Sunday, October 6, 2024

GUNDALA JAGAD GENI – CHAPTER 3

 


KONSPIRASI

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Iring-iringan mobil presiden masih dikelilingi oleh suara sirine yang sebenarnya bagi pria yang dijuluki RI-1 itu, merupakan hal yang mengganggu. Ia tak ingin keamanan protokoler yang mengekang seperti ini. Ia ingin seperti Gandhi yang bisa berpergian sambil melambai kepada rakyatnya, atau seperti Bunda Teresa yang bisa berjalan-jalan melihat kondisi masyarakat yang sebenarnya.

Ia benci berada di dalam mobil mewah ber-AC ini, dikelilingi kaca riben yang suram serta wajah para pengawal yang tak kalah muramnya.

Ia melihat jembatan Pasopati menjulang dengan indahnya. Kabel-kabel penopangnya bak sebuah layar yang dikembangkan, bersanding dengan langit Bandung yang biru bersih bak sebuah lukisan zaman Mooi-Indie.

Namun tiba-tiba saja, di tengah lamunannya, mobil yang ditumpanginya itu berhenti.

“Ada apa ini?” tanya sang presiden, ganjil rasanya iring-iringan mobil mereka berhenti di tengah jembatan seperti ini. Namun tiba-tiba ia menyadari hal yang lebih ganjil lagi. Moge para polisi pengawalnya semua berhenti juga. Seolah-olah waktupun ikut berhenti.

“A ... ada apa ini?” para pengawalnya tampak lebih penasaran ketimbang dirinya, “Mengapa kita berhenti?’

Presiden mencoba mengangkat teleponnya, namun ia tertegun.

Mati. Ia tak bisa menghubungi siapapun.

“Ponselku mati. Coba radiomu.” kata sang presiden ke salah seorang pengawal.

Namun mereka terkesiap begitu menyadari semua alat komunikasi tak berfungsi.

“A ... apa ini?” mereka semua tak mengerti. “Apa jangan-jangan ...”

Mata presiden membelalak ketika menatap jam tangannya. Jarum detiknya berhenti, tak bergerak.

Iapun membeku menyadarinya. Apa ini ancaman yang dibicarakan para jenderalnya saat rapat keamanan negara? Ia awalnya menertawakannya karena terdengar sebuah comotan dari komik sains fiksi. Namun sekarang ...

“Kita tak punya protokoler untuk serangan EMP. Bagaimana ini?”

Tiba-tiba ledakan keras menghantam sisi mobil mereka. Begitu sang presiden membuka matanya, ia melihat mobil mereka telah menghantam sisi jembatan dan pintunya telah lenyap, begitu pula bodyguard di sampingnya. Pengawal di depannya segera meraih pistolnya, namun hanya suara “klik” yang terdengar.

Senjata api juga tak berfungsi.

Presiden itu tahu dari penjelasan yang diberikan tentang ancaman teroris, EMP akan melumpuhkan segala teknologi komputer, satelit, semua alat telekomunikasi, bahkan mobil. Namun kini, senjata api juga?

Seutas tangan merah tiba-tiba muncul dari atas mobil dan mencengkeram lengan sang presiden. Sebuah wajah bertopeng muncul dan menghantamkan tinju yang memercikkan cahaya menyilaukan ke arah satu-satunya pengawal presiden yang tersisa. Segera, hanya kobaran api dan arang yang tersisa, menggantikan dirinya, teronggok di atas kursi.

“Halo, Pak Presiden.”

Sosok itu menyeringai dan mengeluarkannya dengan paksa dari dalam mobil. Di luar, sang presiden mengernyit ngeri ketika melihat moge-moge yang tadi mengawalnya kini berubah menjadi rongsokan yang teronggok di jalan, tanpa menyisakan pengendaranya yang mungkin telah ikut menguap seperti pengawalnya tadi.

“Si ... siapa kau?’ tanya sang presiden. Ia lebih mengkhawatirkan keselamatan para warga sipil di tengah kota ini daripada nyawanya sendiri. Apabila penjahat sekuat ini muncul, kota ini bisa hancur!

“Tujuanku memakai topeng adalah agar tak seorangpun mengetahui identitasku,” seringainya makin lebar, “Namun panggil saja aku Jagad Geni!”

“Ja ... Jagad Geni?”

“Cincinmu! Tunjukkan cincinmu!!!”

“Ke ... kenapa?”

Tiba-tiba sang presiden melihat sosok lain mengambang di aspal. Bayangannya tampak menggantung di udara.

Siapapun itu, ia terbang.

“Sialan! Siapa kau!” penjahat yang menamakan dirinya Jagad Geni itu sepertinya menyadari keberadaannya dan melancarkan ledakan energi dari tangannya ke arah sosok itu.

Dengan sigap sosok itu menghindar dan tiba-tiba saja sudah berada berada di sampingnya.

“Apa?!” Jagad Geni terlihat terkejut ada yang bisa menghindar dari serangannya.

Tiba-tiba saja sosok misterius itu mengeluarkan godam dan menghajar dada penjahat itu hingga terlempar. Percikan energi tersulut ketika tubuhnya terhantam godam itu. Tubuh sang presiden ikut terlontar, namun sosok penyelamat itu, yang kini ia sadari memakai jubah, dengan sigap menangkapnya.

“Anda tidak apa-apa, Pak Presiden?” tanyanya dengan sopan. Presiden berusaha melihat wajah penyelamatnya itu, namun matahari terlalu menyilaukan matanya.

“Si ... siapa lagi kau?”

Tiba-tiba sang penjahat tadi mengamuk dan melancarkan serangannya kembali. Ia melemparkan begitu saja mobil yang tadi ditumpangi presiden ke arah mereka.

Segera, sosok berjubah itu menghindar dengan gerakan secepat cahaya, sembari menggendong sang presiden.

Jagad Geni kembali mengeluarkan serangan plasma dari tangannya. Serangan itu melucuti kabel-kabel penopang jembatan Pasopati. Diiringi suara deritan yang memekakkan telinga, kabel-kabel lain mulai putus dan jembatan itu mulai terbelah dan ambruk.

Presiden melihat tanah di bawahnya retak dan akhirnya runtuh bak istana pasir, sementara dirinya melayang, dipegangi oleh pahlawan super itu. Suara gemuruh bak gempa memenuhi udara ketika remukan beton-beton itu menghantam jalanan di bawahnya.

Sosok berjubah itu melayang pergi dan menurunkan sang presiden di atas sebuah mall yang berada dekat jembatan itu, cukup tinggi dari kepulan asap yang membumbung akibat runtuhnya jembatan tersebut. Banyak orang sudah berkerumun takjub di sana.

“Saya rasa anda sudah aman, Pak Presiden. Penjahat itu sudah kabur.” Ia mengacungkan jarinya yang dilingkari sebuah cincin dan segera, listrik yang ada di area tersebut kembali menyala. “Saya sudah menghalau gelombang EMP itu. Anda dapat menghubungi keluarga dan pengawal anda.”

“Tu ... tunggu! Siapa sebenarnya kau?”

“Saya adalah Patriot pembela bangsa!”

Sosok itu segera meluncur terbang dengan kecepatan tinggi, meninggalkan angin kencang dan tanda tanya bagi semua yang ada di sana.

 

***

 

“Siapa di sana?” para penjaga itu menodongkan senjata mereka begitu mendengar derap langkah kaki di tengah lorong museum yang kosong.

Tak mungkin masih ada pengunjung malam-malam begini. Siaga satu sudah ditetapkan di penjuru Bandung semenjak serangan terhadap presiden siang bolong tadi. Semua penjagaan diperketat, termasuk di Museum Geologi dimana banyak mineral-mineral berupa batu mulia disimpan.

Mereka terkejut melihat sosok yang tak mereka duga, yakni seorang wanita cantik dengan sepatu hak tinggi melangkah keluar dari kegelapan. Namun kesiagaan mereka tak berkurang sedikitpun.

“Siapa kau? Cepat keluar dari sini, museum sudah tutup!”

Wanita itu tersenyum sambil mengangkat tangannya ke arah dua penjaga itu. Tiba-tiba tatapan mereka kosong dan mereka saling mengarahkan pistol mereka ke kepala satu sama lain.

“DUAAAR!!!”

Suara letusan senjata itu berteriak memecah keheningan. Tubuh kedua penjaga itu tergeletak bersimbah darah. Langkah wanita itu disusul oleh suara langkah kaki yang makin banyak terdengar.

“Bagus sekali, Maya.” ujar lelaki di belakangnya, “Aku memang selalu bisa mengandalkanmu.”

Wanita itu tersenyum. “Terima kasih Tuan Ghazul. Ini akan menebus kegagalan kita tadi siang.”

Pria yang dipanggil Ghazul itu membalas senyuman itu, “Dengan kecantikanmu, semua laki-laki di dunia ini pasti akan jatuh dalam hipnotismu. Namun tak ada salahnya menambah kecantikanmu dengan permata ini.”

Ghazul meraih sebuah berlian dari dalam lemari kaca berisi deretan koleksi meteorit.

“Kunzite yang berharga; sumber Lithium terpenting di alam semesta. Dan yang mengejutkan, batu ini berasal dari luar angkasa dengan materi organik terjebak di dalamnya ... jejak kehidupan lain di alam semesta ini.” Ia langsung mengalungkan permata berwarna keperakan itu ke leher wanita bernama Maya itu, “Jagalah berlian ini baik-baik. Kita akan membutuhkannya.”

“Tinggal dua lagi, Tuan.” Jagad Geni muncul dari belakangnya, “Sayang sekali presiden itu ternyata tak memilikinya.”

Ghazul tersenyum, “Tenang. Benda itu pastilah ada di sekitar sini. Aku bisa merasakannya.”

 

BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment