Thursday, September 21, 2023

BELUM MERDEKA DARI MISTERI: KISAH SEDIH PARA PEJUANG HAM INDONESIA YANG KASUSNYA TAK PERNAH TERPECAHKAN

 Pengantar: Artikel ini gue tulis 2022 lalu khusus di Karyakarsa untuk merayakan Dirgahayu Kemerdekaan Indonesia dan merupakan bagian dari Misteri Nusantara, yakni kumpulan artikel yang gue dedikasikan untuk membahas kasus-kasus yang belum terpecahkan di Indonesia

Pas di tanggal 17 Agustus ini, gue kepengen banget bikin postingan khusus buat dirgahayu kemerdekaan RI yang tercinta ini. Tentu saja karena ini hari ultahnya Indonesia, postingannya pun terinspirasi dari peristiwa yang terjadi di tanah air dong. Sayang sekali ya, walaupun sudah 77 tahun merdeka, tetap saja, kita belum bebas oleh sejarah hitam yang masih membelenggu kita. Negara kita emang tidaklah sempurna. Mulai dari peristiwa 1965, kerusuhan Mei 1998, kasus Sampit di 2001, negara kita memang mendulang masa lalu yang cukup kelam.

Pada masa Orde Baru, pemerintah kita memang dikenal otoriter dan menghalalkan segala macam cara demi mempertahankan kekuasaan. Namun, selalu ada pula orang-orang yang berani mempertaruhkan nyawa mereka demi membela sesama dan memperjuangkan hak asasi manusia dan kebebasan, yang seringkali diberendel. Sayangnya, tak jarang para pejuang kemanusiaan ini meregang nyawa di tangan orang-orang tak bertanggung jawab, bahkan kematian merekapun hingga kini tak pernah mendapatkan keadilan.

Dalam kesempatan kali ini gue ingin mengkilas balik tentang para pejuang HAM yang perlu sekali kita ingat. Karena toh, bagi bangsa ini mereka sudah adalah pahlawan, walaupun tak diakui keberadaannya. Kasus-kasus HAM apakah yang pernah mengguncang Indonesia pada masa lalu? Mari kita simak bersama.

MUNIR SAID THALIB: MAUT DI UDARA


Buat kalian yang selera musiknya anti-mainstream mungkin pernah mendengar lagu Efek Rumah Kaca berjudul “Di Udara” (buat yang belum gue rekomendasiin banget nih lagunya). Nah salah satu lirik lagu ini yang berbunyi “aku bisa diracun di udara” merupakan tribute untuk Munir, seorang pejuang HAM yang mengalami nasib serupa.

Pria bernama asli Munir Said Thalib ini lahir di 1965 di Batu, Malang. Pria lulusan Fakultas Hukum Universitas Brawijaya ini dikenal luas sebagai advokat dan aktivis hak asasi manusia. Munir dikenal amatlah vokal akan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia pada masa Orde Baru, di antaranya adalah berbagai kasus menghilangnya para aktivis HAM pada tahun 1997-1998. Bahkan beliau kemudian mendirikan lembaga swadaya masyarakat (LSM) Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) demi mencari keadilan bagi mereka yang menjadi korban penghilangan paksa pada masa itu. Seperti kalian tahu, pada tahun tersebut bangsa Indonesia mengalami gejolak yang cukup dashyat yang berpuncak pada digulingkannya Soeharto dan berakhirnya era Orde Baru. Kasus-kasus lain yang beliau tangani adalah penembakan pada Tragedi Semanggi 1998, serta berbagai kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, Timor Leste, dan Papua.

Namun tentu, aksi beliau ini mengundang bahaya. Pada 2001, sebuah paket berisi bom dialamatkan ke rumahnya ketika beliau tengah menyelidiki kasus penculikan para aktivis. Puncaknya, pada 7 September 2004, beliau meninggal ketika tengah terbang di pesawat Garuda Indonesia Penerbangan 974 dari Jakarta menuju Amsterdam. Dalam hasil penyelidikan yang dilakukan oleh kepolisian Belanda, disimpulkan bahwa Munir diracun menggunakan arsenik.

Hingga kini kematian Munir masihlah diselimuti misteri. Seorang pilot bernama Pollycarpus Budihari Priyanto yang berada dalam penerbangan yang sama, kemudian divonis 14 tahun hukuman penjara atas pembunuhan terhadap Munir pada 20 Desember 2005. Lucunya, apabila memang bersalah sebagai sang eksekutor, jelas Pollycarpus tak bekerja sendiri dan menerima perintah untuk melaksanakan pembunuhan tersebut. Namun siapa sebenarnya dalang di balik meninggalnya Munir?

