Monday, March 3, 2025

GUNDALA: SUPERNOVA – EPILOG

 


 

Mlaar menatap kota yang tersinari berkat Dian.

“Apa yang akan terjadi jika dian itu meredup dan padam?” tanya Sancaka.

“Kami akan mencari sumber energi lain.” jawabnya sambil masih bertumpu pada balkon. “Namun kami akan meng-harvest energi matahari dari bintang yang tak memiliki planet dengan kehidupan sehingga kami tak perlu membunuh siapapun.”

“Dan bagaimana kau akan mendapatkan sumber daya alam yang kau butuhkan.”

“Kami takkan menjarahnya lagi dari planet lain. Sebaliknya kami akan mencoba berdagang.”

“Kau akan menjadi seorang raja yang baik, Mlaar.” Mungkin itulah satu-satunya perkataan positif yang pernah diucapkan Sancaka kepadanya.

“Panggil saja aku Buana, aku lebih menyukai nama itu.” dia menoleh sembari tersenyum, “Dan aku tetap tak mau menjadi raja atas negeri ini?”

“Apa? Lalu siapa yang akan menjadi penerus ayahmu?” tanya Sancaka heran.

“Entahlah. Tirhapy kurasa cocok. Namun ayahku juga sudah tak setua itu. Ia masih bisa memegang tampuk kekuasaan beberapa puluh tahun lagi. Bangsa kami berumur panjang, kau tahu?”

“Apakah kau yakin ayahmu akan bisa bertobat.” Ia ikut menatap kota bersamanya.

“Ia selalu menuruti perkataanmu, Sancaka.” Buana tertawa, “Entah mengapa, tapi tampaknya ayahku sangat menyayangimu dan menganggapmu sebagai putranya sendiri.”

“Yah, aku tahu,” keluh Sancaka, “Ia bahkan tak memperbolehkanku pulang.”

“Aku dulu pernah memiliki kakak.” tiba-tiba Buana berkata. Sancaka menoleh ke arahnya.

“Eh?”

“Jika ia masih hidup, mungkin ia yang akan menjadi penguasa Covox saat ini.”

“Apa yang terjadi dengannya, jika aku boleh tahu?”

“Suatu hari ia pergi berperang dan tak pernah kembali.” Ia menatap ke arah bintang-bintang yang terlihat mulai terbit di langit.

“Aaaaaah,” Sancaka menepuk pundak Buana dengan santai sambil tertawa, “Kau akan menjadi raja yang jauh lebih baik.”

“Aku tak pernah menjadi cukup hebat, Sancaka ...” tiba-tiba pundak Buana bergetar dan ia mulai menangis. Sancaka jadi kebingungan melihatnya.

“Heh, ada apa ...”

“Aku selalu berusaha untuk lebih kuat, namun pada akhirnya aku selalu mengecewakan semua orang.” Buana tak mampu lagi menanggung semua isi hatinya, “Aku hampir saja menyebabkan peperangan di planet ini, bahkan membuat ayahku terbunuh ...”

“Hei, itu bukan salahmu!” Sancaka mencoba meyakinkannya. 

Entah mengapa tiba-tiba Buana berubah 180 derajat begini, pikir Sancaka. Mungkin karena ia memang rapuh, seperti kata Kaisar Kronz. Atau mungkin selama ini tak ada yang bisa ia ajak bicara dan ia tak bisa lagi membendung curahan hatinya yang selama ini ia pendam.

“Kau justru sudah menyelamatkan planet ini dengan membawaku dan Dhana ke sini serta meluruskan semua kesalahpahaman ini. Kita juga sudah bertarung bersama-sama mengalahkan Trio Disastro, kau ingat?”

Buana mengusap air matanya dan memaksakan diri untuk tertawa.

“Maaf kau melihatku seperti ini. Aku pasti tampak sangat konyol sebagai seorang pangeran.” ujarnya malu.

“Kau tak perlu lagi memakai topeng.” kata Sancaka “Kau bisa mempercayai kami: aku dan Dhana.”

Buana tersenyum, kali ini dengan tulus.

“Aku lebih suka kembali ke Bumi bersama kalian, jika kalian tak keberatan.”

“Tentu saja!” Sancaka menepuk pundaknya, “Tapi bukannya kau lebih suka tinggal bersama keluargamu?’

“Kurasa aku sudah menemukan keluargaku.” bisiknya dengan lirih, hampir tak terdengar oleh Sancaka.

***

 

“Terima kasih kau sudah menolong kami.” ucap Argento sambil menggenggam tangan Dhana.

“Kalian kini sudah bebas. Apakah benar kalian sudah melepaskan gelar kalian sebagai putri dan menteri?” tanya gadis itu.

“Ya, kami lebih memilih hidup sebagai rakyat biasa asalkan kami bisa bersama-sama kembali.” jawab Telern.

Dhana tersenyum, “Kuharap suatu saat kelak aku juga bisa menemukan cinta sejati seperti kalian.”

“Aku yakin kau akan menemukannya, Dhana. Dan planet kaummu itu adalah planet yang indah.”

“Maaf?”

“Planetmu. Planet air yang seluruh permukaannya tertutup oleh lautan. Itu adalah asalmu bukan?”

“Ka ... kau tahu tentang planet itu?”

“Tapi sudah lama aku tak mendengarnya. Bahkan aku sudah lupa namanya. Tapi aku pernah kesana, ke planet itu, bertemu dengan penduduknya yang sangat mirip denganmu.”

Dhana tak mampu berkata-kata. Nun jauh di sana, di alam semesta ini, terdapat planet darimana ia berasal. Planet dimana ia bukanlah orang asing di sana. Planet yang ia bisa sebut sebagai rumah.

Dhana bertekad untuk menemukannya.

***

 

Sancaka menemui Kaisar Kronz. Ia hendak meminta izin untuk kembali ke planetnya. Ia sudah merindukan teman-temannya di sana, Awang yang sudah ia anggap saudaranya sendiri, dan tentu saja Esthy.

“Kaisar!” beberapa hari ini Sancaka sudah menganggapnya sebagai ayahnya sendiri, “Saya ...”

“Ah, Sancaka! Aku membawa kabar gembira untukmu!”

Kaisar Kronz menyambutnya dengan gembira.

“Kau tak perlu pulang ke planetmu, Sancaka!”

“Kenapa begitu?” pemuda itu keheranan.

“Aku sudah mengirim penghancur baru ke planetmu. Dalam seketika, Bumi akan musnah dan kau takkan punya alasan untuk tinggal di sana.” Kaisar Kronz tertawa bahagia, “Dan kau dapat tinggal di sini selamanya.”

“APA?!” Sancaka tersentak, “TEGA-TEGANYA KAISAR MELAKUKAN HAL ITU!”

“Aku melakukannya untukmu, Sancaka! Agar kau bisa menjadi penguasa planet ini.”

“AAAARGH!” Sancaka memegangi kepalanya, “Harus kubilang berapa ribu kali! Saya sama sekali tak ingin menjadi kaisar di planet ini!”

“Tapi semua orang menginginkannya?” ia terlihat heran, “Contohnya Gadriel ...”

“Saya bukan dia! Kenapa Anda tak mengerti juga!” Sancaka sudah merasa kehilangan akal, “Dengar, saya menghargai apa yang Anda lakukan pada saya. Tanpa pertolongan Anda, saya pasti sudah mati! Namun ... sekali ini saja, Anda harus menempatkan keinginan orang lain di atas kepentingan Anda!”

“Baiklah jika kau mau. Kau boleh kembali ke Bumi untuk menolong kaummu. Namun aku sendiri sangsi kau akan dapat mengalahkannya.”

Sancaka berbalik pergi, berusaha mencari Buana dan Dhana untuk diajaknya kembali ke Bumi.

“Jika Bumi-mu sudah hancur, kau lebih daripada diterima di istanaku!” teriaknya.

***

 

“Maafkan Ayahku,” ucap Buana sambil menemani Sancaka menaiki tangga pesawat milik Dhana yang sudah diketemukan kembali. “Rupanya ia masih belum insaf.”

“Kurasa memang begitulah sifat beliau.” jawab Sancaka pasrah. “Namun untuk kembali bukankah kita harus memiliki tiga inti atom? Kita hanya punya dua, milikmu dan Dhana?”

“Kalian akan kubantu dengan kristal milikku.”

Mereka menoleh dan melihat Tirhapy berada di hanggar.

“Akan kugunakan kristal Corundum dari planetku untuk membuka gerbang dimensi.”

“Terima kasih, Tirhapy.” ucap Buana sebelum memasuki pesawat. “Aku serahkan ayahku dan rakyat Covox kepadamu. Pastikan saja Ayah tidak kembali ke masa lalunya yang dulu.”

“Saya akan memastikan itu, Tuan, sembari menunggu Anda menjadi Kaisar Covox yang baru.”

“Bagaimana kau akan memastikan ayahmu tidak akan menjajah planet-planet lain?” tanya Sancaka.

“Aku akan membawa kristal inti atom Planet Covox.” katanya sembari menunjukkan kristal Kunzite-nya. “Ayah tak berkutik tanpa ini.”

“Lalu siapa sebenarnya penghancur yang Ayah maksud.”

“Mungkin sama sepertimu, Ayah memberikan kekuatan super kepada manusia Bumi.”

“Maksudmu?”

“Ada talisman yang menghilang dari koleksi barang jarahan Ayah dari planet-planet lain.”

“Talisman?”

“Senjata yang bisa memberikan pemiliknya kekuatan super.”

Sancaka berpikir, “Apakah kau pernah mendengar talisman berupa palu?”

“Palu?” Buana terkejut, “Dimana kau pernah melihatnya?”

“Di Bumi ada superhero yang menggunakan palu sebagai senjatanya. Aku pernah diselamatkan olehnya, namun aku juga pernah bertarung melawannya.”

Mimik muka Buana langsung berubah mendengarnya.

“Ada apa Buana? Apa kau tahu sesuatu tentang ... Hei!” tiba-tiba perhatian Sancaka teralihkan pada Dhana yang telah berada dalam pesawat dan memakai kostum baru. “Darimana kau dapat pakaian itu?”

“Oh, aku menemukannya di dalam pesawat ini. Kurasa pakaian ini memang sengaja dibuat untukku. Cocok bukan?” katanya sambil tertawa.

Sancaka dan Dhana segera berbincang. Sementara itu Buana lega sebab Sancaka telah melupakan perbincangan mereka tadi.

“Gawat,” bisik Buana dalam hati, “Jika Godam ada di Bumi, itu bisa jadi pertanda bahaya.”

***

 

Pesawat mereka-pun meluncur. Lubang hitam kembali membuka dan Sancaka mulai terbiasa dengan perjalanan ini. Ia hanya merasa risih dengan Dhana yang terus-terusan bersandar padanya padahal ada cukup ruang di sana, terutama setelah mereka hanya bertiga di dalam kokpit itu minus Gadriel yang entah kini dihukum di mana.

Merekapun kembali ke Bima Sakti. Ia bisa melihat satu per satu planet di tata suryanya ketika mereka melintas. Neptunus. Uranus. Saturnus dengan cincinnya yang indah. Jupiter. Mars. Dan akhirnya Bumi, bola biru bak permata lapis lazuli yang dikenakan Dhana.

Mereka memasuki atmosfer dan hijaunya daratan mulai terlihat.

“Kita hampir sampai. Persiapkan diri kalian, kita akan mendarat!” kata Buana yang semenjak tadi memegang kemudi.

Tiba-tiba ledakan besar menghantam mereka. Api mulai muncul di kokpit mereka dan terdapat lubang menganga besar di dinding kabin sehingga angin kencang serasa menarik mereka keluar.

“A ... apa ini?” seru Sancaka panik.

Tiba-tiba seutas tangan menariknya dari luar.

Ia terkejut melihat pelakunya.

“Gadriel!”

“KEJUTAN!” seringainya. Ia lalu mengeluarkan cincin Zirconiumnya dan tiba-tiba reaksi antara kristal Lapis Lazuli Dhana dan Kunzite milik Buana terjadi ketika mereka berdekatan.

“Celaka! Lubang hitamnya!” jerit Dhana.

Tiba-tiba cahaya di sekitar mereka terserap. Sancaka melihat sebuah titik hitam yang mungkin hanya seukuran lubang kancing, namun menghisap semua yang ada di sekitarnya.

“Jika aku mati,” seru Gadriel penuh dendam, “maka kau akan ikut mati denganku!”

Ia menarik Sancaka ke dalam lubang hitam.

“TIDAK!!!” seru Buana dan Dhana.

Mereka berdua menghilang sesaat setelah kristal Zirconium beserta Gadriel dan Sancaka lenyap dari pandangan.

“Sancaka!” panggil Buana sambil berusaha mengendalikan pesawat mereka.

“SANCAKA!!!”

 

END OF GUNDALA: SUPERNOVA

PLEASE CONTINUE TO GUNDALA: PATRIOT

 

No comments:

Post a Comment