Friday, January 17, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – CHAPTER 3

 


THALASSOPHOBIA

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Energi listriknya tak berarti apa-apa di dalam air ini. Ia mulai mengidap thalassophobia, terutama ketika ia menatap dalamnya laut yang seakan tak berbatas di bawahnya, menelannya ke dalam ketiadaan.

Ia mendongak. Cahaya di atasnya mulai meredup. Namun tiba-tiba ia melihat bayangan melintas. Rambut hitam panjangnya terbuai dipermainkan air. Ia melihat sepasang mata menatapnya. Kakinya seakan bersatu, melenggang dan meliuk di dalam lautan bak bidadari.

Apa itu ...

Putri duyung ...

Itulah yang terakhir kali dilihat Sancaka ketika ia tak sadarkan diri.

***

 

Sancaka terbangun dan memuntahkan air. ia terduduk, mulutnya terasa asin sekali dan sekujur tubuhnya basah. Ia mendongak dan melihat orang-orang tengah mengelilinginya. Salah satunya adalah seorang gadis cantik. Ia masih tampak muda. Gadis itu tersenyum melihatnya. Sancaka balas tersenyum dengan wajah memerah.

“Kau baik-baik saja.” seorang pria menatapnya. Suaranya terdengar tegas. Tampak kerut-kerut di wajahnya yang tertimpa matahari.

“I ... iya ...”

“Kau tadi jatuh ke air dan tak sadarkan diri. Untuk salah satu anak buahku tahu caranya melakukan napas buatan.”

“Oh,” wajah Sancaka kembali memerah, “Apa gadis itu yang melakukannya?”

“Apa? Tentu saja aku takkan mengizinkan anakku mencium orang asing!” seru pria itu, “Namun salah satu nelayanku di sana!”

Sancaka menoleh melihat pria berkumis itu dan langsung mengusap-usap bibirnya dengan panik.

“Tapi memang benar putriku yang menarikmu dari dalam air,” tambahnya, “Sejak dulu ia memang penyelam yang handal.”

Pria itu menoleh kepada Buana yang sedang bersandar ke sisi kapal. “Namaku Willy, seorang nelayan yang tinggal di pulau tak jauh dari sini. Siapa kalian dan bagaimana kalian bisa berada di tengah laut seperti ini?”

“Aku Buana dan dia Sancaka,” pemuda itu memperkenalkan diri, “Kami terjatuh dari kapal kami tadi. Beruntung kru kapal Anda menyelamatkan kami. Untuk itu kami berterima kasih.”

“Aneh, aku tak melihat satu kapalpun lalu lalang di sini.” ujar kapten kapal itu dengan curiga. “Lalu kemana kalian akan pergi sekarang? Kami akan kembali ke pulau kami.”

“Pertama saya ingin bertanya, dimana ini?”

“Serius kau tak tahu dimana kalian berada?” nahkoda itu mengangkat alisnya, “Kalian ada di perairan Maluku, tak jauh dari Ambon.”

Buana melirik sancaka kemudian berkata lagi, “Apa tidak terlalu menyusahkan jika kalian membawa kami ke Ambon.”

“Boleh ya, Pai?” Dhana merajuk pada ayahnya, “Kita antar mereka ke sana.”

“Mustahil, Dhana.” ujar ayahnya, “Bahan bakar kita hampir habis. Kita takkan bisa mencapainya. Mungkin jika mereka mau menginap semalam di desa, baru Pai antar mereka keesokan harinya.”

“Itu juga tidak apa-apa jika itu tidak menyusahkan kalian.” ujar Sancaka.

Namun Buana menatapnya dengan pandangan cemas. Sancaka tahu apa arti tatapannya. Bagaimana jika ketiga makhluk itu kembali lagi?

Tetapi mereka tersadar. Terombang-ambing di tengah laut seperti ini, mereka tak punya pilihan lain.

***

 

Buana dan Sancaka turun di sebuah desa kecil. Pohon-pohon kelapa berjejer di tepi pantai yang berselimutkan pasir putih yang halus. Sancaka justru merasa gembira terdampar di tempat yang bak surga seperti ini. Namun lain halnya dengan Buana. Ia terus saja murung.

“Bisa kau jelaskan siapa trio maut itu dan mengapa mereka memakai pakaian seperti itu?” ia menarik lengan Buana begitu mereka berada di tepi pantai.

“Sudah kubilang kan, pakaianmu itu adalah seragam tentara kami.” kilah Buana.

“KAU?” Sancaka teringat terakhir kali ada yang mengatakan hal semacam itu kepadanya. “Kau kan yang memberiku kekuatan ini? Kau dan ayahmu itu!”

Buana menoleh, “Ralat! Ayahku yang memberikanmu kekuatannya. Semenjak awal aku tak setuju, namun ia tak tega melihatmu terbunuh.”

