Samudra
Atlantik senantiasa damai, sebab hanya sedikit, bahkan bisa dibilang
tak ada kehidupan di sana. Pulau-pulau mungil yang ada di sana
terletak di tengah antah berantah dan amatlah jauh dari peradaban
terdekat. Akan tetapi pada 22 September 1979, kondisi itu berubah
drastis ketika sebuah peristiwa spektakuler tertangkap oleh mata
dunia.
Kala
itu, kedamaian di samudra tersebut terkoyak ketika dua kilatan cahaya
mahadashyat terlihat di langit. Memang tak ada saksi mata yang bisa
memastikannya, akan tetapi lonjakan cahaya itu tertangkap oleh sensor
sebuah satelit bernama Vela (hence, peristiwa tersebut lebih dikenal
dengan nama “Insiden Vela”). Apa yang menyebabkan peristiwa itu
masihlah misteri. Apakah cahaya itu disebabkan oleh sebuah asteroid
yang memasuki Bumi, ataukah yang lebih mengkhawatirkan lagi: sebuah
bom nuklir?
Namun
bagaimana bisa sebuah bom nuklir diledakkan di tengah lautan antah
berantah? Siapa yang melakukannya dan mengapa? Jawabannya mungkin
sangat kelam, apalagi untuk masa depan dunia ini.
Dear
readers, inilah Dark Case kali ini.
Lokasi Insiden Vela
Insiden
Vela atau disebut juga “Kilatan Cahaya Atlantik Selatan (South
Atlantic Flash)” merupakan istilah yang digunakan untuk menyebut
dua kilatan cahaya misterius yang terdeteksi di dekat wilayah
Kepulauan Prince Edward Islands di Samudra Pasifik. Cahaya tersebut
dideteksi oleh sebuah satelit Amerika Serikat bernama Vela pada pukul
00.53 waktu setempat. Pertama akan gue bahas dulu apa itu Satelit
Vela. Berbeda dengan satelit-satelit lain yang digunakan untuk sarana
telekomunikasi (atau bahkan mata-mata), Vela merupakan satelit yang
digunakan secara spesifik untuk mendeteksi letusan bom nuklir. Lho,
mengapa sih ada satelit yang bertujuan kayak gitu?
Cerita
bermula pada 5 Agustus 1963 dimana hampir seluruh negara di dunia
berkumpul di sebuah konferensi di Moscow (kala itu masih berupa Uni
Soviet) dan setuju untuk meratifikasi “Partial Nuclear Test Ban
Treaty”. Dalam persetujuan itu, semua negara di dunia (bahkan
termasuk negara-negara adidaya seperti Amerika Serikat, Uni Soviet,
Inggris, hingga China) setuju untuk tidak melakukan tes bom nuklir
demi perdamaian dunia.
Nah,
tentu saja hal tersebut nggak hanya bisa sebatas omongan saja dan
benar-benar harus diawasi. Oleh karena itu, Amerika Serikat
meluncurkan satelit Vela yang dilengkapi sensor radiasi sinar gamma,
sinar X, dan neutron yang biasanya dilepaskan oleh ledakan bom
nuklir. Sebuah sensor lain, bernama “bhangmeter” juga dipasang
untuk menangkap kilatan cahaya dengan intensitas tinggi yang biasanya
dilepaskan oleh bom berkekuatan mahadahsyat.
Bom
nuklir memiliki ciri khas, yakni menghasilkan dua kilatan cahaya atau
disebut “double flash”. Cahaya itulah yang terdeteksi oleh Vela
di atas Kepulauan Prince Edward Islands pada 22 September 1979.
Tak hanya Vela saja yang mendeteksi anomali ini. Sistem radar milik
NATO di Eropa hingga teleskop Arecibo di Puerto Rico juga menangkap
hal yang sama, sehingga kilatan cahaya tersebut dipastikan sebagai
data yang valid.
Namun
jika benar itu adalah tes uji coba bom nuklir, siapakah pelakunya?
Gambaran sebuah bom nuklir
Tak
ada negara yang mau mengaku. Kecurigaan utama tentu saja mengarah
kepada Afrika Selatan sebagai pemilik Kepulauan Prince Edwards tempat
ledakan itu terjadi. Namun di sinilah anehnya. Menurut gue, untuk
bisa mengembangkan teknologi nuklir (apalagi di tahun 70-an, sekitar
5 dekade lalu dimana teknologi masihlah belum semaju sekarang) paling
nggak sebuah negara harus memenuhi dua kriteria:
- Merupakan negara maju atau adidaya yang memiliki banyak uang untuk dihabiskan di riset nuklir
- Memiliki musuh yang harus segera “disingkirkan”
Maka
dari itu, menurut gue sah-sah aja jika negara yang melakukan tes bom
nuklir adalah Amerika Serikat atau Uni Soviet yang kala itu tengah
terlibat Perang Dingin (Cold War). Tapi Afrika Selatan? Coba
pikirkan. Negara tersebut cukup adem ayem dan tak punya musuh.
Satu-satunya hal besar yang pernah terjadi di Afrika Selatan adalah
Apartheid dan kebangkitan Nelson Mandela sebagai pejuang HAM, itupun
sebatas peristiwa domestik semata. Belum lagi Afrika Selatan belumlah
semaju (dan sekaya) negara-negara Eropa atau Amerika.
Maka
kecurigaan-pun beralih ke pihak lain.
Israel.
Ilustrasi dampak sebuah bencana nuklir
Afrika
Selatan merupakan salah satu negara yang memiliki hubungan diplomatik
yang cukup baik dengan Israel. Israel tentu saja takkan kesulitan
membuat bom nuklir, apalagi mereka dikenal memiliki ilmuwan-ilmuwan
terhebat dan miliuner-miliuner Yahudi yang siap mem-backingi
penelitian mereka. Tak hanya itu, Israel juga tentu tak kekurangan
uang untuk “menyewa” sebuah pulau terpencil di tengah lautan
antah berantah dari Afrika Selatan, untuk tujuan detonasi tersebut.
Israel
selama ini mengaku tak memiliki persenjataan nuklir, namun intelejen
Amerika sejak tahun 70-an sudah mendengar desas-desus bahwa Israel,
di tengah krisisnya dengan Palestina dan negara-negara Timur Tengah
lainnya, tengah mengembangkan senjata pemusnah massal tersebut.
Leonard Weiss, seorang pejabat tinggi yang bekerja di badan nuklir
Amerika Serikat sempat memperingatkan presiden AS kala itu, Jimmy
Carter, bahwa Insiden Vela sesungguhnya didalangi oleh Israel. Hal
ini juga diamini beberapa ahli, semisal David Albright dan Danny B.
Stillman, keduanya adalah fisikawan yang amat pakar di bidang nuklir.
Seorang wartawan kawakan, Sasha Polakow-Suransky juga menyoroti bahwa
Afrika Selatan masih belum semaju itu untuk menciptakan bom nuklir,
sehingga ia juga menyoroti keterlibatan Israel sebagai dalang
utamanya.
Ilustrasi sebuah peluncuran rudal nuklir
Karena
insiden ini, Amerika berada di pihak yang sulit. Sepertinya bisa
dipastikan bahwa Amerika sama sekali tak tahu menahu tentang
keterlibatan Israel, apalagi rencananya melakukan tes bom nuklir yang
amat terlarang itu. Namun Amerika juga tak mau merusak “persahabatan”
yang sudah terjalin begitu erat dengan negara Zionis tersebut,
apalagi hubungan pertemanan karib itu membawa banyak keuntungan bagi
negara adidaya tersebut.
Amerika
pun mengambil jalan tengah. Amerika menyanggah bahwa cahaya yang
tertangkap oleh satelitnya itu kemungkinan disebabkan oleh cahaya
petir atau meteor yang melintas. Namun para ahli menyanggahnya. Klaim
bahwa Insiden Vela disebabkan oleh petir amatlah patut ditertawakan,
sebab intensitas cahaya yang tercatat kala itu 400 kali lebih kuat
ketimbang petir biasa. Meteor pun bukan penjelasan yang memuaskan
sebab perlu diingat, ada dua kilatan cahaya. Agar dua buah meteor
bisa jatuh pada kesempatan yang sama dan di tempat yang sama,
kemungkinannya amatlah kecil, bahkan ada ahli yang menyebut
probabilitasnya hanya 1 banding 1 triliun.
Pada
tahun 1994, seorang komandan bernama Commodore Dieter Gerhardt yang
pernah membawahi sebuah pangkalan Angkatan Laut di Afrika Selatan
mengaku bahwa ia pernah mendengar tentang “Operation
Phoenix”, sebuah proyek rahasia antara militer Afrika Selatan dan
Israel. Kala itu mereka sengaja memilih lokasi di Kepulauan Prince
Edward pada saat yang tepat dimana di lokasi itu tengah terjadi
badai, sehingga akan menutupi jejak ledakan itu. Akan tetapi sayang,
perkiraan mereka meleset karena adanya perubahan arah angin, sehingga
rencana merekapun “terendus” satelit Vela.
Tak
ada yang menyangsikan keterlibatan Israel dalam insiden misterius di
Samudra Pasifik itu. Namun itu membawa ke pertanyaan lain, seberapa
banyak dan dahsyat-kah persenjataan nuklir yang dimiliki negara
bentukzn kaum Yahudi tersebut?
Negara
Israel kini diduga memiliki 80-400 misil nuklir yang mampu
diluncurkan baik menggunakan pesawat hingga kapal selam. Kemampuan
Israel untuk menguasai teknologi nuklir terbilang amat cepat. Setelah
berdiri pada 1948, Israel membangun Shimon Peres Negev Nuclear
Research Center di kota Dimona pada akhir 50-an. Dipercaya bahwa
Israel mulai mengembangkan “senjata pemusnah massal” semenjak
tahun 1960-an. Namun kala itu Israel selama ini terus menyanggah
kemampuan mereka memiliki persenjataan nuklir.
Mordechai Vanunu, sosok yang membongkar rahasia program nuklir Israel pada dunia
Akan
tetapi Israel tak mampu lagi berkutik setelah mereka ditelanjangi,
justru oleh pihak dalamnya sendiri. Seorang wartawan bernama
Mordechai Vanunu pada 1986 menyusup masuk ke dalam fasilitas tersebut
dan memfoto rudal nuklir yang mereka miliki. Bukti valid tak
terbantahkan tersebut membuktikan dugaan bahwa Israle menyimpan
senjata maut tersebut. Tak hanya itu, iapun menerbitkannya ke media
massa Inggris sehingga seluruh dunia-pun mengetahuinya.
Tak
hanya itu, Mordechai bahkan sempat mengungkapkan sebuah teori
konspirasi mengejutkan bahwa pembunuhan terhadap Presiden Amerika
Serikat, John F. Kennedy, didalangi oleh Israel.
Alasannya karena presiden tersebut getol menyelidiki tentang reaktor
nuklir di kota Dimona tersebut. Sayang, “pengkhianatan” ini harus
dibayar mahal ketika Mordechai diburu dan diculik oleh Badan
Intelejen Israel, Mossad. Ia dipenjara selama 18 tahun dimana dalam
masa hukumannya itu, tak jarang ia disiksa.
Jika
memang benar Israel memiliki senjata nuklir, hal itu tentu saja akan
meresahkan dunia. Kalian tentu sudah punya bayangan, akan digunakan
untuk apa senjata nuklir itu nantinya.. Akankah suatu saat Israel
memakainya untuk memulai perang akbar? Bagaimanakah nasib seantero
bumi ketika hal itu terjadi?
Sumber:
Wikipedia
Bang request covid 19 lgi dong kali ini di Indonesia, bahas juga teori komplikasinya. Eeh konspirasi mksudnya
ReplyDeleteSalah total Afrika Selatan adem ayem. Taun segitu Afsel masih perang ama Angola, ini nantinya jdi titik balik kemerdekaan Namibia. Dan nie perang baru selesai taun 1990-an.
ReplyDeleteKedua, salah jga nyebut Afsel gak punya program nuklir. Afsel itu udah punya program nuklir mapan sejak tahun 1950 dan mulai ngembangin senjata nuklir taun 1967. Wajar nyebut Afrika Selatan itu salah satu negara "non proliferasi" yg mampu bikin senjata nuklir selain Israel.
Btw, Dieter Gerhardt itu intel Soviet.