Fikar mengajak El dan Dinda ke pesta selamatan kompleks rumah baru mereka, namun mulai curiga dengan perilaku para penghuninya. Ia terpaksa mengungkit kenangan lama demi mencari kebenaran.
Fikar seakan
tak percaya ketika mendengarnya.
“Selama 20
tahun lebih lahan ini dibiarkan kosong karena tak ada yang berani menempatinya.
Aku lupa dimana pernah mendengarnya, tapi katanya rumah ini dulu dikenal
sebagai mansion sang juragan, salah
satu orang terkaya di Jakarta kala itu. Rumahnya saat itu amat besar, bahkan pengembangnya
sampai bisa mendirikan lima townhouse
di atas reruntuhannya.”
“Lalu mansion itu dibakar?”
“Beserta
penghuninya!” timpal Dinda, “Kami sering lewat di tanah kosong ini dan tahun
lalu, kami heran ketika akhirnya ada yang berani membangun proyek baru di
atasnya. Apalagi, ada yang sudi membelinya.”
“Jangan
katakan rumah ini angker!”
“Tapi aku tak
menyalahkanmu kok membeli rumah ini. Dari luarnya tampak bagus, aku jadi ingin
sekali melihat bagian dalamnya. Interiornya pasti apa, Mediteranian? Ah tidak,
pasti minimalis ya kan, seperti ala Skandinavia yang lagi viral itu? Apa
furniturnya dari Ikea? Apa aku boleh masuk dan melihatnya?” tebak El.
“Kau mau
masuk ke sana? Apa kau gila?’ tentang Dinda, sang gadis. Ia kemudian menatap
Fikar dengan tajam, “Tapi kau mengaturnya sesuai feng shui kan? Tak ada tangga
tepat di depan pintu masuk atau di tengah rumah?”
“Huh,
mengatai aku gila tapi kau juga sama, pengen melihat ke dalam rumah itu juga.”
dengus El dengan kesal.
“Ehm, kalian
berdua …” Fikar menatap El dan Dinda dengan serius, “Mau datang ke rumahku
malam minggu nanti?”
***
“Wow, teman
baru?” Aiman dengan heran menatap kedatangan dua remaja itu di pesta selamatan
rumah mereka, “That was fast.”
“Ya, ini
namanya Dinda dan ini …” Fikar menatap El sambil menggaruk-garuk kepalanya, “Ehm,
Nathan?”
“Elliot!” ia
buru-buru membenarkan sembari menatap Fikar dengan kesal.
“Aku
Sulaiman, kakaknya Zulfikar. Tapi panggil saja Aiman” ia menyalami mereka.
“Pacarmu
sudah datang?” tanya Fikar penasaran.
“Entahlah,
seharusnya mereka sudah datang tapi …” Aiman menatap arlojinya dengan cemas. Ia
sengaja sudah berdandan serapi mungkin dan mengenakan pakaian formalnya yang
terbaik. Namun ia takut ayah Nila lagi-lagi menolak menemuinya. Sudah bukan
rahasia lagi bahwa calon mertuanya itu menentang hubungan keduanya. Bahkan
Fikar yakin, itulah salah satu alasan ayahnya menawari Pak Sinaga rumah ini, untuk
memperlunak hatinya.
“Jangan
khawatir! Mereka pasti datang.” Fikar menepuk bahu kakaknya itu, “Mama dimana?”
“Di dapur,
membantu Tante Ummi. Kau belum berkenalan dengannya kan?”
“Oke, aku
akan ke sana. Ayo masuk!” Fikar mengajak kedua temannya.
“Waaah,
dekorasi interiornya sangat serasi dengan rumahnya! Apa semua ini bawaan dari
rumahnya?” tanya El dengan kagum.
“Ya, kau
benar. Semua perabot ini datang beserta rumahnya. Dengan harga yang bisa
dibilang murah untuk sebuah rumah di Jakarta, kami masih diberi bonus furniture …”
“Sayang
berhantu.” tambah Dinda tanpa tedeng aling-aling.
