Monday, October 21, 2024

GUNDALA JAGAD GENI – CHAPTER 7

 


PERCIKAN

 

NB: cerita ini adalah fan fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak memegang hak cipta atas tokoh ini.

 

Aku terbangun dengan kepala yang amat sakit.

Di depanku terlihat percikan listrik saling menyambar. Kilatan itu biru, menunjukkan suhunya telah mencapai ribuan derajat, setara dengan permukaan matahari.

Namun aku sadar bahwa kilatan itu sama sekali tak menyambar kami.

Kami berada di dalam sebuah kandang yang terbuat dari logam metalik.

Sangkar Faraday.

Kami?

Ya, aku tak sendiri di sangkar itu.

Aku melihat Minarti terbaring dalam kondisi tak sadarkan diri di lantai, tak jauh dariku.

“Apa yang kalian lakukan padanya!” seruku. Aku segera menghampirinya. Untunglah, ia masih hidup.

“Tenanglah. Ia baik-baik saja.” terdengar suara tawa membahana. Aku ingat pria berjas putih itu. Ia adalah pria yang menawariku bergabung dengan Project EMP itu. Gayanya sungguh retro, bergaya ala 80-an dengan rambut klimis dan pakaian perlente yang jelas ketinggalan zaman.

Dua orang tampak bersamanya. Pertama adalah wanita yang matanya pernah membuaiku hingga nyaris membunuh Minarti. Satu lagi adalah pria bertopeng yang kuduga sebagai supervillain dari pakaiannya.

“Kalau aku boleh berkomentar, pakaianmu sungguh ...” pria berjas putih itu tampak berpikir, seolah mencari kata yang tepat untuk mencemoohku, “Norak?”

Aku menatap kedua tanganku. Baru aku tersadar aku tengah mengenakan pakaian ketat biru dan kurasakan juga topeng menutupi wajahku.

“Dan sayap di telingamu itu,” komentar perempuan penghipnotis itu, “Benar-benar konyol.”

Pria bertopeng itupun terkekeh menertawakanku.

Tunggu, mulai dari awal!

Mengapa aku di sini?

Dan kenapa aku memakai pakaian ini?

Sial! Apa aku hilang ingatan lagi?

 

***

 

Aku merasakan tubuhku dibaringkan di atas sesuatu yang keras, aspal mungkin. Namun materi yang menyentuh tubuhku tidaklah panas, jadi aku memikirkan sesuatu yang merupakan konduktor panas yang bagus, jika bukan granit pasti pualam.

Ah, kenapa selalu saja otak fisikawanku mengambil alih dalam situasi mencekam seperti ini.

Aku sudah terjaga semenjak tadi [cipratan air sungai yang menghujani tentu membuyarkanku dari pingsanku]. Namun aku pura-pura masih belum sadarkan diri. Bukan karena aku khawatir ia akan menjatuhkanku [aku sadar benar bahwa kami sedang terbang], namun aku terlalu takjub menatap pemandangan yang terlihat. Langit yang begitu dekat. Awan yang kami tembus bak kabut. Horizon dan pegunungan yang terkecap dari perspektif yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Semuanya itu menakjubkan. Dan aku hanya ingin menikmatinya dalam keheningan.

Aku masih menutup mataku.

“Buka matamu! Aku tahu kau sudah bangun.”

Aku menyibakkan kelopak mataku dan menyaksikan pria berjubah yang wajahnya tak terlihat karena membelakangi matahari.

“Kau baik-baik saja? Kenapa orang-orang itu mengincarmu?”

“Mereka tidak mengincarku,” aku terbangun, mencoba melihat wajahnya lebih saksama, namun sepertinya itu percuma. Ia benar-benar memanfaatkan angle dimana ia berdiri, memastikan mataku akan silau dengan matahari jika aku mencoba menatap wajahnya.

“Mereka mengejar Minarti.” lanjutku.

“Kenapa?” tanyanya.

“Entahlah.”

Aku meraba perutku. Aneh, luka akibat belati tadi telah sembuh. Apakah pemuda yang bisa terbang itu juga ...

“Kau harus segera menemukan gadis itu.” ia mulai melayang pergi, “Ia dalam bahaya.”

