Thursday, September 21, 2023

MANDELA EFFECT DAN MACAM-MACAM EFEK LAINNYA YANG MEMPENGARUHI KEHIDUPAN KITA (1)

Kebetulan salah satu pendukung Karyakarsa meminta gue untuk membahas salah satu topik tentang efek. Ketika mempelajarinya, gue menemukan bahwa ternyata ada banyak efek-efek lain ternyata cukup menarik. Contohnya, kalian mungkin sudah tak asing dengan yang namanya Butterfly Efect, Domino Effect, sampai Greenhouse Effect. Yang jelas, efek merupakan sebutan bagi sebuah situasi yang memiliki dampak yang cukup signifikan pada kita dan nggak hanya bisa diterapkan di sains saja, melainkan sampai ke psikologi. Salah satu yang ingin gue bahas adalah Mandela Effect, namun ada banyak juga kok efek-efek lain yang cukup penting untuk kita ketahui. Apa saja? Mari kita simak bersama.

 

MANDELA EFFECT

Efek yang satu ini memang sering digunakan sebagai bukti bahwa dunia paralel benar-benar ada. Coba saja perhatikan dua gambar Pikachu berikut ini. Mana menurut kalian merupakan gambar Pikachu yang asli?

Mungkin kalian yang akan menjawab yang kiri, padahal jawabannya justru adalah yang kanan (tanpa warna hitam di ujung ekornya). Mungkin hal ini akan menyebabkan kita berpikir bahwa realita yang kita alami saat kita kecil berbeda jauh dengan realita kita sekarang. Dengan kata lain, kita mungkin berada dalam dimensi yang lain atau pernah mengalami dimensi yang berbeda. Namun ternyata jawaban atas efek ini bisa dengan mudah dijelaskan melalui ilmu psikologi.

Kenapa kita menganggap ekor Pikachu memiliki pola hitam pada ujungnya? Ini karena Pikachu sendiri memiliki pola tersebut di bagian tubuhnya yang lain, seperti ujung telinganya, sehingga kita langsung menyimpulkan bahwa warna hitam itu juga ada pada ekornya, padahal pada kenyataannya tidak.

Karena inilah Mandela effect seringkali disebut sebagai “false memories” atau ingatan palsu karena apa yang kita ingat ternyata berbeda jauh dengan apa yang sebenarnya kita alami. Contoh lainnya adalah George, sang monyet dari “Curious George”, sebuah acara animasi dari tahun 2006. Acara ini mungkin belum pernah kalian tonton sehingga kalian akan kebal dari efek Mandela. Namun buat kalian yang sudah menonton maupun yang belum, manakah kira-kira gambar George yang benar? Yang memiliki ekor atau tidak?

Pasti kalian akan memiliki jawaban yang sama, yakni yang memiliki ekor. Jelas, logikanya seekor monyet pastilah memiliki ekor. Akan tetapi tokoh George si monyet dari acara tersebut sesungguhnya tak memiliki ekor. Inilah yang disebut dengan memori palsu di mana kita kemudian menyesuaikan ingatan kita dengan ekspektasi kita, sehingga yah, mungkin agak mengecewakan kalian.

Mandela effect bukanlah bukti adanya dimensi paralel, walaupun kemungkinan adanya multiverse tidaklah ditampik oleh sains sekalipun. Mandela Effect justru merupakan bukti bahwa ingatan kita adalah sesuatu yang ringkih (apalagi jika kejadian itu sudah lama atau terjadi saat kita kecil) sehingga tak 100% akurat.

Nah selain Mandela effect, ternyata masih banyak efek-efek lain yang patut kita ketahui. Beberapa bahkan mungkin akan mengejutkan kita. Namun mengetahui tentang efek-efek ini sangatlah penting untuk membuat kita lebih mengenali diri kita sendiri.

 

HALO EFFECT

Efek halo merupakan efek dimana seseorang akan mengasosiasikan sebuah sifat tertentu dari seseorang dengan keseluruhan karakter atau pribadi orang tersebut. Kita sering sekali mengalami efek ini, dimana secara otomatis kita akan menganggap orang wajahnya cantik atau ganteng sebagai orang yang baik dan bisa dipercaya. Padahal wajah sama sekali tak ada kaitannya dengan kepribadian seseorang. Adanya efek halo ini membuat kita menganggap suatu sifat tertentu dari seseorang akan menggambarkan keseluruhan pribadinya yang jelas tidaklah tepat  Namun sayang, secara bawah sadar, efek ini dialami oleh banyak orang.