Fikar
meliriknya dengan kesal, “Belum tentu!”
“Tapi feng
shui rumah ini amat bagus, aku amat terkesan.” Dinda menoleh ke belakang, “Entrance rumah disebut ‘mulut chi’
karena menjadi gerbang masuknya chi,
karena itu ada banyak aturannya. Namun, rumah ini sudah memenuhi semuanya.
Pintu rumah yang dicat dengan warna merah menyala, cermin yang tegak lurus
dengan arah pintu, bahkan tanaman anggrek itu …”
“Maaf, tadi
apa katamu? Chi?”
“Chi itu …”
namun sebelum Dinda sempat menjelaskannya, seseorang memotongnya.
“Energi positif
yang masuk keluar di dalam rumah. Itu adalah prinsip di balik feng shui. Pada
dasarnya, tata letak rumah dan perabotnya tidak boleh bertentangan dengan
aliran chi tersebut.”
“Tante
Mauliza?” Fikar hampir tak menyadari kehadirannya.
“Tante MJ,
Sayang! Nama itu lebih kekinian jadi aku bisa bersaing dengan mamamu yang
menyabet semua klien itu.” ia lalu menatap Dinda dengan seksama. “Kamu tahu
banyak tentang feng shui untuk anak seumuranmu.”
“Ya, aku
memang amat tertarik dengan filosofi kuno. Sekedar ralat, tak semua chi bersifat
positif, namun yah, bisa disederhanakan seperti itu.”
“Menarik
sekali bukan?” senyumnya, “Townhouse
ini walaupun dari luar tampak berdesain Barat, tapi masih menghormati
sejarahnya dengan menerapkan konsep feng shui di dalamnya, tanpa kecuali.”
“Sejarahnya?
Berarti Tante tahu apa yang terjadi dengan tempat ini sebelum townhouse ini dibangun?” selidik Fikar.
Namun pertanyaannya itu hanya dibalas dengan delikan dan senyuman misterius
dari Tante MJ.
“Sampai
nanti, Sayang. Jika mamamu tanya, katakan saja aku pulang lebih awal.”
Sambil
terseok-seok, Tante MJ berjalan menuju ke pintu, sembari ketiga remaja itu
menatapnya heran.
“Apa dia
mabuk?” tanya Dinda dengan heran. “Aku bisa mencium napasnya, seperti napas
ayahku …”
“Ayahmu?”
tanya Fikar heran.
“Oh, maaf … ”
Dinda tampak tersipu malu, “Lupakan saja!”
“Dih, Tante
MJ? Aku punya teman yang dipanggil Sarah padahal nama aslinya Maesaroh.” cibir
El.
“Daripada
namamu yang terlalu susah, Elliot.” Fikar memutar-mutar bola matanya.
“Namaku nggak
susah!” El tampak sewot, “E-LI-YET, mana susahnya?”
“Nama
belakangmu Beilschmidt.”
El merengut,
“Ayahku penggemar fanatik klub Jerman, jadi bukan salahku.”
“Sayang,
teman-temanmu sudah datang?’ Bu Isma kemudian datang menghampiri, “Apa kau
lihat Tante MJ?”
“Dia barusan
pulang, Ma. Kurasa dia mabuk tadi …”
“Ah, dia
pasti masih marah karena mengira aku merebut kliennya.”
“Merebut?”
tanya Fikar dengan heran. Tadi rasanya Tante MJ juga menyebut hal yang sama.
“Semua townhouse ini sebenarnya dipasrahkan ke
aku dan Tante MJ. Akan tetapi malah aku yang berhasil menjual semua unitnya.
Mungkin dia agak sakit hati karena tidak mendapat komisi.”
Terdengar
suara bel berbunyi dan dengan sigap Aiman membukakan pintu.
“Kau datang!”
serunya, hingga membuat Fikar berbalik.
Di ambang
pintu terlihat wanita pujaannya, Nila, datang bersama ayahnya.
