THALASSOPHOBIA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
Energi
listriknya tak berarti apa-apa di dalam air ini. Ia mulai mengidap
thalassophobia, terutama ketika ia menatap dalamnya laut yang seakan tak
berbatas di bawahnya, menelannya ke dalam ketiadaan.
Ia
mendongak. Cahaya di atasnya mulai meredup. Namun tiba-tiba ia melihat bayangan
melintas. Rambut hitam panjangnya terbuai dipermainkan air. Ia melihat sepasang
mata menatapnya. Kakinya seakan bersatu, melenggang dan meliuk di dalam lautan
bak bidadari.
Apa
itu ...
Putri
duyung ...
Itulah
yang terakhir kali dilihat Sancaka ketika ia tak sadarkan diri.
***
Sancaka
terbangun dan memuntahkan air. ia terduduk, mulutnya terasa asin sekali dan
sekujur tubuhnya basah. Ia mendongak dan melihat orang-orang tengah
mengelilinginya. Salah satunya adalah seorang gadis cantik. Ia masih tampak
muda. Gadis itu tersenyum melihatnya. Sancaka balas tersenyum dengan wajah
memerah.
“Kau
baik-baik saja.” seorang pria menatapnya. Suaranya terdengar tegas. Tampak
kerut-kerut di wajahnya yang tertimpa matahari.
“I ...
iya ...”
“Kau
tadi jatuh ke air dan tak sadarkan diri. Untuk salah satu anak buahku tahu
caranya melakukan napas buatan.”
“Oh,”
wajah Sancaka kembali memerah, “Apa gadis itu yang melakukannya?”
“Apa?
Tentu saja aku takkan mengizinkan anakku mencium orang asing!” seru pria itu,
“Namun salah satu nelayanku di sana!”
Sancaka
menoleh melihat pria berkumis itu dan langsung mengusap-usap bibirnya dengan
panik.
“Tapi
memang benar putriku yang menarikmu dari dalam air,” tambahnya, “Sejak dulu ia
memang penyelam yang handal.”
Pria
itu menoleh kepada Buana yang sedang bersandar ke sisi kapal. “Namaku Willy,
seorang nelayan yang tinggal di pulau tak jauh dari sini. Siapa kalian dan
bagaimana kalian bisa berada di tengah laut seperti ini?”
“Aku
Buana dan dia Sancaka,” pemuda itu memperkenalkan diri, “Kami terjatuh dari
kapal kami tadi. Beruntung kru kapal Anda menyelamatkan kami. Untuk itu kami
berterima kasih.”
“Aneh,
aku tak melihat satu kapalpun lalu lalang di sini.” ujar kapten kapal itu
dengan curiga. “Lalu kemana kalian akan pergi sekarang? Kami akan kembali ke
pulau kami.”
“Pertama
saya ingin bertanya, dimana ini?”
“Serius
kau tak tahu dimana kalian berada?” nahkoda itu mengangkat alisnya, “Kalian ada
di perairan Maluku, tak jauh dari Ambon.”
Buana
melirik sancaka kemudian berkata lagi, “Apa tidak terlalu menyusahkan jika
kalian membawa kami ke Ambon.”
“Boleh
ya, Pai?” Dhana merajuk pada ayahnya, “Kita antar mereka ke sana.”
“Mustahil,
Dhana.” ujar ayahnya, “Bahan bakar kita hampir habis. Kita takkan bisa
mencapainya. Mungkin jika mereka mau menginap semalam di desa, baru Pai antar
mereka keesokan harinya.”
“Itu
juga tidak apa-apa jika itu tidak menyusahkan kalian.” ujar Sancaka.
Namun
Buana menatapnya dengan pandangan cemas. Sancaka tahu apa arti tatapannya.
Bagaimana jika ketiga makhluk itu kembali lagi?
Tetapi
mereka tersadar. Terombang-ambing di tengah laut seperti ini, mereka tak punya
pilihan lain.