Kenapa dinamai sebagai efek halo? Nah, pada lukisan-lukisan zaman dahulu dari Eropa, terutama yang bertema religius, orang-orang suci digambarkan memiliki halo atau lingkaran cahaya di kepalanya. Otomatis, apabila melihat lukisan seseorang dengan lingkaran cahaya di kepalanya, maka para penikmat lukisan tersebut langsung tahu bahwa itu adalah lukisan orang suci. Ini menggambarkan sudut pandang kita yang kadang menyimpulkan keseluruhan karakter seseorang dari atribut tertentu.

Tak hanya menyesatkan, halo effect ini juga memiliki kebalikannya, yakni “horn effect” atau “efek tanduk”. Sama seperti halo, pada lukisan-lukisan zaman dahulu, sosok setan biasanya digambarkan memiliki tanduk. Efek ini mengisyaratkan bahwa orang-orang yang memiliki wajah kurang menarik atau mengenakan sesuatu yang tak sesuai dengan norma-norma lokal biasanya diasosiasikan sebagai orang jahat.

Di kehidupan nyata, biasanya atribut-atribut tertentu yang sama sekali tak ada kaitannya dengan sifat atau karakter seseorang, seperti memiliki tato atau memiliki rambut gondrong dan brewokan, biasanya diasosiasikan sebagai pelaku kejahatan. Padahal yang berdasi dan berpenampilan alim bisa kok berbuat jahat. Jadi jelas ya pesan moralnya, jangan menghakimi orang hanya berdasarkan penampilannya saja.

 

BAADER–MEINHOF EFFECT

Pernah gak sih kalian mengalami skenario seperti ini, misalkan kalian bertanya kepada teman tentang sebuah merk mobil yang belum pernah kalian dengar sebelumnya. Kemudian teman kalian itu menjelaskan seperti apa bentuknya dan menunjukkannya ketika mobil jenis tersebut lewat. Kemudian setelah hari itu, tiba-tiba saja kalian melihat mobil jenis itu di mana-mana, bahkan lebih sering ketimbang yang dulu.

Nah efek ini (walaupun sekilas nggak penting) ternyata ada namanya lho, yakni Baader–Meinhof effect di mana ketika kita mengenali sesuatu, maka frekuensi penampakannya akan terasa lebih sering; walaupun sebenarnya jumlahnya tetap saja sama seperti sebelum kita mengetahuinya. Hal ini karena sebelumnya, kita memang tidak begitu memperhatikannya. Konsep ini memang sangat sering kita alami, akan tetapi jika kalian terlalu sering mengalaminya, bisa-bisa itu adalah gejala schizophrenia.

 

BARNUM EFFECT

Nah buat kalian yang demen banget ama yang namanya ramalan bintang ataupun ramalan-ramalan lain seperti golongan darah, ternyata ada penjelasan ilmiah mengapa ramalan-ramalan tersebut terdengar masuk akal dan “gue banget”. Ternyata itu semua merupakan contoh Barnum effect di mana suatu pernyataan terdengar sangat akurat walaupun sebenarnya isinya sangatlah umum dan bisa diaplikasikan untuk semua orang. Hampir semua contohnya bisa kita lihat pada hasil-hasil ramalan sehingga tes kepribadian yang palsu.

Contohnya adalah pernyataan-pernyataan seperti ini:

1) Jika kamu bergolongan darah A maka kamu cenderung membutuhkan orang lain dan ingin dikagumi

2) Jika kamu bergolongan darah B maka kamu orangnya kuat, namun cenderung kritis kepada diri sendiri

3) Jika kamu bergolongan darah O maka kamu sering meragukan kemampuanmu sendiri dan suka sulit dalam mengambil keputusan

4) Jika kamu bergolongan darah AB maka kamu cenderung independen dan tidak mau diatur atau dikekang. 

Sekilas memang keempatnya berbeda. Akan tetapi coba dalami baik-baik semua pertanyaan tersebut umumnya berlaku bagi semua orang, bukan hanya orang-orang tertentu. Contohnya “sulit membuat keputusan” bisa dialami semua orang, namun terasa akurat jika kamu kebetulan bergolongan darah O.

Contoh lain semisal sebuah tes kepribadian [palsu] menyebutkan bahwa kamu sebenarnya suka bergaul akan tetapi di dalam hati kamu sesungguhnya insecure. Jika kamu orangnya introvert, pernyataan ini akan sesuai dengan kepribadian kalian. Namun bagi kaum ekstrovert-pun, pernyataan itu bisa saja juga terdengar benar. Efek ini pertama kali dieksploitasi oleh PT Barnum, yakni pemilik sirkus yang diabadikan dalam film “The Greatest Showman”, sehingga dinamai sesuai namannya. Emang beda jauh dengan versinya yang diperankan Hugh Jackman, Barnum versi sesungguhnya adalah seorang penipu ulung.

