Mlaar
menatap kota yang tersinari berkat Dian.
“Apa
yang akan terjadi jika dian itu meredup dan padam?” tanya Sancaka.
“Kami akan mencari sumber energi lain.” jawabnya sambil masih bertumpu pada balkon. “Namun kami akan meng-harvest energi matahari dari bintang yang tak memiliki planet dengan kehidupan sehingga kami tak perlu membunuh siapapun.”
“Dan
bagaimana kau akan mendapatkan sumber daya alam yang kau butuhkan.”
“Kami
takkan menjarahnya lagi dari planet lain. Sebaliknya kami akan mencoba
berdagang.”
“Kau
akan menjadi seorang raja yang baik, Mlaar.” Mungkin itulah satu-satunya
perkataan positif yang pernah diucapkan Sancaka kepadanya.
“Panggil
saja aku Buana, aku lebih menyukai nama itu.” dia menoleh sembari tersenyum,
“Dan aku tetap tak mau menjadi raja atas negeri ini?”
“Apa?
Lalu siapa yang akan menjadi penerus ayahmu?” tanya Sancaka heran.
“Entahlah.
Tirhapy kurasa cocok. Namun ayahku juga sudah tak setua itu. Ia masih bisa
memegang tampuk kekuasaan beberapa puluh tahun lagi. Bangsa kami berumur
panjang, kau tahu?”
“Apakah
kau yakin ayahmu akan bisa bertobat.” Ia ikut menatap kota bersamanya.
“Ia
selalu menuruti perkataanmu, Sancaka.” Buana tertawa, “Entah mengapa, tapi
tampaknya ayahku sangat menyayangimu dan menganggapmu sebagai putranya
sendiri.”
“Yah,
aku tahu,” keluh Sancaka, “Ia bahkan tak memperbolehkanku pulang.”
“Aku
dulu pernah memiliki kakak.” tiba-tiba Buana berkata. Sancaka menoleh ke
arahnya.
“Eh?”
“Jika
ia masih hidup, mungkin ia yang akan menjadi penguasa Covox saat ini.”
“Apa
yang terjadi dengannya, jika aku boleh tahu?”
“Suatu
hari ia pergi berperang dan tak pernah kembali.” Ia menatap ke arah bintang-bintang
yang terlihat mulai terbit di langit.
“Aaaaaah,”
Sancaka menepuk pundak Buana dengan santai sambil tertawa, “Kau akan menjadi
raja yang jauh lebih baik.”
“Aku
tak pernah menjadi cukup hebat, Sancaka ...” tiba-tiba pundak Buana bergetar
dan ia mulai menangis. Sancaka jadi kebingungan melihatnya.
“Heh,
ada apa ...”
“Aku
selalu berusaha untuk lebih kuat, namun pada akhirnya aku selalu mengecewakan
semua orang.” Buana tak mampu lagi menanggung semua isi hatinya, “Aku hampir
saja menyebabkan peperangan di planet ini, bahkan membuat ayahku terbunuh ...”
“Hei,
itu bukan salahmu!” Sancaka mencoba meyakinkannya.
Entah
mengapa tiba-tiba Buana berubah 180 derajat begini, pikir Sancaka. Mungkin
karena ia memang rapuh, seperti kata Kaisar Kronz. Atau mungkin selama ini tak
ada yang bisa ia ajak bicara dan ia tak bisa lagi membendung curahan hatinya
yang selama ini ia pendam.
“Kau
justru sudah menyelamatkan planet ini dengan membawaku dan Dhana ke sini serta
meluruskan semua kesalahpahaman ini. Kita juga sudah bertarung bersama-sama
mengalahkan Trio Disastro, kau ingat?”
Buana
mengusap air matanya dan memaksakan diri untuk tertawa.
“Maaf
kau melihatku seperti ini. Aku pasti tampak sangat konyol sebagai seorang
pangeran.” ujarnya malu.
“Kau
tak perlu lagi memakai topeng.” kata Sancaka “Kau bisa mempercayai kami: aku
dan Dhana.”
Buana
tersenyum, kali ini dengan tulus.
“Aku
lebih suka kembali ke Bumi bersama kalian, jika kalian tak keberatan.”
“Tentu
saja!” Sancaka menepuk pundaknya, “Tapi bukannya kau lebih suka tinggal bersama
keluargamu?’
“Kurasa
aku sudah menemukan keluargaku.” bisiknya dengan lirih, hampir tak terdengar
oleh Sancaka.