“Tunggu!” seruku, “Siapa kau? Bagaimana aku bisa menemukanmu jika aku membutuhkan bantuan lagi?”

“Tak usah khawatir.” jawabnya dengan suara berwibawa, “Godam akan selalu datang bila marabahaya mengancam.”

Dalam sekerjapan mata, superhero itu melesat, menghilang menembus langit.

“Puitis sekali.” bisikku. “Ouch!”

Aku merasa jariku seakan tersetrum. Aku segera menjauhkan jariku dari lantai.

Pada saat itu aku hanya berpikir itu adalah listrik statis.

 

 

“Minarti!” aku memanggil seorang gadis. Ia menyibakkan rambut panjang hitamnya ketika menoleh ke arahku.

Aku segera mendatanginya lalu menggenggam tangannya.

“Minarti, kau baik-baik saja kan?”

Pipi gadis itu memerah.

“A ... aku ...”

“Minarti, aku ingin minta maaf atas segala yang kulakukan ...”

Gadis itu tampak kebingungan. Tentu saja, dia berhak merasa begitu. Aku membuatnya kecewa, lalu berusaha membunuhnya, dan sekarang minta maaf segampang itu. Sudah merupakan keajaiban jika ia tidak menamparku sekarang.

“Aku benar-benar ...”

“Sancaka?”

Terdengar suara lain dari belakangku. Suara gadis itu tak asing di telingaku.

Aku menoleh.

“Minarti?”

Aku kembali menghadap ke gadis yang kupegang tangannya. Ia masih tersipu malu. Rambutnya panjang dan penampilannya feminim, namun baru aku tersadar itu bukanlah Minarti. Rupanya aku masih belum begitu teringat seperti apa wajahnya.

“Kau kurang ajar!” Minarti datang dan menamparku.

“A ... aku ...”

“Kau benar-benar kurang ajar!!!” Minarti menghentak-hentakkan kakinya ke atanh [kebiasaan jika ia marah besar] dan sambil merengek, ia berjalan pergi.

“Mi ... Minarti tunggu!”

Aku berhasil menghadangnya.

“Maaf ... tapi  sesuatu terjadi padaku. Semenjak kau meninggalkanku malam itu di tengah hujan, aku tersambar petir dan hilang ingatan ...”

“Oh, kau amnesia?” Minarti memutar-mutar bola matanya, “Kau mahasiswa jenius, Sancaka. Bisakah kau mencari alasan yang lebih bagus lagi? Tersambar petir? Mungkin itu akibat karena kau melanggar janjimu untuk tidak akan melupakan ulang tahunku!”

Aku berpikir sebentar sambil mengelus daguku, “Oh ...  mungkin saja ya. Apa ada hubungannya?”

“PLAK!!!” dia menamparku lagi.

“KAMU MEMANG BENAR-BENAR TIDAK PEDULI PADAKU!”

Ia berbalik pergi.

Namun langkahnya terhenti.

Di depan kami, puluhan orang tengah mengepung kami. Langkah mereka terseok-seok, seolah-olah mereka adalah zombie yang tak memiliki pikiran, hanya boneka panggung dengan tali tak terlihat mengendalikan gerakan mereka.

“Sial ...” kami berdua mundur, “Apa ini perbuatan wanita itu lagi?”

“Minarti!” aku segera meraih tangannya, “Ayo kita pergi!”

Namun ia segera mengibaskan tanganku, “Kita sudah putus! Ingat itu! Kau tak berhak menyentuhku!”

“Tapi kau barusan menamparku! Dua kali!” protesku, “Dan bisakah kita membahas ini lain waktu!”

Aku segera meraih tangannya kembali, namun kembali ia mengibaskannya.

“Minarti, aku serius! Kita harus segera pergi dari sini!”

“Bukan itu!” ia tampak kesakitan memegang tangannya sendiri, “Tapi kau barusan menyetrumku!”

“Menyetrummu?”

Karena perdebatan kami tadi, tanpa kami sadari, mereka sudah mendekat ... bahkan terlalu dekat.

Tak ada lagi waktu bagi kami untuk melarikan diri.

 

BERSAMBUNG

 

No comments:

Post a Comment