PUTRI DUYUNG
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Gadis
itu menatap angin laut yang tengah meniup baling-baling yang dianyamnya dari
kertas. Ia tersenyum menatap samudera biru yang terbentang di hadapannya hingga
ke cakrawala. Untaian kerang menghiasi lehernya, kerang-kerang yang telah ia
pilih karena cangkang ulirnya yang indah.
Kapal
ini naik turun dipermainkan ombak, namun gadis itu sama sekali tak terganggu.
Ia sudah terbiasa.
“Dhana,
kau di sana? Bantu kami melemparkan jaring ini!”
Gadis
itu menuruti perintah ayahnya dan membantu membentangkan jaring itu ke dalam
air bersama awak kapal lain. Bak sarang laba-laba yang menjerat mangsanya,
jaring itu menyergap ikan-ikan yang segera menggelinjang sekarat di atasnya
ketika ditarik dari dalam laut.
Tiba-tiba
para nelayan itu menjatuhkan jaring itu. Ikan-ikan yang tadinya tertangkap
kemudian buyar dalam air, kembali bebas, larut dalam lautan.
Mereka
melihat mangsa yang lebih besar.
“Lihat,
ikan paus!”
Sebenarnya
itu bukanlah ikan, Dhana mendengus. Gurunya menjelaskan perbedaan paus dan
ikan. Paus adalah mamalia, seperti juga dugong, hewan yang buruk rupa itu. Ia
tak mengerti, mengapa orang menyebut makhluk itu sebagai putri yang cantik.
Padahal
selama ini aku-lah yang mereka sebut putri duyung itu.
Kapal
itu segera berubah arah. Harga paus (sekali lagi bukan ikan!) jauh lebih mahal,
bahkan ketimbang seisi kapal ini, karena kelangkaannya. Tak heran mereka begitu
bernafsu memburunya.
Desahan
ombak dan buaian angin yang secara naluriah menghantar mereka ke daratan mereka
lawan. Mereka lebih memilih menembus semua rintangan untuk mendapatkan paus
itu, bahkan jika badai mengancam sekalipun. Kapal itu naik turun makin kencang
dengan amplitudo makin tinggi. Tiba-tiba terdengar suara ceburan di laut. Sang
nahkoda menoleh dan panik melihat putrinya tak lagi berada di atas dek.
“Dhana!”
panggilnya sambil melihat ke buritan. Benar adanya, ada bekas riak air di sana
dan bayangan seorang gadis berenang di kedalaman.
“Apa
yang kau lakukan di sini?” bisik gadis itu dalam air, “Cepat pergi!”
Suara
itu dibalas dengan lenguhan yang hanya dapat didengarnya. Makhluk raksasa itu
kemudian berenang lebih cepat sembari menghempaskan ekornya hingga
mengombang-ambingkan kapal di atasnya. Dhana menarik napas lega di dalam air
ketika paus itu akhirnya lenyap ditelan kegelapan air.
Namun
di dasar laut, ia melihat sesuatu yang bersinar.
Apa
itu?
Gadis
itu memutuskan menyelam lebih dalam untuk melihatnya.
Iapun
mengangkat benda itu dari dasar air. Beberapa ekor kepiting dan hewan air
lainnya merangkak pergi ketika ia membenamkan tangannya ke dalam pasir.
Dhana
takjub melihatnya. Tak pernah seumur hidup ia melihat sesuatu seperti ini
sebelumnya.
Benda
itu adalah sebuah cincin bertahtakan permata biru yang amat indah.
Lapis
lazuli.
***
“SANCAKA!”
seru Awang. Ia melihat dengan mata kepalanya sendiri sahabatnya berubah menjadi
lecutan listrik dan lenyap merasuk ke dalam ketiadaan.
“Apa
yang kalian lakukan kepadanya?!” ia berteriak marah.
“Kau
masih hidup rupanya,” Maya menginjakkan kakinya ke reruntuhan beton, dimana
Yoga dan Nathan terbaring tak sadarkan diri.
