TRIO DISASTRO
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Pesawat
carteran itu mendarat dan mereka turun, menatap pesawat-pesawat komersil yang
lalu lalang di antara mereka. Mereka menunggu di jejeran kursi-kursi di lantai
dua, sementara sebuah kaca jendela luas di depan mereka memperlihatkan
pesawat-pesawat komersial berjejer di luar.
“Sebentar,
aku ke kamar mandi dulu.”
Pemuda
itu beranjak pergi dan Sancaka hanya memandanginya dari belakang.
***
Pemuda
itu menutup pintu kamar mandinya dan bersandar di sana.
Sosok
hologram muncul di depannya.
“Bagaimana
mungkin aku bisa bertemu Gundala di sini!” pemuda itu tak lagi bisa membendung
rasa ingin tahunya.
“Takdir yang membawa kalian
berjumpa lagi. Kurasa itulah yang Takdir inginkan ...”
“Persetan
dengan takdir! Keberadaannya justru akan menambah beban bagiku!”
“Kalau ia adalah beban, kenapa
kau malah membawanya ke sini? Kau bisa meninggalkannya begitu saja di puncak
bersalju Kartenz bukan?”
Buana
menoleh agar tak melihat mata ayahnya, “Ayah tahu aku tak bisa melakukannya. Ia
takkan tahu jalan pulang.”
“Kenapa kau ingin membawanya
pulang?”
“Karena
ia begitu jauh dari rumah dan keluarganya,” pemuda itu meratap sejenak, “Dan
aku tahu bagaimana rasanya.”
“Kalau begitu Anakku, kau harus
...”
Tiba-tiba
hologram itu mengalami interferensi. Gambarnya terkoyak menjadi garis-garis
terpisah. Suara ayahnya pun terdengar seperti lolongan rekaman rusak.
“Kau ... ha...rus...”
“Ayah!”
seru Buana. ia paham benar apa artinya jika hologram itu terganggu.
“Sial!”
bisiknya geram, “Mereka datang!”
***
“Apa
itu?” Sancaka keheranan melihat cahaya yang jatuh dari langit.
“Apa
itu meteor?” pikirnya. Namun cahayanya terlalu terang bagi sebuah meteor untuk
nampak di tengah siang bolong begini. Gesekan atmosfer takkan menghasilkan
energi cahaya sekuat itu.
Kecuali
benda itu menghasilkan cahayanya sendiri.
Sancaka
mendekat ke jendela kaca ketika di langit, cahaya itu memecah menjadi tiga
bagian.
“Tiba-tiba,
“BLAAAAAR!!!” cahaya itu jatuh dan
menyambar sebuah pesawat yang tengah terparkir di landasan, meledakkannya dalam
bola api. tubuh Sancaka dan orang-orang lain yang berkerumun di jendela untuk
menyaksikannya langsung terlontar, diikuti hamburan pecahan kaca.
Sancaka
mencoba bangkit, namun matanya membelalak melihat tiga figur tengah terbang di
depannya, di luar jendela yang kini tak berkaca. Satu jelas seorang pria dengan
wajah sangar, satunya lagi seorang wanita dengan senyum bengis, dan yang
terakhir mengenakan topeng metalik.
Yang
mengejutkan, ketiga sosok tersebut memakai seragam Gundala, namun dengan warna
yang berbeda. Jika zirah Gundalanya
berwarna ungu, maka tiga sosok itu memakai seragam putih, hijau, dan pink.
Ketiga
simbol di dada mereka pun berbeda. Pria bertopeng itu memiliki seragam putih
berlambang kristal salju di dadanya. Pria satunya mengenakan seragam hijau
dengan lambang atom di dadanya. Dan yang wanita mengenakan seragam merah jambu
bersimbol “terra” atau bumi.
Namun
ciri khasnya tetap sama, yakni hiasan berbentuk sayap burung pada telinga
mereka.
“Aku merasakan
kekuatan Kronz di sini.” sosok berpakaian hijau itu mengarahkan telapak
tangannya ke arah Sancaka, “Siapapun dia, harus dimusnahkan!”
Serangan
cahaya yang amat kuat meluncur dari tangannya, berniat membumihanguskan pemuda
itu.
Tiba-tiba
seutas tangan menyambar Sancaka, menariknya hingga menghantam dinding. Serangan
itu hanya menghantam lantai, meninggalkan lubang besar yang masih mengeluarkan
uap.
Sancaka
berusaha bangkit sambil merengut kesakitan.
“Hei,
apa yang kau lakukan?” ia tersadar pemuda bernama Buana itulah yang tadi
menariknya. Namun bagaimana mungkin, sebab jaraknya saat itu cukup jauh?