***
Buana
dan Sancaka turun di sebuah desa kecil. Pohon-pohon kelapa berjejer di tepi
pantai yang berselimutkan pasir putih yang halus. Sancaka justru merasa gembira
terdampar di tempat yang bak surga seperti ini. Namun lain halnya dengan Buana.
Ia terus saja murung.
“Bisa
kau jelaskan siapa trio maut itu dan mengapa mereka memakai pakaian seperti
itu?” ia menarik lengan Buana begitu mereka berada di tepi pantai.
“Sudah
kubilang kan, pakaianmu itu adalah seragam tentara kami.” kilah Buana.
“KAU?”
Sancaka teringat terakhir kali ada yang mengatakan hal semacam itu kepadanya.
“Kau kan yang memberiku kekuatan ini? Kau dan ayahmu itu!”
Buana
menoleh, “Ralat! Ayahku yang memberikanmu kekuatannya. Semenjak awal aku tak
setuju, namun ia tak tega melihatmu terbunuh.”
“Terbunuh?”
“Kau
pikir kau akan selamat setelah tersambar halilintar seperti itu, Sancaka?
Ayahku melihat kejadian itu dan memutuskan menyelamatkan nyawamu.”
Sancaka
teringat bagaimana jantungnya berdegup kembali setelah serangan Ghazul yang
nyaris menewaskannya.
Apa
itu juga caranya kembali bangkit dari kematian setelah ia terserang petir?
“Ayahku
memiliki kekuatan untuk mengendalikan aliran proton dan elektron untuk
menciptakan beda potensial di sekitarnya, bahkan di dalam tubuhnya sendiri.
Namun ia menyerahkan kekuatannya demi menolongmu. Kini, aku punya seribu alasan
untuk khawatir akan keselamatan ayahku, berkat kamu.”
Sancaka
tersadar, inilah alasan semua sikap sinisnya terhadapnya selama ini.
“Ayahmu,
siapa dia? Lalu siapa orang-orang berkekuatan super yang mengejar kita?”
“Ceritanya
panjang. Sekarang bukanlah waktu yang tepat.”
“Aku
perlu tahu, Buana ... jika itu memang nama aslimu!”
Pemuda
itu hanya menjawabnya dengan senyuman sinisnya.
“Dan
kalung itu!” tunjuk Sancaka, “Kurasa Godam sudah merebutnya dari Ghazul kala
itu. Bagaimana mungkin kau memilikinya?”
Ia
menyentuh kalung bertahtakan batu Kunzite itu, “Aku meminta bantuan bocah
kelelawar untuk merebutnya. Aku tidak bisa begitu saja berkeliaran sementara
tentara-tentaraku sendiri mengejarku, bukan?”
“Apa
itu alasanmu datang ke Bandung saat itu? Untuk mencari batu itu?”
“Tepat
sekali. Batu ini penting bagi kaum kami. Namun sayang, sebelum aku
menemukannya, trio itu keburu mengejarku. Terpaksa aku meninggalkan kota itu
lebih awal. Hmmm ... kota yang indah omong-omong. Bagaimana kabar gadis cantik
yang kau selamatkan itu?”
“Sudah
putus!” jawab Sancaka kesal, “Aku curiga jangan-jangan kau dan makhluk-makhluk
itu tak berasal dari Bumi?!”
“Kak, ayo
kita makan!” Dhana dengan tiba-tiba merangkul tangannya, “Ayah sudah menyiapkan
makanan di pondok!”
Gadis
itu tersenyum dengan manis ke arah Sancaka. Buana hanya memandanginya.
“Ehm
oke, kami akan datang. Tunjukkan saja dimana pondoknya, nanti kami akan
menyusul.” Sancaka balas tersenyum.
Gadis itu beranjak pergi sambil tak bisa
melepaskan tatapan dan senyumnya dari Sancaka.