“Gali!”
Maya mengangkat tangannya ke arah raksasa yang selama ini ia manfaatkan untuk
membantu aksinya mencuri perhiasan, “Bunuh semua orang di sini!”
Raksasa
itu bergerak mendekati orang yang berada paling dekat dengannya kala itu.
Maya.
“Apa-apaan
kau?” ia terkejut ketika Gali justru mengangkatnya ke udara dan mencekik
lehernya.
“Hen
... hentikan ...” gadis itu merintih di sela-sela napasnya yang tercekal.
“Kau
memerintahkan untuk membunuh semua orang di sini ...” bisik Awang, “Bukankah itu
berarti termasuk kau juga.”
Pemuda
itu memalingkan mukanya, tak mampu menyaksikan ketika bunyi “KRAAAAK!” yang
keras terdengar. Tubuh gadis itupun limbung tak bernyawa, tercampak begitu saja
di lantai.
Awang
segera meluncur menghantamkan tubuhnya ke arah Gali, mendorongnya hingga
dinding di belakangnya jebol. Nathan terbangun mendengar suara deburan yang
keras itu dan terperangah melihat pacarnya terbaring tewas.
“Maya!”
tangisnya, “Maya!!!”
Ia
menoleh keluar dan melihat seorang ksatria bersenjatakan godam.
Gali
kini tak sadarkan diri di tanah, dengan retakan di aspal hanya untuk
menggambarkan betapa dahsyat mereka tadi bertarung. Ia menghunuskan palunya ke
arah tubuh raksasa itu, bersiap memusnahkannya dari muka bumi. Namun akhirnya
ia mengurungkan niatnya dan menurunkannya.
Sancaka
pasti melarangnya.
***
Sancaka
terbangun tiba-tiba dan menyaksikan awan-awan berarak di hadapannya.
“Hah,
apa ini?!”
Kemudian
ia menyadari yang dilihatnya adalah jendela dan ia tengah terduduk di sebuah
kursi dengan sabuk pengaman.
“Kau
sudah bangun rupanya.”
Sancaka
menoleh mendengar suara di sampingnya.
“Siapa
kau? Dimana aku?” tanyanya pada pemuda di sebelahnya.
Pemuda
itu menoleh.
“Kau
ini selalu banyak bertanya, Sancaka.”
“Bagaimana
kau tahu namaku?!”
“Kau
benar-benar tak ingat padaku ya?” wajah pemuda itu sama sekali tanpa ekspresi.
“Apa
kita pernah bertemu sebelumnya?” Sancaka heran. “Aku ingat ada banyak salju ...
tak masuk akal, dimana aku ini?”
“Buana
menemukanmu saat sedang mendaki di Jayawijaya. Katanya kau tersesat dan tak
sadarkan diri.” seorang pria separuh baya yang ada di sebelah pemuda itu
menjawab. Ia seorang pendeta dengan wajah dan aksen bule, namun berbahasa
Indonesia dengan sempurna.
Pemuda
yang dipanggil Buana itu berbincang kepadanya dengan bahasa Jerman yang fasih,
lalu menoleh kepada Sancaka.
“Kita
sudah beruntung diperbolehkan menumpang pesawat para misionaris ini ke
Jayapura. Sebentar lagi kita akan tiba dan dari sana kita mungkin mendapatkan
penerbangan lagi ke Yogya. Kau tinggal di sana kan sekarang?”
“Kurasa
kalau aku menanyakan darimana kau tahu hal itu, kau pasti tidak menjawabnya
juga, kan?”
Pemuda
itu tertawa, “Untuk saat ini panggil saja aku Buana. Cukup itu saja yang perlu
kau tahu.”
Sancaka
terperangah melihat kalung dengan batu berwarna keperakan yang melingkar di
jarinya. Ia mengenali dengan baik batu itu.
Namun
ia memilih diam, menunggu saat yang tepat.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment