Monday, October 14, 2024

GUNDALA JAGAD GENI – CHAPTER 5

 


HIPNOSIS

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Pria itu. Aku merasa mengenalnya.

Aku berjalan mendekatinya untuk melihat wajahnya lebih baik. Dia sepertinya tak mendengar langkah kakiku.

Aku terkesiap melihat wajahnya. Saat itu ia tengah menuangkan cairan kimia ke dalam tabung reaksi bening.

Pemuda itu adalah aku.

Aku menatap ke jam dinding yang berdetak

Jam 9 malam dan aku berada di laboratoriumku, sedang bekerja.

Apa ini malam saat kejadian itu?

“Sancaka!”

Aku menoleh. Begitu pula diriku yang lain.

“Minarti?” kami berdua keheranan melihat gadis itu berdiri di ambang pintu.

“Astaga kau kehujanan!”

“Aku menunggumu ... aku menunggumu semalaman, Sancaka. Tapi kau tak datang!” jeritnya geram.

“Aku ... Oh, astaga Minarti ... aku sudah janji padamu ya? Aku benar-benar lupa ... maafkan aku ...”

“Ini ulang tahunku!” jerit gadis itu murka, “Ini hari ulang tahunku dan kau melupakannya!”

Aku serasa tersentak. Benar, kemarin adalah hari ulang tahun Minarti. Betapa bodohnya aku sampai melupakannya dan melewatinya seperti malam-malam biasa dengan bekerja di laboratorium hingga larut malam.

“Aku tak mau bertemu lagi denganmu, Sancaka!” air mata mengalir di pipi gadis itu.

Sancaka tahu Minarti adalah gadis yang tegar. Jika ia sampai menangis, itu berarti Sancaka telah berbuat kesalahan yang teramat besar dan mustahil untuk dimaafkan.

“AKU MEMBENCIMU!” teriak Minarti. Iapun berbalik pergi sambil memangis tersedu-sedu.

“Minarti tunggu!” aku menaruh tabung reaksi itu ke raknya dan segera mengejarnya. Akupun mengikutinya.

“MINARTI!” hujan masih turun di luar dan aku sudah kehilangan jejak gadis itu.

Aku terus berlari mengikuti diriku yang lain.

Kami berdua berlari ke depan pintu gerbang, tak jauh dari labku, tak mempedulikan air hujan yang turun dan tanah yang becek.

Suara gemuruh guntur menggelegar di langit.

Aku menghentikan langkahku.

Di sini.

Inilah saatnya.

 

 

 

“BLAAAAAR!!!”

Aku menyaksikan sebilah petir menyambar tubuhku yang berada di masa lalu.

Badanku jatuh terjerembap, tak berdaya, hingga akhirnya dipeluk oleh lumpur yang melumer oleh air hujan. Tubuhku sendiri serasa ngilu melihatnya.

Aku melihat nyala lampu mendekat. Sebuah taksi.

“Hei, kau tidak apa-apa?”

Seorang pemuda turun, tak mempedulikan tetesan hujan yang menderanya.

Dia Awang.

“Hei, kau masih sadar?”

Ia menempelkan telinganya di dadaku dan mengecek napasku dengan mendekatkan jarinya. Ia kemudian melakukan CPR bak seorang dokter yang terlatih.

Tiba-tiba ia mendongak dan menatap ke arahku.

Seakan ia bisa melihatku.

Namun dari sorot matanya yang kebingungan, aku tahu ia tak benar-benar melihatku. Ia hanya merasakan keberadaanku.

Ia kemudian mengangkat tubuhku yang tak sadarkan diri ke atas taksinya dan melaju.

“Labku!” aku tersentak, “Siapapun yang mencuri serumku pasti akan beraksi!”

Aku berbalik, namun tiba-tiba serasa ada lubang hitam yang menyedotku.

“Tidak! Jangan sekarang!” seruku, “Aku harus melihat apa yang terjadi dengan serumku!”

 

***

 

“SANCAKA!” aku kembali merasakan Awang menyorotkan senter kecilnya ke mataku. Aku segera menghalaunya.

“Aku baik-baik saja!” ucapku kesal.

“Tadi kau pingsan. Bikin panik saja.”

“Terima kasih.” ucapku lirih sembari bangun.

“Hah, apa?”

“Aku belum sempat berterima kasih karena menolongku malam itu.” kataku dengan nada setulus mungkin. Mungkin ada banyak hal tentang dirinya yang belum ia ceritakan padaku. Namun aku juga sadar bahwa itu bukanlah urusanku.

“Minarti.” ujarku singkat, “Malam itu aku mengecewakan Minarti. Itulah yang tak ingin aku ingat.”

“Kau sudah ingat nama pacarmu rupanya?”

“Mantan pacar.” dengusku, “Ia pasti marah besar dan memutuskanku. Belum lagi aku tiba-tiba menghilang selama seharian ... Aaaaargh!”

“Kau mau mencarinya?”

“Aku ingat dimana dia biasa makan, di kafe tepi sungai.” Aku segera bangkit dan meraih jaketku, “Aku bisa sendiri, tak perlu kau antar!”

 

***

 

Minarti sedang menyeruput segelas moccachino kesukaannya sembari membaca buku. Sekali-kali ia meraih cincin berliontin lapis lazuli yang ia kenakan. Ia amat menyukai warna lazuardinya dengan percikan partikel kuning, seperti bintang-bintang yang berenang di langit biru. Kehadirannya pun tepat sehari setelah ulang tahunnya, sehingga ia menganggap dirinya memang ditakdirkan menerima hadiah itu.

“Nona ... akhirnya aku menemukanmu ...”

Minarti hampir tersedak ketika melihat pria yang dulu membuang cincin itu kini berdiri di depannya.

“Kumohon ... kembalikan cincin itu ...” pria itu berjalan ke arahnya bak zombie, membuat Minarti ketakutan.

“Ta ... tapi kau kan yang membuangnya ...”

“Nona ... berikan atau kau akan mati!”

“AAAAAAA!!!” Minarti menjerit ketika pria itu berusaha merenggut cincinnya.

“Hentikan!”

Minarti terkejut melihat kehadiranku.

“San ... Sancaka!”

Aku mendorong pria itu ke tepi jalan. Namun ia kembali bangkit bak kesetanan.

“Minarti, lari!” kami berdua menyeberangi jalan, namun pria itu masih terseok-seok berusaha menggapai kami.

Ia menyeberang tanpa melihat jalan dan ....

“BRAAAAK!!!”

Minarti menjerit ketika tubuh pria itu tersambar truk.

Namun ketika truk itu selesai melintas, seorang wanita muncul, berjalan melangkahi mayat pria itu begitu saja dengan sepatu hak tingginya.

“Lapis lazuli itu ...” wanita itu tersenyum bengis, “Berikan padaku!”

Ia mengulurkan tangannya ke Minarti, namun gadis itu masih bersikukuh sambil memegangi cincinnya dengan erat.

Lalu dipandanginya mata Minarti lekat-lekat. “Serahkan padaku!”

“Tidak! Ini milliku! Benda ini sudah dibuang dan ia memberikannya! Jadi ini milikku!”

“Apa? Kenapa bisa ...“ mata Maya membelalak, “Ah, aku mengerti sekarang. Cincin itu membuat hipnotisku tak mempan. Baiklah kalau begitu ...”

Ia mengalihkan sihirnya ke mataku, sembari mengeluarkan sebilah belati.

“Kau! Rebut cincin itu dari gadis itu!”

Tubuhku serasa tak kuasa menolak perintahnya. Otakku berusaha keras melawannya, namun tanganku tetap saja terulur menerima belati itu. Aku berbalik ke arah Minarti dan mengacungkannya ke arahnya.

“Sancaka ...” wajah gadis itu memucat karena ketakutan, “Kumohon jangan ...”

 

TO BE CONTINUED

 

 

 

 

 

 

 

 

No comments:

Post a Comment