A LOVECRAFTIAN NOVEL
Elena
bergidik ngeri, “Bagiku yang mengerikan bukanlah kedatangan monster itu ke Bumi,
melainkan kemungkinannya.”
Profesor
Eldritch tersenyum mendengarnya. “Memang benar apa yang kau katakan. Imajinasi
manusia, itulah sumber semua ketakutan. Bukan hal yang pasti, melainkan segala ke-nir-kepastian.”
“Tapi bagaimana kau mendapat buku dengan segala cerita menakutkan itu, Prof?”
“Necronomicon?”
tanyanya sembari mengangkatnya. “Buku ini sudah berusia ribuan tahun. Buku ini
dulunya berupa tablet tanah liat dengan kuneiform, aksara Mesopotamia kuno.
Buku ini hilang berabad-abad lamanya hingga pada abad ke-9, seorang sejarawan
Arab bernama Alhazred menemukannya di reruntuhan Kuil Dewa Marduk di Babilonia,
kemudian menerjemahkannya ke dalam bahasa Semitik.”
“Ia
memberi buku itu judul 'Al-Azif al-Jinn' atau 'Bisikan Iblis' karena kontennya
yang mengerikan. Bahkan selesai menerjemahkannya, Alhazred mengaku pada
teman-temannya bahwa ia sering dihantui mimpi buruk. Hingga pada akhirnya,
Alhazred sendiri memutuskan bunuh diri dengan melompat dari minaret Masjid
Agung Damaskus, Siria kuno, tempat ia tinggal.”
“Lalu
nasib buku itu?”
“Terkubur
selama ratusan tahun di Siria hingga akhirnya ia ditemukan tergeletak di dalam
museum yang diserang ISIS di Damaskus. Anehnya semua petarung ISIS di museum
itu terbunuh dengan sadis. Pemerintah menyalahkan pejuang oposisi dibantu
Rusia, gerilyawan Syi'ah, hingga prajurit militer AS sendiri. Namun dari
luka-luka yang mereka derita, serta fakta bahwa beberapa bagian tubuh mereka
tampak dikunyah oleh sesuatu, sepertinya bukan salah satu dari mereka
pelakunya.”
“Mereka
dimakan oleh …”
Elena
mengenyit ngeri melihat wajah yang terlihat di sampul buku itu. Awalnya ia
mengira bahwa mata, mulut, dan hidung yang ada di sampul buku itu hanya ilusi
optik saja karena permukaan sampul buku yang tak rata itu. Namun sesekali, ia
bisa melihat bahwa buku itu terlihat bernapas.
“Sudahlah,
jangan dibahas lagi. Apa kisah berikutnya tak membuatmu penasaran?”
***
HUTAN
selalu menyimpan misteri. Buktinya, ribuan pepohonan dan rimbunnya dedaunan
seolah ingin menutupi suatu rahasia yang harus disembunyikannya dari dunia
luar. Selama ribuan tahun, orang-orang tinggal di dalamnya, memujanya sebagai
ibu yang merawat mereka.
Theo,
sebagai pendaki, paham benar akan hal itu. Hutan menjadi lokasi pemujaan
semenjak dulu, tempat bersemayamnya para dewa. Hutan, menjadi rumah
makhluk-makhluk yang tak berasal dari dunia ini; sesuatu yang bahkan lebih tua
dari dunia ini.
Pemuda
itu belum pernah melihat mereka, namun menyadari dengan benar keberadaannya. Ia
banyak mendengar cerita.
Ketika
kakinya menjejaki dedaunan yang kering dan lumut-lumut basah di bawahnya,
pemuda itu menyadari bahwa tempat ini jauh lebih baik dari dunia memuakkan
tempatnya tinggal. Kota dengan asap-asap memekakkan, gedung-gedung beton yang
depresif, aspal abu-abu yang mematikan kehidupan di bawahnya, serta wajah-wajah
orang yang menderita, namun berpura-pura bahagia.
Theo
sudah muak dengan semua itu.
Dunia
yang ditinggalinya adalah dunia yang memiliki satu kepastian; yakni bahwa
penghuninya akan senantiasa diperlakukan tidak adil. Sedangkan di sini, hutan
ini, serasa seperti semesta lain yang menyimpan banyak kesempatan.
“Apa
kau baik-baik saja?” tanya Shinta, kekasihnya yang menemaninya. “Kau baru saja
sembuh. Apa benar trekking sejauh ini baik untuk kesehatanmu?”
Memang
Theo baru saja pulang dari rumah sakit seminggu lalu. Shinta selalu
mendampinginya, namun kekasihnya itu tak pernah terbuka tentang penyakit yang
dideritanya. Ia hanya mengatakan bahwa kini ia sudah sembuh dan dokter
menyarankan bahwa udara segar di pegunungan dapat membantunya pulih lebih
cepat.
“Apa
kau lelah?” tanyanya lagi, setelah ia tak mendengar seutaspun jawaban dari
pemuda itu.
“Demi
Tuhan, Shin! Aku nggak apa-apa. Aku sudah mendaki gunung puluhan kali!” Theo
diam-diam mulai kesal dengan kecerewetan pacarnya itu. “Lagian hutan ini landai
kok. Kau tak merasa sedang menaiki gunung kan?”
“Ya
memang,” Shinta mengakuinya. Awalnya ia sempat ragu saat Theo mengajaknya ke
sini. Ia bukan pendaki berpengalaman seperti kekasihnya. Namun Theo meyakinkannya
bahwa rute yang akan mereka tempuh sama sekali tak susah.
“Apa
kau pernah ke sini?” tanya gadis itu.
“Kurasa
siapapun belum pernah ke sini.”
“Apa?”
Shinta agak panik mendengarnya.
“Tak
banyak yang tertarik menjelajah hutan seperti ini.” Theo berbalik menatapnya,
“Kebanyakan lebih suka pergi ke gunung yang lebih terkenal dan menantang. Harus
kau akui juga, tempat ini nggak begitu instagrammable kan?”
Shinta
terpaksa setuju. Hutan ini memang agak seram dan pepohonan di sini juga agak
berbeda. Kayu-kayu mereka seperti raut-raut wajah yang merengut dan
ranting-rantingnya seperti jemari kurus yang hendak mencengkeramnya.
“Kamu
nggak takut sama pohon-pohon ini kan?” Theo serasa bisa membaca pikirannya
begitu melihat pacarnya itu terdiam semenjak tadi sembari menatap pepohonan di
sekelilingnya.
“Eh,
tentu saja nggak.” Shinta buru-buru menutupi perasaaanya.
“Baiklah,
kita dirikan tenda di sini saja. Lagipula, ada sungai di sana. Enak jika kita
berkemah dekat sumber air.”
“A
... aku setuju ...” dengan gugup gadis itu menurunkan barang-barangnya. Ya, dia
gugup karena ini pertama kalinya ia menginap di tengah hutan seperti ini. Ia
tahu seharusnya ia merasa aman bersama Theo yang lebih berpengalaman. Namun
pacarnya itu baru saja sakit. Bagaimana jika tiba-tiba saja penyakitnya kambuh
dan dia sendirian di sini? Belum lagi, rimba ini amatlah menakutkan di matanya
karena hewan-hewan yang berkeriapan di dalamnya saat malam.
“Eh,
Theo?” panggilnya.
“Apa?”
Theo menjawab dengan ketus sembari menyiapkan tenda.
“Di
... di sini tidak ada macan atau binatang buas lain kan?”
“Macan
sudah lama punah, Shin! Hewan yang ada di sini palingan musang atau rusa.”
“Oh,
rusa? Aku suka rusa.” Shinta memandang ke kejauhan dan melihat sesuatu
bergerak. Seperti sebuah tanduk yang menyaru dengan ranting-ranting pepohonan.
“Hei,
lihat!” tunjuknya, “Itu rusa!”
Namun
Shinta langsung menjerit begitu melihatnya lebih jelas. Rusa itu
melompat-lompat dengan hanya tiga kaki. Satu kaki lainnya terlihat seperti ...
teramputasi.
“Theo!
Theo! Lihat itu!” tunjuk Shinta, “Rusa itu kakinya cuma tiga!”
“Jangan
aneh-aneh, Shin! Rusa dengan tiga kaki mana bisa bertahan hidup.”
“Ta
... tapi dia ...” rusa itu menghilang di balik pepohonan, sehingga Shinta
memutuskan tak mengungkitnya lagi. Walaupun dalam hati, ia masih merasa hal itu
amatlah ganjil.
“Sudahlah,
kita bagi tugas saja. Aku bikin tenda, kau buat perapian. Cari saja kayu di
sana, tapi jangan terlalu jauh.”
“Ba
... bagaimana jika aku tersesat? Semua pohon di sini kelihatan sama saja.”
“Gunakan
ini,” Theo memberikannya sebuah pisau saku, “Gunakan saja untuk menyayat batang
pohonnya sebagai tanda agar kau tak tersesat. Dan jangan jauh-jauh dari sungai,
suaranya akan membantu menuntunmu.”
“Baiklah.”
Shinta menerimanya. Ia lalu berjalan dan setelah Theo tak lagi terlihat dari
rimbunnya pepohonan, ia mulai membuat tanda di sebuah pohon di dekatnya.
Namun
begitu terkejutnya gadis itu begitu pohon itu mengeluarkan getah berwarna putih
ketika ia menyayatnya.
“Pohon
apa ini? Aneh, getahnya seperti susu.” Shinta menatap ke atas. Pohon itu
menjulang amat tinggi dan ranting-rantingnya seperti tangan-tangan yang
berusaha meraih angkasa.
Gadis
itu memutuskan meneruskan perjalanan dan mencari ranting-ranting kering yang
tergeletak di tanah.
***
Malam
mulai meresap turun dan mereka berduapun membuat api unggun untuk menjaga tubuh
mereka tetap hangat.
“Kerjamu
bagus,” puji Theo, “Kayu bakar ini cukup sampai besok.”
“Kita
akan pulang besok kan?” tanya Shinta khawatir. Betapapun senangnya ia bisa
melewatkan waktu bersama kekasihnya, tetap saja hutan ini membuatnya tidak
nyaman.
“Ya,
Sayang.” Theo menenangkannya sambil tertawa, “Maksudku besok pagi kan kita
harus memasak sarapan kita dengan api unggun juga.”
“A
... ada yang ingin kubicarakan denganmu.” Shinta dengan galau memulai
pembicaraan. Ia tak tahu apakah saat ini adalah waktu yang tepat. Ia sempat
menundanya karena Theo berada di rumah sakit dan menurutnya ide yang buruk
untuk menambahi pikiran pemuda itu di tengah sakitnya. Namun cepat atau lambat,
Theo harus tahu.
“Apa?”
Theo menjawab, namun jelas perhatiannya terpusat pada api unggun di depannya.
“Theo,
dengar! Ada hal serius yang mau kubicarakan!”
“Apa
sih?”
“KOAAAAAAAAAK!”
Suara
itu membuat mereka berdua terkejut.
“Su
... suara apa itu?”
“Mungkin
burung hantu.”
“A
... aku tak tahu burung hantu suaranya seseram itu?”
“Aku
akan memeriksanya.” Theo tiba-tiba berdiri.
“Theo
... jangan!” Shinta berusaha mencegahnya, tapi pemuda itu keburu berdiri dan
mengambil senter, lalu menyelinap ke dalam kegelapan hutan.
Shinta
hanya melirik ke kanan dan kiri, menatap kegelapan yang merayap di
sekelilingnya. Hanya gertakan bara yang membakar perapian satu-satunya yang
menemaninya kala itu.
***
Shinta
tersadar ia sempat tertidur. Begitu bangun, hari masih malam dan tak ada
tanda-tanda Theo berada di sana.
“Theo?”
panggilnya. Ia tak mengerti, mengapa ia belum kembali? Ia pergi terlalu lama
jika ia hanya ingin mengecek suara aneh itu tadi.
“Theo?”
panggilnya lagi. Ia berdiri dengan memegang senter di tangannya. Disorotkannya
sinar itu ke depannya dan tiba-tiba dilihatnya sekelebatan sesuatu mencoba
bersembunyi di balik pepohonan, menghindari cahaya itu.
“Siapa
itu?” tanyanya dengan ketakutan, “Apa itu kau, Theo?”
Namun
tak ada jawaban.
“Jangan
bercanda, Theo!” rengeknya, “Kau tahu aku tak menyukainya!”
“Sreeek!”
terdengar suara di belakangnya. Ia buru-buru menoleh dan menyorotkan senter itu
ke arahnya. Namun cahaya itu justru menimpa sebuah pohon yang selama ini ada di
belakangnya, tepat di samping tendanya.
“A
... apa ini?” tatapnya tak percaya.
Ada
tanda sayatan di pohon itu. Sayatan itu menyerupai huruf “y” kecil.
Shinta
mengenali dengan baik sayatan itu, sebab ialah yang membuatnya. Ia sengaja
membuatnya khas agar tak tertukar seandainya ada pendaki lain yang telah
membuat sayatan serupa di pohon-pohon ini. Huruf “y” kecil itu menyerupai huruf
pertama di tanda tangannya dan hanya ia yang tahu cara membuatnya. Jadi jelas, Shinta-lah
yang mengukir sayatan itu.
Namun
masalahnya, Shinta ingat dengan jelas ia tak menyayat pohon itu.
Sayatan
pertama dibuatnya di pohon yang berada dekat perkemahan mereka. Namun, ia ingat
pohon itu letaknya lebih jauh sebab saat itu, ia tak mampu melihat lagi Theo yang
sedang bekerja membangun tenda. Setelah itu, pohon-pohon lain yang ia sayat
letaknya lebih jauh lagi. Sedangkan pohon ini, tak hanya letaknya amat dekat,
namun berada tepat di samping tendanya.
Lalu
siapa yang membuatnya?
Apa
Theo mengetahuinya dan memutuskan untuk mengusilinya? Namun apa tujuannya
melakukan semua itu?
Atau
penjelasan lain, pohon ini berpindah?
Tidak.
Itu tidak masuk akal!
Kenapa
sampai kini Theo belum kembali, pikiran lain berkecamuk di dalam
kepalanya. Apa dia terluka?
“Sreeek!”
suara itu kembali terdengar. Namun sebelum Shinta sempat menoleh, seseorang
keburu membekap mulutnya.
BERSAMBUNG
Shinta mau ngasih tau Theo kalo dia hamil? 🙄
ReplyDelete