“Barusan
aku menyelamatkanmu!” ujarnya sambil masih mengawasi ketiga musuhnya itu, “Kau
takkan bertahan sedetikpun jika harus bertarung sendirian melawan mereka!”
“Si
... siapa mereka? Dan siapa sebenarnya kau?”
“Tak
ada waktu untuk menjelaskannya! Kita harus ...”
Namun
tiba-tiba salah satu sosok itu muncul di belakang Buana.
“Kita
bertemu lagi, Pangeran yang tampan ...” wanita itu tersenyum.
“Zsa
Zsa!” bisik Buana geram.
Tiba-tiba
wanita itu melancarkan serangannya sembari tertawa bak penyihir. Pasir keluar
dari tangannya, ah bukan, tangannya sendirilah yang berubah menjadi pasir,
kemudian menyelimuti kaki Buana hingga membatu. Efek itu semakin menjalar
hingga dalam waktu yang tak lama, Sancaka yakin seluruh tubuh Buana akan
berubah menjadi patung.
Sancaka
tak kenal pemuda itu, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu.
“Rasakan
ini!” seru Sancaka sambil menghentakkan tangannya dan menyerang wanita itu dengan
serangan petirnya. Wanita itu rupanya sadar benar akan jurus Sancaka dan
menceraiberaikan tubuhnya menjadi pasir, menghindari serangan tersebut.
Pasir-pasir yang berserakan di lantai itu kemudian mulai berotasi dan bak
butiran besi yang tertarik magnet mengumpul menjadi pusaran, membentuk siluet
manusia.
Buana
segera dicengkeram oleh Sancaka dan ditariknya pergi.
“Percuma,
kau takkan bisa melawan mereka. Pergilah saja dari sini, tinggalkan aku!”
pintanya.
“Enak
saja,” ujar Sancaka, “Kau masih berhutang penjelasan padaku!”
Tiba-tiba
serangan lain dilancarkan dan nyaris mengenai Sancaka, menghentikan langkahnya
untuk kabur. Kali ini lantai di depannya langsung berubah menjadi es yang
memancarkan hawa dingin.
Ia
menoleh dan melihat prajurit bertopeng putih itu mengarahkan tangannya ke arah
mereka. Kemampuannya sebagai Gundala tak mampu mendeteksi pergerakan molekul
apapun di dekatnya.
“Sial,
Cryokinesis rupanya.” Sancaka selama ini mengenal kemampuan mengendalikan es
tersebut hanya sebatas teori sebab tak ada yang benar-benar mampu menadirkan
energi kinetik suatu molekul hingga berhenti sama sekali, sehingga menurunkan
suhunya secara drastis. Baru kali ini ia bisa melihat kekuatan ini dengan mata
kepalanya sendiri.
Satu
lagi musuh muncul: pria berseragam hijau yang baru saja menyerangnya. Sancaka
tahu ia yang paling berbahaya. Sementara itu, tawa wanita itu masih terdengar
dari dalam pusaran pasir yang bergulung-gulung di dekat mereka.
Mereka
bertiga mengelilinginya. Sancaka sadar tak ada jalan keluar.
“Teleportasi.”
bisik Buana yang masih berusaha memulihkan dirinya, “Gunakan teleportasimu
untuk keluar dari sini!”
“Apa?”
toleh Sancaka.
“Cepat!”
serunya.
“Ta
... tapi aku masih belum bisa mengendalikannya ...”
“Cepatlah
atau kita akan mati!” paksa Buana.
Ketiga
sosok itu menyerang mereka berdua bersama-sama. Ketiganya saling berhantaman,
menghancurkan tempat itu seketika. Namun ketika asap mulai mereda, tak terlihat
apapun kecuali reruntuhan bangunan.
“Sial!”
seru Xandroid, pemimpin mereka. “Lagi-lagi dia berhasil lolos!”
“Dia
memiliki kristal itu, Tuan.” ujar Gadriel, prajurit berseragam hijau itu.
Xandroid
mendengus kesal di balik topengnya.
“Tak
apa, itu akan membuat kita lebih mudah melacak keberadaannya.”
Xandroid
mengeluarkan batu zirkonium-nya dari sabuknya yang segera mengeluarkan cahaya
dan bak sebuah kompas, mulai bergerak menunjuk arah tertentu.
Ia
tersenyum dari balik topengnya.
“Di
sana ia berada.”
***
Sancaka
merasakan tubuhnya berubah menjadi aliran listrik, membawa Buana bersamanya.
Tiba-tiba ia merasa partikel di sekelilingnya berubah.
Ia
tercekik.
Kehabisan
udara.
Sancaka
mencoba bernapas, namun malah keluar gelembung-gelembung udara. Ia makin
tercekat begitu menyadari tengah berada di dalam air.
Ia
tenggelam.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment