Hai guys, ini adalah teaser yang akan menjadi pengantar cerbung terbaru (dan mungkin terakhir) gue. Judul masih dirahasiakan. Silakan dinikmati.
***
Hari ini ladang jagung tak seperti biasanya. Aku hanya tahu ada yang aneh. Biasanya ia berbisik ditiup angin, namun kali ini tidak. Ia hanya diam. Tak bersuara.
Hanya ada suara “Tik tik tik ...” yang kudengar semenjak tadi pagi. Aku tak tahu suara apa itu. Mungkin detik jarum jam. Namun bunyi jam yang menempel di dinding kayu rumahku tak sekeras itu. Mungkin suara air. Namun aku sudah mengecek semua keran di rumah ini. Tak ada yang bocor. Bahkan aku berpikir mungkin ini hujan. Tapi tak mungkin. Cuaca di luar sepanas ini.
Aku mendengar suara deru mobil. Terlihat sebuah mobil pick up merah berhenti di pom bensin tak jauh dari rumah kami. Letaknya jauh di seberang ladang kami, tapi dari jendela kamarku di lantai dua, aku bisa melihatnya jelas.
Aku segera mengambil teropong. Apa mereka pendatang dari kota? Rumahku amat terpencil sehingga aku sangat jarang bertemu orang baru. Karena itu aku selalu excited tiap kali ada yang berkendara ke ladang kami, sekalipun hanya melewatinya saja.
Seorang gadis berpakaian punk dengan rambut pirang dikepang dan celana jeans ketat yang pendek muncul dari dalam mobil bersama seorang pria tua. Ia sesaat menatap ke arah rumahku dan mata biru kami bertemu.
“Hevenu shalom alaichem.” Aku mendengar suara salam dari lantai bawah. Aku segera turun dan mendapati ayahku pulang dari ladang sembari membawa senapan.
“Alaichem shalom. Sudah pulang, Ayah?” tanyaku heran. Biasanya jam segini beliau masih di ladang, menembaki tikus yang senantiasa menggerogoti panenan kami.
“Ayah tak enak badan,” jawabnya sembari memijati pundaknya, “Sendi Ayah rasanya kaku semua. Ayah hendak berbaring sejenak. Kau sudah makan?”
“Sudah, Ayah.” Aku menatap sisa kacang polong di atas meja beserta remahan oatmeal yang terbenam ke dalam susu. Ya, itulah yang kumakan setiap harinya. Sebagai penganut Seventh Day Adventist, kami tidak diperbolehkan makan daging babi dan makanan lain yang tidak kosher. Karena banyaknya pantangan yang harus kami taati, banyak dari kami yang memilih menjadi vegetarian.
Mungkin karena itulah keluarga kami selalu terlibat perselisihan dengan tetangga kami yang memiliki peternakan babi. Ayah selalu menganggap binatang itu kotor dan murka bila mereka menginjak-injak ladang jagung kami. Bahkan mungkin saja ayah memanggul senapan itu sedari pagi bukan untuk berburu tikus, melainkan untuk menakut-nakuti mereka.
“Beristirahatlah dulu saja, Dad.” ujarku cemas. “Kita kan sedang berpuasa?”
Jika sedang berpuasa, maka kami hanya makan sarapan pagi saja, sesuai tradisi turun-temurun kami. Bahkan nama “breakfast” berasal dari dua kata “break” dan “fast” yang artinya “membatalkan puasa”.
“Huh, padahal besok adalah hari Sabat. Kita tidak boleh bekerja.” Ayah masih menggerak-gerakkan tangannya yang pegal, “Mana sempat kita membasmi tikus-tikus itu hari ini. Mereka makin banyak saja jika musim panas datang.”
Aku tak pernah melihat ayah selelah itu. Mungkin karena ia harus mengurus ladang seluas ini sendirian setelah ibu meninggal. Aku sendiri sadar aku bukan anak yang terlalu bisa diandalkan karena jarang membantu ayah di ladang. Namun memang itulah perintah ayah, supaya aku menghabiskan sebagian besar waktuku untuk belajar sehingga dapat melanjutkan kuliah selepas lulus SMA nanti.
Ayahku naik ke atas tangga diikuti bunyi deritan. Apa itu suara anak tangga kayu yang diinjak ayahku? Aku tak pernah mendengarnya bersuara seperti itu. Ah, namun rumah ini memang sudah tua. Aku kadang berpikir, jika aku pergi untuk kuliah nantinya tahun depan, siapa yang akan mengurus ayah dan rumah ini? Aku harap jemaat kongregasi gereja berbaik hati merawat ayahnya yang sendirian nantinya.
“Cit cit cit ...” tiba-tiba terdengar suara decitan tikus, diikuti bayangan hitam yang melesat di bawah kakiku. Aku hampir melompat dan segera menggapai sebatang sapu.
“Apa itu?” aku terkejut. Aku tahu benar itu barusan tikus. Namun baru kali ini ada tikus yang seberani itu masuk ke dalam rumah.
Hewan itu kembali melesat di depanku, tapi aku sudah bersiap. Aku segera menghantamkan sapuku ke atas tubuh mahkluk itu dan terdengar suara seperti retakan. Aku mengangkat sapuku dan mengenyitkan dahi. Aku mengharapkan ada darah, namun justru sesuatu yang kental dan hijau yang keluar, seperti oli. Selain itu, ada pecahan mur, baut, dan roda gir di sela-sela bulu yang kugencet.
“Apa itu mainan?”
Aku hendak menyentuhnya ketika tiba-tiba terdengar suara gedoran keras di pintuku.
“TOLONG! TOLONG AKU!!!” terdengar jeritan perempuan di luar disertai goncangan yang membuat daun pintuku bergetar.
Dengan berhati-hati aku membuka pintu. Aku terkesiap ketika melihat wajah gadis yang tadi kulihat turun dari pick up.
“A ... ada apa?”
“Tolong aku, kumohon! Biarkan aku masuk! Kau harus memanggil polisi!”
Ia dengan terengah-engah memaksa masuk.
“Apa yang terjadi?”
“Ayahku ... ayahku baru saja dibunuh ...”
“Apa?!”
“Pemilik pompa bensin itu ... dia tiba-tiba mengamuk dan membunuh ayahku ... “ wajahnya terlihat ketakutan, benar-benar ketakutan sehingga sulit bagiku mempercayai bahwa ia berbohong.
“APA? KENAPA?!” padahal aku mengenal Pak Tua Jones dengan baik semenjak aku kecil. Mustahil ia berbuat seperti itu.
Aku menatap ke luar dan benar, ada Pak Tua Jones dengan langkah terseok-seok membawa garpu rumput dengan tubuh berlumuran darah. Namun langkahnya aneh ... benar-benar tak wajar. Ia seperti robot saja.
“Astaga dia kesini!”
“Kita harus lapor polisi! KYAAAAA!!!” tiba-tiba gadis itu menjerit dengan keras.
Aku menoleh, “Ada apa?”
Ia menunjuk ke arah tangga.
“I ... itu ... seperti pria tua pemilik pom bensin itu sebelum ia membunuh ayahku ...”
Aku menoleh dan melihat ayahku berjalan menuruni tangga. Namun langkahnya sama persis seperti Pak Tua Jones. Cara berjalan ini ... aku pernah melihatnya sebelumnya. Aku ingat ... ini seperti mainanku yang dapat berjalan sendiri apabila dimasuki baterai.
“Ayah?”
Aku melihat luka gigitan di betisnya. Luka serendah itu biasanya disebabkan oleh tikus.
“Ayah?!” panggilku lagi, namun tampaknya ia tak menghiraukanku.
Tiba-tiba saja ayah terjatuh karena langkah kikuknya. Tubuhnya menghantam lantai dengan keras hingga kakinya kurasa patah. Namun yang membuatku ngeri adalah mur dan baut yang melompat dari dalam lukanya. Dari kulitnya yang sobek aku melihat roda-roda gir bergesekan satu sama lain seperti mesin jam. Ototnya tampak seperti jalinan kabel tembaga dan tulangnya ... tulangnya berkilau seperti ditempa dari baja.
“Ayah! Apa yang terjadi padamu?”
Namun ketika matanya berkilat memandangku, aku tahu itu bukanlah ayahku. Matanya lebih mirip seperti lensa kamera.
“Ayo pergi!” gadis itu segera menggapai tanganku dan menariknya.
Ayahku masih menggeram di lantai dan mencoba meraihku. Aku berhasil menghindar dan mengikuti gadis itu.
“Apa yang terjadi?” seruku ketika kami berlari keluar dan menembus ladang.
“Seharusnya aku yang bertanya padaku. Sejak tadi aku merasa aneh dengan kota yang kami lewati. Semuanya begitu sunyi ...”
“Maksudmu ini terjadi di kota juga?” teriakku tak percaya.
“Kemana kita akan pergi?” tanya gadis itu, “Kita harus menelepon polisi, garda keamanan, tentara, apapun!”
“Rumah Mr. dan Mrs. Oersted, mereka bisa menolong kita. Rumah mereka tak begitu jauh dari sini.”
Aku segera membawa gadis itu ke rumah tetangga kami. Sebuah rumah half-timbered lapuk bergaya Jerman kuno terlihat dari kejauhan. Namun langkah kami langsung terhenti melihat dua orang meringkuk di kandang babi.
“Hans? Helena?” panggilku.
Aku terkesiap ketika mereka menoleh dan terlihat memangsa seekor babi mentah. Bahkan ... mungkin babi itu masih hidup. Darah mengucur dengan deras, membasahi tanah dan dinding rumah mereka dengan warna merah. Bau amis menyeruak ke udara, menguar tanpa ampun hingga hampir membuatku muntah.
Namun aku melihat babi lainnya tergeletak di tanah. Sebagian besar dari mereka memiliki kulit seperti hewan normal. Namun di baliknya, kembali tampak roda-roda gir seakan-akan mereka terbuat dari sirkuit logam dan kabel.
Melihat kami mereka kemudian merangkak menghampiri.
“Si ... sial!” kami berdua kembali berlari ke balik lebatnya ladang jagung.
“Dimana lagi tempat yang aman?” jerit gadis itu.
“Gereja!” seruku, “Gerejaku pasti aman! Kita harus ke sana!”
“Dimana gerejamu?”
Aku menatap ladang jagung di sekitarku. Astaga, aku kehilangan arah. Aku bahkan tak tahu dimana kami berada.
“Jangan bilang kita tersesat!”
“Maaf! Aku benar-benar tak bisa berpikir!” aku memegangi kepalaku.
“Tak apa-apa.” gadis itu menghela napas, “Kurasa kita sudah aman. Siapa namamu?”
“Amos,” jawabku singkat, “Kau?”
“Tricia. Apa kau makan daging?”
“Maaf?”
“Kau dengar aku kan, Bocah Sopan? Kau makan daging?”
“Tidak! Aku vegetarian.”
Ia mendengus, “Kita sama. Aku juga. Namun bukan karena aku religius sepertimu. Melainkan karena aku seorang hippie.”
“Hippie?’ tanyaku.
“Ah, panjang jika kujelaskan. Kau beruntung. Kurasa wabah ini menular melalui hewan.”
“Wabah? Tunggu dulu! Ini semacam penyakit?”
“Lihat saja di belakangmu.”
Aku menoleh dan melihat seekor burung hantu berwarna metalik sedang memperhatikan kami dari atas pohon. Matanya membuka menutup bak lensa kamera. Dan ketika ia akhirnya mengepakkan sayap dan terbang, yang terdengar adalah suara gertakan mesin.
“Kurasa itu virus yang hanya menyerang hewan dan manusia. Jika kita memakan yang terinfeksi atau tergigit kita akan berubah seperti mereka. Kita akan berubah menjadi ... semacam mesin. Dan kabar buruknya, mereka tak bisa makan sesamanya ... mereka harus memangsa daging segar ...”
Tiba-tiba terdengar suara lonceng.
“Gereja!” teriakku tersadar, “Arahnya dari sana!”
Aku percaya bahwa itu keajaiban, bahwa dentang lonceng akan membawa kami ke tempat dimana kami bisa berlindung. Dari kejauhan aku bisa melihat anggota kongregasi berkumpul di luar gereja dengan wajah was-was. Seorang pendeta melihatku dan memanggilku.
“Amos!” teriaknya, “Kemarilah! Kita aman! Tentara sudah datang!”
Namun ketika aku hendak melangkahkan kakiku keluar dari ladang jagung, tiba-tiba aku mendengar suara berondongan senjata dan semua yang kulihat di luar gereja itu jatuh terkulai berlumuran darah. Beberapa pria berseragam muncul sembari mengokang senjata yang masih berasap.
“Bakar tempat ini!” ujar seorang pria bertopi, kemungkinan komandan mereka, “Jangan biarkan ada barang bukti tersisa!”
“Tik tik tik ...”
Tiba-tiiba ia menoleh ke arah kami.
“Ah, masih ada sepasang rupanya.”
Ia segera menodongkan senjata ke arah kami. Tubuhku seakan terpaku. Yang hanya bisa kulakukan hanya menutup mataku dan terdengarlah letusan senjata.
“DOOOOOR!!!”
Namun aku tak merasakan apapun. Akupun membuka mata dan melihat pria tadi telah roboh tak bernyawa tepat di hadapanku. Terdengar suara tembakan lain, tepat dari sampingku. Para pria bersenjata itu satu-persatu roboh dan yang tersisa mulai membalas dengan tembakan.
Aku menoleh dan melihat ayahku, kini separuh wajahnya dipenuhi dengan urat-urat dari kawat logam dan pembuluh darah dari kabel. Matanya seperti kamera CCTV dengan gigi-gigi beroda mengendalikan gerakan kelopaknya. Tangannya menyatu dengan senapan, seolah benda itu mencuat keluar dari tulang-tulangnya. Ia terus menembaki mereka.
Mungkin usaha terakhirnya untuk melindungiku.
Atau mungkin ia hanya mencari makan.
“Ayo kita pergi!” seru Tricia.
