A LOVECRAFTIAN NOVEL
“Apakah
Freemason itu masih ada?”
Profesor
Eldritch mengangkat alisnya, tak mengira pertanyaan itu akan terlontar dari
mulut Elena. “Mengapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”
“Entahlah,
hanya terlintas dalam benakku.” jawab Elena, “Dokter di akhir cerita itu … ia
tahu kan tentang keberadaan Older Gods? Jadi aku rasa dia bagian dari
organisasi yang mengetahui tentang mereka. Aku tebak, organisasi yang sama yang
membangun bunker ini; organisasi dimana kau juga adalah anggotanya. Benar kan,
Prof?”
Ia tertawa, “Kau memang cerdas, Elena. Namun sayang, aku tak boleh memberitahukan rahasia itu kepadamu. Bagaimana jika aku ceritakan kisah lain sebagai penggantinya?”
“Bolehkan
aku me-request sesuatu?”
“Oh,
apa itu?” alis profesor itu naik, tanda penasaran tengah menghinggapinya.
“Kau
sejak tadi bercerita tentang orang-orang yang berjumpa dengan Older Gods ini.
Namun bagaimana dengan kisah dari luar angkasa?”
“Luar
angkasa?”
“Ya.
Kisah yang bukan berasal dari Bumi ini. Pasti ada bukan?”
“Jika
memang itu permintaanmu, baiklah. Aku tahu cerita yang akan memuaskanmu.” Profesor
Eldritch membuka buku itu, “Namun jangan harapkan kisah yang eksotis. Kisah ini
bahkan akan amat familiar bagimu.”
“Bagaimana
bisa?”
“Dengarkan
saja.” bisiknya penuh misteri, “Dan kau pun akan memahaminya.”
***
PLANET
kami tak pernah diberi nama. Berbeda dengan planet kalian.
Nama
asli Bumi dalam bahasa Proto-Indo Eropa (bahasa kuno yang menjadi nenek moyang
mayoritas bahasa di bumi) adalah “Er” yang terus berkembang ke dalam bahasa
Inggris “Earth”, dalam bahasa Arab “Arad”, dalam bahasa Yahudi “Erets”, dalam
bahasa Yunani menjadi nama dewi bumi “Demeter”, dalam bahasa Sanskrit yang
akhirnya berevolusi ketika diserap dalam bahasa Indonesia: “Pertiwi”. Kata
“Pertiwi” sendiri masih mengandung unsur aslinya, yakni “Er” yang arti asalnya
adalah “tanah”.
Ya,
planet kalian hanya sebatas tanah. Kehidupan yang mengarungi permukaan atasnya
itu tak pernah disinggung dalam namanya. Karena itu aku tak pernah menyukai
nama itu.
Kami
sadar benar akan keberadaan kehidupan alien di luar sana. Tiap galaksi memiliki
tata surya dan bintang yang memiliki planet dengan kehidupannya sendiri. Kami
bisa menatap matahari kalian sebagai salah satu bintang di langit kami. Kami
tahu bahwa Bumi ada, mengorbit di matahari itu, dan dengan teknologi kalian,
sesungguhnya kalian tengah merusaknya. Kami juga tahu berapa lama lagi planet
kalian akan bertahan dengan kondisi seperti itu. Namun, kami tak mencoba
memperingatkan kalian. Kami bahkan tak pernah berusaha menghubungi kalian.
Mengapa,
tanya kalian. Karena jawabannya adalah percuma.
Pesan
yang kami sampaikan pada kalian baru akan mencapai planet kalian ratusan juta
tahun mendatang, mungkin setelah kehidupan di planet kalian telanjur punah.
Begitu pula usaha kami untuk mengunjungi kalian, mungkin lebih daripada batas
umur yang kami miliki sebagai organisme untuk mampu bertahan hidup. Semua ini
karena luasnya alam semesta yang hampir tak terhingga.
Ada
cara lain sebenarnya, yakni menggunakan “wormhole” atau lubang cacing, suatu
teknologi yang memanfaatkan robekan dari fabrik dimensi untuk sampai ke lokasi
lain di alam semesta melalui jalan pintas. Di planet kalian, pengetahuan itu
hanya sebatas fantasi sains fiksi. Namun teknologi kami jauh lebih maju. Kami
bisa melakukannya, tentu saja.
Namun
kami tak mau.
Alasannya?
Karena dengan melintasi lubang cacing itu berarti kami masuk ke kediaman para
Outer Gods, para dewa kuno yang sudah ada sebelum semesta terbentuk. Mereka
dibuang ke sana karena tak diinginkan oleh Tuhan, ke tempat yang tak bisa
dicapai bahkan oleh nalar manusia sekalipun, dimana mereka terpenjara tanpa
batas waktu. Hanya melihat mereka saja bisa menyebabkan kegilaan dan
berkomunikasi dengan mereka disebut-sebut sebagai pengalaman yang lebih
mengerikan ketimbang neraka.
Bumi,
kudengar planet itu indah dengan lautan dan langit biru serta senja kemerahan yang
cantik. Ingin kami mengunjunginya, sebab pemandangan di planet kami tidaklah
seindah planet kalian. Planet kami membeku karena letaknya terlalu jauh dengan
matahari kami. Kehidupan yang berkembang pun hanya terbatas. Apapun yang mampu
hidup harus bertahan dengan kondisi yang sangat berat.
Ya,
kehidupan kami memang sangat berat. Namun justru itulah yang membuat teknologi
kami semakin maju. Keinginan untuk bertahan hidup-lah mendorong kami
menciptakan inovasi. Kami menghangatkan planet kami sendiri, menciptakan musim
kami sendiri, serta menumbuhkan makanan kami sendiri. Kami tidak makan hewan,
sebab kami tahu perjuangan yang mereka alami untuk bertahan hidup sangat berat,
seperti yang kami alami. Tak ada perang, sebab semua suku dan ras di planet
kami bekerja sama untuk mempertahankan hidup kami. Pengetahuan apapun yang kami
miliki akan kami bagi demi kelestarian kami.
Itulah
perbedaan kami dengan kalian. Kalian menggunakan teknologi kalian untuk
menghancurkan planet kalian, sedangkan kami memanfaatkannya untuk melestarikan
kehidupan.
Namun,
kehidupan damai kami terancam ketika sebuah planet lain terdeteksi mendekati
planet kami. Planet Rogue, kami memanggilnya; planet yang terlempar dari
tata suryanya dan mengelana di galaksi lain ketika mataharinya meledak menjadi
supernova dan memusnahkan seluruh tata suryanya. Entah kenapa, planet Rogue ini beruntung bisa selamat dari
kehancuran total itu, namun kini terombang-ambing tanpa tuan.
Hanya
ada dua jenis planet Rogue: planet yang teknologinya rendah sehingga peradabannya
musnah dalam sekejap setelah supernova. Jenis kedua adalah planet dengan
teknologi tinggi hingga mereka berhasil bertahan hidup dan mengelana. Biasanya
jenis yang kedua bergerak mengikuti gravitasi bintang lain, namun jika memiliki
teknologi lebih maju, bisa menggunakan propulsi untuk mengarahkan planet
mereka.
Namun,
semua planet Rogue jenis kedua selalu bertahan hidup dengan cara yang
sama: parasit. Mereka datang ke planet lain, menjarah semua sumber
dayanya, kemudian pergi untuk mencari mangsa lain. Planet predator,
begitu kami menyebutnya.
Planet
Rogue ini tak bernama dan juga tak mengadakan komunikasi apapun kepada
kami. Planet predator biasanya memperingatkan planet yang akan dihampirinya
sebagai bentuk intimidasi. Namun yang ini ... tak ada informasi apapun yang
bisa kami dapat dari planet ini.
Kedua
belas hakim, wakil dari dua belas suku yang menghuni planet ini, bermusyawarah
di dalam basilika (aula) agung kami.
“Bagaimana?
Apa planet ini berbahaya?”
“Kami
belum bisa menentukannya. Mungkin ya, mungkin tidak.”
“Jika
mereka ingin menjajah kita, bukankah mereka seharusnya sudah memberi kita
ultimatum?”
“Ada
kemungkinan penghuninya masih primitif sehingga mereka belum bisa berkomunikasi
dengan kita.”
“Jika
mereka primitif, maka seharusnya mereka tak bisa bertahan hidup dengan cara
terombang-ambing seperti itu!”
“Planet
ini akan menabrak planet kita dalam 12 minggu jika kita tidak berbuat sesuatu.
Apa yang harus kita lakukan?”
“Aku
akan pergi ke sana untuk mematai-matainya.”
Semua
mata menatap ke arahku.
“Judge
Samson, apa kau yakin?”
Aku
mengangguk, “Aku adalah yang terkuat dari 12 hakim. Aku akan pergi ke sana.”
“Baiklah!”
Judge Deborah, satu-satunya hakim wanita sekaligus pemimpin kedua belas hakim
akhirnya berdiri dan memberikan berkatnya. Kabel-kabel sibernetik menempel di
kepalanya dan menghubungkannya dengan planet ini. Ia mengacungkan tongkat
emasnya yang merupakan bluetooth yang mengirimkan semua informasi dan
perintah yang dikirimkan planet ini ke kepalaku.
“Aku
mengizinkanmu ke sana, Judge Samson. Namun kau harus ingat, kau tak boleh
berkomunikasi dengan makhluk apapun yang mendiami planet itu. Kau tak boleh
mencampuri urusan mereka. Kau hanya ke sana untuk mengamati keadaan, lalu
kembali untuk melapor kepada kami. Dan yang terpenting ...”
Judge
Deborah menatap kedua mataku dengan tajam.
“Kau
tidak boleh memberitahukan rahasia kekuatan kita kepada mereka.”
“Baiklah!”
aku mengangguk dengan yakin.
***
Aku
mengenakan jubah singaku yang mampu membuatku bernapas di segala atmosfer dan
juga menyesuaikan tekanan planet apapun agar bisa diterima tubuhku. Aku sudah
mengarungi ratusan planet, baik sebagai bentuk pertahanan dan untuk
mengumpulkan informasi yang mampu disumbangkan ke database planet kami.
Misi ini sudah menjadi hal biasa yang rutin buatku. Karena itu, planet
misterius ini sama sekali tak membuatku gentar.
Sama
sekali tak ada pertahanan di planet ini. Planet lain mungkin sudah mengirimkan
laser atau misil ketika aku memasuki atmosfer mereka. Namun, hanya ada malam
abadi di tempat ini. Permukaannya dipenuhi reruntuhan kota dan residu
kehidupan. Kurasa tak ada apapun yang mampu bertahan hidup di permukaannya.
Namun di dalamnya, mungkin saja di situ mereka bersembunyi.
Aku
bisa melihat lubang-lubang di tanah sebagai bentuk ventilasi. Aku pernah
melihatnya di planet lain. Dalam kondisi yang amat berat, penduduk sebuah
planet mampu bertahan hidup dengan bersembunyi di dalam tanah, menghindar dari
udara mengigil yang membekukan metabolisme atau dari sengatan radiasi bersuhu
ribuan kelvin ketika mereka melewati sebuah bintang.
Mereka
bersemayam di dalam sana. Aku hanya tinggal mencari sebuah jalan masuk. Begitu
aku turun di sebuah reruntuhan, aku mendeteksi gerakan.
Aku
segera bersembunyi di balik sebuah pilar gedung dan terlihatlah kerumunan
orang. Mereka memakai jubah panjang dan mengelilingi sebuah altar sembari
memegang obor yang menyala-nyala di tangan mereka.
“Mereka
masih memiliki agama,” pikirku, “Benar-benar primitif.”
“Demi
Dewa Dagon kami mempersembahkan kurban kami .... sebagai persembahan untuk
menjaga planet kami tetap aman ... makanlah, wahai Dewa Dagon! Makanlah
hidangan yang kami persiapkan untuk Anda ini ...”
Seorang
pria dengan penutup kepala berbentuk kerucut (sepertinya kepala pendeta mereka)
mengacungkan sebilah pisau ke atas altar. Setelah mendekat, barulah Samson
melihat apa yang tersedia di atas altar itu.
Ada
seorang gadis dengan tangan kaki terikat terbaring di atas altar itu. Pisau itu
siap dihujamkan ke arah jantungnya.
“HENTIKAN!”
seruku. Aku segera mengarahkan senjata EMP (pulsa elektromagnetik) ke arah
mereka. Kebanyakan dari mereka langsung ambruk, namun beberapa yang berhasil
menghindar segera berusaha menyerangku dengan senjata mereka.
“Pedang?
Tombak?” pikirku, “Primitif sekali!”
Dengan
mudah aku berhasil mengalahkan mereka. Sang pendeta utama langsung kabur begitu
melihatku.
Akupun
melepaskan ikatan gadis itu.
“APA
YANG KAU LAKUKAN?” jerit gadis itu. Ia malah berusaha menyerangku dan memukulku
dengan tangannya yang mungil.
