Monday, January 13, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – CHAPTER 2

 


TRIO DISASTRO

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Pesawat carteran itu mendarat dan mereka turun, menatap pesawat-pesawat komersil yang lalu lalang di antara mereka. Mereka menunggu di jejeran kursi-kursi di lantai dua, sementara sebuah kaca jendela luas di depan mereka memperlihatkan pesawat-pesawat komersial berjejer di luar.

“Sebentar, aku ke kamar mandi dulu.”

Pemuda itu beranjak pergi dan Sancaka hanya memandanginya dari belakang.

***

 

Pemuda itu menutup pintu kamar mandinya dan bersandar di sana.

Sosok hologram muncul di depannya.

“Bagaimana mungkin aku bisa bertemu Gundala di sini!” pemuda itu tak lagi bisa membendung rasa ingin tahunya.

“Takdir yang membawa kalian berjumpa lagi. Kurasa itulah yang Takdir inginkan ...”

“Persetan dengan takdir! Keberadaannya justru akan menambah beban bagiku!”

“Kalau ia adalah beban, kenapa kau malah membawanya ke sini? Kau bisa meninggalkannya begitu saja di puncak bersalju Kartenz bukan?”

Buana menoleh agar tak melihat mata ayahnya, “Ayah tahu aku tak bisa melakukannya. Ia takkan tahu jalan pulang.”

“Kenapa kau ingin membawanya pulang?”

“Karena ia begitu jauh dari rumah dan keluarganya,” pemuda itu meratap sejenak, “Dan aku tahu bagaimana rasanya.”

“Kalau begitu Anakku, kau harus ...”

Tiba-tiba hologram itu mengalami interferensi. Gambarnya terkoyak menjadi garis-garis terpisah. Suara ayahnya pun terdengar seperti lolongan rekaman rusak.

“Kau ... ha...rus...”

“Ayah!” seru Buana. ia paham benar apa artinya jika hologram itu terganggu.

“Sial!” bisiknya geram, “Mereka datang!”

***

 

“Apa itu?” Sancaka keheranan melihat cahaya yang jatuh dari langit.

“Apa itu meteor?” pikirnya. Namun cahayanya terlalu terang bagi sebuah meteor untuk nampak di tengah siang bolong begini. Gesekan atmosfer takkan menghasilkan energi cahaya sekuat itu.

Kecuali benda itu menghasilkan cahayanya sendiri.

Sancaka mendekat ke jendela kaca ketika di langit, cahaya itu memecah menjadi tiga bagian.

“Tiba-tiba, “BLAAAAAR!!!”  cahaya itu jatuh dan menyambar sebuah pesawat yang tengah terparkir di landasan, meledakkannya dalam bola api. tubuh Sancaka dan orang-orang lain yang berkerumun di jendela untuk menyaksikannya langsung terlontar, diikuti hamburan pecahan kaca.

Sancaka mencoba bangkit, namun matanya membelalak melihat tiga figur tengah terbang di depannya, di luar jendela yang kini tak berkaca. Satu jelas seorang pria dengan wajah sangar, satunya lagi seorang wanita dengan senyum bengis, dan yang terakhir mengenakan topeng metalik.

Yang mengejutkan, ketiga sosok tersebut memakai seragam Gundala, namun dengan warna yang berbeda.  Jika zirah Gundalanya berwarna ungu, maka tiga sosok itu memakai seragam putih, hijau, dan pink.

Ketiga simbol di dada mereka pun berbeda. Pria bertopeng itu memiliki seragam putih berlambang kristal salju di dadanya. Pria satunya mengenakan seragam hijau dengan lambang atom di dadanya. Dan yang wanita mengenakan seragam merah jambu bersimbol “terra” atau bumi.

Namun ciri khasnya tetap sama, yakni hiasan berbentuk sayap burung pada telinga mereka.

“Aku merasakan kekuatan Kronz di sini.” sosok berpakaian hijau itu mengarahkan telapak tangannya ke arah Sancaka, “Siapapun dia, harus dimusnahkan!”

Serangan cahaya yang amat kuat meluncur dari tangannya, berniat membumihanguskan pemuda itu.

Tiba-tiba seutas tangan menyambar Sancaka, menariknya hingga menghantam dinding. Serangan itu hanya menghantam lantai, meninggalkan lubang besar yang masih mengeluarkan uap.

Sancaka berusaha bangkit sambil merengut kesakitan.

“Hei, apa yang kau lakukan?” ia tersadar pemuda bernama Buana itulah yang tadi menariknya. Namun bagaimana mungkin, sebab jaraknya saat itu cukup jauh?

