Tuesday, January 2, 2024

LOVELESS CREATION: CHAPTER 14 – SAMSON AND THE GALAXY OF DAGON

 


A LOVECRAFTIAN NOVEL

 

“Apakah Freemason itu masih ada?”

Profesor Eldritch mengangkat alisnya, tak mengira pertanyaan itu akan terlontar dari mulut Elena. “Mengapa kau tiba-tiba bertanya seperti itu?”

“Entahlah, hanya terlintas dalam benakku.” jawab Elena, “Dokter di akhir cerita itu … ia tahu kan tentang keberadaan Older Gods? Jadi aku rasa dia bagian dari organisasi yang mengetahui tentang mereka. Aku tebak, organisasi yang sama yang membangun bunker ini; organisasi dimana kau juga adalah anggotanya. Benar kan, Prof?”

Ia tertawa, “Kau memang cerdas, Elena. Namun sayang, aku tak boleh memberitahukan rahasia itu kepadamu. Bagaimana jika aku ceritakan kisah lain sebagai penggantinya?”

“Bolehkan aku me-request sesuatu?”

“Oh, apa itu?” alis profesor itu naik, tanda penasaran tengah menghinggapinya.

“Kau sejak tadi bercerita tentang orang-orang yang berjumpa dengan Older Gods ini. Namun bagaimana dengan kisah dari luar angkasa?”

“Luar angkasa?”

“Ya. Kisah yang bukan berasal dari Bumi ini. Pasti ada bukan?”

“Jika memang itu permintaanmu, baiklah. Aku tahu cerita yang akan memuaskanmu.” Profesor Eldritch membuka buku itu, “Namun jangan harapkan kisah yang eksotis. Kisah ini bahkan akan amat familiar bagimu.”

“Bagaimana bisa?”

“Dengarkan saja.” bisiknya penuh misteri, “Dan kau pun akan memahaminya.”

 

***

 

PLANET kami tak pernah diberi nama. Berbeda dengan planet kalian.

Nama asli Bumi dalam bahasa Proto-Indo Eropa (bahasa kuno yang menjadi nenek moyang mayoritas bahasa di bumi) adalah “Er” yang terus berkembang ke dalam bahasa Inggris “Earth”, dalam bahasa Arab “Arad”, dalam bahasa Yahudi “Erets”, dalam bahasa Yunani menjadi nama dewi bumi “Demeter”, dalam bahasa Sanskrit yang akhirnya berevolusi ketika diserap dalam bahasa Indonesia: “Pertiwi”. Kata “Pertiwi” sendiri masih mengandung unsur aslinya, yakni “Er” yang arti asalnya adalah “tanah”.

Ya, planet kalian hanya sebatas tanah. Kehidupan yang mengarungi permukaan atasnya itu tak pernah disinggung dalam namanya. Karena itu aku tak pernah menyukai nama itu.

Kami sadar benar akan keberadaan kehidupan alien di luar sana. Tiap galaksi memiliki tata surya dan bintang yang memiliki planet dengan kehidupannya sendiri. Kami bisa menatap matahari kalian sebagai salah satu bintang di langit kami. Kami tahu bahwa Bumi ada, mengorbit di matahari itu, dan dengan teknologi kalian, sesungguhnya kalian tengah merusaknya. Kami juga tahu berapa lama lagi planet kalian akan bertahan dengan kondisi seperti itu. Namun, kami tak mencoba memperingatkan kalian. Kami bahkan tak pernah berusaha menghubungi kalian.

Mengapa, tanya kalian. Karena jawabannya adalah percuma.

Pesan yang kami sampaikan pada kalian baru akan mencapai planet kalian ratusan juta tahun mendatang, mungkin setelah kehidupan di planet kalian telanjur punah. Begitu pula usaha kami untuk mengunjungi kalian, mungkin lebih daripada batas umur yang kami miliki sebagai organisme untuk mampu bertahan hidup. Semua ini karena luasnya alam semesta yang hampir tak terhingga.

Ada cara lain sebenarnya, yakni menggunakan “wormhole” atau lubang cacing, suatu teknologi yang memanfaatkan robekan dari fabrik dimensi untuk sampai ke lokasi lain di alam semesta melalui jalan pintas. Di planet kalian, pengetahuan itu hanya sebatas fantasi sains fiksi. Namun teknologi kami jauh lebih maju. Kami bisa melakukannya, tentu saja.