“Hei,
hentikan!” aku berusaha menenangkannya, “Apa yang kau lakukan? Aku barusan
menolongmu!”
“Dasar
tolol! Kau justru memancing murka Dewa kami! Sekarang kami semua akan mati!”
“Hei,
hentikan!” seruku ketika gadis itu semakin murka, bahkan berhasil melepaskan
tudung kepala singa yang kukenakan di kepalaku. Udara atmosfer yang beracun
bagiku segera masuk ke dalam paru-paruku dan membuatku tercekik.
“Hen
... tikan ...” pintaku.
Namun
ia langsung merenggut rambutku dan berusaha menjambakku.
“HENTIKAN!”
teriakku.
“AAAAAKH
...” gadis itu tiba-tiba lunglai. Matanya tak lagi bernyawa.
“A
... apa yang terjadi?” aku mengenakan kembali tudung kepala singaku dan
tercekam. Tubuh gadis itu ambruk dengan bentuk yang tak lazim, seolah-olah
seluruh tulang dalam tubuhnya patah.
Akupun
baru menyadari dampak kekuatanku kepada penduduk planet ini. Aku tadi hanya
memeganginya dan berusaha menjauhkan tubuhnya, namun rupanya kekuatanku sendiri
terlalu kuat dan akhirnya menghancurkan tubuh gadis malang ini.
“Oh,
maafkan aku ... aku benar-benar tak sengaja ...” aku berusaha menolongnya,
namun percuma. Ia telah menghembuskan napasnya yang terakhir.
“Orene!
Orene!” tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita di belakangku. Aku segera
menoleh dan melihat seorang wanita lain, berpakaian sama seperti wanita yang
tadi kubinasakan tanpa sengaja, menghampiri jasadnya sambil menangis
tersedu-sedu.
“Apa
kau mengenalnya?” bisikku.
“Di
... dia kakakku ...” ujarnya masih terisak, “Aku tak percaya Ayahku tega
mengorbankan anaknya sendiri.”
“Ayahmu?
Ayahmu yang melakukan ini?” aku terkesiap, “Siapa sebenarnya kalian dan apa
yang terjadi dengan planet ini?”
***
“Namaku
Delila,” ujarnya setelah kami menguburkan jenazah kakaknya. “Dan jika kau
bertanya dimana kita sekarang berada, akupun tak mampu menjawabnya. Kami telah
lama terombang-ambing selama ber-aeon-aeon hingga kami telah melupakan
nama planet kami sendiri. Bagi kami nama tidaklah penting, survival yang
jauh lebih penting. Namun, kami masih ingat akan 'Bencana 6 Menit' yang membuat
kami terdampar di tata suryamu.”
“Bencana
6 Menit?”
“Ya,
ketika bintang yang memberikan kami kehidupan akhirnya mengkhianati kami dan
meledak, melepaskan planet kami dari orbitnya, dan memusnahkan segala yang lain
di tata surya kami.”
“Berarti
kalian berjarak 6 menit cahaya dari matahari kalian. Sebuah posisi Goldilocks
yang sempurna jika bintang kalian adalah bintang kuning beradiasi medium. Aku
yakin planet kalian dulunya pasti sangat indah.”
“Kami
tak lagi ingat seperti apa planet kami. Kami kini bertahan hidup berkat bantuan
dewa kami,” Delila justru terlihat jijik saat menyebutkannya, “Namun, ia
meminta imbalan korban nyawa demi membalas semua 'kebaikan'-nya.”
“Dewa?
Dewa apa yang kalian maksud?”
“Dagon.
Dewa yang mengarungi galaksi bak lautan dan menguasai seluruh langit dan bumi.”
“Jika
Dewa kalian seberkuasa itu pasti dia akan menghentikan bencana yang dulu
menyapu habis kehidupan di planet kalian. Itu adalah bukti bahwa ia tidaklah
sekuat dugaan kalian.” ujarku penuh logika, “Aku berpikir ‘dewa’ ini tidaklah
nyata, melainkan hanya khayalan agama buatan di planet ini.”
“Kau
salah. Kami tahu dia kuat sebab dia-lah yang menciptakan 'Bencana 6 Menit'.”
Delila berbisik takut, “Dia-lah yang menghancurkan tata surya kami.”
BERSAMBUNG
Tiba-tiba keinget sama blog creppy pasta yg suka kubaca pas smp. Ternyata kakak masih aktif ya nulis hehehehe. Tetap semangat kak Dave 😄
ReplyDelete