 

BYSTANDER EFFECT

Pernah nggak sih kalian mengalami kejadian seperti ini, dimana kalian melihat kecelakaan di jalan tetapi orang-orang malah mengerubungi korban tanpa berusaha memberikan pertolongan? Inilah yang disebut dengan “bystander effect” atau “efek pengamat” di mana ada kecenderungan bahwa apabila kalian berada dalam sebuah kerumunan, kalian akan cenderung mengikuti apa yang dilakukan oleh mayoritas orang tersebut. Apabila tak ada satupun yang memberikan pertolongan, maka kalianpun akan merasa ragu untuk memberikan pertolongan. Lebih parahnya lagi, efek ini nggak hanya kalian rasakan secara pribadi, namun juga berlaku bagi semua orang di kerumunan itu. Akubatnya mereka juga enggan memberikan bantuan karena melihat orang lain juga tak melakukan apapun.

Percaya atau enggak, efek ini mendorong dicetuskannya 911 di Amerika Serikat sana. Pada tahun 1964, seorang wanita bernama Kitty Genovese tewas dibunuh di New York. Kala itu ia berteriak meminta tolong, namun tak ada satupun tetangganya yang memberikan pertolongan. Kematiannya yang mengenaskan menginspirasi dibentuknya 911 agar masyarakat bisa lebih aktif meminta pertolongan pihak berwajib apabila melihat suatu kejahatan atau situasi darurat lain.

http://mengakubackpacker.blogspot.com/2020/04/would-you-help-her-kasus-kitty-genovese.html

Namun jangan khawatir, efek ini juga berlaku kebalikannya loh. Semisal kalian berada dalam sebuah kerumunan dan ada satu atau dua orang yang memutuskan untuk menolong, maka otomatis orang-orang di sekitarnya pun juga akan ikut membantu tanpa pikir dua kali. Contohnya pada video ini. Fenomena ini sebenarnya termasuk ke dalam “wagon effect”, di mana orang-orang cenderung mengikuti ikut-ikutan perilaku mayoritas orang karena mereka tak ingin dianggap “berbeda”.

https://www.youtube.com/watch?v=YORxs9E2Ex0

 

CROSS-RACE EFFECT


Pernah enggak kalian merasa nonton film Korea atau Jepang lalu sulit bedain para pemerannya karena menurut kalian mukanya sama semua? Nah ini bukan berarti kalian rasis kok, namun fenomena ini secara ilmiah bisa dibuktikan sebagai “cross-race effect”. Efek ini membuat seseorang lebih mudah mengenali fitur-fitur wajah dari orang-orang yang berasal dari ras yang sama di mana dia dibesarkan. Sebaliknya, ia akan lebih kesulitan membedakan wajah-wajah orang dari ras yang berbeda.

Gue juga pernah mengalaminya kok ketika nonton film-film Barat, terutama yang settingnya di zaman kuno di mana mereka biasanya punya jenggot tebal. Gue sangat kesulitan membedakan toko satu dengan yang lainnya karena jenggotnya bikin mereka semua mirip. Namun efek ini bisa dinegasikan apabila kalian banyak bergaul dengan orang-orang dari ras lain sehingga kalian akan mulai mudah membedakan mereka satu dengan yang lain.

Sayang sekali, di Amerika Serikat yang masih mengalami diskriminasi rasial, adanya “cross-race effect” ini menyebabkan banyak sekali malapetaka. Semisal seorang pria kulit hitam bernama Ronald Cotton yang pada tahun 1985 dijebloskan ke dalam penjara karena dituduh memperkosa seorang wanita kulit putih bernama Jennifer Thompson-Cannino. Tetapi setelah 10 tahun kemudian terbukti bahwa ternyata ia bukan pelakunya. Rupanya Jennifer salah mengenali Ronald karena ia dan sang pelaku sama-sama berkulit hitam. Tragis memang.

 

NEGATIVITY EFFECT DAN POLYANNA EFFECT

Pernah penasaran kenapa sih kita susah move on? Ternyata ada penjelasan ilmiahnya yang namanya negativity effect. Efek ini menyebutkan bahwa kita akan lebih cenderung tak bisa melupakan emosi atau pengalaman negatif, contohnya ketika kita disakiti, putus cinta, sedih, marah, dan lain-lain.

Kita memang cenderung mengingat pengalaman-pengalaman buruk karena otak kita memang sudah dirancang seperti itu. Rupanya tujuannya agar kita bisa menghindari peristiwa-peristiwa serupa di masa depan. Efek samping dari efek ini adalah kita cenderung lebih mudah mengingat orang yang bertindak kurang menyenangkan pada kita, namun malah lebih gampang melupakan orang yang baik dan berjasa bagi kita.

Yang lebih berbahaya, efek ini seringkali dibarengi dengan prinsip yang berlawanan, yakni “Pollyanna principle”. Efek ini menyebutkan bahwa seseorang akan memiliki ingatan yang lebih akurat ketika mengalami peristiwa yang menyenangkan ketimbang peristiwa yang tidak menyenangkan. Hal ini berimbas bahwa pengalaman yang tidak menyenangkan akan terus kita ingat, namun tidak akan 100% akurat. Hal ini karena otak kita sesungguhnya lebih ingin melupakan peristiwa yang tak mengenakkan tersebut, namun dicegah oleh negativity effect ini. Akibatnya, memori yang disimpanpun cenderung “tidak penuh”.

Semisal kita selalu ingat dulu pernah disakiti oleh seseorang yang mengatakan sesuatu yang menyakitkan. Kita akan ingat terus perlakuan orang ini karena negativity effect. Namun bisa jadi, perkataan itu aslinya berbeda dengan apa yang kita ingat sebagai akibat Pollyanna effect.

Kesimpulannya, kita harus seimbangkan antara kedua efek ini, jangan sampai kita marah sama orang selama bertahun-tahun padahal kejadian aslinya sangatlah sepele, atau malah hanya salah paham belaka.

 

GOOGLE EFFECT

Google, walaupun memberikan banyak manfaat kepada kita, ternyata  memiliki efek yang cukup negatif, yakni kita jadi cenderung gampang lupa atau mengalami “digital amnesia”. Efek Google menyebutkan bahwa kita cenderung melupakan informasi yang bisa dengan kita mudah bisa kita temukan atau cari secara online.

Contoh konkret nih, apa lu ingat nomor HP dari ortu, kakak, atau teman dekat kalian? Jawabannya mungkin tidak karena dengan kemudahan teknologi saat ini, tinggal pencet-pencet HP saja akan langsung ketemu nomor kontak tersebut. Ini mungkin berbeda dengan nomor HP kita yang biasanya akan cenderung kita ingat lebih baik karena kita akan menggunakannya untuk mengisi pulsa atau untuk diberikan kepada orang lain.

Walaupun kita nggak bisa menghindari efek ini akibat kemajuan teknologi, tetapi ada baiknya sih kita tetap menajamkan daya ingat kita. Semisal dengan mengingat nomor-nomor darurat yang bisa kita hubungi apabila suatu hari nanti handphone kita hilang.

Gue jadi penasaran nih, apakah Google effect menyebabkan fenomena seperti di video ini ya?

 

https://www.youtube.com/watch?v=FVPCGA6IJXY&t=3s

 

LESS-IS-BETTER EFFECT


Kita telisik efek ini dengan menjawab pertanyaan ini. Menurut kalian manakah yang lebih bahagia, atlet yang mendapatkan hadiah medali perak atau perunggu? Mungkin kalian akan menjawab medali perak karena jelas atlet tersebut meraih posisi kedua, yang notabene lebih tinggi ketimbang medali perunggu. Akan tetapi kenyataannya, justru bisa jadi atlet yang meraih medali perunggu yang lebih bahagia. Pasalnya atlet yang mendapatkan medali perak mungkin merasa menyesal karena sedikit lagi ia bisa mendapatkan medali emas atau menjadi juara pertama. Sementara yang mendapatkan perunggu merasa lebih bahagia karena paling tidak ia bisa mendapatkan medali.

Ternyata efek ini ada namanya yaitu “less-is-better effect” di mana orang-orang akan cenderung memilih benda-benda yang sebenarnya memiliki bernilai lebih rendah dan menolak benda-benda yang bernilai lebih tinggi. Contohnya begini nih, kalian ditawari dua es krim seperti ini. Satu es krim diwadahi oleh wadah kecil tetapi sampai penuh, bahkan sampai menjulang ke atas; atau es krim satunya yang diwadahi oleh wadah yang besar tapi tidak sampai penuh.

 

Kalian mungkin memilih yang pertama karena penampilannya lebih menggoda. Akan tetapi jika ditimbang, bisa saja es krim di wadah kedua memiliki volume yang lebih besar alias kalian agar lebih puas jika memilihnya. Maka tak heran, efek ini banyak dimanfaatkan oleh pelaku dunia industri untuk menggoda para konsumen mereka.

No comments:

Post a Comment