Wanita pujaan
yang takkan pernah ia dapatkan.
***
“Mama?”
Fikar menoleh
ke arah suara itu. seorang pemuda berkursi roda keluar dari sebuah kamar dan
menghampiri seorang wanita paruh baya yang ia kenal sebagai Bu Ummi, salah satu
tetangganya.
“Rio? Kenapa keluar,
Sayang? Kau kan harus banyak istirahat. Apa suara kami terlalu berisik?”
“Aku haus, Ma.”
“Mama buatkan
minuman sebentar ya? Kau mau sirup, Sayang?” Bu Ummi lalu mendorong kursi roda
pemuda itu kembali ke arah dapur. Mata Fikar tanpa sengaja bertatapan dengannya
hingga pemuda itu lenyap di balik tembok.
“Kasihan anak
itu,” ujar Dinda dengan iba, “Apa yang terjadi kepadanya?”
“Polio.”
Mereka semua
berbalik ke arah suara yang menjawab pertanyaan itu. Pak RW.
“Polio?”
“Ya, itu yang
ia katakan saat mendaftarkan KK baru. Sebenarnya aku ingin meminta bantuan pada
pemerintah. Tapi kalau rumah mereka saja sebagus ini, pastinya akan susah.”
“Tapi polio
kan …”
Ya, penyakit
primitif kan? Sayang ibunya …” Pak RW seakan tak tega untuk melanjutkan.
“Anti vaksin?
Begitukah?” simpul Fikar.
“Alah, jangan
pura-pura sok suci, Pak RW.” Fikar langsung gelagapan ketika mendengar suara
wanita itu. Bu Ummi rupanya sudah keluar dari dapur dan mendengar pembicaraan
mereka. “Bagaimana dengan istri tuamu itu? Sudah ridhokah ia kau memiliki istri
baru?”
“Huh, dia
kabur membawa anak-anakku dan sertifikat rumah kami, jadi ya, kurasa dia sudah
ridho!” dengus Pak RW dengan kesal.
“TING TING
TING!” Pak Fathur mendetingkan gelas yang ia pegang sehingga semua mata
menatapnya.
“Wah, aku
pikir tadi ada tukang bakso lewat.” kelakar Pak RW. Semua tertawa. Namun mata
El tertuju pada wanita cantik yang duduk di samping pria paruh baya itu.
“Bukannya itu
artis ya yang duduk bersama pria yang kau panggil Pak RW itu? Aku sering
melihatnya main di sinetron FTV.” El lalu menyadari tatapan aneh kedua
temannya, “Maksudku yang sering ibuku tonton. Aku sih mana mungkin nonton
begituan hehehe …”
“Tapi kau
betul, aku dengar dari papaku dia memang artis. Namanya Sekar Tandjoeng.” Fikar
membenarkan.
“Dia
istrinya? Kok mau?” Dinda keheranan, “Beda usia mereka pasti 20 tahun lebih?”
“Jangan
remehkan Pak RW ya, dia juragan bemo kaya raya di sini.”
“Semua mohon
perhatian!” seru Pak Fathur, “Terima kasih semuanya atas kedatangan kalian
semua. Mulai sekarang, sebagai tetangga, kita harus saling membantu satu sama
lain.”
Semua pun
bersulang.
“Huh, aku
hanya dapat sirup!” keluh El.
“Aku percaya
lima keluarga kita berkumpul di sini, bisa memiliki properti sebaik ini, adalah
awal dari keberuntungan kita. Hoki dalam istilah orang Tionghoa.” ujar Pak Fathur
lagi, yang memimpin pesta itu, “Bahkan saking hokinya, pemilik tanah dimana townhouse ini berdiri dulu adalah salah
satu orang terkaya di Jakarta.”
“Kalau begitu
katakan, Papa …” Fikar tiba-tiba menimpali. Semua mata pun beralih ke arahnya. “Jika
memang mereka hoki, mengapa mereka semua mati terbakar hidup-hidup di sini?”
No comments:
Post a Comment