Gimana, udah belajar banyak belum? Postingan seperti ini secara rutin gue kasih kok di Karyakarsa sebagai bagian Science Week (dulu namanya Citayam Science Week) yang nggak hanya berbau sains saja, melainkan juga psikologi. Gue juga membuat artikel tentang tujuh eksperimen psikologi paling kontroversial dimana kalian bisa belajar banyak tentang hakikat manusia (cailah). Makanya langganan Karyakarsa gue ya hahaha. Silakan mari kita simak “effect-effect” lain yang tanpa kalian sadari, mempengaruhi hidup kalian.
RINGELMANN EFFECT
Ada 1931 seorang insinyur pertanian dari Prancis bernama Maximilien
Ringelmann menemukan sebuah fenomena yang aneh ketika melakukan sebuah
penelitian. Ia menemukan bahwa semakin banyak orang yang mengerjakan sesuatu, maka
pada suatu titik, efektivitas mereka malah akan semakin berkurang.
Contohnya saja ya, ada sebuah lahan yang digarap oleh dua orang. Jelas
walaupun bekerja sangat keras, mereka mungkin akan menyelesaikan pekerjaannya
dalam waktu lama, semisal 10 hari. Karena bosnya melihat mereka memerlukan
bantuan, maka bosnya memberikan dua orang tambahan, sehingga kini pekerjanya
ada 4 orang. Jelas, kerja mereka pun akan semakin cepat dan hasil panen pun
akan semakin banyak; semisal kini mereka cuman butuh waktu 5 hari.
Akan tetapi ketika jumlah itu terus menerus ditambah, semisal
hingga 12 orang, ternyata waktu yang dibutuhkan malah justru lebih lama. Dengan
kata lain, produktivitas mereka menurun. Katakanlah kali ini mereka tetap butuh
5 hari, walaupun jumlah pekerjanya sudah tiga kali lipat.
Ada berbagai alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, adanya anggota
tim yang semakin banyak menyebabkan komunikasi mereka menjadi semakin sulit. Yang
kedua, keberadaan rekan yang banyak seperti ini menyebabkan para pekerjanya
menjadi malas. Mungkin karena ia melihat sudah banyak orang yang membantunya
sehingga ia tidak perlu bersusah payah lagi.
Efek ini perlu kalian sadari banget nih, apalagi jika kalian
adalah pengambil keputusan dalam sebuah organisasi. Semakin banyak orang bukan
berarti kerja kita akan lebih cepat, namun justru akan menambah masalah dan
konflik (belum lagi lebih banyak orang yang bisa kita ajak bergosip atau
terlibat cinlok eh). Sebaiknya kita justru perlu mengetahui berapa jumlah yang
kritis alias jumlah di mana pekerjaan itu dapat diselesaikan dengan efisien.
SPOTLIGHT EFFECT
Efek lainnya juga akan mempengaruhi hasil pekerjaan ataupun
prestasi kita adalah Spotlight Effect. Tau kan spotlight, sebuah lampu besar
yang biasanya menerangi seorang performer ketika ia ada di atas panggung. Nah,
karena ada lampu ini (sementara kondisi di dalam gedung konser biasanya
digelapkan) semua mata akan tertuju kepadanya sehingga kesalahan sesedikit
apapun dari performer itu akan langsung tampak.
Paralel dengan fenomena lampu panggung ini, efek ini menyebutkan
bahwa ketika seseorang berada dalam pengawasan, otomatis ia bekerja lebih
efisien. Efek Ini pertama kali tercetus ketika seseorang peneliti mengadakan
sebuah penelitian tentang efektivitas para pekerja dalam sebuah pabrik. Kala itu
mereka dites apakah mereka bekerja lebih cepat dan efisien dalam pencahayaan
yang suram ataukah pencahayaan yang terang. Hasil penelitian tersebut malah
mengejutkan, pasalnya pencahayaan ternyata ternyata tidak mempengaruhi aktivitas
para pekerja tersebut. Bahkan produktivitas mereka meningkat baik dalam
pencahayaan terang ataupun redup.
