A LOVECRAFTIAN NOVEL
PERINGATAN:
SEBELUM MEMBACA CHAPTER INI, BACA DAHULU ARTIKEL GUE TENTANG MEKANIKA KUANTUM
INI
YOG
Sothoth mengetahui gerbangnya.
Yog
Sothoth adalah gerbangnya.
Yog
Sothoth adalah kunci sekaligus penjaga gerbangnya.
Masa
lalu, sekarang, dan masa depan, semuanya satu di dalam Yog Sothoth.
“Eric?”
Dimas dengan heran menoleh ke arahnya, “Apa kau tadi mengatakan sesuatu?”
“Oh
tidak, hanya menggumam biasa kok. Maklum gugup.”
“Aku
paham. Aku juga nervous kok. Aku
harap hasilnya …”
Tiba-tiba
mesin di depan mereka berbunyi. Sebuah kertas mencetak hasilnya dan keluar dari
mulut printer. Dengan tercekam Eric membaca hasil data hasil percobaan mereka
itu.
“Ada
apa? Apa yang dikatakan grafik itu?”
“Diulang
berapa ribu kalipun akan tetap sama.” Dimas menunjukkannya. Eric hanya terdiam
menyaksikannya.
***
“Waktu
hanyalah ilusi. Waktu tak benar-benar ada, apalagi bagian dari realita kita dalam
Fisika. Menurut Albert Einstein, waktu hanyalah efek samping dari keberadaan
entropi. Hukum Kekekalan Energi yang ketiga mengatakan …”
“BRAAAK!”
Semua
mahasiswa di ruangan itu menoleh ketika dua orang pemuda yang masih mengenakan
jas lab putih membuka pintu kelas mereka (bahkan hampir membantingnya) lalu masuk
tanpa tedeng aling-aling. Sang profesor yang tengah mengajar, seakan mengerti
apa yang hendak mereka sampaikan, segera mematikan proyektornya dan membubarkan
kuliah.
“Sekian
dulu. Saya akan upload file
presentasinya ke Google Classroom. Jangan lupa belajar untuk ujian semester
kalian minggu depan.”
Dengan
mendesah, para mahasiswa itu mulai mengemasi buku dan alat tulis mereka.
“Bagaimana?”
sang profesor mendekati mereka berdua. “Apa kalian sudah mendapatkan hasilnya?”
“Tetap
nihil. Apapun yang kita lakukan, elektron itu tetap …”
“Ssssst!
Jangan keras-keras!” ia melirik ke arah para mahasiswanya yang berbaris keluar
dari pintu. Beberapa masih duduk dan bercakap-cakap di kursi mereka, seolah tak
sedang dikejar waktu. “Jangan bicarakan di sini! Jika ada yang dengar, maka
akan terjadi kehebohan. Kalian ke ruanganku sekarang dan jangan lupa bawa data
kalian!”
***
Mereka
berdua menatap foto lubang hitam yang kini dipigura dengan bangga di ruangan
tersebut.
“Bagaimana?
Hebat bukan?” kata dosen itu sembari menutup pintu, “Apakah kalian percaya foto
itu ditangkap oleh alumni kampus kita?”
Eric
dan Dimas mendengus kesal. Mereka yakin ada ribuan programmer dan insinyur yang
bekerja di proyek teleskop itu, belum lagi mengatur algoritmanya. Namun kenapa
hanya wanita itu yang mengambil semua kredit mereka, bahkan digosipkan bakalan
meraih hadiah Nobel berkat kerja keras mereka semua?
“Kami
ada masalah yang lebih penting, Prof. Dualitas gelombang partikel telah
terpatahkan. Kini apapun yang terjadi, elektron …”
Pria
itu mengangkat tangannya, seolah ingin menghentikan cercaan mereka.
“Aku
paham. Hasil penelitian yang sama juga telah dilaporkan di berbagai belahan
dunia. Dimanapun eksperimen itu dilakukan, di India, di Uni Eropa, di Amerika,
di Australia, bahkan lokasi terisolir di Antartika, semua melanggar hukum Fisika
Kuantum. Bahkan yang lebih meresahkan, hasil sama juga diperoleh dari percobaan
di ISS.”
“International
Space Station?” pekik mereka tak percaya, “400 kilometer dari permukaan Bumi?”
“Ya.
Berita ini belum tersebar luas, namun aku sudah mendengarnya dari mantan
kolegaku yang kini bekerja di NASA.”
“Eric
dan Dimas saling berpandangan, “Lalu bagaimana dengan hasil di CERN? Hanya
mereka insititusi yang kami percayai.”
“Itulah
mengapa kalian akan ke sana.” pungkas dosen itu sembari memberikan dua buah tiket
pesawat, “Pihak Uni sudah setuju akan mengirim kalian ke sana. Toh, ini program
Ph.D kalian kan?”
“Apa?
Kami?” tanya Eric tak paham, “Maksud Bapak ke Geneva?”
“Ya,
ini tiket kalian. Ilmuwan dari seluruh dunia juga akan berkumpul di sana. Hebat
bukan, berkat status universitas ini menelurkan ilmuwan secerdas Elena
Banyubiru, kampus kita sampai mendapat kepercayaan seperti ini? Namun ingat!”
ia menatap mereka dengan tajam, “Jangan katakan kepada siapapun bahwa dualitas
partikel-gelombang kini telah runtuh menjadi singularitas!”
Mereka
berdua mengangguk.
***
Tomo
melihat orang-orang berlarian ke arah aula. Sementara itu, ia hanya menatap
keheranan dari balik mejanya di ruangan post-doctoral itu.
“What the hell is
happening?”
ia bangkit dan menarik lengan koleganya yang sesama mahasiswa senegaranya,
Brian, yang juga berlari ke arah yang sama. “Bukan active shooter, kan?”
Sebagai
mahasiswa Indonesia yang kuliah di Virginia Tech, Amerika Serikat, ia amatlah
awas terhadap isu penembakan massal. Apalagi karena hal yang sama pernah
terjadi di kampus ini.
“Bukan!
But you gotta see this!”
Tomo
akhirnya merelakan untuk meninggalkan pekerjaannya dan bergegas mengikuti Brian
serta para mahasiswa lain yang berlarian dengan panik ke aula. Di sana, dekan
Departemen Fisika sedang memberikan wejangan.
“Jangan panik! Kita
belum tahu benar ini akhirnya terjadi.”
“Tapi berita ini
sudah beredar di semua kalangan fisikawan. Dualitas telah kolaps menjadi
singularitas!”
“Apa
maksudnya itu?” bisik Tomo heran ke telinga temannya itu.
“Ah,
kau ini mahasiswa astrofisika, mana mengerti hal beginian.”
“Aku
tak sebodoh itu! Coba saja jelaskan!”
“Apa
kau masih ingat Mekanika Kuantum?”
“Huh,
aku benci topik itu. Ruwet dan tak masuk akal.”
“Tapi
paling tidak kau tahu sedikit kan? Semisal tentang dualitas partikel dan
gelombang?”
“Percobaan
celah ganda maksudmu? Coba aku ingat. Ketika sebuah elektron ditembakkan ke
sebuah celah ganda yang amat tipis, maka elektron itu akan berperilaku sebagai
gelombang. Namun ketika diamati, maka elektron itu justru akan berperilaku
sebagai partikel.”
“Ya,
dengan kesimpulan bahwa kesadaran kita sebagai pengamat dapat mempengaruhi
hasil eksperimen, apakah elektron akan berperilaku sebagai partikel atau
gelombang.”
“Aku
dari dulu merasa itu aneh sekali. Seakan-akan elektron itu memiliki kesadaran
dan tahu kapan ia akan diamati. Jika ia diamati ia akan menjadi partikel, jika
tidak diamati maka ia akan menjadi gelombang.”
“Ini
namanya dualitas. Namun kini, semua berubah menjadi singularitas.”
“Apa
maksudnya itu?”
“Singular;
tunggal. Dengan kata lain, apapun
yang kita lakukan, mau mengamatinya atau tidak, elektron akan berperilaku sama,
yakni menjadi partikel.”
“Apa?
Bagaimana bisa?” pekik Tomo. Semua orang pun menoleh ke arahnya dengan tampang
gusar, lalu kembali memusatkan perhatian pada perkataan sang dekan.
“Sekali lagi ini
belum diputuskan. Kita harus menunggu hasil penelitian CERN yang akan diumumkan
pada konferensi darurat di Geneva Kamis depan. Kampus kita juga akan
mengirimkan representatif …”
“Dualitas
runtuh? Bagaimana bisa terjadi?”
“Seakan
kita tengah diawasi.”
“Diawasi?”
tanya Tomo heran, “Apa maksudmu?”
“Coba
pikir, anggap saja kita menembakkan elektron dan melewatkannya ke celah ganda,
apa yang akan terjadi?”
“Tergantung
apakah kita mengamatinya atau tidak kan? Ketika kita tak mengamatinya, maka ia
akan berperilaku menjadi gelombang dan menimbulkan pola interferensi. Sedangkan
jika kita memutuskan untuk mengamatinya, maka ia akan menjadi partikel dan pola
interferensi takkan terbentuk.”
“Namun
kini elektron akan terus berperilaku seperti partikel walaupun tak diamati. Apa
menurutmu itu artinya?”
“Artinya
ada sesuatu yang mengawasi elektron itu, namun bukan kita?”
“Tepat
sekali! Dan ini terjadi di berbagai penjuru dunia! Siapa yang bisa mengamati
seluruh elektron yang ada di seluruh dunia ini secara bersamaan, hah?”
“Apa
jangan-jangan …” Tomo tampak berpikir, kemudian menggamit lengan temannya itu,
“Cepat sini! Kutunjukkan sesuatu!”
***
Kampus
mereka terlihat sepi setelah semua orang sibuk berdebat di aula. Tomo
mendudukkan Brian ke kursinya dan menunjukkan hasil penelitiannya.
“Apa-apaan
sih? Apa kau tak mau mendengar apa kata dekan?”
“Mau
belajar seratus tahun pun kita tak mungkin dikirim ke Geneva, Brian. Kita bukan
orang kulit putih. Sekarang lihat ini!”
“Apa
ini grafik luminositas sebuah bintang?” ujarnya mempelajari data itu, “Tapi
hasilnya naik turun …”
Tiba-tiba
dengan wajah tercengang, ia menoleh ke arah Tomo. “Apa ini seperti Tabby Star?”
“Kau
benar! Aku ingin menceritakannya kepada seseorang, namun mereka semua pasti
menganggapku gila.”
“Da
… darimana kau mendapatinya?”
“Konstelasi
Cygnus, sama dengan Tabby Star yang terkenal. Jaraknya bahkan lebih dekat
dengan kita, hanya 400 parsec. Aku sama sekali tak sengaja saat menemukannya.
Dan lihat ini, fluktuasi kecerahannya terjadi secara periodik. Dengan kata
lain, ada sesuatu yang amat besar menutupi bintang itu dan berotasi di
sekitarnya, sebuah …”
“Jangan
gila! Dyson sphere?”
“Well, jika kau berkata begitu …”
“Tapi
itu bisa saja awan planetisimal, asteroid Trojan, atau debris dari planet yang
hancur. Atau bahkan itu hanya sekedar sebuah planet yang memang mengorbit
planet itu …”
“Dan
lewat setiap tiga hari sekali?” dengusnya kesal, “Bahkan Merkurius saja butuh 2
bulan untuk berevolusi mengelilingi Matahari dan bintang ini tiga kali lebih
besar.”
“Tapi
belum tentu juga itu sebuah megastruktur raksasa yang dibangun oleh alien untuk
memanen energi bintang itu!” bantah Brian, “Ingat Occam’s Razor? Penjelasan
paling sederhana biasanya adalah yang paling mendekati kebenaran.”
“Tuh
kan! Ini sebabnya aku tak mengatakan pada siapapun. Karena itulah aku harus
membuktikannya sebelum mengatakan ini pada dosen pembimbingku.”
“Membuktikannya?”
picingnya curiga, “Apa yang sudah kau lakukan, Tom?”
“Kau
ingat teman kita yang bekerja di Arecibo?
Hanya itu satu-satunya teleskop radio terbesar yang mampu mengirimkan sinyal ke
luar angkasa.”
“Kau
mengirimkan sinyal ke sana? Ke bintang itu?” ujarnya tak percaya, “Lalu kau
bilang apa? Halo? Apa benar ini alien? We
come in peace?”
“Hanya
‘KAIXO’ dan ‘ZER MODUZ’ kok.”
“Apa
itu?”
“’Halo,
apa kabar?’ dalam Bahasa Basque. Itu satu-satunya bahasa di dunia ini yang tak
tergolong ke dalam keluarga bahasa apapun dan tak ada yang tahu asal muasalnya.
Bahkan bahasa Sansekerta dan Inggris saja memiliki nenek moyang sama, yakni
Proto Indo-European. Namun Basque tak memiliki kemiripan apapun dengan bahasa
manapun di muka bumi ini.”
“Lalu
karena itu kau pikir itu bahasa alien?”
“Hei,
memangnya kau pikir mereka akan bicara bahasa apa? Bahasa Inggris? Itu teori
tercerdas yang bisa kupikirkan.”
“Tercerdas?
Coba pikir ini, jarak bintang itu dengan Bumi adalah 400 parsec, itu sekitar 1300
tahun cahaya. Dengan kata lain, pesan itu baru akan mereka terima 1300 tahun
yang akan datang. Itu berlaku juga untuk pesan yang mereka pancarkan jadi kau
baru akan menerima balasan mereka pada tahun 4623 Masehi!”
“Kau
pikir aku belum memikirkannya? Mereka peradaban tipe II yang sudah bisa
membangun Dyson Sphere, berarti teknologi mereka amat maju. Bisa jadi mereka
sudah mampu memanipulasi waktu.”
“Waktu?”
“Ya.
Mereka memang akan menerima pesanku 1300 tahun yang akan datang, namun mereka
bisa mengirimkan balasannya ke masa lalu, mungkin ke waktu yang sama dengan
kapan aku mengirimkannya. Jika itu terjadi, maka aku akan menerima balasannya
malam ini.”
Brian
mendesah putus asa, “Kau benar-benar sudah gila!”
“Hei,
bahkan ilmuwan sekelas Stephen Hawking saja mengadakan pesta untuk time traveler!”
“Dan
tak seorang pun datang!”
“Jangan
ketus begitu dong! Kita tunggu saja jawabannya malam ini. Jika tidak terbukti,
maka aku akan menerima teorimu bahwa itu bukan Dyson Sphere. Bagaimana?”
Brian
hanya memandanginya dengan kesal.
***
“Ladies and
gentleman, welcome aboard to Flight 616 from Jakarta to Geneva. We ask that you
please fasten your seatbelt before we take off …”
“The collapse of
wave-particle duality? Apa itu artinya?”
Dimas
menoleh ke gadis yang duduk di sampingnya. “Oh, hanya paper yang aku buat.”
“Ilmuwan
ya?” tanyanya lagi.
Dimas
tersenyum, “Semacam itulah.”
“Well, perjalanannya 20 jam. Jadi kau
memang butuh bacaan.”
“Memang.”
Dimas menghela napas sejenak, mengumpulkan keberaniannya, dan akhirnya
bertanya, “Siapa namamu?”
“Gertrude.
I know, nama yang jadul. Namun ayahku
yang memberikan nama itu. Itu nama nenekku.”
“Blasteran
ya?” Dimas tersenyum dengan gugup. “Seperti nama penyihir di Puella Magi Madoka
Magica.”
“Maaf?”
“Anime.”
jawabnya buru-buru, “Itu judul anime.”
Gertrude
hanya tersenyum mendengarnya, “Apa aku bisa minta tolong?”
“Ya?”
“Bisakah
kita bertukar tempat duduk? Aku suka melihat pemandangan di luar sana.”
“Oh,
tentu saja!” Dimas segera memberikan tempat duduknya di dekat jendela
kepadanya.
“Danke!”
“No problem, apa kau …”
Begitu
duduk, Gertrude segera memasang earphone
ke telinganya dan memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Eric
yang melihat semua itu dari kursinya yang berada di seberang lorong hanya
tertawa terkekeh.
***
“Dimas!
Pakai sabuk pengamanmu!” pemuda itu mendengar teriakan Eric membangunkannya
dari tidurnya.
Ia
merasakan kokpitnya bergoncang. Segera ia memandang ke sekitarnya, namun
situasi begitu kacau, diikuti teriakan menggema para penumpang.
“A
… apa yang terjadi?”
“Turbulence! Cepat pakai sabuk
pengamanmu!” teriaknya lagi, “Kurasa pesawat ini akan jatuh!”
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment