasa ini? Makhluk bertentakel?”
“Mereka
memujanya.” Eric memperhatikan sosok-sosok mirip stick figure yang seakan menyembah makhluk itu. Terlihat pula
aksara-aksara kuno di bawahnya.
“Kami
membawa persembahan ke kotamu yang agung, R'lyeh, wahai Cthulhu yang maha suci.”
“Kau
bisa membacanya?” Dimas tersentak, “Darimana kau tahu bahasa sekuno ini?”
“HP
Lovecraft.” Ia menoleh kepadanya, “Kau tak pernah membacanya?”
“Siapa
itu?”
“Penulis
horor terkenal? Kau tak tahu siapa dia?” Eric terlihat heran, “Ia menciptakan
genre fiksi baru, cosmic horror. Yah,
walaupun karyanya tak sepenuhnya fiksi.”
“Apa
maksudmu?”
Eric
mendesah, seakan mempertanyakan intelektualitasan rekannya itu karena tak
mengetahui siapa HP Lovecraft.
“Ia
lahir pada akhir abad ke-19 dari keluarga kelas atas di Amerika. Namun setelah
ayahnya mengalami kegilaan dan dijebloskan ke rumah sakit jiwa, keluarganya
bangkrut dan mentalnya ikut menurun. Belum lagi ia yang terlampau cerdas namun
pendiam, menjadi penyendiri dan tak memiliki teman di sekolah. Akibatnya, ia
pernah berusaha bunuh diri dengan menaiki kapal dari kediamannya di Rhode
Island dan berniat menenggelamkan dirinya ke dalam laut. Namun di tengah
perjalanan, kapalnya terjebak badai dan ia terdampar ke sebuah pulau yang aneh.
R'lyeh.”
“R'lyeh?”
“Ya,
di sana ia bersumpah melihat sesosok makhluk yang tak bisa dijelaskan oleh akal
sehat. Ia menamainya Cthulhu
yang ia percayai adalah sesosok tuhan kuno. Older
God. Namun tentu saja, ia sadar takkan ada yang percaya kepadanya sehingga
ketika ia berhasil tiba kembali ke daratan Amerika, ia kemudian menulis
pengalamannya seolah-olah itu adalah karya fiksi.”
“Makhluk
ini?” Dimas menatap sosok raksasa bertentakel yang dipuja itu. “Tuhan? Tapi dia
…”
“Mengerikan?
Seperti monster?” Eric tersenyum, “Menurutmu seperti apa tuhan itu? Tampan,
seperti manusia? Itu adalah ide yang amat antroposentris, berpikir bahwa tuhan
mesti berpenampilan seperti kita. Inilah kekuatan tuhan yang sebenarnya,
menakutkan, tanpa ampun.”
“Jadi
orang-orang di sini memuja yang namanya Cthulhu?”
tiba-tiba saja Arya bergabung dalam pembicaraan mereka. Eric mengernyitkan
dahinya, tak paham mengapa Arya menjadi tertarik dengan topik tersebut.
“Bisa jadi. Lovecraft sendiri menggambarkan R'lyeh
sebagai pulau yang terletak di Samudra Pasifik selatan, bahkan memberikan
koordinatnya, di lokasi yang dinamakan Point Nemo …”
“Point of inaccessibilty?” bisik Arya
tiba-tiba.
“Kau juga tahu?”
“Ya, itu legenda dalam ilmu navigasi. Tempat paling
terisolir di dunia. Satu titik dimana jika kau berada di sana, satu-satunya
manusia yang terdekat denganmu adalah para astronot yang berada di stasiun luar
angkasa.”
“Ya, jarak Point Nemo dengan stasiun ISS yang
mengorbit di luar Bumi adalah 400 km, namun jarak titik ini dengan pulau
terdekat yang dihuni manusia adalah 2.600 km atau 6,5 kali lipatnya.”
“Tapi tunggu, bukannya katamu tadi Lovecraft adalah
seorang Amerika? Mustahil ia sampai terdampar di Samudra Pasifik, apalagi di lokasi
terisolir itu.” tanya Dimas.
