Saturday, May 1, 2021

RIWAYAT RANAVALONA I: SALAH SATU RATU TERKEJAM DALAM SEJARAH DUNIA

 

Siapakah pemimpin wanita terkejam dalam sejarah? Mungkin ada yang menjawab Kaisar Wu Zetian di dinasti Tiongkok kuno atau Queen Mary dari dinasti Tudor Inggris yang karena kekejamannya sampai dijuluki sang “Bloody Mary”. Namun rupanya jika kita menghitung jumlah korbannya, kedua masih terbilang kalah sadis dengan ratu dari negeri antah berantah ini. Ranavalona I adalah nama ratu yang pernah berkuasa di Madagascar, sebuah pulau di sebelah tenggara Afrika. Namanya memang masih asing di telinga kita, namun jangan salah. Di bawah kepemimpinannya yang bertangan besi, populasi Madagascar saat itu turun drastis dari 5 juta menjadi 2,5 juta hanya dalam waktu 6 tahun.

Dengan kata lain, sang ratu ini dengan keji melenyapkan separuh populasi pulaunya sendiri.

Siapakah Ranavalona ini dan seperti apa riwayat kekejamannya? Kita simak saja di Dark History kali ini.

Sang ratu lahir dengan pada tahun 1778 dengan nama Rabodoandrianampoinimerina (memang menjadi kebiasaan di Madagascar untuk menamai anak mereka, terutama yang berdarah ningrat, dengan nama yang luar biasa panjang), namun ia biasa dipanggil dengan sebutan Ramavo. Ayah Ramavo pernah memperingatkan sang raja tentang rencana kudeta yang hendak dilancarkan sang paman, bahkan rencana tersebut termasuk usaha pembunuhan terhadap sang raja. Berkat informasi dari ayah Ramavo tersebut, sang raja akhirnya selamat dan rencana kudeta itu berhasil digagalkan. Sebagai bentuk ucapan terima kasih, sang raja kemudian menikahkan Ramavo dengan putranya sendiri, Pangeran Radama, yang kala itu menjadi pewaris tahta.

Radama, sang raja sekaligus suami Ramavo

Pada 1810, Radama akhirnya naik tahta menjadi raja sepeninggal ayahnya sehingga Ramavo-pun menjadi seorang ratu. Namun sayang, walaupun hidup bergelimpang kemewahan, hidup Ramavo justru tak bahagia. Ketika seorang raja naik tahta, menjadi sebuah “tradisi” bahwa sang raja akan segera menghabisi semua lawan politiknya untuk mencegah perebutan tahta. Kala itu, Ramada justru menganggap bahwa keluarga Ramavo merupakan saingan politiknya, sehingga ia tega mengeksekusi ayah Ramavo dan keluarganya. Tak hanya itu, Radama ternyata tak mencintai Ramavo dan justru lebih memilih asyik bermesraan dengan selir-selirnya. Hal ini juga masih diperparah dengan kenyataan bahwa setelah bertahun-tahun menikah-pun, Ramavo tak mampu memberikan keturunan bagi suaminya, sehingga diperlakukan dingin oleh keluarga kerajaan.

Pada 1828, Raja Radama tiba-tiba meninggal, celakanya, tanpa meninggalkan satupun pewaris tahta karena tak memiliki keturunan. Menurut hukum yang ada, tahta seharusnya jatuh ke tangan Pangeran Rakatobe, yakn putra tertua dari kakak perempuan Radama. Namun kala itu, Radama meninggal di tengah pengawasan dua penjaga yang kala itu memihak pada Rakatobe, sehingga mereka takut bahwa mereka akan dituduh sengaja membunuh sang raja. Oleh karena itu, berita kematian sang raja mereka rahasiakan selama berhari-hari. Namun berita tersebut sampai juga ke telinga seorang petinggi militer bernama  Andriamamba yang kemudian memutuskan untuk menggunakan kesempatan ini untuk mendukung Ramavo sebagai pengganti mendiang suaminya.

Akhirnya, berkat dukungan militer, Ramavo naik tahta dengan gelar Ratu Ranavalona. Ramavo (mungkin karena getir senantiasa diperlakukan tak adil oleh suaminya dan keluarga kerajaan karena tak kunjung bisa memberikan keturunan, serta dendam karena ayah dan keluarganya dibunuh) mulai menunjukkan sikap kejamnya pada para pesaingnya. Bahkan, ia tega menghabisi Rakatobe dan seluruh keluarganya demi menjaga tahtanya.

