A LOVECRAFTIAN NOVEL
Yog
Sothoth mengetahui gerbangnya
Yog
Sothoth adalah gerbangnya
Yog
Sothoth adalah kunci sekaligus penjaga gerbangnya
Masa
lalu, sekarang, dan masa depan, semuanya satu di dalam Yog Sothoth
***
Seberapa
keraspun mencoba, Yakob takkan pernah bisa menyembunyikan putrinya. Media
akhirnya mengendus keberadaannya.
“Savira
Saraswati hidup kembali. Bagaimana bisa?” dan berkat mantra itu, iapun
kembali viral.
Pertama
banyak yang menduga bahwa kasusnya hanyalah rekayasa semata. Pansos, begitu
mereka bilang. Sebuah keluarga yang haus publisitas. Namun para dokter yang
mengotopsi jenazah Savira kala itu bersumpah bahwa semuanya nyata, begitu pula
para polisi yang terlibat dalam kasus itu.
Kemudian
pertanyaan lain bergulir.
“Tuhan
apa yang mereka sembah hingga Savira Saraswati hidup kembali?”
Orang
tua Savira pun diberondong pertanyaan. Mereka kini bahkan lebih terkenal
ketimbang Savira, yang kini bernapas dan menikmati kesempatan keduanya. Bahkan tak
pernah lagi terdengar pembahasan tentang siapa pembunuh Savira; semua hanya
memusatkan mata pada bagaimana ia bisa hidup kembali. Alasannya sederhana,
karena pengetahuan itu juga akan berdampak pada kehidupan mereka.
Chusnul
Dara, ibu dari Savira Saraswati. hanya ingin kehidupan tenang. Ia hanya ingin
menghabiskan waktu dengan putrinya kembali, jauh dari manusia dan segala
hasratnya yang mungkin akan merenggutnya kembali. Namun Yakob berpendapat beda.
Ia berpikir, sudah saatnyalah ia menyebarkan anugerah itu. Ia bersimpati pada
para orang tua lain yang berduka, sebab ia sendiri pernah mengalaminya. Iapun
membaginya, dengan satu syarat, bahwa mereka hanya akan menggunakannya untuk
kebaikan.
Namun kala itu ia
belum sadar, bahwa hakikat
manusia sesungguhnya adalah untuk merusak dan menghancurkan.
Setelah
keberadaan sang dewa monster, Yog Sothoth dan mantra pemanggilnya
dikumandangkan, mulai bermunculan sekte yang memujanya. Hampir seluruh
anggotanya adalah orang-orang yang pernah mengalami duka mendalam dan hati yang
hancur, sama seperti Yakob kala ia pertama mencari sang dewa tersebut.
Mempercayakan pengetahuan sekuat ini kepada manusia waras saja sudah amat
beresiko, apalagi kepada orang-orang dengan kondisi psikologis nan labil ini.
Awalnya
mereka muncul sebagai aliran yang damai, dengan tudung-tudung kepala putih
berbentuk kerucut untuk menyembunyikan kepala mereka. Mereka beranggapan semua
orang haruslah dianggap setara, karena itu mereka mengenakan tudung itu untuk
menutup wajah mereka, sehingga semua penganutnya kemudian menjadi serupa.
Namun
selubung suci itu itu tak mampu menutup kebusukan moralitas mereka.
Mereka
mulai berdoa kepada sang dewa itu, namun banyak yang menemukan bahwa tak semua
doa mereka dijawab. Butuh beberapa bulan hingga akhirnya mereka mengetahui
sebabnya. Sebuah hal yang sederhana, bahkan hampir tak masuk akal, namun
begitulah adanya.
Kuning.
Dewa
itu amat membenci warna kuning.
Tak
ada yang tahu mengapa. Ada yang beranggapan bahwa Yog Sothoth tak hanya
satu-satunya dewa adidaya di luar sana. Ada makhluk purba lainnya yang menjadi
saingannya dan amat ia benci. Mungkin saja makhluk itu berwarna kuning atau
mengenakan sesuatu berwarna kuning di tubuhnya. Namun itu hanya dugaan, tak ada
yang tahu pasti apa sebabnya.
Akan
tetapi mereka tahu satu hal: siapapun yang masih menggunakan warna kuning atau
bersentuhan dengan warna itu dalam hidupnya, maka sang dewa takkan mengabulkan
permohonannya. Maka merekapun mulai menghindari warna kuning. Dimulai dari
pakaian; mereka menghindari tak hanya kuning melainkan seluruh warna yang cerah
dan tajam, hingga mereka hanya mengenakan busana hitam atau putih saja.
Kemudian makanan; mereka menghindari jeruk, pisang, dan segala makanan yang
membawa serta warna kuning, tak terkecuali telur. Hingga pada suatu titik,
mereka memilih mengisolasi diri di pulau atau kota terpencil yang monokromatik
dan tak bersentuhan sedikitpun dengan warna apapun.
Tak
hanya itu. Tak jarang mereka dengan kejam akan menyita dan membakar segala
sesuatu yang berwarna kuning yang mereka temukan dari orang-orang lain yang tak
tergabung dalam sekte mereka. Mereka memaksakan sebuah dunia tanpa warna kuning
demi tercapainya keinginan mereka.
Maka
permintaan-permintaan pun mulai dikabulkan.
Tentu
saja, setiap manusia waras akan meminta satu hal sebagai permintaan pertamanya,
hal paling pertama yang terlintas dalam pikirannya.
Uang.
Kekayaan.
Ketamakan.
Itulah embrio kekacauan yang akan menyapu dunia. Katalis kepunahan.
Tentu
saja mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan. Sumber uang tanpa batas,
nominal dalam rekening yang terus naik, permata dan berbagai jenis logam mulia.
Semuanya dilimpahkan mereka bak hujan di sebuah badai tropis yang melanda pada
suatu musim monsoon.
Jelas
mereka menyukainya, siapa tidak? Namun kenikmatan itu hanya berlangsung sesaat.
Saat semua orang kaya, maka uang takkan bernilai lagi. Nilai mata uang turun
drastis, logam-logam mulia tak lagi berharga, dan perekonomian duniapun kolaps.
Apalagi
yang mereka minta? Orang-orang yang memiliki prioritas lain selain uang akan
meminta berkat bagi orang-orang tercinta. Namun sifat altruistik ini berdampak
lebih mengerikan ketimbang egoisme sekalipun. Mereka yang pernah kehilangan
orang-orang tercinta kemudian meminta agar mereka dibangkitkan dari kematian.
Sekilas keinginan itu tak berdosa. Siapa yang tak pernah dilumpuhkan oleh rasa
duka?
Tapi
apakah kalian tahu akibatnya? Dari 8 miliar penduduk dunia, kini jumlahnya
berlipat ganda menjadi 21 miliar dalam sekejab.
Bayangkan
kekacauan yang ditimbulkannya. Siapa yang akan memberi makan mereka? Belum
lagi, peristiwa khaotik ini telah dibarengi dengan runtuhnya perekonomian.
Kiamat
global berada di depan mata, bahkan tanpa menunggu asteroid yang menerjang
langit atau menanti Bumi ditelan oleh Matahari yang menjelma menjadi Raksasa
Merah.
Sebagai
timbangan yang menyeimbangkan, mereka yang membenci sesamanya memohon kematian
mereka. Namun langkah itu sepertinya percuma, sebab walaupun dikabulkan, doa
keluarga mereka akan membangkitkan mereka kembali. Karena itu, mereka yang lalim
tak lagi meminta kematian bagi lawan dan musuh mereka. Mereka meminta
penderitaan; penderitaan yang lebih buruk dari kematian.
Tentu,
penderitaan yang mulai mengejawantah di permukaan Bumi justru membuat penganut
sang dewa gila itu semakin banyak; sebuah feedback positif yang tak
lebih dari lingkaran Ouroboros, seekor ular yang memakan ekornya sendiri,
sebuah takdir karmik yang tragis.
Tak
lama, zona “anti-kuning” semakin lebar dengan persekusi yang amat keras bagi
yang melanggarnya. Kaum “un-believer”, sebutan bagi golongan yang masih
memiliki kewarasan untuk tidak memuja dewa monster itu, tidak lagi berani
terang-terangan memicu amarah mereka dengan memakai ataupun mengonsumsi segala
sesuatu yang kuning. Walaupun tetap saja ada segelintir martir yang menantang
mereka, namun dengan konsekuensi yang amat mengerikan.
Segala
yang diminta mereka segera dikabulkan. Hujan di kala musim kering, sehingga
sungai meluap menyebabkan tsunami dahsyat. Panenan bahan pangan yang melimpah,
menyebabkan padi, gandum, dan kentang menjadi gulma yang menghabisi segala
tanaman lain. Semua penyakit disembuhkan, tak ada lagi kematian, duniapun
dihuni oleh para zombie yang tak takut akan apapun.
Jika
itu belum cukup, maka kau harus mendengar permintaan para calon presiden kita.
Ya, merekapun berpaling kepada Yog Sothoth. Mereka berdua, berserta segenap
pengikutnya, meminta hal yang sama. Mereka memohon agar bisa menjadi presiden.
Kedua-duanya dikabulkan.
Negara
kami terpecah menjadi dua.
Para
pengikutnya saking berperang dan kedua belah pihak mendoakan kemenangan mereka.
Kedua-duanyapun
dikabulkan dengan cara kekalahan mereka berdua.
Perang
telah merembet ke segala senjata adidaya, mulai dari teror kimia dan nuklir.
Kedua-duanya hancur dengan para korban tak bisa mati dalam penderitaan mereka,
karena doa dari keluarga mereka.
Nama
Yakob dan putrinya, Savira Saraswati tak pernah terdengar kembali. Dunia telah
melupakan mereka. Mungkin itulah keinginan mereka; agar dunia tak menyalahkan
mereka atau segala kekacauan yang menimpanya. Mungkin mereka meminta hal yang
lebih baik lagi: kematian. Entahlah,
yang pasti nama mereka berdua tak lagi tertulis dalam sejarah.