“Kau memang jeli, Dim. Tak heran kau adalah salah
satu ilmuwan terbaik di Indonesia.” puji Eric, “Apa yang dialami Lovecraft
bahkan lebih aneh lagi. Ia berlayar dari Long Island yang ada di New York,
pantai timur Amerika, namun tiba di Samudra Pasifik yang ada di seberang pantai
barat Amerika. Untuk sampai ke sana, ia harus melintasi Samudra Atlantik,
Afrika, Samudra Hindia, Indonesia, Melanesia, Polynesia, hingga sampai ke titik
ini.”
“Teleport,” bisik Dimas yang akhirnya paham, “Ia
mengalami teleportasi hingga tiba ke sana.”
Ia kemudian menoleh kepada Arya, “Kurasa itu pula
yang terjadi padamu. Pada kita!”
“Lalu kenapa hieroglif ini bisa sampai ke Papua?
Apalagi di Puncak Jayawijaya?” Dimas masih tak paham. “Apa penduduk pulau itu
bermigrasi ke sini? Namun untuk apa?”
“Entahlah, itu masih misteri.” Eric mengangkat
bahunya.
“Mungkin kita akan menemukan jawabannya jika kita
masuk lebih dalam ke gua ini.”
“Kau benar, Arya.” bahkan kini Eric memutuskan
untuk berjalan paling depan memimpin keduanya, “Kita mungkin menemukan
hieroglif lain di dalam gua ini.”
“Tu …. Tunggu!” cegas Dimas, “Apa kau yakin itu ide
yang bagus?”
“Kenapa?” Eric menoleh tak sabaran, “Bukankah kita sepakat
untuk mencari para penumpang yang lenyap itu juga?”
“Ta … tapi jejak kaki di salju itu …”
“Apa kau mau kembali ke sana, Dim? Ke reruntuhan
pesawat itu? Walaupun mereka tahu pesawat kita jatuh, mereka takkan mencarinya
sampai di sini. Tempat ini bahkan bukan di jalur penerbangan kita!”
Mau tak mau Dimas harus setuju dan dengan enggan,
iapun mengikuti langkahnya.
***
Tomo segera berlari ke arah mesin faks itu.
“Ini sudah tahun berapa, kok kau masih pakai mesin
itu? Ada yang namanya email dan WhatsApp.” keluh Brian.
“Aku bukannya kuno, tapi apa kau tak tahu, faks
adalah sarana komunikasi yang paling terjamin kerahasiaannya? Kau mau pesanmu
dibaca oleh Mark Zuckenberg?”
Brian hanya geleng-geleng mendengarnya.
“Lagian apa sih itu? Faks dari temanmu di Arecibo?”
“Tepat sekali. Ia mengirimkan data ini, gelombang
radio yang terpancar dari bintang yang kuamati di Konstelasi Cygnus.” ujarnya
girang, “Tuh kan aku benar!”
“Alah, palingan itu hanya cosmic background
radioation.”
“Apa CMB bisa berbahasa … “
“Apa?” Brian bangkit dari kursinya, “Pesan itu
menggunakan Bahasa Basque?”
Tomo menunjukkan data itu dengan melongo.
“Mereka mengirimnya memakai Bahasa Indonesia …”
“APA?” sentaknya, “Apa isinya?”
“Isinya benar-benar tak masuk akal …”
***
“Eric!” panggil Dimas, “Kurasa kita harus kembali!”
Ia mulai merasa resah. Air masih menetes dari
langit-langit gua itu. Namun tak ada stalaktit di sana. Darimana asal tetesan
air in? Apakah dari gletser yang mencair?
“Ah!” Dimas mulai mengernyit ketika tetesan air itu
mengenai tangannya, “Kenapa rasanya perih sekali? Apa air ini mengandung asam?”
Ia tahu bahwa kadang air di pegunungan kadang
sedikit basa karena memiliki kesadahan tinggi. Namun air sadah-pun tak pernah
bersifat se-kaustik ini.
Air ini seperti hendak melelehkan kulitnya.
“Eric! Kita keluar saja, ah!” teriaknya lagi ketika
air itu kembali melukai kulitnya hingga berasap, “Gua ini semakin menyempit …
Eric!”
Namun Eric sepertinya tak peduli walaupun gua di
depannya semakin menyempit dan menyempit, bahkan kini ia mulai sulit bergerak.
Dan yang lebih mengkhawatirkan, ia kini tak bisa
berbalik, terjepit di sana.
“Arya, tolong …” Dimas menoleh, namun pekikannya
terhenti ketika ia tak melihat siapapun di sana.
“Arya?” teriaknya lagi. Dimana pemuda itu? Tadi
dia ada di belakangku.
“AAAAARGH!”
Terdengar teriakan dari belakangnya.
“ERIC!” Dimas segera berbalik dan menyorotkan
senternya ke depan, namun ia tercekam melihat pemandangan di depannya. Dinding
gua itu kini bergerak, seakan tengah meremas-remas tubuh Eric dan menelannya.
Tidak, bukan menelan.
Melainkan mencernanya.
“Eric!”
Namun Dimas tahu bahwa rekannya itu tak mungkin
tertolong lagi setelah melihat bagian-bagian tubuhnya mulai meleleh. Malah,
tangannya kini terlepas dan putus karena terlarutkan air keras itu. Iapun
memutuskan segera berbalik untuk pergi dan meninggalkan temannya itu.
“Arya!” teriaknya setelah melihat siluet bayangan
di depannya, “Cepat tolong aku!”
Namun bayangan itu hanya berdiri di sana, seolah
hanya menonton penderitaan mereka. Sementara itu, Dimas mulai merasakan gua itu
makin menyempit dan dindingnya, bak otot sebuah usus yang amat kuat, mulai
meremukkannya.
“Aku sudah membawa mereka ke sini! Satu believer
dan satu unbeliever, sesuai permintaanmu!” suara Arya menggaung dalam
gua itu, “Sekarang tepati janjimu!”
“Apa?” Dimas tercengang mendengarnya.
“Bawa aku kembali ke Jakarta! Kumohon! Lyla pasti
amat merindukanku!”
“Arya,” dengan napas terakhirnya, Dimas masih mencoba
menjernihkan pikirannya, “Dia berbohong kepadamu! Lyla sudah mati!”
“Apa?” sentaknya.
“Maaf, tapi aku tak tega memberitahumu, tapi
setelah story Lyla viral, netizen mulai membully-nya. Kata mereka ia
menggunakan kasusmu untuk pansos karena karirnya mulai meredup.”
“Viral? Netizen? Pansos? Apa maksudmu?”
“Lyla tak kuat menerima rundungan itu dan bunuh
diri, Arya! Dia sudah mati!” teriaknya, walau kini ia merasakan rasa sakit
merambat ke tubuhnya ketika tubuhnya sedang dilumat, “Kau takkan pernah bisa
bersamanya lagi! Dia berbohong kepadaku!”
“Tidak!” Arya masih sulit menerima kenyataan itu,
“TIDAK MUNGKIN!”
Iapun segera mematahkan salah satu stalaktit di gua
itu dan menusuk-nusukkannya ke bagian dinding yang berdenyut itu.
“KAU HANYA MEMANFAATKANKU, CTHULHU!”
***
“Apa isi pesan itu, Tomo! Katakan!”
“Ta … tapi isinya sama sekali tak masuk dinalar …”
“Mereka susah-susah mengirimkan pesan itu dari masa
depan. Pesan dari sebuah ras alien dengan intelegensi tinggi tak mungkin tak
bermakna! Apa kata mereka?”
“Isinya …” Tomo mulai membacanya perlahan, “Jangan
ikuti kameramen itu.”
BERSAMBUNG
Gak terduga... Keren 👍🏻
ReplyDeleteHarusnya di bikin buku ini
ReplyDeleteBikin buku 👍
ReplyDelete