“Bukan
aku yang perlu kau khawatirkan, Sancaka.” Buana menyodok perut pemuda itu
dengan sikunya, “Lihat gadis itu!”
“Kenapa
memangnya? Cantik bukan?”
“Ah,
kau ini! Kalau melihat perempuan cantik sedikit saja ... lihat baik-baik cincin
yang ia kenakan!”
Gadis
itu melambaikan tangan ke arahnya seraya masuk ke dalam sebuah pondok
beratapkan rumbia.
Mata
Sancaka membelalak.
“Cincin
lapis lazuli milik Minarti!” pekiknya, “Bagaimana ia mendapatkannya? Aku sudah
membuangnya ke laut!””
***
Makan
di gubug sederhana milik ayah Dhana justru bagi Sancaka terasa menyantap makan
malam di sebuah cottage. Ia bisa mendengar desir lautan dan juga hembusan angin
yang membawa serta suara laut bersamanya. Serasa sedang menikmati bulan madu
yang romantis.
Ikan,
tentu saja itu yang dihidangkan keluarga Dhana, beserta kepiting, udang, serta
kerang; makanan seafood yang jarang dirasakan Sancaka ketika ia tinggal di
Bandung ataupun Yogya. Ia merasa dijamu bak raja, padahal inilah makanan
sehari-hari penduduk desa ini yang tinggal jauh dari bisingnya kota ini.
Lentera-lentera
dari minyak paus menyala di setiap rumah. Tak ada listrik di sini. Namun justru
itulah yang memberikan Sancaka ketenangan batin. Jika saja tak ada Awan dan
Esthy yang menantinya di Yogya, serta kewajibannya untuk menjaga Yogya dari
ancaman supranatural seperti badai listrik kemarin, tentulah ia akan memutuskan
tinggal di sini.
Gadis
itu terus memandanginya semenjak tadi. Sancaka menjadi merasa tak enak. Namun
ia harus melancarkan rencana yang tadi ia susun bersama Buana. Ya, mereka
memang bukan sahabat. Jika ia bisa memilih, ia akan pergi jauh dari pemuda itu.
Namun kali ini ia tak punya pilihan lain. Ia tak bisa membiarkan Buana
ditangkap tiga alien tersebut dengan resiko korban jiwa tak berdosa jatuh di
tengah pertarungan mereka.
“Jadi,
Dhana, bagaimana pelayaran tadi?” tanya Sancaka setelah selesai makan. Kini
mereka berdua tengah berbincang (bukan pilihan Sancaka, semenjak tadi gadis itu
mengikutinya) di teras rumah yang terbuat dari anyaman rotan. Sancaka masih
bisa mendengar deru ombak dari tempat tersebut, mengalun bak musik yang ditiup
oleh malam.
“Tangkapan
hanya sedikit dan seperti biasa akulah yang dimarahi karena bersikeras ikut
pelayaran ayah.”
“Mengapa
begitu?”
“Membawa
perempuan seperti aku berlayar katanya membawa kesialan.” gadis itu menyibak
rambutnya sambil menatap ke laut, “Semua pelayar tahu itu.”
Gadis
itu tahu bahwa bukannya kesialan yang dibawanya, namun rasa belas kasihan yang
terlalu besar pada hewan-hewan penghuni laut. Ia selalu saja memperingatkan
binatang-binatang yang berkeriapan di air untuk menyingkir apabila kapal
ayahnya datang, seperti yang ia lakukan pada paus itu tadi siang.
Bukan
berarti ia bisa berbicara bahasa ikan. Namun entah mengapa, makhluk-makhluk itu
mendengarkan perkatannya dan iapun memahami mereka.
Sancaka
tersenyum, “Apa kau tak bosan berada di sini sepanjang waktu?”
“Bosan
sih,” ujarnya, “Tapi aku menunggu pangeranku pergi membawaku, seperti dongeng
putri duyung.”