***
“Terima
kasih kau sudah menolong kami.” ucap Argento sambil menggenggam tangan Dhana.
“Kalian
kini sudah bebas. Apakah benar kalian sudah melepaskan gelar kalian sebagai
putri dan menteri?” tanya gadis itu.
“Ya,
kami lebih memilih hidup sebagai rakyat biasa asalkan kami bisa bersama-sama
kembali.” jawab Telern.
Dhana
tersenyum, “Kuharap suatu saat kelak aku juga bisa menemukan cinta sejati
seperti kalian.”
“Aku
yakin kau akan menemukannya, Dhana. Dan planet kaummu itu adalah planet yang
indah.”
“Maaf?”
“Planetmu.
Planet air yang seluruh permukaannya tertutup oleh lautan. Itu adalah asalmu
bukan?”
“Ka
... kau tahu tentang planet itu?”
“Tapi
sudah lama aku tak mendengarnya. Bahkan aku sudah lupa namanya. Tapi aku pernah
kesana, ke planet itu, bertemu dengan penduduknya yang sangat mirip denganmu.”
Dhana
tak mampu berkata-kata. Nun jauh di sana, di alam semesta ini, terdapat planet
darimana ia berasal. Planet dimana ia bukanlah orang asing di sana. Planet yang
ia bisa sebut sebagai rumah.
Dhana
bertekad untuk menemukannya.
***
Sancaka
menemui Kaisar Kronz. Ia hendak meminta izin untuk kembali ke planetnya. Ia
sudah merindukan teman-temannya di sana, Awang yang sudah ia anggap saudaranya
sendiri, dan tentu saja Esthy.
“Kaisar!”
beberapa hari ini Sancaka sudah menganggapnya sebagai ayahnya sendiri, “Saya
...”
“Ah,
Sancaka! Aku membawa kabar gembira untukmu!”
Kaisar
Kronz menyambutnya dengan gembira.
“Kau
tak perlu pulang ke planetmu, Sancaka!”
“Kenapa
begitu?” pemuda itu keheranan.
“Aku
sudah mengirim penghancur baru ke planetmu. Dalam seketika, Bumi akan musnah
dan kau takkan punya alasan untuk tinggal di sana.” Kaisar Kronz tertawa
bahagia, “Dan kau dapat tinggal di sini selamanya.”
“APA?!”
Sancaka tersentak, “TEGA-TEGANYA KAISAR MELAKUKAN HAL ITU!”
“Aku
melakukannya untukmu, Sancaka! Agar kau bisa menjadi penguasa planet ini.”
“AAAARGH!”
Sancaka memegangi kepalanya, “Harus kubilang berapa ribu kali! Saya sama sekali
tak ingin menjadi kaisar di planet ini!”
“Tapi
semua orang menginginkannya?” ia terlihat heran, “Contohnya Gadriel ...”
“Saya
bukan dia! Kenapa Anda tak mengerti juga!” Sancaka sudah merasa kehilangan
akal, “Dengar, saya menghargai apa yang Anda lakukan pada saya. Tanpa
pertolongan Anda, saya pasti sudah mati! Namun ... sekali ini saja, Anda harus
menempatkan keinginan orang lain di atas kepentingan Anda!”
“Baiklah
jika kau mau. Kau boleh kembali ke Bumi untuk menolong kaummu. Namun aku
sendiri sangsi kau akan dapat mengalahkannya.”
Sancaka
berbalik pergi, berusaha mencari Buana dan Dhana untuk diajaknya kembali ke
Bumi.
“Jika
Bumi-mu sudah hancur, kau lebih daripada diterima di istanaku!” teriaknya.
***
“Maafkan
Ayahku,” ucap Buana sambil menemani Sancaka menaiki tangga pesawat milik Dhana
yang sudah diketemukan kembali. “Rupanya ia masih belum insaf.”
“Kurasa
memang begitulah sifat beliau.” jawab Sancaka pasrah. “Namun untuk kembali
bukankah kita harus memiliki tiga inti atom? Kita hanya punya dua, milikmu dan
Dhana?”
“Kalian
akan kubantu dengan kristal milikku.”
Mereka
menoleh dan melihat Tirhapy berada di hanggar.
“Akan
kugunakan kristal Corundum dari planetku untuk membuka gerbang dimensi.”
“Terima
kasih, Tirhapy.” ucap Buana sebelum memasuki pesawat. “Aku serahkan ayahku dan
rakyat Covox kepadamu. Pastikan saja Ayah tidak kembali ke masa lalunya yang
dulu.”
“Saya
akan memastikan itu, Tuan, sembari menunggu Anda menjadi Kaisar Covox yang
baru.”
“Bagaimana
kau akan memastikan ayahmu tidak akan menjajah planet-planet lain?” tanya
Sancaka.
“Aku
akan membawa kristal inti atom Planet Covox.” katanya sembari menunjukkan
kristal Kunzite-nya. “Ayah tak berkutik tanpa ini.”
“Lalu
siapa sebenarnya penghancur yang Ayah maksud.”
“Mungkin
sama sepertimu, Ayah memberikan kekuatan super kepada manusia Bumi.”
“Maksudmu?”
“Ada
talisman yang menghilang dari koleksi barang jarahan Ayah dari planet-planet
lain.”
“Talisman?”
“Senjata
yang bisa memberikan pemiliknya kekuatan super.”
Sancaka
berpikir, “Apakah kau pernah mendengar talisman berupa palu?”
“Palu?”
Buana terkejut, “Dimana kau pernah melihatnya?”
“Di
Bumi ada superhero yang menggunakan palu sebagai senjatanya. Aku pernah
diselamatkan olehnya, namun aku juga pernah bertarung melawannya.”
Mimik
muka Buana langsung berubah mendengarnya.
“Ada
apa Buana? Apa kau tahu sesuatu tentang ... Hei!” tiba-tiba perhatian Sancaka
teralihkan pada Dhana yang telah berada dalam pesawat dan memakai kostum baru.
“Darimana kau dapat pakaian itu?”
“Oh,
aku menemukannya di dalam pesawat ini. Kurasa pakaian ini memang sengaja dibuat
untukku. Cocok bukan?” katanya sambil tertawa.
Sancaka
dan Dhana segera berbincang. Sementara itu Buana lega sebab Sancaka telah melupakan
perbincangan mereka tadi.
“Gawat,” bisik Buana dalam hati, “Jika Godam ada di Bumi, itu bisa jadi
pertanda bahaya.”
***
Pesawat
mereka-pun meluncur. Lubang hitam kembali membuka dan Sancaka mulai terbiasa
dengan perjalanan ini. Ia hanya merasa risih dengan Dhana yang terus-terusan
bersandar padanya padahal ada cukup ruang di sana, terutama setelah mereka
hanya bertiga di dalam kokpit itu minus Gadriel yang entah kini dihukum di
mana.
Merekapun
kembali ke Bima Sakti. Ia bisa melihat satu per satu planet di tata suryanya
ketika mereka melintas. Neptunus. Uranus. Saturnus dengan cincinnya yang indah.
Jupiter. Mars. Dan akhirnya Bumi, bola biru bak permata lapis lazuli yang
dikenakan Dhana.
Mereka
memasuki atmosfer dan hijaunya daratan mulai terlihat.
“Kita
hampir sampai. Persiapkan diri kalian, kita akan mendarat!” kata Buana yang
semenjak tadi memegang kemudi.
Tiba-tiba
ledakan besar menghantam mereka. Api mulai muncul di kokpit mereka dan terdapat
lubang menganga besar di dinding kabin sehingga angin kencang serasa menarik
mereka keluar.
“A ...
apa ini?” seru Sancaka panik.
Tiba-tiba
seutas tangan menariknya dari luar.
Ia
terkejut melihat pelakunya.
“Gadriel!”
“KEJUTAN!”
seringainya. Ia lalu mengeluarkan cincin Zirconiumnya dan tiba-tiba reaksi
antara kristal Lapis Lazuli Dhana dan Kunzite milik Buana terjadi ketika mereka
berdekatan.
“Celaka!
Lubang hitamnya!” jerit Dhana.
Tiba-tiba
cahaya di sekitar mereka terserap. Sancaka melihat sebuah titik hitam yang
mungkin hanya seukuran lubang kancing, namun menghisap semua yang ada di
sekitarnya.
“Jika
aku mati,” seru Gadriel penuh dendam, “maka kau akan ikut mati denganku!”
Ia
menarik Sancaka ke dalam lubang hitam.
“TIDAK!!!”
seru Buana dan Dhana.
Mereka
berdua menghilang sesaat setelah kristal Zirconium beserta Gadriel dan Sancaka
lenyap dari pandangan.
“Sancaka!”
panggil Buana sambil berusaha mengendalikan pesawat mereka.
“SANCAKA!!!”
END OF GUNDALA: SUPERNOVA
PLEASE CONTINUE TO GUNDALA: PATRIOT
No comments:
Post a Comment