Namun kami tak mau.

Alasannya? Karena dengan melintasi lubang cacing itu berarti kami masuk ke kediaman para Outer Gods, para dewa kuno yang sudah ada sebelum semesta terbentuk. Mereka dibuang ke sana karena tak diinginkan oleh Tuhan, ke tempat yang tak bisa dicapai bahkan oleh nalar manusia sekalipun, dimana mereka terpenjara tanpa batas waktu. Hanya melihat mereka saja bisa menyebabkan kegilaan dan berkomunikasi dengan mereka disebut-sebut sebagai pengalaman yang lebih mengerikan ketimbang neraka.

Bumi, kudengar planet itu indah dengan lautan dan langit biru serta senja kemerahan yang cantik. Ingin kami mengunjunginya, sebab pemandangan di planet kami tidaklah seindah planet kalian. Planet kami membeku karena letaknya terlalu jauh dengan matahari kami. Kehidupan yang berkembang pun hanya terbatas. Apapun yang mampu hidup harus bertahan dengan kondisi yang sangat berat.

Ya, kehidupan kami memang sangat berat. Namun justru itulah yang membuat teknologi kami semakin maju. Keinginan untuk bertahan hidup-lah mendorong kami menciptakan inovasi. Kami menghangatkan planet kami sendiri, menciptakan musim kami sendiri, serta menumbuhkan makanan kami sendiri. Kami tidak makan hewan, sebab kami tahu perjuangan yang mereka alami untuk bertahan hidup sangat berat, seperti yang kami alami. Tak ada perang, sebab semua suku dan ras di planet kami bekerja sama untuk mempertahankan hidup kami. Pengetahuan apapun yang kami miliki akan kami bagi demi kelestarian kami.

Itulah perbedaan kami dengan kalian. Kalian menggunakan teknologi kalian untuk menghancurkan planet kalian, sedangkan kami memanfaatkannya untuk melestarikan kehidupan.

Namun, kehidupan damai kami terancam ketika sebuah planet lain terdeteksi mendekati planet kami. Planet Rogue, kami memanggilnya; planet yang terlempar dari tata suryanya dan mengelana di galaksi lain ketika mataharinya meledak menjadi supernova dan memusnahkan seluruh tata suryanya. Entah kenapa, planet Rogue ini beruntung bisa selamat dari kehancuran total itu, namun kini terombang-ambing tanpa tuan.

Hanya ada dua jenis planet Rogue: planet yang teknologinya rendah sehingga peradabannya musnah dalam sekejap setelah supernova. Jenis kedua adalah planet dengan teknologi tinggi hingga mereka berhasil bertahan hidup dan mengelana. Biasanya jenis yang kedua bergerak mengikuti gravitasi bintang lain, namun jika memiliki teknologi lebih maju, bisa menggunakan propulsi untuk mengarahkan planet mereka.

Namun, semua planet Rogue jenis kedua selalu bertahan hidup dengan cara yang sama: parasit. Mereka datang ke planet lain, menjarah semua sumber dayanya, kemudian pergi untuk mencari mangsa lain. Planet predator, begitu kami menyebutnya.

Planet Rogue ini tak bernama dan juga tak mengadakan komunikasi apapun kepada kami. Planet predator biasanya memperingatkan planet yang akan dihampirinya sebagai bentuk intimidasi. Namun yang ini ... tak ada informasi apapun yang bisa kami dapat dari planet ini.

Kedua belas hakim, wakil dari dua belas suku yang menghuni planet ini, bermusyawarah di dalam basilika (aula) agung kami.

“Bagaimana? Apa planet ini berbahaya?”

“Kami belum bisa menentukannya. Mungkin ya, mungkin tidak.”

“Jika mereka ingin menjajah kita, bukankah mereka seharusnya sudah memberi kita ultimatum?”

“Ada kemungkinan penghuninya masih primitif sehingga mereka belum bisa berkomunikasi dengan kita.”

“Jika mereka primitif, maka seharusnya mereka tak bisa bertahan hidup dengan cara terombang-ambing seperti itu!”

“Planet ini akan menabrak planet kita dalam 12 minggu jika kita tidak berbuat sesuatu. Apa yang harus kita lakukan?”

“Aku akan pergi ke sana untuk mematai-matainya.”

Semua mata menatap ke arahku.

“Judge Samson, apa kau yakin?”

