Membaca
kisah Lilian Alling emang bikin gue teringat ama “Chrnoicle of
Mother Nature” yang pernah gue kompilasi tentang korban-korban
keganasan alam. Namun bedanya, kisah Lilian ini hingga kini tak
memiliki penutup atau ending yang memuaskan tentang bagaimana
nasibnya. Lilian Alling adalah seorang imigran asal Rusia yang datang
ke Amerika Serikat untuk mencari penghidupan baru. Akan tetapi
setelah beberapa tahun tinggal di sana, Lilian merasa tak kerasan dan
memutuskan pulang ke kampung halamannya. Sayang sekali Lilian tak
memiliki cukup uang untuk kembali hingga akhirnya mengambil sebuah
keputusan yang sulit kita percayai.
Ia
memutuskan untuk pulang ke Rusia dari Amerika Serikat dengan berjalan
kaki!
Bagaimanakah
kisah selengkapnya? Simak perjalanan nekad wanita ini dalam Dark Case
berikut ini.
Identitas
Lilian Alling sendiri tak begitu jelas. Akan tetapi diketahui
perjalanannya dimulai pada tahun 1920-an. Kala itu, Lilian yang
bermukim di Amerika merasa tak nyaman tinggal di sana dan kangen akan
kampung halamannya di Siberia, Rusia. Iapun bekerja di New York untuk
menabung demi perjalanannya pulang. Akan tetapi dengan ekonominya
yang pas-pasan, iapun sadar, sekeras apapun ia bekerja, ia tak akan
memiliki cukup uang untuk perjalanan pulang. Satu-satunya cara yang
lazim untuk pergi ke benua Eropa kala itu adalah menggunakan jasa
penyeberangan kapal laut melewati Samudra Atlantik yang memang sangat
mahal. Karena itulah, mungkin didorong oleh kenekadannya, iapun
mengambil sebuah keputusan yang bisa dibiliang sukar dinalar dengan
akal sehat.
Yakni
ia akan berjalan kaki saja.
Perjalanan
dari Amerika ke Rusia jelas bukanlah perjalanan yang 'manusiawi”.
Kala itu ia berada di New York yang terletak di pantai timur Amerika.
Sementara untuk sampai ke Rusia, ia harus melintasi seantero benua
untuk sampai ke pantai barat Amerika dan kemudian menyeberang melalui
Selat Bering yang membatasi Alaska (negara bagian Amerika paling
utara) dan Rusia.
Apalagi
jika kita menilik kata “Alaska” dan “Siberia” maka yang
terbayangkan adalah wilayah dingin dengan suhu udara yang mampu
membuat siapapun beku. Tak hanya jauhnya jarak yang harus ditempuh
Lilian mencapai rubuan kilometer, namun ia juga harus menghadapi
iklim kutub yang tak bersahabat.
Apa
yang mendorongnya mengambil keputusan yang teramat nekad itu? Tak ada
yang tahu. Mungkin Lilian melakukannya untuk menghemat uang. Mungkin
Lilian sudah putus asa sebab ia kebelet pulang. Mungkin ini adalah
obsesinya. Mungkin sebuah tantangan yang ingin ia taklukkan untuk
membuktikan dirinya sebagai wanita mandiri yang kuat. Entahlah. Yang
jelas, demi mengeksekusi rencananya itu, ia mulai membuat persiapan.
Lilian
mulai rajin menyambangi Perpustakaan New York untuk mendalami rutenya
tersebut. Ia membaca banyak buku serta mempelajari dengan seksama
peta jalur yang akan ia tempuh. Lilian benar-benar serius akan
rencananya hingga mempersiapkan setiap detail pengetahuan yang
kiranya akan ia butuhkan untuk perjalanannya itu. Perlu kalian ingat,
kala itu teknologi komunikasi belumlah semaju sekarang. Telepon
canggih dan GPS belum ditemukan, jadi Lilian benar-benar bergantung
pada peta yang ia baca.
Rute yang dilalui Lilian dengan berjalan kaki
Lilian
memulai perjalanannya dengan berjalan kaki menuju ke kota Buffalo,
kemudian menyeberang ke perbatasan Kanada, tepatnya di Air Terjun
Niagara yang termashyur pada tahun 1926. Di sini, kedatangannya
tercatat dengan rinci oleh petugas imigrasi Kanada kala itu.
Tercatat, Lilian mengaku sebagai peduduk New York berusia 30 tahun.
Hawa
dingin Kanada yang mencekam sama sekali tak menggentarkan niat Lilian
untuk terus berjalan pulang. Perlu diingat, ujung barat ke ujung
timur benua Amerika berjarak hampir 5 ribu kilometer dan manusia
normal bisa berjalan sekitar 20-30 kilometer per hari dalam keadaan
sehat. Jadi bisa dibayangkan, Lilian akan memperlukan waktu setahun
untuk melakukan perjalanan itu, itupun jika fisiknya bugar. Pada
1927, seorang petugas pemerintah British Columbia bertemu dengan
Lilian di kota Hazelton, di wilayah barat Kanada. Petugas itu
mengamati penampakan Lilian yang teramat kurus dan lemah, bahkan
terlihat mengalami malnutrisi (kekurangan gizi). Ketika sang petugas
itu menanyainya, ia amat terkejut setengah mati ketika Lilian
mengatakan ia hendak pulang ke Rusia dengan berjalan kaki.
Mengetahui
bahwa musim dingin akan datang sebentar lagi dan wanita itu jelas
takkan sanggup meneruskan perjalanannya, hati nuraninya terusik. Ia
merasa bahwa sangatlah tidak manusiawi jika ia membiarkan Lilian
menjalankan niatnya tersebut. Namun setelah dibujuk berkali-kali,
Lilian sama sekali tak gentar dan tak mengindahkan peringatannya itu.
Lilian tetap ngotot akan meneruskan perjalanan. Merasa tak ada cara
lain, iapun terpaksa mengambil jalan pintas yakni “memenjarakan “
Lilian. Kala itu hukum memang melarang gelandangan untuk berkeliaran
jika dirasa mengganggu ketentraman umum. Lilian yang tak punya tempat
tinggal memang bisa dikategorikan sebagai tuna wisma. Sehingga
petugas tersebut memanfaatkan hukum itu untuk menangkap dan
menaruhnya dalam penjara.
Di
dalam penjara ia justru dirawat dengan baik. Ia diberi makan cukup
dan belum lagi mendapat tempat berlindung yang hangat. Bahkan
mendekam sel penjarapun kala itu masihlah jauh lebih baik ketimbang
berjalan di suhu membeku di tengah buasnya alam liar Kanada. Begitu
musim semi tiba di Mei 1928, iapun dilepaskan. Pihak kepolisian
Kanada kala itu mengira peristiwa itu akan membuat Lilian kapok dan
mengurungnya niatnya, bahkan mungkin menetap di kota Vancouver yang
tak jauh dari situ. Toh, banyak pekerjaan yang bisa ia temukan dan di
sana, ia bisa memulai hidup baru. Namun ternyata, tak ada yang bisa
membuat Lilian mengurunkan niatnya. Secara mengejutkan, ia kembali
meneruskan perjalanannya.
Sosok
Lilian menjadi “viral” bagi para pemukim di Kanada saat itu.
Berita tentangnya menyebar dengan cepat dan membuat orang-orang iba.
Tak jarang, penduduk lokal yang bertemu dengan Lilian membantunya
dengan memberikan tempat menginap, makanan, bahkan pakaian jika
Lilian sudi singgah di rumah mereka selama perjalanannya.
Pada
Oktober 1928, Lilian akhirnya tiba di Dawson City, di hulu sungai
Yukon. Lilian tahu betul bahwa Sungai Yukon pada akhirnya akan
bermuara di Selat Bering, Alaska. Selat Bering merupakan selat yang
memisahkan Benua Amerika utara dengan Rusia, sehingga dengan
menyeberanginya, ia akan tiba di kampung halamannya tersebut. Bahkan,
Lilian tak perlu berjalan kaki lagi. Yang ia perlukan hanyalah sebuah
perahu untuk menyusuri Sungai Yukon hingga tiba di Selat Bering,
kemudian menyeberanginya.
Di
kota Dawson City, Lilian memutuskan untuk menetap sebentar dan
bekerja sebagai koki. Tujuannya adalah untuk mengumpulkan uang untuk
membeli sebuah perahu. Pada 1929, Lilian akhirnya berhasil membeli
perahu dan tepat pada musim semi, dimana sungai yang sebelumnya
membeku karena musim dingin mulai mencair, iapun meneruskan
perjalanannya.
Penampakan
terakhir Lilian adalah di sebuah desa suku Eskimo di Alaska pada
1929. Ia memang berhasil mencapai Selat Bering, namun tak jelas
apakah ia berhasil menyeberanginya dan tiba di kampung halamannya di
Rusia.
Semenjak
saat itu, Lilian lenyap seolah ditelan bumi.
Gambaran keadaan alam Alaska
Mengingat
keganasan alam Kutub Utara, memang besar kemungkinannya Lilian tak
selamat di perjalanan yang mengundang maut tersebut. Apalagi Selat
Bering adalah lautan terbuka di wilayah Kutub Utara dengan suhu yang
teramat dingin, Bahkan di musim panas sekalipun suhunya amat
menggigil, sehingga hanya suku asli yang memang sudah beradaptasi di
kondisi alam tersebut ataupun pelaut yang sudah berpengalaman yang
mampu menaklukannya.
Namun
ada pula secercah kemungkinan, walaupun hanya sedikit, bahwa Lilian
berhasil menyelesaikan perjalanannya itu dan tiba di Rusia. Toh,
Lilian adalah wanita yang amat tangguh. Sepanjang perjalanannya
melintasi Amerika Utara, Lilian menempuh jarak tak kurang dari 8 ribu
kilometer. Sebagai perbandingan, panjang wilayah Indonesia saja dari
Sabang sampai Merauke “hanya” sekitar 5 ribu kilometer. Dan
jangan lupakan fakta bahwa Lilian menempuh jarak tersebut dengan
berjalan kaki.
Dalam
hati sih (mungkin sama di benak kalian juga) gue pengennya cerita ini
berakhir happy ending dan Lilian ini berhasil selamat serta tiba di
kampung halamannya di Rusia. Mungkin saja ia berkumpul lagi bersama
keluarganya, bahkan punya anak cucu. Namun kita juga harus melihat
kenyataan kelam bahwa perjalanan Lilian sangatlah berbahaya dan kecil
kemungkinannya ia bisa bertahan hidup di wilayah seganas itu.
Mendengar
cerita Lilian ini mau tak mau akan membuat kita (apalagi jika kalian
pembaca setia blog ini) teringat pada kisah Chris McCandless. Namun
berharap saja bahwa kisahnya tak berakhir setragis sang pecinta alam
tersebut. Nah, bagaimana menurut kalian? Apa kalian kagum dengan
keberanian dan niat Lilian? Atau menganggap bahwa tindakannya ini
amat bodoh, bahkan cenderung “bunuh diri”?
Sumber:
Wikipedia, Strange Company
Perlu dijadiin film kisahnya. Pasti menarik bang, cuma takutnya malah menginspirasi orang buat perjalanan jauh tapi jalan kaki :(. Kyk film into the wild, ada satu kasus dimana remaja niru si chriss buat tinggal di hutan
ReplyDeleteMantappppppppppp
ReplyDeleteSumpah keren kisah hidupnya. Wanita strong
ReplyDeleteKeren! Ngomong-ngomong, memang ada filmnya. Judulnya Lillian (2019).
ReplyDeletethanks captain 👍
Deletepenasaran sebenernya dengan ending perjalananya.
ReplyDeletepenasaran sebenernya dengan ending perjalanan tersebut
ReplyDeleteKisah yang sangat luar biasa,perjalanan panjang yang penuh tekad gigih penuh keyakinan dan keberanian seorang wanita russia 👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍👍
ReplyDelete