“Terbunuh?”

“Kau pikir kau akan selamat setelah tersambar halilintar seperti itu, Sancaka? Ayahku melihat kejadian itu dan memutuskan menyelamatkan nyawamu.”

Sancaka teringat bagaimana jantungnya berdegup kembali setelah serangan Ghazul yang nyaris menewaskannya.

Apa itu juga caranya kembali bangkit dari kematian setelah ia terserang petir?

“Ayahku memiliki kekuatan untuk mengendalikan aliran proton dan elektron untuk menciptakan beda potensial di sekitarnya, bahkan di dalam tubuhnya sendiri. Namun ia menyerahkan kekuatannya demi menolongmu. Kini, aku punya seribu alasan untuk khawatir akan keselamatan ayahku, berkat kamu.”

Sancaka tersadar, inilah alasan semua sikap sinisnya terhadapnya selama ini.

“Ayahmu, siapa dia? Lalu siapa orang-orang berkekuatan super yang mengejar kita?”

“Ceritanya panjang. Sekarang bukanlah waktu yang tepat.”

“Aku perlu tahu, Buana ... jika itu memang nama aslimu!”

Pemuda itu hanya menjawabnya dengan senyuman sinisnya.

“Dan kalung itu!” tunjuk Sancaka, “Kurasa Godam sudah merebutnya dari Ghazul kala itu. Bagaimana mungkin kau memilikinya?”

Ia menyentuh kalung bertahtakan batu Kunzite itu, “Aku meminta bantuan bocah kelelawar untuk merebutnya. Aku tidak bisa begitu saja berkeliaran sementara tentara-tentaraku sendiri mengejarku, bukan?”

“Apa itu alasanmu datang ke Bandung saat itu? Untuk mencari batu itu?”

“Tepat sekali. Batu ini penting bagi kaum kami. Namun sayang, sebelum aku menemukannya, trio itu keburu mengejarku. Terpaksa aku meninggalkan kota itu lebih awal. Hmmm ... kota yang indah omong-omong. Bagaimana kabar gadis cantik yang kau selamatkan itu?”

“Sudah putus!” jawab Sancaka kesal, “Aku curiga jangan-jangan kau dan makhluk-makhluk itu tak berasal dari Bumi?!”

“Kak, ayo kita makan!” Dhana dengan tiba-tiba merangkul tangannya, “Ayah sudah menyiapkan makanan di pondok!”

Gadis itu tersenyum dengan manis ke arah Sancaka. Buana hanya memandanginya.

“Ehm oke, kami akan datang. Tunjukkan saja dimana pondoknya, nanti kami akan menyusul.” Sancaka balas tersenyum.

 Gadis itu beranjak pergi sambil tak bisa melepaskan tatapan dan senyumnya dari Sancaka.

“Bukan aku yang perlu kau khawatirkan, Sancaka.” Buana menyodok perut pemuda itu dengan sikunya, “Lihat gadis itu!”

“Kenapa memangnya? Cantik bukan?”

“Ah, kau ini! Kalau melihat perempuan cantik sedikit saja ... lihat baik-baik cincin yang ia kenakan!”

Gadis itu melambaikan tangan ke arahnya seraya masuk ke dalam sebuah pondok beratapkan rumbia.

Mata Sancaka membelalak.

“Cincin lapis lazuli milik Minarti!” pekiknya, “Bagaimana ia mendapatkannya? Aku sudah membuangnya ke laut!””

***

 

Makan di gubug sederhana milik ayah Dhana justru bagi Sancaka terasa menyantap makan malam di sebuah cottage. Ia bisa mendengar desir lautan dan juga hembusan angin yang membawa serta suara laut bersamanya. Serasa sedang menikmati bulan madu yang romantis.

Ikan, tentu saja itu yang dihidangkan keluarga Dhana, beserta kepiting, udang, serta kerang; makanan seafood yang jarang dirasakan Sancaka ketika ia tinggal di Bandung ataupun Yogya. Ia merasa dijamu bak raja, padahal inilah makanan sehari-hari penduduk desa ini yang tinggal jauh dari bisingnya kota ini.

Lentera-lentera dari minyak paus menyala di setiap rumah. Tak ada listrik di sini. Namun justru itulah yang memberikan Sancaka ketenangan batin. Jika saja tak ada Awan dan Esthy yang menantinya di Yogya, serta kewajibannya untuk menjaga Yogya dari ancaman supranatural seperti badai listrik kemarin, tentulah ia akan memutuskan tinggal di sini.

Gadis itu terus memandanginya semenjak tadi. Sancaka menjadi merasa tak enak. Namun ia harus melancarkan rencana yang tadi ia susun bersama Buana. Ya, mereka memang bukan sahabat. Jika ia bisa memilih, ia akan pergi jauh dari pemuda itu. Namun kali ini ia tak punya pilihan lain. Ia tak bisa membiarkan Buana ditangkap tiga alien tersebut dengan resiko korban jiwa tak berdosa jatuh di tengah pertarungan mereka.

“Jadi, Dhana, bagaimana pelayaran tadi?” tanya Sancaka setelah selesai makan. Kini mereka berdua tengah berbincang (bukan pilihan Sancaka, semenjak tadi gadis itu mengikutinya) di teras rumah yang terbuat dari anyaman rotan. Sancaka masih bisa mendengar deru ombak dari tempat tersebut, mengalun bak musik yang ditiup oleh malam.

“Tangkapan hanya sedikit dan seperti biasa akulah yang dimarahi karena bersikeras ikut pelayaran ayah.”

“Mengapa begitu?”

“Membawa perempuan seperti aku berlayar katanya membawa kesialan.” gadis itu menyibak rambutnya sambil menatap ke laut, “Semua pelayar tahu itu.”

Gadis itu tahu bahwa bukannya kesialan yang dibawanya, namun rasa belas kasihan yang terlalu besar pada hewan-hewan penghuni laut. Ia selalu saja memperingatkan binatang-binatang yang berkeriapan di air untuk menyingkir apabila kapal ayahnya datang, seperti yang ia lakukan pada paus itu tadi siang.

Bukan berarti ia bisa berbicara bahasa ikan. Namun entah mengapa, makhluk-makhluk itu mendengarkan perkatannya dan iapun memahami mereka.

Sancaka tersenyum, “Apa kau tak bosan berada di sini sepanjang waktu?”

“Bosan sih,” ujarnya, “Tapi aku menunggu pangeranku pergi membawaku, seperti dongeng putri duyung.”

“Dongeng putri duyung,” Sancaka terkekeh, “Ah kau mau-maunya saja ditipu Disney. Cerita Little Mermaid bukanlah dongeng yang berakhir bahagia. Dalam versi aslinya, sang putri duyung akhirnya bunuh diri setelah sang pangeran menikah dengan wanita lain. Selain itu, dalam mitologi, putri duyung sesungguhnya adalah monster yang merayu para pelaut untuk menemui ajal mereka di batu karang lalu memangsa mereka.”

“Idih,” bisik Buana yang tengah mengintip percakapan mereka dari kejauhan, “Itukah caramu merayu seorang gadis? Tak berselera sekali ... Buruan, rebut cincin itu dari tangannya!”

Sancaka masih mencoba melancarkan rayuannya.

“Omong-omong cincin yang kau pakai itu indah sekali.” tunjuk Sancaka, “Batu apa itu? Lapis lazuli?”

“Aku tak tahu,” gadis itu memutar-mutar cincin di jemarinya, “Aku menemukannya di dasar laut.”

“Oh ya? Benarkah?”

“Aku menunggu orang yang membuang cincin ini.”

“Kenapa begitu?”

“Karena aku ingin sekali bertemu dengan pemiliknya. Romantis sekali pria yang memilikinya. Ia pasti hendak memberikannya pada kekasihnya, namun entah mengapa cincin ini malah dibuang.”

“Kebetulan sekali, aku-lah pemilik cincin itu?”

“Apa?!” Dhana terpana, bahagia. “Sudah kuduga kita berdua berjodoh saat aku pertaman melihat Kakak!”

Ia langsung memegang tangan pemuda itu dan berteriak memanggil ayahnya. “PAI!”

“Ada apa, Dhana.” Willy keluar sambil menyibak tirai dari untaian kerang putih yang menggantung di pintu.

“Aku akan menikah dengan Sancaka!”

“APA?!” baik Sancaka dan Willy sama-sama terkejut.

Ayah Dhana langsung menatap Sancaka dengan tajam.

“Tu ... tunggu ... aku sama sekali tak pernah ...”

“DASAR TIDAK BERGUNA!” Buana memukul kepala Sancaka dari belakang. Sancaka langsung mengaduh kesakitan.

“Hei! Kenapa kau itu?!” serunya kesal.

“Memangnya kau pedofil? Umur gadis ini mungkin sepuluh tahun lebih muda darimu dan kau mau menikahinya?!”

“Hei, itu bukan ideku!”

“Pantasan saja Minarti memutuskanmu, dasar pria aneh!”

“Hei, jangan sangkut-pautkan Minarti dengan semua ini!”

Sancaka dan Buana justru berdebat sendiri sementara Willy dan Dhana terpaku kebingungan.

“Seharusnya kau hanya merayunya untuk mendapatkan cincinnya! Bukan malah mengajaknya menikah begini!”