Aku mengangguk, “Aku adalah yang terkuat dari 12 hakim. Aku akan pergi ke sana.”

“Baiklah!” Judge Deborah, satu-satunya hakim wanita sekaligus pemimpin kedua belas hakim akhirnya berdiri dan memberikan berkatnya. Kabel-kabel sibernetik menempel di kepalanya dan menghubungkannya dengan planet ini. Ia mengacungkan tongkat emasnya yang merupakan bluetooth yang mengirimkan semua informasi dan perintah yang dikirimkan planet ini ke kepalaku.

“Aku mengizinkanmu ke sana, Judge Samson. Namun kau harus ingat, kau tak boleh berkomunikasi dengan makhluk apapun yang mendiami planet itu. Kau tak boleh mencampuri urusan mereka. Kau hanya ke sana untuk mengamati keadaan, lalu kembali untuk melapor kepada kami. Dan yang terpenting ...”

Judge Deborah menatap kedua mataku dengan tajam.

“Kau tidak boleh memberitahukan rahasia kekuatan kita kepada mereka.”

“Baiklah!” aku mengangguk dengan yakin.

***

 

Aku mengenakan jubah singaku yang mampu membuatku bernapas di segala atmosfer dan juga menyesuaikan tekanan planet apapun agar bisa diterima tubuhku. Aku sudah mengarungi ratusan planet, baik sebagai bentuk pertahanan dan untuk mengumpulkan informasi yang mampu disumbangkan ke database planet kami. Misi ini sudah menjadi hal biasa yang rutin buatku. Karena itu, planet misterius ini sama sekali tak membuatku gentar.

Sama sekali tak ada pertahanan di planet ini. Planet lain mungkin sudah mengirimkan laser atau misil ketika aku memasuki atmosfer mereka. Namun, hanya ada malam abadi di tempat ini. Permukaannya dipenuhi reruntuhan kota dan residu kehidupan. Kurasa tak ada apapun yang mampu bertahan hidup di permukaannya. Namun di dalamnya, mungkin saja di situ mereka bersembunyi.

Aku bisa melihat lubang-lubang di tanah sebagai bentuk ventilasi. Aku pernah melihatnya di planet lain. Dalam kondisi yang amat berat, penduduk sebuah planet mampu bertahan hidup dengan bersembunyi di dalam tanah, menghindar dari udara mengigil yang membekukan metabolisme atau dari sengatan radiasi bersuhu ribuan kelvin ketika mereka melewati sebuah bintang.

Mereka bersemayam di dalam sana. Aku hanya tinggal mencari sebuah jalan masuk. Begitu aku turun di sebuah reruntuhan, aku mendeteksi gerakan.

Aku segera bersembunyi di balik sebuah pilar gedung dan terlihatlah kerumunan orang. Mereka memakai jubah panjang dan mengelilingi sebuah altar sembari memegang obor yang menyala-nyala di tangan mereka.

“Mereka masih memiliki agama,” pikirku, “Benar-benar primitif.”

“Demi Dewa Dagon kami mempersembahkan kurban kami .... sebagai persembahan untuk menjaga planet kami tetap aman ... makanlah, wahai Dewa Dagon! Makanlah hidangan yang kami persiapkan untuk Anda ini ...”

Seorang pria dengan penutup kepala berbentuk kerucut (sepertinya kepala pendeta mereka) mengacungkan sebilah pisau ke atas altar. Setelah mendekat, barulah Samson melihat apa yang tersedia di atas altar itu.

Ada seorang gadis dengan tangan kaki terikat terbaring di atas altar itu. Pisau itu siap dihujamkan ke arah jantungnya.

“HENTIKAN!” seruku. Aku segera mengarahkan senjata EMP (pulsa elektromagnetik) ke arah mereka. Kebanyakan dari mereka langsung ambruk, namun beberapa yang berhasil menghindar segera berusaha menyerangku dengan senjata mereka.

“Pedang? Tombak?” pikirku, “Primitif sekali!”

Dengan mudah aku berhasil mengalahkan mereka. Sang pendeta utama langsung kabur begitu melihatku.

Akupun melepaskan ikatan gadis itu.

“APA YANG KAU LAKUKAN?” jerit gadis itu. Ia malah berusaha menyerangku dan memukulku dengan tangannya yang mungil.

“Hei, hentikan!” aku berusaha menenangkannya, “Apa yang kau lakukan? Aku barusan menolongmu!”

