Thursday, October 10, 2024

GUNDALA JAGAD GENI – CHAPTER 4

 


KRISTAL

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

“Aish! Apa kau tak risih tinggal di kamar seberantakan ini?” aku menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kondisi kamar Awang yang jauh dari kata rapi. Aku sudah tinggal di sini semenjak pagi dan melihat kebiasaan Awang melemparkan barang-barang seenak udelnya setelah menggunakannya.

Aku memungut beberapa barang dari lantai dan menatanya ke atas meja.

“Hei! Hei! Jangan!” cegah Awang, “Aku lebih suka begitu. Dengan begitu aku tahu dimana harus mencarinya.”

“Kau tipe orang seperti itu ya?” aku menatapnya dalam-dalam.

“Orang seperti apa maksudmu?”

“Abstrak. Pengguna otak kanan.”

“Dan kau pasti teroganisir, pengguna otak kiri.”

Kami berdua terdiam sejenak lalu tertawa terbahak-bahak.

“Astaga ... kenapa orang yang berbeda 180 derajat seperti kita bisa bertemu seperti ini.”

“Maaf aku tak bisa menemanimu ke ITB. Kau tahu, semua jalan ditutup karena insiden penyerangan presiden tadi. Aku bahkan tak bisa bekerja.”

“Tak apa.” kataku. “Cincin yang bagus.”

Aku menunjuk ke cincin giok yang ia kenakan, namun ia buru-buru menyembunyikan.

“Ah, ini bukan apa-apa. Barang murah kok.”

“Cincin akik seperti itu memang sedang trend. Bukankah presiden juga memakainya? Lalu bagaimana dengan insiden tadi?”

“Benar-benar mengerikan. Tol Cipularang ditutup. Akses ke kota Bandung semua disterilkan. Hei, kau tahu?” Awang mengambil kunci motornya, “Toh aku tak bisa bekerja hari ini, jadi kenapa kita tidak kita ke ITB saja.”

Aku berdiri. Ia memang sudah berjanji akan membantuku menemukan siapa diriku. Menurutnya kembali ke kampusku akan mengembalikan beberapa memori.

Entah. Aku merasa ada sebagian dari diriku yang memang ingin melupakan masa lalu.

Aku merasa telah mengalami sesuatu yang amat menyakitkan dan tak mau mengingatnya.

 

***

 

Minarti hanya terduduk di atas kursinya. Menanti Sancaka. Ia tahu ia terlalu keras padanya malam itu. Hingga kini ia belum memberi kabar sedikitpun kepadanya. Bukannya ia menginginkan permintaan maaf Sancaka, bukan. Ia bukan gadis yang tak dewasa seperti itu (at least, itulah yang ingin ia pikirkan tentang dirinya sendiri). Namun insiden yang menimpa presiden tadi membuatnya khawatir. Aksi teror semakin hari semakin berlanjut. Baru tadi ia menerima kabar tewasnya dua penjaga museum dimana Sancaka bekerja paruh waktu.

Di situasi genting semacam itu, pemuda itu justru menghilang selama sehari semalam dari labnya. Padahal, tempat itu bisa dibilang adalah rumah keduanya. Mustahil Sancaka sampai tak muncul seperti ini.

Ia menoleh ke luar jendela. Tampak seorang pria dengan gugup menatap sungai yang terbentang di depannya.

Ia lalu memanjat dinding pembatasnya.

“Hei, hei!” Minarti segera keluar dan menghentikannya. “Apa Bapak ingin melompat?”

Pria itu berbalik dan keputusasaan jelas mengurat dalam wajahnya.

“Jangan lakukan itu!” ujar Minarti, “Semua masalah ada jalan keluarnya.”

Ia tampak memegang sebuah bungkusan.

“Aku dikutuk ... aku telah dikutuk ...”

“Apa yang terjadi dengan Bapak?” Minarti mulai khawatir, “Apa Bapak membutuhkan bantuan?”

“Dikutuk! Dikutuk!” pria itu makin menggila dan melemparkan bungkusannya ke arah Minarti. Ia segera lari tunggang langgang, meninggalkan Minarti yang tengah kebingungan.

“Ada apa dengan orang tua itu?” Minarti heran lalu memungut bungkusan itu.

Karung kecil itu tampak lusuh. Gadis itu sangat kaget begitu melihat isinya.

Sebuah cincin dengan mata indah berwarna biru.

 

***

 

“Kau ingat? Ini adalah kampusmu.” Awang menghentikan taksinya dan akupun turun.

Aku samar-samar mengingat bau pepohonan di sini. Aku juga ingat hal-hal kecil seperti bagaimana fatamorgana terbentuk di atas aspal parkiran yang gersang saat matahari bersinar terik.

“Aku memang pernah berada di sini. Sering bahkan.”

“Tuh kan!” kata Awang, “Aku menemukanmu di sini. Mungkin ada yang mengenalmu di sini.”

Mataku terbelalak begitu menatap ke bawah.

“Itu!” aku menunjuk ke aspal yang menghitam, “Apa di sana kau menemukanku?”

“Astaga!” Awang tampak terkejut. “Saat itu malam sehingga aku tak menyadarinya. Apa itu bekas tempatmu berdiri saat tersambar? Pasti suatu keajaiban kau masih hidup!”

“Serum anti-petir.” bisikku. Kata itu serasa terlintas begitu saja di kepalaku, termasuk rumus kimia bahkan model tiga dimensi ikatan atom-atomnya.

Apa aku meminumnya? Apa itu yang terjadi padaku malam itu?

 

***

 

“Reaktor itu perlu diisi. Bakteri anaerob di dalamnya akan mati jika kita tidak mendeoksigenasi airnya.”

Semua yang ada di ruangan itu menoleh begitu mendengarku masuk.

“Sancaka! Ya Tuhan, kemana saja kau!” seorang pemuda berjas lab yang bahkan tak kuingat namanya menghampiriku.

“Eh aku ...” aku kebingungan untuk menjawab, “Bagaimana serumnya? Apakah aman?”

Semua orang saling bertatapan.

“Apa kau tak ingat? Serum itu hilang semalam.”

“Hilang? Apa maksudnya hilang?”

Otakku tiba-tiba terasa berdenyut. Aku ambruk sambil memegangi kepalaku.

“Sancaka, kau baik-baik saja!” Awang segera menghampiriku. Aku merasakannya memeriksa denyut nadiku, lalu menekan sisi kepalaku untuk mengecek gejala migrain.

“Kau berusaha terlalu keras untuk mengingat masa lalumu. Sudah biarkan saja semuanya kembali dengan pelan. Jangan berusaha membendungnya ataupun mempercepatnya.”

“Siapa sebenarnya kau?” bisikku dengan geram. “Kau mengaku seorang supir ojol, tetapi memeriksaku seperti seorang dokter ... Berhentilah membohongku!”

“Aku hanya berusaha menolongmu, Sancaka.” Ia membalasku tatapan tajamku justru dengan suara yang teduh, “Hanya itu niatku.”

“Ma ... maafkan aku.” Kemarahanku, yang tadi muncul entah darimana, kembali mereda.

“Sancaka, apa kau baik-baik saja.” pemuda berjas lab itu terlihat khawatir.

“Aku tidak apa-apa, aku hanya ...”

Aku merogoh sakuku dan menemukan sesuatu. Aku menariknya dan melihat logo di kartu nama itu.

“EMP?”

 

***

 

“Apa serum itu penting untukmu?” Awang mengejarku dari belakang ketika aku keluar dengan terburu-buru dari laboratorium fisika instrumentasi.

“Itu tesisku.” jawabku singkat.

“Oke, berarti itu sangat penting,” ujarnya, “Tapi apa kau benar-benar harus mendatangi perusahaan EMP itu? Kurasa itu agak berbahaya.”

“Kenapa?” aku berbalik.

“Apa kau belum dengar? Serangan terhadap presiden tadi pagi ... teroris itu menggunakan EMP untuk melumpuhkan Paspampres.”

“Aku tak punya pilihan lain. Mereka tertarik dengan serumku dan aku menolak bergabung dengan mereka; malamnya serumku hilang. Terlalu kebetulan bukan?”

“Tapi tetap saja, mustahil kau mengkonfrontasi mereka ...”

“AAAAAARGH!!!” kepalaku terasa berdenyut lagi, bahkan semakin menyakitkan. Seolah-olah ada tangan tak kelihatan tengah memijat otakku.

“Ada apa, Sancaka?”

Dan akupun mulai limbung, kehilangan kesadaran.

“SANCAKA!”

 

***

 

Pria itu terus berlari. Namun langkah kaki itu makin mendekat.

“BLAAAAR!!!” tiba-tiba ada api yang menyambar di depannya. Pria itu langsung tersungkur ke belakang.

“Mau mencoba lari ya?” seorang pria muncul di depannya dan mencengkeram kerah lehernya hingga tubuhnya terangkat.

“Le ... lepaskan aku!” pria itu berteriak dengan gugup.

Jagad Geni melompat ke ujung gang, tempat tadi ia menyambarkan semburan plasmanya. Maya muncul dari ujung satunya dengan langkah sepatu hak tingginya.

“Dimana lapis lazuli itu! Kami menginginkannya!”

“Kumohon Ghazul ... aku tak lagi memilikinya! Aku sudah membuangnya!”

“KEMANA!” mata pria itu menyala ketika ia marah.

“A ... aku tak tahu! Seorang gadis memungutnya!”

“Cari benda itu!” Ghazul melemparkan tubuhnya ke tanah. Jagad Geni tertawa terkikik melihatnya.

“Temukan benda itu atau kau akan mati! Cepat!!!”

Pria itu langsung lari terbirit-birit.

“Anda melepaskannya begitu saja, Tuan?” tanya Maya di belakangnya.

“Awasi dia, Maya!” bisik Ghazul, “Bunuh dia setelah permata itu ditemukan, beserta gadis yang memilikinya juga. Kita tak bisa membiarkan ada saksi mata.”

Wanita itu tersenyum.

 

TO BE CONTINUED

 

 

No comments:

Post a Comment