Kini menjabat sebagai penguasa tertinggi Madagascar, Ramavo (atau kini dikenal dengan nama Ranavalona) mencatat sejarah sebagai pemimpin wanita pertama kerajaan tersebut. Namun siapa sangka, sebagai pemimpin wanita, justru tingkahnya jauh lebih kejam ketimbang laki-laki. Selama 33 tahun berkuasa, jutaan rakyat Madagascar menjadi korban kekejamannya.

Sang ratu dan putra semata wayangnya, Pangeran Rakoto

Langkah pertama yang diambil Ranavalona adalah membatasi pengaruh Barat terhadap kerajaannya. Kala itu bangsa Barat memang datang untuk menjajah negara-negara di Afrika. Kala itu, Inggris juga tertarik untuk mengukuhkan dominasinya di Madagascar, pertama dengan mengirim para misionaris untuk menyebarkan ajaran Kristen di sana. Pada 1935, ia melarang semua bentuk hegemoni Barat di sana, menutup semua sekolah-sekolah yang dikelola oleh Inggris, dan juga mengusir semua warga kulit putih dari pulau tersebut.

Namun dengan demikian, sesungguhnya Ranavalona bukannya menjaga kemurnian tradisi negerinya, namun malah menyiksa penduduknya sendiri. Kala itu karena  Ranavalona ogah bekerja sama lagi dengan dunia Barat, ia juga menutup pintu perdagangan dengan Eropa. Ranavalona yakin bahwa pulaunya bisa mencukupi kebutuhan para penduduknya sendiri, sehingga tak butuh bantuan dari negara lain. Namun hal ini ternyata berbuntut petaka.

Demi menjaga “kemandirian” Madagascar, sang ratu kemudian menerapkan tradisi yang disebut “fanompoana” yang berarti “kerja paksa”. Kini, para penduduk miskin yang tak mampu membayar pajak dipaksa untuk bekerja keras demi memenuhi kebutuhan seluruh pulau, termasuk para kaum elite kerajaan. Hal ini tentu berakibat pada ketidakpuasan para penduduk yang berujung pada aksi-aksi pemberontakan. Untuk mengatasinya,  sang ratu kemudian mengarahkan tentaranya untuk membasmi pemberontakan-pemberontakan tersebut dan menghabisi siapapun yang berani melawannya. Angka kematian pulau tersebut pun naik drastis, disebabkan oleh peperangan, kerja paksa, dan juga wabah penyakt. Korban tak hanya berasal dari warga sipil juga tapi para tentara yang kemudian ditempatkan di wilayah-wilayah pedalaman (untuk memadamkan pemberontakan) dan banyak di antara mereka yang meninggal karena malaria.

Statistik menunjukkan bahwa populasi Madagascar turun dari 5 juta menjadi hanya separuhnya, yakni 2,5 juta antara tahun 1833 hingga 1839. Secara kasar, nyawa 50% penduduk pulau tersebut lenyap di bawah rezim bertangan besi dari sang ratu, hanya dalam waktu 6 tahun saja.

Istana megah yang dibangun sang ratu kala rakyatnya sendiri dilanda kesusahan

Walaupun rakyatnya tengah didera penderitaan yang tiada tara, Ranavalona justru sibuk berfoya-foya dengan mendirikan istana barunya di ibu kota kerajaannya, yakni di Antananarivo (yang hingga kini masih menjadi ibu kota negara Madagascar). Istana megah yang ia namakan Manjakamiadana ini menjadi bangunan terbesar yang ada di seantero Madagascar.

Namun selain melihat kiprah politiknya, bagaimana pula dengan kisah asmaranya? Seperti kita tahu hubungannya dengan mendiang suaminya tidaklah dilandasi cinta, sehingga berbuah kepahitan. Ranavalona seolah tak mau mengulangi kisah pahitnya (menikah hanya demi gimmick politik) sehingga iapun menikahi seorang perwira muda (alias brondong) bernama Andriamihaja yang kemudian ia angkat menjadi perdana menteri sekaligus orang kepercayaannya. Dari hubungannya inilah, lahir satu-satunya putra dari sang ratu, yakni Pangeran Rakoto. Ranavalona ini ternyata tak buang-buang waktu untuk menjalin kemesraan tersebut, sebab sang pangeran ini lahir hanya selang 11 bulan setelah kematian suami pertamanya.

Namun kedekatan Ranavalona dengan sang brondong ini memicu kekhawatiran para penasehat-penasehat senior kerajaan sendiri. Diam-diam mereka berusaha menyingkirkan sang kekasih ratu ini agar iapun tak berusaha merebut tahta. Pada 1830 mereka berhasil menjalankan rencana mereka ketika sang ratu tengah mabuk berat, mereka menyuruh sang ratu untuk menandatangani sebuah surat. Sang ratu sama sekali tak paham bahwa surat itu menyatakan bahwa Andriamihaja, kekasihnya, terlibat santet dan hendak melakukan kudeta. Iapun segera ditangkap dan dihukum mati atas tuduhan tersebut.

Setelah kematian  Andriamihaja, sang ratu kemudian menikah lagi dengan bodyguard-nya sendiri, Rainiharo pada 1833. Uniknya, Rainiharo inilah yang dulu menjadi dalang dibalik kematian Andriamihaja. Setelah menjadi orang nomor satu kepercayaan sang ratu,  Rainiharo kemudian diangkat menjadi perdana menteri.

Tradisi "tangena" yang dilandasi takhyul dan memakan korban jiwa tak terbilang banyaknya

Gue sudah menyebutkan tadi bahwa di bawah rezim sang ratu, terhitung separuh populasi Madagascar lenyap bak snap-nya Thanos. Nah banyak di antara mereka tak hanya meninggal karena tradisi “kerja paksa”, namun juga tradisi lain berbau supranatural bernama “tangena”. Tangena merupakan adat yang dilakukan untuk membuktikan apakah seseorang bersalah atau tidak di pengadilan. Para terdakwa kala itu disuruh menelan biji dari tanaman tangena (Cerbera manghas)  beserta 3 potong kulit ayam. Perlu diingat bahwa biji tersebut beracun dan akan menyebabkan siapapun yang menelannya akan muntah.

Nah, terdakwa akan dianggap tidak bersalah apabila ia nanti akan memuntahkan kembali ketiga kulit ayam itu. Namun jika tidak, maka terdakwa akan dianggap bersalah dan langsung dihukum mati. Jelas tradisi ini amat tidak masuk akal dan berbau takhyul semata, namun amat dipercayai oleh sang ratu dan pengikutnya, sehingga orang tak bersalahpun bisa dihukum mati apabila gagal melakukan “challenge” ini. Akibatnya, diperkirakan 20% penduduk Madagascar kala itu tewas akibat tradisi ini.

Selain itu, sang ratu juga meneruskan penolakannya pada agama Kristen yang dibawa dari Eropa. Bahkan, semua yang memiliki Injil atau ketahuan berkumpul untuk berdoa bersama akan dipenjara ataupun dieksekusi. Namun itu bukan berarti sang ratu 100% menolak semua kebudayaan dan teknologi Barat. Pada 1832, kebetulan sebuah kapal Eropa yang ditumpangi seorang pria Prancis bernama Jean Laborde terdampar di Madagascar. Jean kala itu memiliki pengetahuan dalam menggunakan meriam serta terampil dalam meracik bubuk mesiu. Hal ini dianggap amat berguna oleh Ranavalona sehingga Jean diperbolehkan tinggal di Madagascar asalkan mau bekerja untuk sang ratu.

Hubungan diplomasi antara negara Barat dengan Madagascar yang awalnya adem ayem menjadi tegang pada masa pemerintahan Ratu Ranavalona

Terdamparnya Jean di Madagascar ini dianggap sebagai sebuah kesempatan oleh pemerintah kolonial Prancis yang kala itu berkeinginan menjajah Madagascar. Kala itu, seorang diplomat Prancis bernama Joseph-François Lambert, dibantu oleh Jean Laborde sendiri mendekati Pangeran Rakoto, putra dari sang ratu sekaligus sang pewaris tahta. Joseph mengingatkan Rakoto akan semua kekejaman yang dilakukan ibunya kepada rakyatnya dan merayunya untuk menggulingkan tahta ibunya dengan bantuan militer Prancis. Rakoto sendiri adalah seorang pangeran berhati lembut yang sesungguhnya tak tega melihat penderitaan rakyatnya di bawah tangan besi ibunya. Karena itu, awalnya Rakoto menyetujui rencana Prancis tersebut.

Joseph kemudian merayu Rakoto kembali untuk menandatangani sebuah surat yang menyatakan bahwa ia menyetujui invasi Prancis terhadap kerajaan ibunya itu. Namun setelah mendatangani surat tersebut, Rakoto menjadi merasa bersalah. Tentu ia ingin mengakhiri rezim ibunya yang membuat rakyat terlunta-lunta dan menderitanya, namun bagaimana jika pemerintah kolonial Prancis ternyata sama kejamnya? Oleh karena itu, iapun kemudian memberitahukan rencana tersebut pada pihak Inggris. Tentu saja, Inggris tak sudi jika Prancis, saingan mereka, merebut Pulau Madagascar sehingga menggagalkan rencana tersebut.

Joseph, kini kesal karena rencananya runyam, akhirnya berniat untuk menghabisi sang ratu dengan tangannya sendiri. Pada Mei 1857 ia berniat melancarkan rencananya itu dengan menyusup ke dalam istana dan menggulingkan sang ratu bersama menteri-menteri dan prajurit yang berhasil ia rayu untuk memberontak. Namun Joseph sama sekali tak sadar bahwa sang ratu ternyata diam-diam telah mengetahui rencananya karena putranya sendiri, Rakoto, membocorkan rencana tersebut. Sang ratupun dengan tersenyum membiarkan rencana itu berjalan hingga pada detik-detik terakhir untuk menjebak para konspiratornya. Hal tersebut ada tujuannya, yakni untuk memastikan siapa saja yang setia padanya dan siapa yang berani mengkhianatinya. Tentu saja, bagi mereka yang berani mengkhianatinya, akan berbuah siksaan dan hukuman mati yang mengerikan.

Pangeran Rakoto, pengganti ibunya, Ratu Ranavalona

Pada 1861, Ranavalona  sang ratu nan kejam akhirnya meninggal dengan damai dalam tidurnya di istananya. Anaknya, Rakoto, menggantikannya sebagai raja bergelar Radama II, memakai nama ayah tirinya sendiri. Untuk memperingati kepergian sang ratu ke alam baka, 12 ribu kerbau disembelih dan dagingnya dibagikan kepada rakyat pada 9 bulan masa berkabung. Jenazah sang ratu disemayamkan di sebuah peti mati berukir perak dan dimakamkan bersama para leluhurnya. Akan teapi pada saat acara pemakaman, satu tong bubuk mesiu yang semestinya dipergunakan dalam prosesi tersebut tanpa sengaja meledak, membunuh banyak pelayat serta membakar istananya sendiri. Nantinya, pada 1897, 30 tahun lebih setelah sang artu meninggal, para serdadu Prancis membalas dendam akan rencana kudeta mereka yang gagal dan menyerang Madagascar, dimana mereka kemudian menjarah makam tersebut.

Kisah Ratu  Ranavalona memang unik. Sebagai negara demokrasi, kita tentunya menganggap terpilihnya seorang pemimpin wanita sebagai sebuah prestasi sebab menandakan kesetaraan gender. Namun kasus sang ratu Madagascar yang kejam membuktikan bahwa wanitapun bisa menjadi diktator keji, bahkan lebih beringas ketimbang pemimpin laki-laki.

 

SUMBER: WIKIPEDIA


A VERY SPECIAL THANKS TO:

Aulia Pratama Putri

별처럼 우리 빛나

SPECIAL THANKS TO MY SUPPORTER THIS APRIL:

Sinyo Kulik , Singgih Nugraha , Adhitya Sucipto , Rahadian Pratama Putra , Radinda , Kinare Amarill , Maulii Za , Rara , Sharnila Ilha , Victria tan , Ali Hutapea , Keny Leon , Rosevelani Manasai Budihardjo , Marcella F , Tieya Aulia , PJ Metlit , Marwah , Dana Xylin , Paramita . Amelia Suci Wulandari . Rivandy , Syahfitri , Dyah Ayu Andita Kumala , Fitriani , Ilmiyatun Ainul Qolbi , Ciepha Ummi , Riani Azhafa

 

6 comments:

  1. Bang bikin challenge tulis ulang nama asli Ratu Ranavalona tanpa copas dan tanpa gugle wkwk

    ReplyDelete
    Replies
    1. Anying, challenge macam apa itu 😂😂😂😂

      Delete
  2. Karena itulah Perempuan tidak cocon memimpin karena kebanyakan kaum Hawa mengambil keputusan berdasarkan perasaan, ciee

    ReplyDelete
  3. "Nah, terdakwa akan dianggap tidak bersalah apabila ia nanti akan memuntahkan kembali ketiga kulit ayam itu. Namun jika tidak, maka terdakwa akan dianggap bersalah dan langsung dihukum mati."

    Bang, yang bagian ini, saya koq kurang nangkep ya, mungkin maksudnya tidak boleh muntah ya?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Muntah = ga bersalah
      Ga muntah = bersalah = mati

      Delete