“Apa?!” seru Dhana, “Kau hanya menginginkan cincinku?!”

“Aku tak ada rencana menikahinya!” teriak Sancaka ngotot, “Aku juga sudah punya pacar di Yogya sana!”

“APA?! KAU SUDAH PUNYA PACAR???” jerit Dhana.

Tiba-tiba baik Sancaka dan Buana merasakan kekuatan yang teramat besar sedang mendekat. Mereka menoleh dan melihat para warga berlari dengan ketakutan, diikuti suara gemuruh yang mengeras.

“Badai pasir!” teriak mereka, “Badai pasir!”

“Pasir?” Buana tahu benar apa artinya, “Kurang ajar! Mereka sudah ...”

“Semuanya lari!” seru Sancaka. Tiba-tiba badai pasir yang amat hebat telanjur bertiup, hampir merobohkan rumah berbilik pandan laut itu. Pasir tersebut berputar-putar bak pusaran tornado dan akhirnya membuat siluet tubuh ramping seorang wanita.

“Kau lagi ...” bisik Buana dengan geram sembari melindungi dirinya dari serangan badai pasir tersebut.

“Sayang sekali,” Zsa Zsa berdecak sambil menatap kedua pemuda itu, “Sebenarnya aku tak ingin membunuh pria-pria tampan seperti kalian, namun apa boleh buat ... itu adalah tugas yang diberikan Yang Mulia Telern kepadaku.”

Tiba-tiba sebilah tombak harpun menembus tubuh wanita itu. Dengan geram ia menoleh. Willy-lah yang telah menembakkannya.

“Siapa kau? Pergi dari rumahku!” tanyanya tanpa gentar.

“Huh, kumusnahkan dulu serangga kecil ini!” mata Zsa Zsa menyala, memanaskan tubuhnya sehingga mengubah pasir pada tangannya menjadi bilah kaca. Ia segera menghujamkan cakarnya yang kini berkilau tajam ke arah nelayan itu.

Buana segera mengerahkan kekuatannya. Ia memanjangkan tangannya seperti karet dan segera menarik Willy yang berada dalam bahaya.

“Kekuatan macam itu?” Sancaka kaget begitu melihat tangannya melar sepanjang itu.

“Tak usah menghakimiku!” seru Buana geram. “Paling tidak aku tidak menyetrum pacarku sendiri sehingga dia memutuskanku!”

“Hei, jangan singgung-singgung Minarti lagi!” Sancaka bertambah kesal dengan pemuda itu.

“Kurang ajar! Beraninya kalian mengabaikanku!” Zsa Zsa segera menyebarkan hempasan pasirnya ke pilar-pilar sehingga merubuhkan rumah itu dan mementalkan semua penghuninya hingga mereka mendarat di pasir.

“Pai! Pai!” Dhana menjerit ketika melihat ayahnya kini tak sadarkan diri di atas pasir pantai.

Sancaka berusaha menyerang wanita itu dengan kekuatan listriknya.

“BLAAAAAR!!!”

Namun ia segera memisahkan tubuhnya menjadi partikel-partikel pasir sehingga tak ada sengatan listrik yang mengenai sasarannya.

“HAHAHAHAHA!” tubuh Zsa Zsa kini tercerai berai tak berbentuk dalam pusaran pasir, membuat Sancaka kebingungan. “KAU INGIN MEMBUNUHKU, SATRIA PETIR? COBA SAJA!”

Suara tawa bergaung di tengah badai itu. Namun Sancaka sama sekali tak tahu apa yang harus ia serang.

Tiba-tiba saja gemuruh lain terdengar. Kali ini bukan suara dengungan badai pasir, melainkan sesuatu yang lain, seperti ...

Tsunami?

Benar saja. Ombak dari lautan datang bergulung-gulung, langsung menyapu badai pasir itu, menenggelamkan tubuh alien perempuan itu.

“TIDAAAAAAK!!!”

Tubuh pasirnya menjadi basah dan tersapu ombak yang kembali ditarik ke lautan, tanpa menyisakan sebutirpun partikel.

Sancaka, yang ikut basah oleh terjangan air itu, bangkit berdiri menatap kekalahan Zsa Zsa dan melihat siapa yang telah mengerahkan tsunami sekuat itu.

Dhana.

Ia tengah terduduk sambil mengulurkan cincin lapis lazulinya. Namun raut wajahnya menunjukkan bahwa ia sama terkejutnya seperti Sancaka.

“Permata lapis lazuli itu telah menemukan pemiliknya,” Buana yang tadi terjungkal saat rumah pondok itu rubuh bangkit berdiri dan menatap gadis itu.

“Kurasa kau juga bukan dari planet ini ya?” senyumnya.

BERSAMBUNG

 

 

No comments:

Post a Comment