Well, pertama gue perkenalkan dulu perbedaan antara Wikipedia Indonesia dan Wikipedia berbahasa Inggris. Banyak sih dari artikel Wikipedia hanya dicopas atau diterjemahkan dari artikel berbahasa lain. Semisal Wikipedia internasional menerjemahkan isi Wikipedia berbahasa Indonesia, begitu pula sebaliknya; sehingga isi kedua kontennya sama. Namun yang gue perhatikan di artikel Wikipedia tentang Munir justru berbeda. Jelas, ketika kalian membaca versi bahasa Indonesianya, banyak hal yang “disensor”, sehingga gue malah mengamati bahwa artikel tentang Munir di Wikipedia internasional yang berbahasa Inggris justru lebih lengkap.

Salah satunya adalah paragraf tentang siapa terduga “dalang” di balik kematian Munir. Wikipedia internasional jelas-jelas menyinggung tentang keterlibatan BIN atau Badan Intelejen Negara atas kematian aktivis HAM tersebut. Namun paragraf itu seolah “lenyap” di Wikipedia Indonesia.

Pollycarpus kini bebas setelah menjalani setengah masa hukumannya dan tragisnya, kini kasus Munir menguap begitu saja, bahkan mungkin mulai dilupakan. Kabut misteri yang menyelimutinya pun terlalu “berbahaya” untuk diungkap. Namun jangankan Munir, kasus yang terjadi baru-baru ini seperti yang menimpa Novel Naswedan-pun belum mendapatkan titik terang.

 

UDIN: KASUS WARTAWAN SEDUNIA

Kasus pelanggaran lain yang ingin gue bahas menimpa seorang wartawan bernama Fuad Muhammad Syafruddin atau yang lebih dikenal dengan nama Udin. Lahir pada 1963, beliau menjadi wartawan di koran Bernas. Semenjak lahir, hidup beliau dianggap “kurang beruntung” karena lahir di weton yang dianggap “sial” dalam tradisi Jawa, yakni Senin Kliwon. Entah benar atau tidak, namun resonansinya nyatanya terasa dalam kehidupan Udin selanjutnya. Udin muda kala itu ingin menjadi seorang tentara, namun karena kekurangan “koneksi”, mimpinyapun kandas di tengah jalan.

Udin kemudian menjadi wartawan lepas di Bernas, sebuah surat kabar harian di Yogyakarta yang kala itu dimiliki oleh Kompas Gramedia Group. Beliau dikenal amat vokal dalam menulis tentang penyimpangan politik kala itu, dimana salah satunya adalah laporannya tentang kasus korupsi yang melibatkan Bupati Bantul. Sang bupati kala itu yang konon “menyuap” demi mempertahankan posisinya sebagai bupati, dengan imbalan “200 persen” kemenangan bagi partai yang berkuasa kala itu (nggak nyebut ya, takut ilang juga gue nanti).

Akibat tulisannya yang terang-terangan ini, pada 13 Agustus 1996 nasib naas menghinggapi beliau ketika rumah beliau dikunjungi dua orang misterius yang kemudian menghantam kepala beliau dengan besi. Udin sempat dibawa ke rumah sakit, namun sayang, nyawa beliau tak terselamatkan. Sempat takut, pihak Bernas sendiri sempat takut memberitakan serangan kepada salah satu wartawannya ini. Namun mereka akhirnya berani menerbitkannya dan pemakaman beliaupun dihadiri ribuan orang.

Namun kisah yang kemudian mengikutinya sungguhlah aneh. Pihak berwajib seolah cukup “serius” menangani kasus pembunuhan ini hingga dalam waktu singkat mereka berhasil menangkap tersangkanya. Hanya berselang dua bulan, pihak berwajib menangkap seorang sopir bernama Dwi Sumaji yang mengaku bahwa ia membunuh Udin karena cemburu akibat perselingkuhan sang wartawan dengan istrinya, Sunarti. Namun banyak pihak meragukan pengakuan itu, sebab Marsiyem, istri Udin yang melihat pelaku pembunuhan sang suami, yakin bahwa ia bukanlah pria yang menghabisi nyawa suaminya. Sumaji kemudian menarik pengakuannya dan mengaku bahwa ia dipaksa dan dibujuk oleh pihak berwajib untuk membuat pengakuan palsu itu.

Kisah aneh lainnya terjadi ketika salah seorang kepala polisi sengaja membuang salah satu barang bukti, yakni darah Udin ke laut dengan alasan yang terbilang amatlah ganjil, yakni sebagai “sesajen” bagi Nyi Roro Kidul, sang penguasa Laut Selatan, agar penyelidikan kasus menjadi lancar. Tak hanya itu, barang bukti penting berupa buku catatan Udin dimana ia menyimpan semua bahan investigasinyapun ikut hilang di tangan pihak berwajib.

Hingga kini kasus Udin tak pernah terpecahkan dan tak ada satupun yang ditangkap ataupun diadili akan kasus yang menimpa Udin. Namun paling tidak kini namanya bersinonim dengan seorang pencari kebenaran yang tak takut akan apapun. Sayang, nasib yang dialami Udin ini seakan “mendunia”, sebab inilah resiko yang harus diamini para pewarta kebenaran di seluruh dunia. Kasus yang baru-baru terjadi adalah wartawati Shireen Abu Akleh yang harus rela nyawa beliau melayang ketika meliput kekejian militer Israel di Palestina.

 

MARSINAH: TANGISAN PENCARI KEADILAN

Kisah Marsinah yang amat tragis ini pernah diangkat menjadi film berjudul “Cry for Justice”, sebab kematian beliau layak menjadi tangis kesedihan ketika mengingat betapa lemahnya negara kita dalam hal penegakan HAM.

Lahir pada 1969 di Nganjuk, semenjak kecil Marsinah dikenal sebagai anak yang teramat cerdas. Namun sayang karena ketiadaan biaya, Marsinah terpaksa mengubur impian beliau dalam-dalam untuk menjadi pengacara dan bekerja sebagai buruh di PT. Catur Putra Surya (CPS) di Porong, Sidoarjo. Pada 8 Mei 1993, setelah menghilang selama tiga hari, mayat Marsinah ditemukan di hutan dengan bekas-bekas penganiayaan yang teramat brutal.

Namun mengapa Marsinah menjadi korban kekejian semacam itu? Pada awal tahun 1993, Gubernur Jawa Timur mengeluarkan surat edaran yang menghimbau pengusaha agar menaikkan gaji karyawannya sebesar 20%. Sayang, imbauan itu tak ditaati PT. CPS dimana Marsinah bekerja hingga dibalas dengan aksi unjuk oleh para buruh menuntut kenaikan upah. Besarnya kenaikan gaji yang mereka tuntut adalah dari Rp 1.700 menjadi Rp 2.250. Angka itu mungkin amat kecil ya untuk ukuran zaman sekarang, namun banyak berarti pada masa itu dimana harga seposri makanan saja masih berkisar 150 hingga 200 rupiah.

Marsinah dikenal sangat aktif membela hak teman-teman beliau, bahkan memimpin aksi unjuk rasa buruh. Sayang keterlibatan Marsinah tersebut berbuntut maut. Hingga kini, keanehan terus saja tercium. Tentu kita menduga kematian Marsinah didalangi oleh pihak perusahaan, namun anehnya para bos PT tersebut mengaku diculik dan disiksa agar mengaku. Mereka kemudian diadili dan dijatuhi 12 hingga 17 tahun penjara, namun Mahkamah Agung Republik Indonesia kemudian membebaskan mereka dari segala dakwaan. Kecurigaan malah jatuh ke pihak berwajib pada masa Orde Baru karena Marsinah sebelum tewas diketahui dibawa ke sebuah markas tentara.

 

WIDJI THUKUL: LENYAP DALAM KABUT KONSPIRASI

Bravo jika kalian tahu nama Widji Thukul, sebab ini artinya kalian punya kepedulian, atau paling tidak pengetahuan tentang pelanggaran HAM yang terjadi di tanah air kita di masa lalu. Lahir 26 Agustus 1963 di Solo, pria yang bernama asli Widji Widodo ini merupakan penyair yang amat vokal dalam mengkritik penindasan rezim Orde Baru. Beliau aktif dalam berbagai isu, mulai dari sosial hingga ekologis; antara lain ikut dalam demonstrasi membela petani hingga memprotes pencemaran lingkungan oleh pabrik tekstil. Bahkan pada tahun 1995 beliau mengalami cedera mata kanan karena aksi kekerasan aparat saat ikut dalam aksi protes salah satu pabrik tekstil di Solo. Namun itu sama sekali tak menghentikan ambisi beliau dalam mencari keadilan bagi “wong cilik”.

Sayang, pada tanggal 23 Juli 1998, idealisme beliau ini berbuntut maut ketika beliau menghilang dan tidak diketahui keberadaannya sampai sekarang.

Widji Thukul diduga menjad korban keganasan “Tim Mawar” sebuah tim bersenjata yang dibentuk oleh rezim otoriter Orde Baru untuk menjaga “kedamaian dan keteraturan” kala itu dengan para menculik para aktivis yang dianggap “merongrong” para penguasa. Mereka mulai beraksi semenjak menjelang pemilu Mei 1997 dan semakin menjadi-jadi pasca Kerusuhan Mei 1998; sebuah catatan hitam dalam sejarah yang hingga kini ingin dilupakan oleh bangsa ini.

Penghilangan paksa para aktivis pro-demokrasi ini memakan korban hingga 23 orang, dimana satu orang dinyatakan tewas, sembilan lainnya dibebaskan, sementara 13 hilang masih tak jelas keberadaannya hingga kini.

Satu aktivis yang meninggal adalah Leonardus Gilang, sementara 13 lainnya yang masih hilang adalah Petrus Bima Anugrah, Herman Hendrawan, Suyat, Yani Afri, Sonny, Dedi Hamdun, Noval Al Katiri, Ismail, Ucok Mundandar Siahaan, Hendra Hambali, dan Yadin Muhidin, Abdun Nasser, dan tentu saja Wiji Thukul. Dari ketigabelas aktivis yang masih dinyatakan hilang tersebut diketahui pernah berada di pos komando militer di Cijantung, Jakarta. Mereka yang selamatpun mengaku disiksa habis-habisan ketika berada dalam sekapan tersebut. Selama 24 tahun, nasib mereka seolah lenyap dalam kabut misteri dan keputusasaan.

Heran mengapa tak ada satupun di antara nama-nama itu yang mendapat keadilan? Well, sebab di negara ini, bahkan seorang hakimpun tak berkutik di hadapan mereka yang berduit dan berkuasa.

 

SYAFIUDDIN KARTASASMITA: SANG HAKIM YANG BERANI

Sah-sah saja jika kalian belum pernah mendengar nama beliau, sebab kasus yang menimpa sang hakim ini seolah memang sengaja dikubur begitu saja dalam sejarah. Syafiuddin Kartasasmita merupakan salah satu Hakim Agung di Mahkamah Agung Republik Indonesia yang pada 2001 dengan berani menjatuhkan hukuman 18 bulan penjara dan denda Rp 30,6 miliar kepada Tommy Soeharto, putra bungsu dari mantan presiden, Soeharto.

Kala itu Tommy tersangkut skandal tukar guling Bulog yang sempat menghebohkan kala itu. Sang “pangeran” tersebut dinyatakan tidak bersalah pada Oktober 1999 oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Namun pada September 2000, tiga Hakim Agung yang dipimpin Syafiuddin Kartasasmita membatalkan putusan tersebut dan menjatuhkan hukuman penjara selama 18 bulan kepada Tommy atas tindak pidana korupsi. Akibatnya, putra mantan diktator itu sempat kabur dan bersembunyi. Konon, sang hakim juga menolak suap yang diberikan kepada beliau.

Sayang, keberanian ini kelak dibalas dengan pertumpahan darah. Dalam perjalanan menuju kantor, beliau dibunuh setelah ditembak empat kali. Konon, sang pembunuh dibayar 100 juta untuk menghabisi sang hakim. Mahkamah Agung Indonesia kemudian “menanggapi” kasus pembunuhan ini dengan membatalkan putusan korupsi Tommy oleh Hakim Syafiuddin Kartasasmita setahun kemudian. Banyak yang menyebut tindakan ini merupakan bagian dari kesepakatan agar Tommy mau keluar dari persembunyiannya.

Pada tanggal 2002, Tommy kemudian ditangkap dan dihukum 15 tahun penjara atas pembunuhan sang hakim; putusan yang teramat mengejutkan sebab pembunuhan berencana, apalagi menimpa seorang petinggi semacam ini, sewajarnya diganjar dengan hukuman mati. Yang lebih “mengejutkan”, Tommy kemudian bebas pada 2006 setelah hanya menjalani hukumannya selama 4 tahun. Kini, trah terakhir klan Soeharto tersebut kembali aktif di bidang bisnis dan politik.

1 comment:

  1. Update: Itu si polycarpus udh lama meninggal karena kena covid

    ReplyDelete