“Dasar tolol! Kau justru memancing murka Dewa kami! Sekarang kami semua akan mati!”

“Hei, hentikan!” seruku ketika gadis itu semakin murka, bahkan berhasil melepaskan tudung kepala singa yang kukenakan di kepalaku. Udara atmosfer yang beracun bagiku segera masuk ke dalam paru-paruku dan membuatku tercekik.

“Hen ... tikan ...” pintaku.

Namun ia langsung merenggut rambutku dan berusaha menjambakku.

“HENTIKAN!” teriakku.

“AAAAAKH ...” gadis itu tiba-tiba lunglai. Matanya tak lagi bernyawa.

“A ... apa yang terjadi?” aku mengenakan kembali tudung kepala singaku dan tercekam. Tubuh gadis itu ambruk dengan bentuk yang tak lazim, seolah-olah seluruh tulang dalam tubuhnya patah.

Akupun baru menyadari dampak kekuatanku kepada penduduk planet ini. Aku tadi hanya memeganginya dan berusaha menjauhkan tubuhnya, namun rupanya kekuatanku sendiri terlalu kuat dan akhirnya menghancurkan tubuh gadis malang ini.

“Oh, maafkan aku ... aku benar-benar tak sengaja ...” aku berusaha menolongnya, namun percuma. Ia telah menghembuskan napasnya yang terakhir.

“Orene! Orene!” tiba-tiba terdengar jeritan seorang wanita di belakangku. Aku segera menoleh dan melihat seorang wanita lain, berpakaian sama seperti wanita yang tadi kubinasakan tanpa sengaja, menghampiri jasadnya sambil menangis tersedu-sedu.

“Apa kau mengenalnya?” bisikku.

“Di ... dia kakakku ...” ujarnya masih terisak, “Aku tak percaya Ayahku tega mengorbankan anaknya sendiri.”

“Ayahmu? Ayahmu yang melakukan ini?” aku terkesiap, “Siapa sebenarnya kalian dan apa yang terjadi dengan planet ini?”

***

 

“Namaku Delila,” ujarnya setelah kami menguburkan jenazah kakaknya. “Dan jika kau bertanya dimana kita sekarang berada, akupun tak mampu menjawabnya. Kami telah lama terombang-ambing selama ber-aeon-aeon hingga kami telah melupakan nama planet kami sendiri. Bagi kami nama tidaklah penting, survival yang jauh lebih penting. Namun, kami masih ingat akan 'Bencana 6 Menit' yang membuat kami terdampar di tata suryamu.”

“Bencana 6 Menit?”

“Ya, ketika bintang yang memberikan kami kehidupan akhirnya mengkhianati kami dan meledak, melepaskan planet kami dari orbitnya, dan memusnahkan segala yang lain di tata surya kami.”

“Berarti kalian berjarak 6 menit cahaya dari matahari kalian. Sebuah posisi Goldilocks yang sempurna jika bintang kalian adalah bintang kuning beradiasi medium. Aku yakin planet kalian dulunya pasti sangat indah.”

“Kami tak lagi ingat seperti apa planet kami. Kami kini bertahan hidup berkat bantuan dewa kami,” Delila justru terlihat jijik saat menyebutkannya, “Namun, ia meminta imbalan korban nyawa demi membalas semua 'kebaikan'-nya.”

“Dewa? Dewa apa yang kalian maksud?”

“Dagon. Dewa yang mengarungi galaksi bak lautan dan menguasai seluruh langit dan bumi.”

“Jika Dewa kalian seberkuasa itu pasti dia akan menghentikan bencana yang dulu menyapu habis kehidupan di planet kalian. Itu adalah bukti bahwa ia tidaklah sekuat dugaan kalian.” ujarku penuh logika, “Aku berpikir ‘dewa’ ini tidaklah nyata, melainkan hanya khayalan agama buatan di planet ini.”

“Kau salah. Kami tahu dia kuat sebab dia-lah yang menciptakan 'Bencana 6 Menit'.” Delila berbisik takut, “Dia-lah yang menghancurkan tata surya kami.”

 

BERSAMBUNG

 

 

1 comment:

  1. Tiba-tiba keinget sama blog creppy pasta yg suka kubaca pas smp. Ternyata kakak masih aktif ya nulis hehehehe. Tetap semangat kak Dave 😄

    ReplyDelete