Para penelitipun mencapai kesimpulan bahwa hasil ini didapat
karena para pekerja tahu bahwa mereka diawasi dalam sebuah penelitian sehingga
merekapun bekerja lebih cepat dan efisien. Hal ini juga perlu disadari oleh
para pengambil keputusan. Memang kita perlu memberikan kebebasan dan ruang
gerak kepada orang lain. Akan tetapi mengawasi mereka secara rutin juga akan
meningkatkan performa mereka karena otomatis mereka akan berusaha menampilkan hasil yang terbaik
TAMAGOTCHI EFFECT
Kalian masih ingat nggak sih sama yang namanya Tamagotchi? Dirilis
pada tahun 1996, mainan ini sangat viral pada masanya hingga terjual sebanyak
76 juta buah. Mainan elektronik ini adalah sebuah “virtual pet”, dengan kata
lain kalian kalian bisa memelihara hewan apapun (gue dulu pernah miara
dinosaurus hehehe) dalam versi virtual dan membesarkannya mulai dari telur. Jangan
sampai lupa memberinya makan sebab ia juga bisa mati kalau tidak dirawat dengan
baik.
Para peneliti mulai memperhatikan bahwa anak-anak yang memainkan
Tamagotchi ini menjadi terikat secara emosional dengan mainan mereka, bahkan
menganggapnya seperti hewan piaraan yang sesungguhnya. Hal ini menimbulkan
kekhawatiran di kalangan para peneliti itu sehingga mereka mencetuskan yang
namanya Tamagotchi effect, yakni efek dimana seseorang bisa terikat secara
emosional dengan benda mati.
Gue nggak hanya membicarakan tentang cowok-cowok yang suka tidur sambil
meluk guling bergambar anime lho, akan tetapi perlu kita sadari bahwa teknologi
kini makin canggih. Kecerdasan buatan alias AI seperti Siri dan Alexis kini
sudah menjadi bagian kehidupan kita. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi
bila kita mulai terikat secara emosional terhadap mereka, bahkan menganggap
mereka manusia seutuhnya. Apalagi tinggal menunggu waktu saja bagi para AI ini
untuk didesain layaknya manusia seperti android alias manusia robot seperti di
film-film.
WERTHER EFFECT
Di antara efek-efek yang lain mungkin efek inilah yang paling
suram dan berbahaya. Efek menyebutkan bahwa apabila seseorang yang terkenal
bunuh diri, maka fansnya pun akan melakukan bunuh diri tiruan alias copycat.
Efek ini dinamakan sesuai dengan nama tokoh dalam novel “The
Sorrows of Young Werther” karangan Goethe dimana setelah publikasinya pada
tahun 1774, pria-pria muda yang membacanya mulai meniru gaya bunuh diri Werther,
tokoh utamanya, yang bunuh diri dengan cara menembak dirinya sendiri telah
ditolak cintanya.
Yang ngeri, buktinya sudah ada banyak lho.
1)
Kematian Ruan Lingyu pada
1935 akibat bunuh diri menggemparkan seantero daratan Tiongkok sebab ia adalah
salah satu aktris film bisu terbesar pada saat itu. Ia membunuh dirinya pada
usia 24 tahun dan menyebabkan banyak penggemarnya kemudian ikut bunuh diri tepat
di tengah acara pemakamannya.
2)
Kematian Marilyn Monroe pada
4 Agustus 1962 diikuti dengan meningkatnya kasus bunuh diri hingga 200 orang, hanya
pada bulan Agustus tersebut.
3)
Yukiko Okada adalah idol
remaja Jepang yang bunuh diri pada 1986 karena kisah cintanya dengan pria yang
jauh lebih tua kandas. Ia bahkan bunuh diri hingga “dua” kali. Pertama ia
mencoba menyayat pergelangan tangannya. Ketika manajernya menemukannya dan
segera melarikannya ke dalam rumah sakit, ia kemudian melompat dari jendela
lantai tujuh rumah sakitnya. Kematiannya kemudian diikuti oleh puluhan fansnya
yang kemudian bunuh diri dengan cara serupa. Yang mengejutkan, Yukiko sendiri
rupanya “terinspirasi” oleh kasus bunuh diri seorang idol lain bernama Yasuko
EndÅ, 10 hari sebelumnya.
4)
Hideto Matsumoto atau
dikenal dengan nama panggungnya “hide” merupakan salah satu gitaris dan
superstar rock paling legendaris di Jepang. Namun di tengah kesuksesannya, ia
tewas gantung diri pada tahun 1998 pada usia 33 tahun. Hanya dalam waktu
seminggu, tiga fansnya bunuh diri. Satu orang bahkan mencoba menyayat
pergelangan tangannya di tengah acara pemakamannya. Bahkan total, sekitar 56
orang fans yang mendatangi pemakamannya masuk rumah sakit dan 197 terluka.
5)
Choi Jin-Sil merupakan salah satu aktris tercantik Korea
Selatan, bunuh diri pada 2008. Kematian aktris Korea Selatan. Kematiannya
menyebabkan angka bunuh diri di negara tersebut naik dratis hingga 70%
(ketambahan sekitar 700 kasus bunuh diri) di negara yang memang sudah memiliki
angka bunuh diri yang tinggi tersebut.
6)
Mohamed Bouazizi,
seorang pedagang asal Tunisia bunuh diri dengan cara membakar bakar diri di
depan umum pada tahun 2010 sebagai aksi protesnya terhadap diktator Tunisia.
Kematiannya kemudian mengkatalisis terjadinya Revolusi Tunisia yang kemudian menjalar
ke berbagai negara di Timur Tengah. Tak hanya itu, aksi bakar dirinya tersebut
kemudian ditiru oleh beberapa orang sebagai bentuk aksi protes mereka.
7)
Efek yang terbaru terjadi
pada tahun 2017, yakni meningkatnya kasus bunuh diri remaja setelah penayangan
serial Netflix “13 Reasons Why”. Seperti kita ketahui bersama, serial itu
menggambarkan seorang gadis bernama Hannah yang bunuh diri akibat bullying di
sekolahnya. Setelah serial itu viral, terjadi peningkatan 26% alias sekitar 1,5
juta pencarian Google dengan kata kunci “bagaimana cara untuk bunuh diri: yang
jelas amatlah mengkhawatirkan.
Namun tak selamanya efek ini mengejawantah. Contohnya setelah
kematian vokalis Nirvana, Kurt Cobain, media kala itu cukup takut bahwa aksi bunuh
dirinya itu akan ditiru oleh para fansnya yang sebagian besar adalah kaum muda.
Akan tetapi hal itu ternyata tidaklah terjadi. Untuk kasus-kasus bunuh diri
seperti ini nantinya akan gue bahas lebih lanjut ya karena memang perlu
kesadaran yang cukup tinggi agar fenomena seperti ini tak malah menjamur.
WESTERMARCK EFFECT
Efek ini cukup unik karena menjelaskan mengapa incest jaranglah
terjadi. Bukan hanya karena memang tabu, namun ternyata ada penjelasan
psikologisnya. Antropologis asal Finlandia bernama Edvard Westermarck pada
bukunya yang berjudul “The History of Human Marriage” pada tahun 1891menyebutkan
bahwa anak-anak yang dibesarkan di rumah tangga yang sama sebelum usia 6 tahun
akan cenderung tidak tertarik secara seksual satu sama lain. Efek ini itu tidak
hanya berlaku bagi kakak adik saja, namun juga sepupu yang dibesarkan
bersama-sama atau bahkan teman sepermainan mereka. Seganteng dan secantik
apapun, mereka biasanya tidak akan memiliki ketertarikan seksual sama sekali apabila
dibesarkan bersama-sama.
