NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
JAKARTA 2045
People be starving ... and
people be killing for food ...
Aku
pernah mengingat lirik lagu itu. Aku pernah mendengarnya. Dulu ... dulu sekali.
Saat dunia ini masih damai.
Damai?
Ah, tidak, itu bukan kata yang tepat untuk menggambarkan kondisi sebelum
Pemunahan. Semenjak dulu, tak pernah ada kedamaian. Kami memang hidup tenang,
namun bukan berarti tak ada kebencian dan perselisihan di tanah air kami.
Sementara di penjuru Bumi yang lain, berbagai perang terus berkecamuk,
dikendarai oleh ego masing-masing pihak yang tak mau mengalah.
Ya,
kami tak pernah benar-benar mencicipi setitikpun kedamaian.
Dan
ketika Sang Pemunah itu tiba, semua sudah terlambat.
Aku
bahkan tak ingat apa yang terjadi saat Hari Pemunahan itu tiba. Mungkin aku
menyaksikannya, namun otakku yang trauma mungkin menghapus ingatannya sendiri.
Yang
jelas, aku adalah sedikit dari manusia yang tersisa.
Satu-satunya
aku ingat setelah itu hanyalah kehancuran ... bau busuk mayat yang menyeruak
setiap kali kami mengambil napas. Aku ingat matahari tak pernah terbit lagi
semenjak saat itu, karena langit tertutup oleh debu tebal. Apa istilahnya, aku
hampir lupa. Ah iya, “awan radioaktif”, kata mereka. Sementara itu langit
dipenuhi burung-burung gagak yang berkeliaran mengais bangkai-bangkai yang
didermakan kepada mereka. Lautan pun telah mati, tak banyak yang masih bisa
hidup dan berkeriapan di dalamnya.
Aku
tak tahu darimana kehancuran ini berasal. Yang jelas, pada Hari Pemunahan tiba,
seorang sosok muncul dari langit, menadirkan segalanya.
Kami
menyebutnya “Sang Pemunah” sebab ia-lah perpanjangan tangan takdir yang
bertugas membawa umat manusia yang lalim ini menuju kepunahan.
Ia
menghancurkan segalanya ... segala yang pernah aku lihat ... segala yang aku
ketahui pernah ada.
Namun,
kami memang pantas mendapatkannya.
Aku
tak pernah melihat sosok aslinya, namun segala jejak yang ia tinggalkan cukup
jelas untuk menggambarkan siapa dirinya. Dia-lah Sang Pemunah. Tak perlu ada penjelasan lain. Dua kata itu cukup
untuk menyirnakan semua harapan hidupmu. Yakinlah, jika kau bertemu dengannya,
esok takkan pernah datang. Esok memang takkan pernah ada bagi kami.
Bagi
kami, hari-haripun lenyap bersama Matahari.
Aku
tak tahu pasti bagaimana aku mendapatkan kekuatan itu. Aku jatuh ... jatuh ke
kawah beracun itu. Aku adalah seorang pendaki biasa. Pada zamanku, kami mendaki
bukan hanya untuk bersenang-senang. Kami bertahan hidup dengan cara itu,
mencari bahan yang bisa kami ais-ais, walaupun itu dapat mencelakakan hidup
kami.
Sebelum
Hari Pemunahan tiba, tempat dimana aku terjatuh disebut Dieng. Mereka bilang
ada banyak candi-candi indah di sini. Namun sejauh mata memandang, yang kulihat
hanya tanah tandus beraroma kematian.
Aku
paham kenapa teman-temanku tak menyelamatkanku ketika aku jatuh ke kawah itu.
Mereka tentu tak mau mati konyol. Toh, udara di sana amatlah beracun. Kami
harus memakai masker hanya untuk mengumpulkan belerang yang begitu berharga
(belerang saat itu adalah satu-satunya desinfektan yang kami miliki, meskipun
baunya memuakkan).
Ketika
aku tergelincir dan jatuh tergulung-gulung berselimutkan abu, aku tahu tak ada
harapan tersisa lagi bagiku.
Di
sinilah aku akan mati.
Namun
tidak.
Tidak,
di sana aku tak mati. Aku justru menemukan sesuatu. Sebuah mesin.
UFO,
begitulah manusia pada zamanmu menyebutnya.
Benda
ini pasti sudah terkubur selama ribuan tahun. Tak ada satupun yang menyadarinya
sebab pasti tak ada seorangpun yang cukup nekad untuk menyelam masuk ke kawah
terkutuk ini.
Aku
sadar akupun diberikan kesempatan kedua. Kesempatan untuk memperbaiki semuanya.
Aku tak
peduli, segala cara akan kuhalalkan. Untuk menyelamatkan masa depan. Untuk
menyelamatkan diriku.
Untuk menyelamatkan segala yang
pernah aku cintai.
BERSAMBUNG
Bisa tebak siapa nama superhero yang muncul di sini?
ReplyDeleteBelum baca Bang, Insya Allah nanti pas udah selesai baca tulisan-tulisan Abang.
DeleteGatot kaca kah? Karena di kawah candradimuka
Delete