“Tidak! Aku harus tahu apa yang sebenarnya terjadi!” aku dengan hati-hati menghampiri jenazah tentara yang terdekat denganku dan membalik tubuhnya, sementara baku tembak itu masih berlangsung
Ada tiga huruf terukir di lencana di dadanya.
“I ... ini ... aku tahu artinya ini!” jerit gadis itu.
“Ayo pergi!” aku menarik tangannya, “Kita tak ada waktu lagi!”
Aku meninggalkan ayahku yang sedang berbaku tembak dengan mereka dan masuk lagi ke ladang gandum. Kami memilih naik ke perbukitan untuk melihat apa yang terjadi.
Kami langsung menyesalinya.
Dari puncak bukit kami hanya bisa melihat kota di kejauhan tengah ditelan bara api. Asap menguap membentuk kolom dari gedung-gedung pencakar langit. Semua mimpi buruk ini terjadi tak hanya di sini, namun juga di sana.
Dan mungkin seluruh dunia.
Aku menoleh ke arah gadis itu.
“Apa yang harus kita lakukan seka ...”
“DUAAAAK!!!”
Tiba-tiba saja ia menghantam bagian samping wajahku dengan sebatang kayu, keras sekali. Aku tersungkur sambil memegangi kepalaku yang kesakitan.
“A ... apa yang kau lakukan?!”
Mataku membelalak ketika ia mengayunkan kembali batang kayu kering itu ke telingaku.
“HEI! HENTIKAN!” aku berusaha melindungi kepalaku.
“DI TELINGAMU! CEPAT KELUARKAN ITU!” jeritku.
Dari sudut mataku, akupun melihat sesuatu yang berwarna hitam dan panjang mencuat keluar dari samping kepalaku.
Dengan panik aku segera menariknya.
Betapa terkejutnya aku begitu melihat itu adalah kaki seekor laba-laba kecil dengan tubuh nyaris mekanis.
Suara “Tik ... tik ... tik ...” itu ....
Selama ini makhluk ini bersarang di kepalaku?
Aku segera menginjak makhluk itu dan menghancurkannya berkeping-keping.
“Fiuh ...” gadis itu menghela napas lega, “Itu tadi menakutkan sekali. Kupikir kau akan berubah menjadi seperti mereka.”
“Tiga huruf itu ... apa artinya?” tanyaku.
“Tiga huruf? Apa yang kau bicarakan?”
“Tiga huruf di seragam tentara itu. Kau bilang kau mengetahuinya!” seruku, “Itu semacam inisial kan? Apa artinya!”
“SCP,” bisiknya, “Mimpi buruk kita ...”
THE END
NB: cerpen ini hanya sedikit kaitannya dengan jalan cerita cerbung terbaru gue, tapi sekilas saja biar kalian tahu tema apa yang pengen gue angkat. Sudah tau kan temanya?
Zombie robot?
ReplyDeleteNice...
D tunggu cerbungnya bang Dave, dn cerbung2 lainnya... (Moga bukan yg terakhir...)
-Venzuu-
cerbung terakhir?kenapa bang dave? :"((
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeletekapan di postnya nih bang? gag sabar pengen baca...
ReplyDeletekereen
ReplyDeletetapi masa cerpen terakhir sih bang??
Jujur gue ga pernah baca cerbung2 lu yang mengangkat tema SCP. Yahh.. apakah ini SCP juga? Tapi sepertinya menarik. Gue coba buat membaca lanjutannya ntar kalo lu posting lagi. Semangat !!!
ReplyDeleteWwaah keren. SCP.
ReplyDeleteSemacam institut peneleitian rahasia gitu ya, bang. Ayo bang lanjutkan
Nah, jadi, ini adalah cerbung terakhir Bang Dave ya..? Alhamdulillah Bang Dave punya aturan keren, so komen harus di eprov dulu baru kepablish, nah, cz kemungkinan komen ini ga bakal dipablish--firasat ustadzah banyak benarnya looo--kalo saya dah ngefans sama posting2 Bang Dave dari taun 2012, yg "tentang saya" nya Bang Dave masih gini""aku cinta alam, makanya, aku banyak mosting tentang alam, aku juga cinta kedamaian, makanya aku banyak mosting tentang islam blablabla"""
ReplyDeleteYg saya inget, pokoknya ada 5 point alasan daah, sbl akhirnya diganti dgn ""random guy""
Sblmnya, saya ga tau gimana cara komen di blog, ini komen ketiga saya setelah ""dg"" sama kasus ketemu ""irene anggasastra""--btw itu nama beneran ada, kaksknya frederick anggasatra aka pablo puta benua yg bikin geger di akun Ig thenewbikingregetan, coba daah, Bang Dave baca tuh Ig, bisa ngocok perut asli.
Udah laah Bang Dave, saya fans Bang Dave berharap suatu saat bisa ikut Kopdar T_T ini, titip salam buat semuanya.
Love you
Ratna