Chusnul
Dara, justru ia yang menghubungiku. Ia kini memimpin suatu kelompok resistensi
beranggotakan orang-orang yang tak tergoda dengan buaian sang dewa monster itu.
Ia
tahu bahwa aku adalah salah satu yang berjuang melawan tuhan yang jahat itu.
Tidak, kurasa ia tidak jahat. Ia lebih buruk dari itu.
Monster
itu netral.
Ia tidak baik ataupun
tidak jahat.
Ia
mengabulkan permintaan manusia hanya karena ia mampu. Ia tak pernah
mempertimbangkan dampak dari doa yang dikabulkannya. Ia bukanlah sosok Tuhan yang
bijaksana. Bahkan, kurasa ia adalah entitas yang dungu, yang tak tahu perbedaan
baik dan jahat, bahkan tak mampu berpikir.
Sesuai
kata Dante saat menulis “Divine Comedy” sebuah mahakarya literatur Kristen, “Bagian
neraka yang terdalam dicadangkan bagi mereka yang tetap netral pada masa krisis.”
Kenetralan
adalah dosa terberat dan sang dewa iblis itu menanggung kemungkaran itu dalam
sendi-sendinya, dalam wujudnya yang amorf dan menjijikkan.
Tidak,
sekali lagi aku salah. Ia bukanlah iblis. Iblis itu jahat. Ia lebih daripada itu.
Karena
itu aku tak mau menjadi pihak yang netral. Aku ingin melawan, mengembalikan
kondisi Bumi kembali ke hukum alamnya yang semula, ketika Tuhan yang
mengaturnya seakan bertindak kejam, namun dengan tujuan untuk menyeimbangkan
segalanya.
Niatku
itu sepertinya mustahil, walaupun dengan dukungan Chusnul dan para pengikutnya
sekalipun. Ia tahu dirinya tak punya banyak waktu, karena sekte itu terus
mengejar mereka. Karena itu ia mempercayakan ini kepadaku. Sebuah buku. Tapi
bukan sembarang buku.
Sebuah
buku yang bisa menembus dimensi. Necronomicon, begitulah namanya. Buku itu ada
di semua dimensi, di semua kenyataan. Jika aku menuliskannya di sini, maka
semua pemilik Necronomicon di alam semesta paralel lain mampu membacanya.
Ia
memintaku menceritakan semuanya agar menjadi pelajaran sehingga peristiwa ini
tak terjadi di dunia mereka. Bagiku itu percuma. Itu tetap takkan menyelamatkan
dunia kami. Namun menurutnya, itu satu-satunya hal yang bisa ia lakukan.
Mungkin ia merasa bersalah, karena semua kekacauan ini bermula dari
keluarganya, darah dagingnya sendiri.
Jika
kalian membacanya, maka kau harusnya bisa memetik pelajaran dari nasib yang
diterima planet kami. Jangan pernah percaya pada tuhan yang bisa mengabulkan
semua permintaanmu. Percayalah pada Tuhan yang menunda terkabulnya doamu agar kau
bisa menerima yang lebih baik.
Seperti
yang kukatakan, aku dan Chusnul sama-sama membenci sekte itu dan tuhan mereka,
namun kami berbeda pandangan. Chusnul berpendapat satu-satunya cara untuk
mengembalikan keadaan dunia kami adalah melawan sekte itu, namun aku
berpendapat lain. Satu-satunya cara untuk mengusir ilusi sesat itu dari dunia
kami adalah dengan menggunakan kekuatan-nya sendiri.
Ya,
aku akan menjadi penganut sekte itu dan berdoa kepadanya.
Chusnul
tentu saja tak setuju dengan rencanaku dan kamipun memutuskan untuk memisahkan
diri. Entah apa yang terjadi kepadanya kini.
Dan
kini di sinilah aku, berkendara menuju ke kota terdekat yang dikuasai sekte
itu. Di sana aku akan bergabung dengan mereka, “menyucikan” diriku dari segala
yang berwarna kuning, dan mengikuti ritual mereka.
Semua
orang telah meminta satu hal yang menyebabkan kehancuran planet ini. Kekayaan,
umur panjang, kemenangan. Namun aku akan akan meminta satu hal. Satu hal ini
mungkin yang paling kejam dan paling mengerikan di antara semua permintaan yang
pernah diucapkan manusia.
Permintaan
yang entah bagaimana caranya pasti akan diwujudkan; mungkin dengan cara menyapu
seluruh kehidupan di muka bumi ini ataupun menghisap seluruh alam semesta ini
dalam ketiadaan. Mungkin makhluk itu ikut lenyap bersamanya, atau mungkin
tidak.
Aku
akan meminta kedamaian.
***
Yog
Sothoth mengetahui gerbangnya
Yog
Sothoth adalah gerbangnya
Yog
Sothoth adalah kunci sekaligus penjaga gerbangnya
Masa
lalu, sekarang, dan masa depan, semuanya satu di dalam Yog Sothoth
BERSAMBUNG
Yog Sothoth mengetahui gerbangnya
ReplyDelete