“Dongeng
putri duyung,” Sancaka terkekeh, “Ah kau mau-maunya saja ditipu Disney. Cerita
Little Mermaid bukanlah dongeng yang berakhir bahagia. Dalam versi aslinya,
sang putri duyung akhirnya bunuh diri setelah sang pangeran menikah dengan
wanita lain. Selain itu, dalam mitologi, putri duyung sesungguhnya adalah
monster yang merayu para pelaut untuk menemui ajal mereka di batu karang lalu
memangsa mereka.”
“Idih,”
bisik Buana yang tengah mengintip percakapan mereka dari kejauhan, “Itukah
caramu merayu seorang gadis? Tak berselera sekali ... Buruan, rebut cincin itu
dari tangannya!”
Sancaka
masih mencoba melancarkan rayuannya.
“Omong-omong
cincin yang kau pakai itu indah sekali.” tunjuk Sancaka, “Batu apa itu? Lapis
lazuli?”
“Aku
tak tahu,” gadis itu memutar-mutar cincin di jemarinya, “Aku menemukannya di
dasar laut.”
“Oh
ya? Benarkah?”
“Aku
menunggu orang yang membuang cincin ini.”
“Kenapa
begitu?”
“Karena
aku ingin sekali bertemu dengan pemiliknya. Romantis sekali pria yang
memilikinya. Ia pasti hendak memberikannya pada kekasihnya, namun entah mengapa
cincin ini malah dibuang.”
“Kebetulan
sekali, aku-lah pemilik cincin itu?”
“Apa?!”
Dhana terpana, bahagia. “Sudah kuduga kita berdua berjodoh saat aku pertaman
melihat Kakak!”
Ia
langsung memegang tangan pemuda itu dan berteriak memanggil ayahnya. “PAI!”
“Ada
apa, Dhana.” Willy keluar sambil menyibak tirai dari untaian kerang putih yang
menggantung di pintu.
“Aku
akan menikah dengan Sancaka!”
“APA?!”
baik Sancaka dan Willy sama-sama terkejut.
Ayah
Dhana langsung menatap Sancaka dengan tajam.
“Tu
... tunggu ... aku sama sekali tak pernah ...”
“DASAR
TIDAK BERGUNA!” Buana memukul kepala Sancaka dari belakang. Sancaka langsung
mengaduh kesakitan.
“Hei!
Kenapa kau itu?!” serunya kesal.
“Memangnya
kau pedofil? Umur gadis ini mungkin sepuluh tahun lebih muda darimu dan kau mau
menikahinya?!”
“Hei,
itu bukan ideku!”
“Pantasan
saja Minarti memutuskanmu, dasar pria aneh!”
“Hei,
jangan sangkut-pautkan Minarti dengan semua ini!”
Sancaka
dan Buana justru berdebat sendiri sementara Willy dan Dhana terpaku
kebingungan.
“Seharusnya
kau hanya merayunya untuk mendapatkan cincinnya! Bukan malah mengajaknya
menikah begini!”
“Apa?!”
seru Dhana, “Kau hanya menginginkan cincinku?!”
“Aku
tak ada rencana menikahinya!” teriak Sancaka ngotot, “Aku juga sudah punya
pacar di Yogya sana!”
“APA?!
KAU SUDAH PUNYA PACAR???” jerit Dhana.
Tiba-tiba
baik Sancaka dan Buana merasakan kekuatan yang teramat besar sedang mendekat.
Mereka menoleh dan melihat para warga berlari dengan ketakutan, diikuti suara
gemuruh yang mengeras.
“Badai
pasir!” teriak mereka, “Badai pasir!”
“Pasir?”
Buana tahu benar apa artinya, “Kurang ajar! Mereka sudah ...”
“Semuanya
lari!” seru Sancaka. Tiba-tiba badai pasir yang amat hebat telanjur bertiup,
hampir merobohkan rumah berbilik pandan laut itu. Pasir tersebut berputar-putar
bak pusaran tornado dan akhirnya membuat siluet tubuh ramping seorang wanita.
“Kau
lagi ...” bisik Buana dengan geram sembari melindungi dirinya dari serangan
badai pasir tersebut.
“Sayang
sekali,” Zsa Zsa berdecak sambil menatap kedua pemuda itu, “Sebenarnya aku tak
ingin membunuh pria-pria tampan seperti kalian, namun apa boleh buat ... itu
adalah tugas yang diberikan Yang Mulia Telern kepadaku.”
Tiba-tiba
sebilah tombak harpun menembus tubuh wanita itu. Dengan geram ia menoleh.
Willy-lah yang telah menembakkannya.
“Siapa
kau? Pergi dari rumahku!” tanyanya tanpa gentar.
“Huh,
kumusnahkan dulu serangga kecil ini!” mata Zsa Zsa menyala, memanaskan tubuhnya
sehingga mengubah pasir pada tangannya menjadi bilah kaca. Ia segera
menghujamkan cakarnya yang kini berkilau tajam ke arah nelayan itu.
Buana
segera mengerahkan kekuatannya. Ia memanjangkan tangannya seperti karet dan
segera menarik Willy yang berada dalam bahaya.
“Kekuatan
macam itu?” Sancaka kaget begitu melihat tangannya melar sepanjang itu.
“Tak
usah menghakimiku!” seru Buana geram. “Paling tidak aku tidak menyetrum pacarku
sendiri sehingga dia memutuskanku!”
“Hei,
jangan singgung-singgung Minarti lagi!” Sancaka bertambah kesal dengan pemuda
itu.
“Kurang
ajar! Beraninya kalian mengabaikanku!” Zsa Zsa segera menyebarkan hempasan
pasirnya ke pilar-pilar sehingga merubuhkan rumah itu dan mementalkan semua
penghuninya hingga mereka mendarat di pasir.
“Pai!
Pai!” Dhana menjerit ketika melihat ayahnya kini tak sadarkan diri di atas
pasir pantai.
Sancaka
berusaha menyerang wanita itu dengan kekuatan listriknya.
“BLAAAAAR!!!”
Namun
ia segera memisahkan tubuhnya menjadi partikel-partikel pasir sehingga tak ada
sengatan listrik yang mengenai sasarannya.
“HAHAHAHAHA!”
tubuh Zsa Zsa kini tercerai berai tak berbentuk dalam pusaran pasir, membuat
Sancaka kebingungan. “KAU INGIN MEMBUNUHKU, SATRIA PETIR? COBA SAJA!”
Suara
tawa bergaung di tengah badai itu. Namun Sancaka sama sekali tak tahu apa yang
harus ia serang.
Tiba-tiba
saja gemuruh lain terdengar. Kali ini bukan suara dengungan badai pasir,
melainkan sesuatu yang lain, seperti ...
Tsunami?
Benar
saja. Ombak dari lautan datang bergulung-gulung, langsung menyapu badai pasir
itu, menenggelamkan tubuh alien perempuan itu.
“TIDAAAAAAK!!!”
Tubuh
pasirnya menjadi basah dan tersapu ombak yang kembali ditarik ke lautan, tanpa
menyisakan sebutirpun partikel.
Sancaka,
yang ikut basah oleh terjangan air itu, bangkit berdiri menatap kekalahan Zsa
Zsa dan melihat siapa yang telah mengerahkan tsunami sekuat itu.
Dhana.
Ia
tengah terduduk sambil mengulurkan cincin lapis lazulinya. Namun raut wajahnya
menunjukkan bahwa ia sama terkejutnya seperti Sancaka.
“Permata
lapis lazuli itu telah menemukan pemiliknya,” Buana yang tadi terjungkal saat
rumah pondok itu rubuh bangkit berdiri dan menatap gadis itu.
“Kurasa
kau juga bukan dari planet ini ya?” senyumnya.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment