Kebetulan salah satu pendukung Karyakarsa meminta gue untuk membahas salah satu topik tentang efek. Ketika mempelajarinya, gue menemukan bahwa ternyata ada banyak efek-efek lain ternyata cukup menarik. Contohnya, kalian mungkin sudah tak asing dengan yang namanya Butterfly Efect, Domino Effect, sampai Greenhouse Effect. Yang jelas, efek merupakan sebutan bagi sebuah situasi yang memiliki dampak yang cukup signifikan pada kita dan nggak hanya bisa diterapkan di sains saja, melainkan sampai ke psikologi. Salah satu yang ingin gue bahas adalah Mandela Effect, namun ada banyak juga kok efek-efek lain yang cukup penting untuk kita ketahui. Apa saja? Mari kita simak bersama.
MANDELA EFFECT
Efek yang satu ini memang sering digunakan sebagai bukti bahwa dunia paralel benar-benar ada. Coba saja perhatikan dua gambar Pikachu berikut ini. Mana menurut kalian merupakan gambar Pikachu yang asli?
Mungkin kalian yang akan menjawab yang kiri, padahal jawabannya
justru adalah yang kanan (tanpa warna hitam di ujung ekornya). Mungkin hal ini akan menyebabkan kita berpikir bahwa
realita yang kita alami saat kita kecil berbeda jauh dengan realita kita
sekarang. Dengan kata lain, kita mungkin berada dalam dimensi yang lain atau
pernah mengalami dimensi yang berbeda. Namun ternyata jawaban atas efek ini
bisa dengan mudah dijelaskan melalui ilmu psikologi.
Kenapa kita menganggap ekor Pikachu memiliki pola hitam pada
ujungnya? Ini karena Pikachu sendiri memiliki pola tersebut di bagian tubuhnya
yang lain, seperti ujung telinganya, sehingga kita langsung menyimpulkan bahwa
warna hitam itu juga ada pada ekornya, padahal pada kenyataannya tidak.
Karena inilah Mandela effect seringkali disebut sebagai “false memories” atau ingatan palsu karena apa yang kita ingat ternyata berbeda jauh dengan apa yang sebenarnya kita alami. Contoh lainnya adalah George, sang monyet dari “Curious George”, sebuah acara animasi dari tahun 2006. Acara ini mungkin belum pernah kalian tonton sehingga kalian akan kebal dari efek Mandela. Namun buat kalian yang sudah menonton maupun yang belum, manakah kira-kira gambar George yang benar? Yang memiliki ekor atau tidak?
Pasti kalian akan memiliki jawaban yang sama, yakni yang memiliki
ekor. Jelas, logikanya seekor monyet pastilah memiliki ekor. Akan tetapi tokoh
George si monyet dari acara tersebut sesungguhnya tak memiliki ekor. Inilah yang
disebut dengan memori palsu di mana kita kemudian menyesuaikan ingatan kita dengan
ekspektasi kita, sehingga yah, mungkin agak mengecewakan kalian.
Mandela effect bukanlah bukti adanya dimensi paralel, walaupun
kemungkinan adanya multiverse tidaklah ditampik oleh sains sekalipun. Mandela
Effect justru merupakan bukti bahwa ingatan kita adalah sesuatu yang ringkih
(apalagi jika kejadian itu sudah lama atau terjadi saat kita kecil) sehingga
tak 100% akurat.
Nah selain Mandela effect, ternyata masih banyak efek-efek lain
yang patut kita ketahui. Beberapa bahkan mungkin akan mengejutkan kita. Namun
mengetahui tentang efek-efek ini sangatlah penting untuk membuat kita lebih
mengenali diri kita sendiri.
HALO EFFECT
Efek halo merupakan efek dimana seseorang akan mengasosiasikan
sebuah sifat tertentu dari seseorang dengan keseluruhan karakter atau
pribadi orang tersebut. Kita sering sekali mengalami efek ini, dimana secara
otomatis kita akan menganggap orang wajahnya cantik atau ganteng sebagai orang yang
baik dan bisa dipercaya. Padahal wajah sama sekali tak ada kaitannya dengan
kepribadian seseorang. Adanya efek halo ini membuat kita menganggap suatu sifat
tertentu dari seseorang akan menggambarkan keseluruhan pribadinya yang jelas
tidaklah tepat Namun sayang, secara bawah sadar, efek ini dialami oleh
banyak orang.
Kenapa dinamai sebagai efek halo? Nah, pada lukisan-lukisan zaman
dahulu dari Eropa, terutama yang bertema religius, orang-orang suci digambarkan
memiliki halo atau lingkaran cahaya di kepalanya. Otomatis, apabila melihat lukisan
seseorang dengan lingkaran cahaya di kepalanya, maka para penikmat lukisan
tersebut langsung tahu bahwa itu adalah lukisan orang suci. Ini
menggambarkan sudut pandang kita yang kadang menyimpulkan keseluruhan
karakter seseorang dari atribut tertentu.
Tak hanya menyesatkan, halo effect ini juga memiliki kebalikannya,
yakni “horn effect” atau “efek tanduk”. Sama seperti halo, pada lukisan-lukisan
zaman dahulu, sosok setan biasanya digambarkan memiliki tanduk. Efek ini mengisyaratkan
bahwa orang-orang yang memiliki wajah kurang menarik atau mengenakan sesuatu
yang tak sesuai dengan norma-norma lokal biasanya diasosiasikan sebagai orang
jahat.
Di kehidupan nyata, biasanya atribut-atribut tertentu yang sama sekali
tak ada kaitannya dengan sifat atau karakter seseorang, seperti memiliki tato atau
memiliki rambut gondrong dan brewokan, biasanya diasosiasikan sebagai pelaku
kejahatan. Padahal yang berdasi dan berpenampilan alim bisa kok berbuat jahat. Jadi
jelas ya pesan moralnya, jangan menghakimi orang hanya berdasarkan
penampilannya saja.
BAADER–MEINHOF EFFECT
Pernah gak sih kalian mengalami skenario seperti ini, misalkan kalian
bertanya kepada teman tentang sebuah merk mobil yang belum pernah kalian dengar
sebelumnya. Kemudian teman kalian itu menjelaskan seperti apa bentuknya dan
menunjukkannya ketika mobil jenis tersebut lewat. Kemudian setelah hari itu, tiba-tiba
saja kalian melihat mobil jenis itu di mana-mana, bahkan lebih sering ketimbang
yang dulu.
Nah efek ini (walaupun sekilas nggak penting) ternyata ada namanya
lho, yakni Baader–Meinhof effect
di mana ketika kita mengenali sesuatu, maka frekuensi
penampakannya akan terasa lebih sering; walaupun sebenarnya jumlahnya tetap
saja sama seperti sebelum kita mengetahuinya. Hal ini karena sebelumnya, kita memang
tidak begitu memperhatikannya. Konsep ini memang sangat sering kita alami, akan
tetapi jika kalian terlalu sering mengalaminya, bisa-bisa itu adalah
gejala schizophrenia.
BARNUM EFFECT
Nah buat kalian yang demen banget ama yang namanya ramalan bintang
ataupun ramalan-ramalan lain seperti golongan darah, ternyata ada penjelasan
ilmiah mengapa ramalan-ramalan tersebut terdengar masuk akal dan “gue banget”.
Ternyata itu semua merupakan contoh Barnum effect di mana suatu pernyataan terdengar
sangat akurat walaupun sebenarnya isinya sangatlah umum dan bisa diaplikasikan
untuk semua orang. Hampir semua contohnya bisa kita lihat pada hasil-hasil
ramalan sehingga tes kepribadian yang palsu.
Contohnya adalah pernyataan-pernyataan seperti ini:
1) Jika kamu bergolongan darah A maka kamu cenderung membutuhkan
orang lain dan ingin dikagumi
2) Jika kamu bergolongan darah B maka kamu orangnya kuat, namun cenderung
kritis kepada diri sendiri
3) Jika kamu bergolongan darah O maka kamu sering meragukan
kemampuanmu sendiri dan suka sulit dalam mengambil keputusan
4) Jika kamu bergolongan darah AB maka kamu cenderung independen
dan tidak mau diatur atau dikekang.
Sekilas memang keempatnya berbeda. Akan tetapi coba dalami
baik-baik semua pertanyaan tersebut umumnya berlaku bagi semua orang, bukan
hanya orang-orang tertentu. Contohnya “sulit membuat keputusan” bisa dialami
semua orang, namun terasa akurat jika kamu kebetulan bergolongan darah O.
Contoh lain semisal sebuah tes kepribadian [palsu]
menyebutkan bahwa kamu sebenarnya suka bergaul akan tetapi di dalam hati kamu
sesungguhnya insecure. Jika kamu orangnya introvert, pernyataan ini akan sesuai
dengan kepribadian kalian. Namun bagi kaum ekstrovert-pun, pernyataan itu bisa
saja juga terdengar benar. Efek ini pertama kali dieksploitasi oleh PT Barnum,
yakni pemilik sirkus yang diabadikan dalam film “The Greatest Showman”,
sehingga dinamai sesuai namannya. Emang beda jauh dengan versinya yang
diperankan Hugh Jackman, Barnum versi sesungguhnya adalah seorang penipu ulung.
BYSTANDER EFFECT
Pernah nggak sih kalian mengalami kejadian seperti ini, dimana kalian
melihat kecelakaan di jalan tetapi orang-orang malah mengerubungi korban tanpa berusaha
memberikan pertolongan? Inilah yang disebut dengan “bystander effect” atau “efek pengamat” di
mana ada kecenderungan bahwa apabila kalian berada dalam sebuah kerumunan,
kalian akan cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh mayoritas orang
tersebut. Apabila tak ada satupun yang memberikan pertolongan, maka kalianpun
akan merasa ragu untuk memberikan pertolongan. Lebih parahnya lagi, efek ini
nggak hanya kalian rasakan secara pribadi, namun juga berlaku bagi semua orang di
kerumunan itu. Akubatnya mereka juga enggan memberikan bantuan karena melihat
orang lain juga tak melakukan apapun.
Percaya atau enggak, efek ini mendorong dicetuskannya 911 di
Amerika Serikat sana. Pada tahun 1964, seorang wanita bernama Kitty Genovese
tewas dibunuh di New York. Kala itu ia berteriak meminta tolong, namun tak ada
satupun tetangganya yang memberikan pertolongan. Kematiannya yang mengenaskan menginspirasi
dibentuknya 911 agar masyarakat bisa lebih aktif meminta pertolongan pihak
berwajib apabila melihat suatu kejahatan atau situasi darurat lain.
http://mengakubackpacker.blogspot.com/2020/04/would-you-help-her-kasus-kitty-genovese.html
Namun jangan khawatir, efek ini juga berlaku kebalikannya loh. Semisal
kalian berada dalam sebuah kerumunan dan ada satu atau dua orang yang
memutuskan untuk menolong, maka otomatis orang-orang di sekitarnya pun juga
akan ikut membantu tanpa pikir dua kali. Contohnya pada video ini. Fenomena ini
sebenarnya termasuk ke dalam “wagon effect”, di mana orang-orang cenderung
mengikuti ikut-ikutan perilaku mayoritas orang karena mereka tak ingin
dianggap “berbeda”.
https://www.youtube.com/watch?v=YORxs9E2Ex0
CROSS-RACE EFFECT
Pernah enggak kalian merasa nonton film Korea atau Jepang lalu sulit
bedain para pemerannya karena menurut kalian mukanya sama semua? Nah ini bukan berarti
kalian rasis kok, namun fenomena ini secara ilmiah bisa dibuktikan sebagai
“cross-race effect”. Efek ini membuat seseorang lebih mudah mengenali
fitur-fitur wajah dari orang-orang yang berasal dari ras yang sama di mana
dia dibesarkan. Sebaliknya, ia akan lebih kesulitan membedakan wajah-wajah
orang dari ras yang berbeda.
Gue juga pernah mengalaminya kok ketika nonton film-film Barat,
terutama yang settingnya di zaman kuno di mana mereka biasanya punya jenggot
tebal. Gue sangat kesulitan membedakan toko satu dengan yang lainnya karena
jenggotnya bikin mereka semua mirip. Namun efek ini bisa dinegasikan apabila kalian
banyak bergaul dengan orang-orang dari ras lain sehingga kalian akan mulai
mudah membedakan mereka satu dengan yang lain.
Sayang sekali, di Amerika Serikat yang masih mengalami
diskriminasi rasial, adanya “cross-race effect” ini menyebabkan banyak sekali
malapetaka. Semisal seorang pria kulit hitam bernama Ronald Cotton yang
pada tahun 1985 dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh memperkosa seorang
wanita kulit putih bernama Jennifer Thompson-Cannino. Tetapi setelah 10 tahun
kemudian terbukti bahwa ternyata ia bukan pelakunya. Rupanya Jennifer salah
mengenali Ronald karena ia dan sang pelaku sama-sama berkulit hitam. Tragis memang.
NEGATIVITY EFFECT DAN
POLYANNA EFFECT
Pernah penasaran kenapa sih kita susah move on? Ternyata ada
penjelasan ilmiahnya yang namanya negativity effect. Efek ini menyebutkan bahwa
kita akan lebih cenderung tak bisa melupakan emosi atau pengalaman negatif,
contohnya ketika kita disakiti, putus cinta, sedih, marah, dan lain-lain.
Kita memang cenderung mengingat pengalaman-pengalaman buruk
karena otak kita memang sudah dirancang seperti itu. Rupanya tujuannya agar
kita bisa menghindari peristiwa-peristiwa serupa di masa depan. Efek samping
dari efek ini adalah kita cenderung lebih mudah mengingat orang yang bertindak
kurang menyenangkan pada kita, namun malah lebih gampang melupakan orang yang
baik dan berjasa bagi kita.
Yang lebih berbahaya, efek ini seringkali dibarengi dengan prinsip
yang berlawanan, yakni “Pollyanna principle”. Efek ini menyebutkan bahwa
seseorang akan memiliki ingatan yang lebih akurat ketika mengalami peristiwa
yang menyenangkan ketimbang peristiwa yang tidak menyenangkan. Hal ini berimbas
bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan akan terus kita ingat, namun tidak akan
100% akurat. Hal ini karena otak kita sesungguhnya lebih ingin melupakan
peristiwa yang tak mengenakkan tersebut, namun dicegah oleh negativity effect
ini. Akibatnya, memori yang disimpanpun cenderung “tidak penuh”.
Semisal kita selalu ingat dulu pernah disakiti oleh seseorang yang
mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Kita akan ingat terus perlakuan orang ini
karena negativity effect. Namun bisa jadi, perkataan itu aslinya berbeda dengan
apa yang kita ingat sebagai akibat Pollyanna effect.
Kesimpulannya, kita harus seimbangkan antara kedua efek ini, jangan sampai kita marah sama orang selama bertahun-tahun padahal kejadian aslinya sangatlah sepele, atau malah hanya salah paham belaka.
GOOGLE EFFECT
Google, walaupun memberikan banyak manfaat kepada kita,
ternyata memiliki efek yang cukup negatif, yakni kita jadi cenderung
gampang lupa atau mengalami “digital amnesia”. Efek Google menyebutkan bahwa
kita cenderung melupakan informasi yang bisa dengan kita mudah bisa kita temukan
atau cari secara online.
Contoh konkret nih, apa lu ingat nomor HP dari ortu,
kakak, atau teman dekat kalian? Jawabannya mungkin tidak karena dengan
kemudahan teknologi saat ini, tinggal pencet-pencet HP saja akan langsung
ketemu nomor kontak tersebut. Ini mungkin berbeda dengan nomor HP kita yang
biasanya akan cenderung kita ingat lebih baik karena kita akan menggunakannya
untuk mengisi pulsa atau untuk diberikan kepada orang lain.
Walaupun kita nggak bisa menghindari efek ini akibat kemajuan
teknologi, tetapi ada baiknya sih kita tetap menajamkan daya ingat kita. Semisal
dengan mengingat nomor-nomor darurat yang bisa kita hubungi apabila suatu hari
nanti handphone kita hilang.
Gue jadi penasaran nih, apakah Google effect menyebabkan fenomena
seperti di video ini ya?
https://www.youtube.com/watch?v=FVPCGA6IJXY&t=3s
LESS-IS-BETTER EFFECT
Kita telisik efek ini dengan menjawab pertanyaan ini. Menurut
kalian manakah yang lebih bahagia, atlet yang mendapatkan hadiah medali perak
atau perunggu? Mungkin kalian akan menjawab medali perak karena jelas atlet
tersebut meraih posisi kedua, yang notabene lebih tinggi ketimbang medali
perunggu. Akan tetapi kenyataannya, justru bisa jadi atlet yang meraih medali
perunggu yang lebih bahagia. Pasalnya atlet yang mendapatkan medali perak
mungkin merasa menyesal karena sedikit lagi ia bisa mendapatkan medali emas atau
menjadi juara pertama. Sementara yang mendapatkan perunggu merasa lebih bahagia
karena paling tidak ia bisa mendapatkan medali.
Ternyata efek ini ada namanya yaitu “less-is-better effect” di mana orang-orang akan
cenderung memilih benda-benda yang sebenarnya memiliki bernilai lebih
rendah dan menolak benda-benda yang bernilai lebih tinggi. Contohnya begini
nih, kalian ditawari dua es krim seperti ini. Satu es krim diwadahi oleh wadah
kecil tetapi sampai penuh, bahkan sampai menjulang ke atas; atau es krim
satunya yang diwadahi oleh wadah yang besar tapi tidak sampai penuh.
Kalian mungkin memilih yang pertama karena penampilannya lebih
menggoda. Akan tetapi jika ditimbang, bisa saja es krim di wadah kedua memiliki
volume yang lebih besar alias kalian agar lebih puas jika memilihnya. Maka tak
heran, efek ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku dunia industri untuk
menggoda para konsumen mereka.
Tulisannya gelap, bang. Gw kira cuma foto-foto doang,dah.
ReplyDeleteSemangat terus bang bikin kontennya
ReplyDelete