A LOVECRAFTIAN NOVEL
“Di
... dimana ini ...” Shinta merasa masih sangat pusing, namun berusaha untuk
bangun. Ia langsung panik begitu menyadari bahwa kedua tangannya kini terikat
menjadi satu.
“Ada
apa ini?” jeritnya begitu melihat seseorang mengenakan pakaian serba putih
mirip jubah dan penutup kepala berbentuk kerucut berwarna sama. Ada dua lubang
di kerucut itu yang memperlihatkan matanya.
“Siapa
kau?” jeritnya lagi, “Dimana Theo?”
Ia
lalu menyadari sesuatu yang membuatnya ngeri.
“A ... apa kau melakukan sesuatu terhadap Theo?”
Sosok
itu tak menjawab. Ia justru sibuk dengan perapian. Ia berusaha membuatnya
semakin besar dengan menuangkan bensin, lalu merapal kata-kata yang aneh.
Mantra, pikir Shinta, ia
sedang berdoa.
“A
... aku harus melepaskan diri!” ucap Shinta dalam hati. Ia berusaha melepaskan
kedua tangannya, namun percuma. Ikatannya terlalu ketat.
Tiba-tiba
ia menyadari sesuatu.
Pisau!
Ya, ada sebuah pisau lipat di saku celananya. Pisau yang tadi diberikan Theo
untuk menyayat tanda di pohon-pohon itu.
Shinta
berusaha menggapainya dan berhasil. Ia meraih pisau itu dan menggunakannya
untuk mengiris tali yang mengikat pergelangan tangannya.
Namun
begitu Shinta berhasil melepaskan tali di tangannya, seutas tangan mencengkeram
bahunya. Shinta mendongak dan melihat sosok berjubah putih itu berusaha
menghentikannya. Ia mengacungkan sebilah pisau ke arah gadis itu, akan tetapi
ia dengan cepat melawan dengan menyabetkan pisau lipatnya ke arahnya.
“AAAAARGH!”
sosok itu berteriak ketika pisau yang dihujamkan Shinta mengenai perutnya
hingga berdarah.
Shinta
terkejut. Ia mengenali dengan baik pemilik suara itu.
“Theo!”
jeritnya tak percaya.
“Sepertinya
percuma menyembunyikan identitasku.” ia menarik topeng kerucut yang semenjak
tadi menutupi wajahnya, “Ya, aku memang Theo.”
“Ke
... kenapa kau melakukan ini?” Shinta bergidik ngeri karena pemuda yang selama
ini ia cintai tega melakukan ini semua.
“Sebagai
persembahan.”
“Persembahan?”
teriak Shinta, “Kau berusaha membunuhku?”
“Tak
ada cara lain, Shinta! Kau mencintaiku kan? Jika kau mencintaiku, maka kau akan
melakukan apapun demi kesembuhanku!”
“Kesembuhanmu?
Apa yang kau katakan, Theo? Kau sudah keluar dari rumah sakit!”
“Aku
dikeluarkan! Dokter menyerah karena penyakitku tak bisa disembuhkan!”
“Apa?”
pernyataan itu membuat Shinta terkejut.
“Aku
terkena tumor yang perlahan-lahan memakan tubuhku. Dokter mengatakan lambat
laun tumor itu akan berubah menjadi kanker ganas yang akan membunuhku dalam
hitungan bulan. Aku tak punya cara lain. Hanya melalui pengorbanan ini aku akan
sembuh.”
“Pengorbanan
apa? Jangan mengatakan hal yang gila, Theo!”
“Aku
tidak gila! Aku sudah melihat apa yang bisa dilakukan oleh hutan ini!”
“Hutan
ini? Apa yang kau katakan?”
“Dewa
... Dewa dalam hutan ini ...” Theo tertawa bak orang gila, “Dewa itu akan
mengabulkan permintaanku jika aku bisa membawakannya persembahan ....”
“Dewa
sakit macam apa yang melakukannya?” ucap Shinta tak percaya. Ia mulai meyakini
bahwa stress akan penyakitnya membuat Theo kehilangan kewarasannya.
“Shub-Niggurath
... Sang Penguasa Hutan ... dia yang dipuja banyak kebudayaan sebagai ibu yang
menyusui dunia ...”
“Theo
...” Shinta mulai menangis, “Kumohon hentikan semua ini ...”
“Sang
Kambing Hitam ...” bisiknya sembari tersenyum, “Dan kini dia sudah datang ...”
“KOAAAAAAK!
KOAAAAAAAAK!!!” suara itu terdengar kembali, kali ini lebih keras. Shinta
menoleh dan menjerit.
***
“KOAAAAAAAAK!!!”
Shinta
kemudian menyadari suara apa itu.
Suara
ini menyerupai suara kambing yang tengah disembelih. Suara ketakutan bercampur
rasa sakit, desahan ketika udara dalam tenggorokannya bercampur dengan darah
dan akhirnya mengental dalam kematian.
Shinta
mengerti kenapa makhluk itu mengeluarkan suara seperti itu.
Sebab
tubuhnya seperti campuran seekor kambing dan pohon. Kepalanya menyerupai
kambing berwarna hitam yang amat besar dengan dua tanduk dan mata
menyala-nyala, namun bagian bawahnya menyerupai akar-akar pohon. Makhluk itu
adalah sebuah pohon yang amat besar, dengan ranting-ranting tajam menggantikan
tangan-tangannya yang bercakar.
Dengan
bentuknya itu, ia terlihat amat menderita. Seolah-olah seharusnya ia tak
dilahirkan seperti itu dan semenjak dalam rahim, ia mengalami sakit yang amat
dahsyat akibat kelainannya itu. Ia seakan-akan seperti bayi yang menjerit memohon
‘tuk diaborsi.
“Kau,
salah satu dari mereka yang tak boleh disebut namanya ....” Theo terus memuja
monster itu, “Kumohon ambillah persembahanku untukmu ...”
“Theo,
kumohon!” jerit Shinta penuh tangis, “Aku sedang mengandung anakmu!”
Theo
terdiam.
“Maaf
aku belum mengatakannya, namun aku berkata sejujurnya! Aku sedang hamil! Tolong
jangan bunuh kami!” pintanya sambil berlinang air mata.
Namun
Theo justru tersenyum mendengar pengakuan kekasihnya tersebut.
“Kau
pikir aku tidak tahu?”
“Apa?”
mata Shinta membelalak.
“Kaupikir
apa yang hendak kukorbankan pada Dewa yang bisa mendatangkan kesembuhan ini?
Nyawamu?” Theo terkikik, “Oh, maaf Sayang .... tapi nyawa perempuan tercemar
sepertimu sama sekali tak berharga. Bayi yang ada dalam perutmu itu lebih suci
dan merupakan pengorbanan yang lebih besar.”
“Kau
...” bisik Shinta, “Kau benar-benar sakit ...”
“HAHAHAHA!”
tawa Theo menggema di tengah hutan itu, bergema bersama raungan monster yang
mengaku dewa itu.
Shinta
hanya menggenggam pisau kecil di hadapan makhluk raksasa itu. Ia hanya bisa
pasrah. Apapun yang terjadi sekarang ....
“AAAAARGH!
Apa yang kau lakukan?” tiba-tiba terdengar teriakan Theo. Shinta menoleh dan
melihat akar-akar pepohonan mencuat dari dalam tanah dan membelit tubuh pemuda
itu.
“Bukan
aku! Tapi dia! DIA!!!” serunya. Namun percuma, akar-akar yang menjulur itu
mengangkatnya ke udara dan membawanya tepat di hadapan dewa berkepala kambing
itu.
“ALL-SEEING!
ALL-SEEING!!!” makhluk itu kembali berteriak, kali ini menyerukan kata-kata
yang dipahami Shinta. Namun ia sama sekali tak mengerti apa maknanya.
Bak
tentakel, akar-akar itu mencengkeramnya lebih kuat hingga Shinta bisa mendengar
tulang-tulang dalam tubuh pemuda itu remuk redam. Kemudian, akar-akar itu
menghujamkan tubuhnya tepat ke arah tanduk kambing itu.
“AAAAAAAAAH!!!”
terdengar teriakan kesakitan Theo ketika tanduk-tanduk itu menembus tubuhnya. Shinta
ikut berteriak melihat semua kesadisan itu.
Kepala
kambing itu mulai menjulurkan lidahnya, mencoba untuk mencicipi darah yang
mengalir dari tubuh pemuda itu.
“Shin
… Shinta … tolong aku …” rintihnya lemah.
“Ya
Tuhan ...” Shinta menutup mulutnya. Pisau lipat itupun terjatuh dari tangannya.
Namun
setelah Theo menghembuskan napas terakhir dan darah berhenti mengucur dari
tubuhnya, makhluk itu segera menghempaskan tubuhnya dan mengalihkan
perhatiannya pada gadis itu.
“KOAAAAAAAAK!!!”
“AAAAAAAAA!!!”
Shinta langsung berlari sekuatnya. Tanah di bawahnya mulai bergolak. Bahkan ia
bisa melihat lapisan lumut di bawah kakinya terangkat lalu menutup lagi, seolah
sedang bernapas.
“Astaga!”
di tengah pelariannya dia menyadari sesuatu yang lebih menakutkan. Makhluk itu
tak hanya sebatas kambing berkaki pohon itu.
Seluruh
hutan ini ... seluruh hutan ini dengan pepohonan yang akarnya membentuk satu
jaringan di bawah tanah ...
Seluruh hutan ini adalah makhluk itu!
“KOAAAAAAAK!!!”
Shinta
kembali menjerit ketika makhluk itu mengguncangkan seluruh akar di hutan itu dan
menimbulkan gempa. Tubuh Shinta langsung terhempas ke udara.
“BRAAAAK!!!”
ia terjatuh di tanah. Ia berusaha merangkak, namun akar-akar pohon berusaha
membelit kakinya.
“Tidak!
Tidak!!!” Shinta menolak untuk menyerah, terutama karena nyawa janin dalam
perutnya. Ia tak lagi peduli pada nyawanya, namun anaknya ... ia akan melakukan
segalanya agar ia bisa menikmati kehidupan.
Akar-akar
itu semakin erat menggenggam kakinya, namun Shinta sadar hanya sepatunya saja
yang dicengkeram makhluk itu. Ia berusaha meloloskan diri dengan melepaskan
sepatunya, lalu berguling ke tanah.
“AAAAA!”
Shinta
nyaris menjerit begitu melihat kilatan cahaya melintas di depannya. Mobil. Ya,
mobil, tak salah lagi! Ia berada di jalan raya sekarang.
Shinta
segera berlari ke tengah jalanan beraspal. Dilihatnya hutan di depannya masih
menggeliat, namun kali ini mereka berhenti mengejarnya.
Shinta
tahu kenapa.
Ini
adalah batas hutan itu. Makhluk itu tak mampu mengejarnya jika ia sudah berada
di luar daerah kekuasaannya.
***
Sepanjang
malam Shinta hanya menunggu di pinggir jalan. Ditatapnya pepohonan di
hadapannya dengan lekat-lekat. Ia tahu mereka masih menginginkannya, namun tak
mampu meraihnya.
Ia
masih menunggu mobil lain untuk lewat. Namun sepanjang penantiannya, Shinta
belajar hal baru.
Ia
menyaksikan seekor anjing berjalan dengan tertatih-tatih, menyeret bagian bawah
tubuhnya. Sepertinya ia baru terlindas sebuah mobil. Dengan sisa nyawa dan
kekuatan terakhirnya, mahkluk itu berhasil mencapai hutan itu dan menggigit
salah satu pohon itu.
Getah
putih keluar dan anjing itu langsung menjilatinya.
Hanya
dalam beberapa saat, anjing itu tiba-tiba sembuh. Kaki belakangnya yang tadinya
cedera kini dapat digunakannya untuk berjalan lagi.
Namun
ada bayaran untuk semuanya itu.
Anjing
itu mulai masuk ke dalam hutan. Ia tahu, semenjak saat ini, ia harus tinggal di
dalam hutan itu, menjadi satu dengannya.
Lampu
sebuah truk menyinarinya dan akhirnya berhenti di tepi jalan. Kepala seorang
pria keluar, menongol dari jendela
“Hei,
kau tidak apa-apa?”
***
Shinta
tak pernah menceritakan apa yang ia alami di hutan itu. Anehnya, polisipun tak
pernah menanyainya. Bahkan sopir truk yang menolongnya, ia mengatakan bahwa
hal-hal aneh yang tak seharusnya dibicarakan memang kerap terjadi di hutan itu.
Theo
hilang di hutan itu. Hanya itulah kebenaran universal yang diterima semua
orang. Bahkan pihak berwajib tak merasa perlu untuk mencari mayatnya.
Shinta
kemudian tanpa sengaja bertemu dengan dokter yang dulu pernah merawat Theo
ketika ia memeriksakan kandungannya di rumah sakit.
“Theo?
Ya, saya ingat pasien yang satu itu.”
Ia
menunjukkan hasil rontgennya. Shinta terkesiap. Ia akhirnya tahu kenapa Theo
tak pernah menceritakan penyakitnya kepada orang lain. Penyakit itu terlalu
mengerikan untuk dibicarakan, serta tak masuk dinalar.
Tumor
yang dideritanya itu berbentuk kepala manusia. Kepala yang tumbuh dalam tubuh
Theo.
Kemungkinan
besar Theo memiliki saudara kembar saat dalam kandungan. Namun anehnya,
kembarannya ini tak pernah dilahirkan dan justru hidup di dalam tubuhnya,
menjelma menjadi tumor setelah sekian lama.
Tumor
itu memiliki gigi dan rambut yang jelas terlihat serta sesuatu yang tampak
seperti satu kelopak mata yang terpejam. Kata dokter, tumor itu akan terus
tumbuh, menggunakan tubuh Theo untuk menumbuhkan bagian-bagian tubuhnya sendiri
yang lain. Pada akhirnya, kata sang dokter, hanya satu yang akan bertahan
hidup.
“Dunia
medis menyebutnya Parasitic Twin.” jelas sang dokter, “The All-Seeing.”
Namun
dokter itu langsung buru-buru meralat perkataannya. Shinta bisa merasakan bahwa
dokter itu gugup karena berkata terlalu banyak. Ia segera permisi, namun tidak
sebelum ia menatap gadis itu dan menanyakan kabar Theo.
“Bagaimana
dengannya? Apa dia sudah sembuh?”
Hingga
saat itu, belum pernah terlintas di pikiran Shinta bagaimana cara Theo bisa
mengetahui tentang hutan itu. Namun kini, sepertinya ia tahu jawabannya.
BERSAMBUNG
Bajirut, tebakan gue bener 😖😖
ReplyDelete