Pengantar: Artikel ini gue tulis 2022 lalu khusus di Karyakarsa untuk merayakan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia dan merupakan bagian dari Misteri Nusantara, yakni kumpulan artikel yang gue dedikasikan untuk membahas kasus-kasus yang belum terpecahkan di Indonesia
Pas di tanggal 17 Agustus ini, gue kepengen banget bikin postingan khusus buat dirgahayu kemerdekaan RI yang tercinta ini. Tentu saja karena ini hari ultahnya Indonesia, postingannya pun terinspirasi dari peristiwa yang terjadi di tanah air dong. Sayang sekali ya, walaupun sudah 77 tahun merdeka, tetap saja, kita belum bebas oleh sejarah hitam yang masih membelenggu kita. Negara kita emang tidaklah sempurna. Mulai dari peristiwa 1965, kerusuhan Mei 1998, kasus Sampit di 2001, negara kita memang mendulang masa lalu yang cukup kelam.
Pada masa Orde Baru,
pemerintah kita memang dikenal otoriter dan menghalalkan segala macam cara demi
mempertahankan kekuasaan. Namun, selalu ada pula orang-orang yang berani
mempertaruhkan nyawa mereka demi membela sesama dan memperjuangkan hak asasi
manusia dan kebebasan, yang seringkali diberendel. Sayangnya, tak jarang para
pejuang kemanusiaan ini meregang nyawa di tangan orang-orang tak bertanggung
jawab, bahkan kematian merekapun hingga kini tak pernah mendapatkan keadilan.
Dalam kesempatan kali ini gue ingin mengkilas balik tentang para pejuang HAM yang perlu sekali kita ingat. Karena toh, bagi bangsa ini mereka sudah adalah pahlawan, walaupun tak diakui keberadaannya. Kasus-kasus HAM apakah yang pernah mengguncang Indonesia pada masa lalu? Mari kita simak bersama.
MUNIR SAID THALIB: MAUT DI UDARA
Buat kalian yang selera
musiknya anti-mainstream mungkin pernah mendengar lagu Efek Rumah Kaca berjudul
“Di Udara” (buat yang belum gue rekomendasiin banget nih lagunya). Nah salah
satu lirik lagu ini yang berbunyi “aku bisa diracun di udara” merupakan tribute
untuk Munir, seorang pejuang HAM yang mengalami nasib serupa.
Pria bernama asli Munir
Said Thalib ini lahir di 1965 di Batu, Malang. Pria lulusan Fakultas Hukum
Universitas Brawijaya ini dikenal luas sebagai advokat dan aktivis hak asasi
manusia. Munir dikenal amatlah vokal akan berbagai kasus pelanggaran HAM di
Indonesia pada masa Orde Baru, di antaranya adalah berbagai kasus menghilangnya
para aktivis HAM pada tahun 1997-1998. Bahkan beliau kemudian mendirikan
lembaga swadaya masyarakat (LSM) Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (KontraS) demi mencari keadilan bagi mereka yang menjadi korban
penghilangan paksa pada masa itu. Seperti kalian tahu, pada tahun tersebut
bangsa Indonesia mengalami gejolak yang cukup dashyat yang berpuncak pada
digulingkannya Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru. Kasus-kasus lain yang
beliau tangani adalah penembakan pada Tragedi Semanggi 1998, serta berbagai
kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, Timor Leste, dan Papua.
Namun tentu, aksi beliau
ini mengundang bahaya. Pada 2001, sebuah paket berisi bom dialamatkan ke
rumahnya ketika beliau tengah menyelidiki kasus penculikan para aktivis.
Puncaknya, pada 7 September 2004, beliau meninggal ketika tengah terbang di
pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 974 dari Jakarta menuju Amsterdam. Dalam
hasil penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian Belanda, disimpulkan bahwa
Munir diracun menggunakan arsenik.
Hingga kini kematian
Munir masihlah diselimuti misteri. Seorang pilot bernama Pollycarpus Budihari
Priyanto yang berada dalam penerbangan yang sama, kemudian divonis 14 tahun
hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir pada 20 Desember 2005. Lucunya,
apabila memang bersalah sebagai sang eksekutor, jelas Pollycarpus tak bekerja
sendiri dan menerima perintah untuk melaksanakan pembunuhan tersebut. Namun
siapa sebenarnya dalang di balik meninggalnya Munir?
Well, pertama gue perkenalkan
dulu perbedaan antara Wikipedia Indonesia dan Wikipedia berbahasa Inggris.
Banyak sih dari artikel Wikipedia hanya dicopas atau diterjemahkan dari artikel
berbahasa lain. Semisal Wikipedia internasional menerjemahkan isi Wikipedia
berbahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya; sehingga isi kedua kontennya sama.
Namun yang gue perhatikan di artikel Wikipedia tentang Munir justru berbeda.
Jelas, ketika kalian membaca versi bahasa Indonesianya, banyak hal yang
“disensor”, sehingga gue malah mengamati bahwa artikel tentang Munir di
Wikipedia internasional yang berbahasa Inggris justru lebih lengkap.
Salah satunya adalah
paragraf tentang siapa terduga “dalang” di balik kematian Munir. Wikipedia
internasional jelas-jelas menyinggung tentang keterlibatan BIN atau Badan
Intelejen Negara atas kematian aktivis HAM tersebut. Namun paragraf itu seolah
“lenyap” di Wikipedia Indonesia.
Pollycarpus kini bebas
setelah menjalani setengah masa hukumannya dan tragisnya, kini kasus Munir
menguap begitu saja, bahkan mungkin mulai dilupakan. Kabut misteri yang
menyelimutinya pun terlalu “berbahaya” untuk diungkap. Namun jangankan Munir,
kasus yang terjadi baru-baru ini seperti yang menimpa Novel Naswedan-pun belum
mendapatkan titik terang.
UDIN: KASUS WARTAWAN SEDUNIA
Kasus pelanggaran lain
yang ingin gue bahas menimpa seorang wartawan bernama Fuad Muhammad Syafruddin
atau yang lebih dikenal dengan nama Udin. Lahir pada 1963, beliau menjadi
wartawan di koran Bernas. Semenjak lahir, hidup beliau dianggap “kurang
beruntung” karena lahir di weton yang dianggap “sial” dalam tradisi Jawa, yakni
Senin Kliwon. Entah benar atau tidak, namun resonansinya nyatanya terasa dalam
kehidupan Udin selanjutnya. Udin muda kala itu ingin menjadi seorang tentara,
namun karena kekurangan “koneksi”, mimpinyapun kandas di tengah jalan.
Udin kemudian menjadi
wartawan lepas di Bernas, sebuah surat kabar harian di Yogyakarta yang kala itu
dimiliki oleh Kompas Gramedia Group. Beliau dikenal amat vokal dalam menulis
tentang penyimpangan politik kala itu, dimana salah satunya adalah laporannya
tentang kasus korupsi yang melibatkan Bupati Bantul. Sang bupati kala itu yang
konon “menyuap” demi mempertahankan posisinya sebagai bupati, dengan imbalan
“200 persen” kemenangan bagi partai yang berkuasa kala itu (nggak nyebut ya,
takut ilang juga gue nanti).
Akibat tulisannya yang
terang-terangan ini, pada 13 Agustus 1996 nasib naas menghinggapi beliau ketika
rumah beliau dikunjungi dua orang misterius yang kemudian menghantam kepala
beliau dengan besi. Udin sempat dibawa ke rumah sakit, namun sayang, nyawa
beliau tak terselamatkan. Sempat takut, pihak Bernas sendiri sempat takut
memberitakan serangan kepada salah satu wartawannya ini. Namun mereka akhirnya
berani menerbitkannya dan pemakaman beliaupun dihadiri ribuan orang.
Namun kisah yang kemudian
mengikutinya sungguhlah aneh. Pihak berwajib seolah cukup “serius” menangani
kasus pembunuhan ini hingga dalam waktu singkat mereka berhasil menangkap
tersangkanya. Hanya berselang dua bulan, pihak berwajib menangkap seorang sopir
bernama Dwi Sumaji yang mengaku bahwa ia membunuh Udin karena cemburu akibat
perselingkuhan sang wartawan dengan istrinya, Sunarti. Namun banyak pihak
meragukan pengakuan itu, sebab Marsiyem, istri Udin yang melihat pelaku
pembunuhan sang suami, yakin bahwa ia bukanlah pria yang menghabisi nyawa
suaminya. Sumaji kemudian menarik pengakuannya dan mengaku bahwa ia dipaksa dan
dibujuk oleh pihak berwajib untuk membuat pengakuan palsu itu.
Kisah aneh lainnya
terjadi ketika salah seorang kepala polisi sengaja membuang salah satu barang
bukti, yakni darah Udin ke laut dengan alasan yang terbilang amatlah ganjil,
yakni sebagai “sesajen” bagi Nyi Roro Kidul, sang penguasa Laut Selatan, agar
penyelidikan kasus menjadi lancar. Tak hanya itu, barang bukti penting berupa
buku catatan Udin dimana ia menyimpan semua bahan investigasinyapun ikut hilang
di tangan pihak berwajib.
Hingga kini kasus Udin
tak pernah terpecahkan dan tak ada satupun yang ditangkap ataupun diadili akan
kasus yang menimpa Udin. Namun paling tidak kini namanya bersinonim dengan
seorang pencari kebenaran yang tak takut akan apapun. Sayang, nasib yang
dialami Udin ini seakan “mendunia”, sebab inilah resiko yang harus diamini para
pewarta kebenaran di seluruh dunia. Kasus yang baru-baru terjadi adalah
wartawati Shireen Abu Akleh yang harus rela nyawa beliau melayang ketika
meliput kekejian militer Israel di Palestina.
MARSINAH: TANGISAN PENCARI KEADILAN
Kisah Marsinah yang amat
tragis ini pernah diangkat menjadi film berjudul “Cry for Justice”, sebab
kematian beliau layak menjadi tangis kesedihan ketika mengingat betapa lemahnya
negara kita dalam hal penegakan HAM.
Lahir pada 1969 di
Nganjuk, semenjak kecil Marsinah dikenal sebagai anak yang teramat cerdas.
Namun sayang karena ketiadaan biaya, Marsinah terpaksa mengubur impian beliau
dalam-dalam untuk menjadi pengacara dan bekerja sebagai buruh di PT. Catur
Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo. Pada 8 Mei 1993, setelah menghilang
selama tiga hari, mayat Marsinah ditemukan di hutan dengan bekas-bekas
penganiayaan yang teramat brutal.
Namun mengapa Marsinah
menjadi korban kekejian semacam itu? Pada awal tahun 1993, Gubernur Jawa Timur
mengeluarkan surat edaran yang menghimbau pengusaha agar menaikkan gaji
karyawannya sebesar 20%. Sayang, imbauan itu tak ditaati PT. CPS dimana
Marsinah bekerja hingga dibalas dengan aksi unjuk oleh para buruh menuntut
kenaikan upah. Besarnya kenaikan gaji yang mereka tuntut adalah dari Rp 1.700
menjadi Rp 2.250. Angka itu mungkin amat kecil ya untuk ukuran zaman sekarang,
namun banyak berarti pada masa itu dimana harga seposri makanan saja masih
berkisar 150 hingga 200 rupiah.
Marsinah dikenal sangat
aktif membela hak teman-teman beliau, bahkan memimpin aksi unjuk rasa buruh.
Sayang keterlibatan Marsinah tersebut berbuntut maut. Hingga kini, keanehan
terus saja tercium. Tentu kita menduga kematian Marsinah didalangi oleh pihak
perusahaan, namun anehnya para bos PT tersebut mengaku diculik dan disiksa agar
mengaku. Mereka kemudian diadili dan dijatuhi 12 hingga 17 tahun penjara, namun
Mahkamah Agung Republik Indonesia kemudian membebaskan mereka dari segala
dakwaan. Kecurigaan malah jatuh ke pihak berwajib pada masa Orde Baru karena
Marsinah sebelum tewas diketahui dibawa ke sebuah markas tentara.
WIDJI THUKUL: LENYAP DALAM KABUT KONSPIRASI
Bravo jika kalian tahu
nama Widji Thukul, sebab ini artinya kalian punya kepedulian, atau paling tidak
pengetahuan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di tanah air kita di masa
lalu. Lahir 26 Agustus 1963 di Solo, pria yang bernama asli Widji Widodo ini
merupakan penyair yang amat vokal dalam mengkritik penindasan rezim Orde Baru.
Beliau aktif dalam berbagai isu, mulai dari sosial hingga ekologis; antara lain
ikut dalam demonstrasi membela petani hingga memprotes pencemaran lingkungan
oleh pabrik tekstil. Bahkan pada tahun 1995 beliau mengalami cedera mata kanan
karena aksi kekerasan aparat saat ikut dalam aksi protes salah satu pabrik
tekstil di Solo. Namun itu sama sekali tak menghentikan ambisi beliau dalam
mencari keadilan bagi “wong cilik”.
Sayang, pada tanggal 23
Juli 1998, idealisme beliau ini berbuntut maut ketika beliau menghilang dan
tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang.
Widji Thukul diduga
menjad korban keganasan “Tim Mawar” sebuah tim bersenjata yang dibentuk oleh rezim
otoriter Orde Baru untuk menjaga “kedamaian dan keteraturan” kala itu dengan
para menculik para aktivis yang dianggap “merongrong” para penguasa. Mereka
mulai beraksi semenjak menjelang pemilu Mei 1997 dan semakin menjadi-jadi pasca
Kerusuhan Mei 1998; sebuah catatan hitam dalam sejarah yang hingga kini ingin
dilupakan oleh bangsa ini.
Penghilangan paksa para
aktivis pro-demokrasi ini memakan korban hingga 23 orang, dimana satu orang
dinyatakan tewas, sembilan lainnya dibebaskan, sementara 13 hilang masih tak
jelas keberadaannya hingga kini.
Satu aktivis yang
meninggal adalah Leonardus Gilang, sementara 13 lainnya yang masih hilang
adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi
Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Hambali, dan
Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan tentu saja Wiji Thukul. Dari ketigabelas
aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di pos
komando militer di Cijantung, Jakarta. Mereka yang selamatpun mengaku disiksa
habis-habisan ketika berada dalam sekapan tersebut. Selama 24 tahun, nasib
mereka seolah lenyap dalam kabut misteri dan keputusasaan.
Heran mengapa tak ada
satupun di antara nama-nama itu yang mendapat keadilan? Well, sebab di negara
ini, bahkan seorang hakimpun tak berkutik di hadapan mereka yang berduit dan
berkuasa.
SYAFIUDDIN KARTASASMITA: SANG HAKIM YANG BERANI
Sah-sah saja jika kalian
belum pernah mendengar nama beliau, sebab kasus yang menimpa sang hakim ini
seolah memang sengaja dikubur begitu saja dalam sejarah. Syafiuddin
Kartasasmita merupakan salah satu Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik
Indonesia yang pada 2001 dengan berani menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan
denda Rp 30,6 miliar kepada Tommy Soeharto, putra bungsu dari mantan presiden,
Soeharto.
Kala itu Tommy tersangkut
skandal tukar guling Bulog yang sempat menghebohkan kala itu. Sang “pangeran”
tersebut dinyatakan tidak bersalah pada Oktober 1999 oleh Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan. Namun pada September 2000, tiga Hakim Agung yang dipimpin
Syafiuddin Kartasasmita membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman
penjara selama 18 bulan kepada Tommy atas tindak pidana korupsi. Akibatnya,
putra mantan diktator itu sempat kabur dan bersembunyi. Konon, sang hakim juga
menolak suap yang diberikan kepada beliau.
Sayang, keberanian ini
kelak dibalas dengan pertumpahan darah. Dalam perjalanan menuju kantor, beliau
dibunuh setelah ditembak empat kali. Konon, sang pembunuh dibayar 100 juta
untuk menghabisi sang hakim. Mahkamah Agung Indonesia kemudian “menanggapi”
kasus pembunuhan ini dengan membatalkan putusan korupsi Tommy oleh Hakim Syafiuddin
Kartasasmita setahun kemudian. Banyak yang menyebut tindakan ini merupakan
bagian dari kesepakatan agar Tommy mau keluar dari persembunyiannya.
Pada tanggal 2002, Tommy
kemudian ditangkap dan dihukum 15 tahun penjara atas pembunuhan sang hakim;
putusan yang teramat mengejutkan sebab pembunuhan berencana, apalagi menimpa
seorang petinggi semacam ini, sewajarnya diganjar dengan hukuman mati. Yang
lebih “mengejutkan”, Tommy kemudian bebas pada 2006 setelah hanya menjalani
hukumannya selama 4 tahun. Kini, trah terakhir klan Soeharto tersebut kembali
aktif di bidang bisnis dan politik.
Update: Itu si polycarpus udh lama meninggal karena kena covid
ReplyDelete