“Barusan aku menyelamatkanmu!” ujarnya sambil masih mengawasi ketiga musuhnya itu, “Kau takkan bertahan sedetikpun jika harus bertarung sendirian melawan mereka!”

“Si ... siapa mereka? Dan siapa sebenarnya kau?”

“Tak ada waktu untuk menjelaskannya! Kita harus ...”

Namun tiba-tiba salah satu sosok itu muncul di belakang Buana.

“Kita bertemu lagi, Pangeran yang tampan ...” wanita itu tersenyum.

“Zsa Zsa!” bisik Buana geram.

Tiba-tiba wanita itu melancarkan serangannya sembari tertawa bak penyihir. Pasir keluar dari tangannya, ah bukan, tangannya sendirilah yang berubah menjadi pasir, kemudian menyelimuti kaki Buana hingga membatu. Efek itu semakin menjalar hingga dalam waktu yang tak lama, Sancaka yakin seluruh tubuh Buana akan berubah menjadi patung.

Sancaka tak kenal pemuda itu, namun ia tahu ia harus melakukan sesuatu.

“Rasakan ini!” seru Sancaka sambil menghentakkan tangannya dan menyerang wanita itu dengan serangan petirnya. Wanita itu rupanya sadar benar akan jurus Sancaka dan menceraiberaikan tubuhnya menjadi pasir, menghindari serangan tersebut. Pasir-pasir yang berserakan di lantai itu kemudian mulai berotasi dan bak butiran besi yang tertarik magnet mengumpul menjadi pusaran, membentuk siluet manusia.

Buana segera dicengkeram oleh Sancaka dan ditariknya pergi.

“Percuma, kau takkan bisa melawan mereka. Pergilah saja dari sini, tinggalkan aku!” pintanya.

“Enak saja,” ujar Sancaka, “Kau masih berhutang penjelasan padaku!”

Tiba-tiba serangan lain dilancarkan dan nyaris mengenai Sancaka, menghentikan langkahnya untuk kabur. Kali ini lantai di depannya langsung berubah menjadi es yang memancarkan hawa dingin.

Ia menoleh dan melihat prajurit bertopeng putih itu mengarahkan tangannya ke arah mereka. Kemampuannya sebagai Gundala tak mampu mendeteksi pergerakan molekul apapun di dekatnya.

“Sial, Cryokinesis rupanya.” Sancaka selama ini mengenal kemampuan mengendalikan es tersebut hanya sebatas teori sebab tak ada yang benar-benar mampu menadirkan energi kinetik suatu molekul hingga berhenti sama sekali, sehingga menurunkan suhunya secara drastis. Baru kali ini ia bisa melihat kekuatan ini dengan mata kepalanya sendiri.

Satu lagi musuh muncul: pria berseragam hijau yang baru saja menyerangnya. Sancaka tahu ia yang paling berbahaya. Sementara itu, tawa wanita itu masih terdengar dari dalam pusaran pasir yang bergulung-gulung di dekat mereka.

Mereka bertiga mengelilinginya. Sancaka sadar tak ada jalan keluar.

“Teleportasi.” bisik Buana yang masih berusaha memulihkan dirinya, “Gunakan teleportasimu untuk keluar dari sini!”

“Apa?” toleh Sancaka.

“Cepat!” serunya.

“Ta ... tapi aku masih belum bisa mengendalikannya ...”

“Cepatlah atau kita akan mati!” paksa Buana.

Ketiga sosok itu menyerang mereka berdua bersama-sama. Ketiganya saling berhantaman, menghancurkan tempat itu seketika. Namun ketika asap mulai mereda, tak terlihat apapun kecuali reruntuhan bangunan.

“Sial!” seru Xandroid, pemimpin mereka. “Lagi-lagi dia berhasil lolos!”

“Dia memiliki kristal itu, Tuan.” ujar Gadriel, prajurit berseragam hijau itu.

Xandroid mendengus kesal di balik topengnya.

“Tak apa, itu akan membuat kita lebih mudah melacak keberadaannya.”

Xandroid mengeluarkan batu zirkonium-nya dari sabuknya yang segera mengeluarkan cahaya dan bak sebuah kompas, mulai bergerak menunjuk arah tertentu.

Ia tersenyum dari balik topengnya.

“Di sana ia berada.”

***

 

Sancaka merasakan tubuhnya berubah menjadi aliran listrik, membawa Buana bersamanya. Tiba-tiba ia merasa partikel di sekelilingnya berubah.

Ia tercekik.

Kehabisan udara.

Sancaka mencoba bernapas, namun malah keluar gelembung-gelembung udara. Ia makin tercekat begitu menyadari tengah berada di dalam air.

Ia tenggelam.

BERSAMBUNG

 

 

 

No comments:

Post a Comment