A LOVECRAFTIAN NOVEL
Aku
membuka mataku, namun aku merasa amat lemah. Suara riuh tawa terdengar di
sekitarku. Aku melihat sebuah auditorium luas dan aku berada tepat di
tengah-tengahnya. Ribuan orang memadati amphiteatre itu. Di depanku
duduk seorang pria bermahkota emas, sementara seorang gadis berdiri di
sampingnya.
Sang
raja dan putrinya, Delila.
“Delila
... apa ... apa yang kau lakukan?” aku menyadari bahwa ada rantai yang kini
mengikat kedua kaki dan tanganku. Aku berusaha meronta, namun percuma. Bernapas
di atmosfer ini saja aku kesusahan, apalagi mematahkan rantai-rantai ini. Aku
merasa seluruh daya dalam tubuhku telah terkuras.
Raja
itu dengan bangga menunjukkan serat-serat sibernetik yang terurai di genggaman
tangannya.
“Ram
... rambutku ... apa yang sudah kau lakukan?”
Delila
tak menjawab. Ia hanya menatapku tanpa ekspresi.
“Inikah
sumber kekuatanmu?” ejek Micromagnus, “Putriku sudah memotongnya dari kepalamu
dan lihat ... betapa lemahnya kau saat ini ...”
Suara ejekan terdengar riuh membahana dari podium. Seluruh rakyat planet ini kini menertawakannya.
“Kau
kini tak berguna, Samson. Setelah mengetahui kelemahan kaummu, kami akan
menggunakannya untuk menjajah planetmu.”
“Ternyata
memang itu tujuanmu,” Samson justru tersenyum, “Kalian tak lebih dari planet
parasit yang mencuri dari planet lain lalu menghancurkannya ....”
“Salah!
Planet-planet itu juga akan hancur pada akhirnya. Kami hanya mengambil dari
planet itu supaya sumber daya mereka tidak mubazir.”
“Menghancurkannya?
Dengan teknologi kalian?”
“Bukan,”
jawab Delila tiba-tiba, “Tapi Dewa Dagon-lah yang akan menghancurkannya. Dia
akan datang menuruti panggilan kami. Setelah merampok planet-planet itu, kami
mengumpankannya kepada Dagon supaya dia memangsanya, sebagai balasan atas
perlindungan yang dia berikan kepada kami.”
“Outer
God yang memakan planet?” Samson tak habis pikir. Ia telah banyak mendengar
dongeng tentang para Outer Gods ini, namun ia tak menyangka kekuatannya akan
sebesar ini, “Jadi karena itu kalian hendak mengorbankan Orene? Untuk memanggil
Dewa kalian?”
“Dagon
amat peka terhadap aroma darah. Beliau bisa mencium darah di luar angkasa dari
jarak jutaan tahun cahaya dan ia bisa tiba di sini dalam sekejap menggunakan wormhole.”
“Manusia
di planet kami tidak berdarah ... “ aku akhirnya memahaminya, “Rupanya
teknologi kalian tak seprimitif yang aku duga. Kalian telah mengetahui banyak
hal dari kami.”
“Kemampuan
spesies-mu sudah melegenda, Samson.” balas sang raja, “Planet-planet lain yang
kami taklukkan sudah mengetahui tentang dirimu. Ras-mu amat kuat, hingga tak
ada yang mampu membuatmu berdarah. Hingga saat ini ...”
Tiba-tiba
Micromagnus turun dari singgasananya, mengeluarkan sebilah pisau, dan menusuk
kedua mataku.
“AAAAAAARGH!”
rasa sakit menggerayangiku. Ras kami terbiasa dengan rasa sakit, sehingga hal
itu bukan masalah buatku. Namun luka ini membuatku tak bisa melihat apapun.
“Ayah!”
kudengar protes dari Delila, “Apa yang Ayah lakukan?”
“Bukankah
kita sudah sepakat menjadikannya persembahan pengganti dirimu, Delila?” balas
ayahnya.
“Tapi
Ayah tak perlu menyiksanya begitu! Dia kan sudah kehilangan kekuatannya!”
teriak gadis itu.
“Apa
kau lupa dia sudah membunuh kakakmu dengan darah dingin? Apa kau tak ingat?”
“Ta
... tapi ...” rasa sesal mengurai dari suara Delila.
“Itukah
yang ia katakan kepadamu?” ujarku, “Aku sama sekali tak sengaja melukainya,
Delila. Aku berusaha menyelamatkan Orene, sungguh ... itu semua hanya
kecelakaan. Aku tak bermaksud membunuhnya ...”
Delila
hanya terdiam.
“Maafkan
aku tak mengatakannya kepadamu ... namun aku hanya ingin kau percaya padaku.
Aku ingin menyelamatkan planet ini ... aku ingin menyelamatkanmu ...”
Aku
mendengar tangisan Delila.
Kudengar
ia berlutut di dekatku dan membisikkan sesuatu.
“Maafkan
aku, karena menuruti emosi dalam diriku, aku sudah merusak satu-satunya kesempatan
yang kami miliki untuk mengalahkan Dagon.” bisiknya.
“Delila!”
protes ayahnya, namun Delila membalas.
“Biarkan
aku mengucap kata-kata perpisahan dengannya, Ayah! Setelah itu pendeta itu bisa
mengorbankannya!”.
“A
... apa yang hendak kau katakan ...” tanyaku.
“Balaskan
dendamku,” bisiknya, “Kau akan bisa mengalahkannya.”
“Bagaimana
mungkin?” tanyaku, “Dia seorang Outer God!”
“Ia
lemah. Amat lemah. Dari kekuatan cenayang yang kau berikan padaku, aku bisa
melihat masa lalu dan mengetahui sejarah planet kami. Bukan Dagon yang
menyebabkan bintang kami meledak. Keegoisan dan teknologi kami sendirilah yang
menyebabkannya. Kami tak sengaja meledakkannya saat ingin membangun Dyson
Sphere di sekitarnya, demi ketamakan kami akan energi tanpa batas. Dagon hanya
memanfaatkan kesempatan itu untuk memperbudak kami. Ia hanya ingin dipuja.
Hanya itu yang bisa ia lakukan, memanfaatkan rasa takut kami.”
“Dagon
bisa dikalahkan? Ta ... tapi aku kini buta dan tanpa serat sibernetikku ...”
“Dirimu
lebih dari hanya sekedar kabel sibernetik, Samson! Benda itu ... benda itu
adalah kutukan. Tak ada seorangpun yang seharusnya memilikinya. Hanya sedetik
memakai benda itu aku sudah bisa melihat masa lalu suram planet kami. Kau ...
kau memiliki keberanian ... kau bukan pengecut seperti kami. Kau akan bisa
mengalahkannya ketika ia datang.”
“Darimana
kau tahu ia akan datang?”
“Itu
urusanku!”
Aku
bisa merasakan Delila menjauh dan terdengar sebuah perselisihan.
“Delila,
kembalikan!” terdengar suara Micromagnus. “Apa yang hendak kau lakukan dengan
pisau itu?”
“Jika
ini memang takdirku, biarlah! Biarkan Dagon ikut menghancurkan planet ini
bersama kalian! Apa yang sudah kita lakukan terhadap planet-planet lain
tidaklah termaafkan!”
“DELILA!
TIDAAAAAK!!!!” teriak ayahnya.
“A
... apa yang terjadi dengan Delila?” teriakku, “Ada apa?!”
“Tuanku
Raja, ini gawat!” aku mendengar suara sang pendeta, Myxogonus. “Sang putri mengorbankan
dirinya tanpa upacara yang semestinya. Jika ini terjadi, kita tak bisa meredam
amarah Dagon dan dia akan menganggap kita juga mangsanya!”
“Delila
... Delila mengorbankan dirinya?” hatiku terasa patah mendengarnya. Perasaan
apa yang kurasakan ini? Aneh, ras kami tak pernah merasakan ini sebelumnya.
Sedih?
Rindu?
Cinta?
Riuh
panik para penduduk planet itupun terdengar. Mereka berlarian ke sana kemari
dan berteriak histeris.
“DIA
DATANG! DIA DATANG! AAAAAAAKH!!!”
Hanya
kekacauan yang bergema di sekelilingku. Aku bahkan yakin bahwa mereka tak
mempedulikanku lagi.
Dagon.
Dewa. Monster. Apapun itu. Akhirnya ia datang.
“DIA
... DIA ... TIDAAAAAK!!!”
“MENGAPA
WUJUDNYA SEPERTI ITU??? AAAAAAKH!!!”
Aku
mengerti sekarang. Legenda-legenda tentang para Outer Gods itu ternyata benar.
Dulu nenek moyang kami tidak mengembangkan teknologi wormhole untuk
menjelajahi alam semesta, karena itu berarti kami akan masuk ke dalam dunia
yang didiami Outer Gods. Semula kami menyangka bahwa itu bukanlah masalah,
sebab kami mengetahui hakikat Outer Gods. Seberkuasa apapun, mereka sama sekali
tak memiliki intelegensi, bahkan bisa dibilang dungu. Kami juga hanya akan
melewati Lubang Cacing itu hanya sepersekian detik. Namun, semua astronot yang
kami kirim mengalami hal yang sama.
Mereka
menjadi gila.
Hanya
sepersekian detik melihat wujud Outer Gods akan membuat otakmu menjadi gila.
Konon wujud mereka terlalu mengerikan dan menjijikkan untuk bisa diterima akal
sehat.
Inilah
yang dimaksudkan Delila.
Aku
buta. Aku tak bisa melihatnya. Karena itu aku bisa melawannya.
“Samson
...” tiba-tiba terdengar bisikan Delila di telingaku. “Am ... ambillah pisau
ini ...”
“Delila?”
ujarku, “Ka ... kau belum wafat?”
“Aku
hanya punya sedikit kekuatan tersisa ... A ... aku harus mengatakan kepadamu
... bahwa kau benar ... planetku dulu amat indah ... Apa kau ingin tahu apa
nama planet kami dulu, sebelum akhirnya terombang-ambing dan diperbudak oleh
makhluk itu?”
Aku
berusaha memeluknya, “Bertahanlah ...”
“Namanya
adalah Bumi ...”
Aku
bisa mendengar Delila menarik napas terakhirnya dan tubuhnya terkulai dalam
dekapanku.
“Bumi
...” pikirku, “Jadi Bumi telah lama mati ...”
Ras
kami masih bisa melihat Matahari, bintang yang menaungi Bumi dari teleskop
kami. Namun, jarak planet kami ratusan juta tahun cahaya. Apa yang kami lihat
saat ini ketika menatap tata surya itu adalah kondisinya ratusan juta tahun
lalu.
Seandainya
...seandainya saja kami mampu dan mau memperingatkan mereka tentang masa depan
yang akan mereka hadapi, mungkin mereka ... mungkin kalian ...
Aku
segera menggenggam pisau yang diberikan Delila, pisau yang sama yang telah
menusuk jantungnya dan juga membutakan mataku.
Akupun
bangkit dan menantang makhluk itu.
“AKU
TIDAK TAKUT PADAMU! MAJULAH!!!”
***
“Apa
yang terjadi dengannya?” suster itu bertanya pada dokter yang tengah merawat
Enricho. “Kenapa ia berteriak seperti itu?”
“Majulah Dagon! Aku
sama sekali tidak takut!” seru Enricho.
“Halusinasinya
lagi. Apa dia tidak meminum obatnya?” tanya dokter itu.
Suster
itu membuka bantal yang tergeletak di kasur Enricho.
“Lihat
ini, dia menyembunyikannya di sini. Sepertinya dia tidak meminumnya dalam waktu
yang lama.”
“Pantas
saja, obat-obat itu berfungsi untuk menekan halusinasinya.” kata dokter itu,
“Mulai sekarang kita terpaksa menyuntikkan obat itu untuk menghindari kesalahan
serupa. Siapkan dosis yang lebih tinggi.”
“Baik,
Dokter. Tapi apa tidak sebaiknya kita menghubungi Dokter Aulia dulu?”
“Kenapa?”
tanyanya.
“Ia
suka mengamati halusinasi anak-anak ini. Dia menyebutnya apa, aku lupa ... 'All-Seeing'? Kurasa itu sebutannya.
Menurutnya semua halusinasi mereka menunjukkan pola tertentu yang mungkin bisa
membantu ...”
“Sudahlah,
lupakan saja dokter gila itu! Dia terlalu mempercayai apa kata anak-anak ini
secara harfiah. Memangnya dia apa, penulis novel? Mulai sekarang aku akan
merawat anak-anak ini!”
“Ba
... baik, Dokter ...” suster itu tak mampu membantahnya.
BERSAMBUNG
Kaya cerita di alkitab ya,samson dan delillah
ReplyDeleteJangan pernah berenti upload ploss
ReplyDelete