Hal ini dibuktikan melalui beberapa tradisi di dunia yang
mengamini pernikahan antarsepupu. Contohnya adalah di Israel dan juga di
Pakistan di mana saudara sepupu yang dibesarkan bersama-sama umumnya akan
berakhir dengan perceraian ketika mereka dinikahkan secara adat. Namun ternyata
efek ini juga bisa menjadi bumerang, contohnya adalah kasus Katie Pladl, di
mana seorang gadis yang telah lama diadopsi kemudian mencari orang tua
kandungnya. Kisah yang awalnya innocent itu berubah suram ketika ia malah jatuh
cinta kepada ayah kandungnya. Hal ini jelas dapat dihindari apabila ia
dibesarkan ayahnya bersama-sama dalam keluarga tersebut.
ZEIGARNIK EFFECT
Efek ini dinamai sesuai dengan penemunya, yaitu psikologis asal Lithuania
bernama Bluma Zeigarnik. Ia mempostulasikan bahwa orang-orang akan cenderung
mengingat pekerjaan yang belum selesai ketimbang pekerjaan yang sudah
diselesaikannya. Salah satu contoh dari efek ini adalah seorang pelayan yang
biasanya akan mengingat pesanan dari seorang pelanggan yang belum
diselesaikannya ketimbang pesanan yang sudah selesai atau dibayar.
Ternyata banyak dari kita cenderung mengingat pekerjaan yang belum
selesai dengan harapan agar nantinya kita bisa menyelesaikannya dengan baik. Sebaliknya
pekerjaan yang sudah selesai akan dengan mudah kita lupakan karena sudah tak
kita butuhkan lagi. Siapa coba yang masih ingat pelajaran sekolah sehabis
ulangan? Pasti lupa semua kan?
Ternyata efek ini juga bisa dimanfaatkan oleh para pelajar lho. Contohnya
adalah teknik belajar yang disebut “pomodoro” (bukan yang Senin harga naik itu
ya) dimana kita akan belajar selama 25 atau 30 menit, kemudian istirahat selama
2 hingga 5 menit, di mana di saat istirahat itu jangan sampai kita melakukan
hal yang berkaitan dengan pelajaran itu. Pola itu kemudian terus menerus kita
ulang. Kalo kalian punya Twitch, ada banyak kok streamer yang melakukan teknik
ini, mereka akan serius belajar kemudian dipotong 2 menit untuk berbicara atau
berinteraksi dengan para penontonnya.
Hal ini udah sering kok dimanfaatkan oleh industri film, mulai
dari sinetron Indosiar sampai film- Avengers. Semisal film itu diberikan
ending yang “cliffhanger” alias tidak memiliki penyelesaian yang memuaskan
sehingga tidak bisa dianggap selesai. Akibatnya, para penonton lebih mengingat
jalan ceritanya dan tak sabar menanti kelanjutannya.
STREISAND EFFECT
Fenomena berikutnya mungkin adalah yang paling menarik karena
sangat berdampak nyata dalam kehidupan kita,
bahkan bisa kita amati dengan mudah. Fenomena ini dinamakan efek Streisand karena
didasarkan pada pengalaman artis dan penyanyi terkenal asal Amerika bernama Barbara
Streisand. Kala itu ia merasa privasinya diinvasi ketika foto kediamannya di
Malibu diterbitkan tanpa izin pada 2003, sehingga ia mengambil langkah hukum
agar foto tersebut disensor dan tidak disebarkan kepada media. Tetapi perbuatan
yang itu justru berakibat fotonya itu semakin “viral” dan justru dicari dan
dilihat ratusan ribu orang. Efek ini disebut dengan Streisand effect di mana
usaha kita untuk menyensor sesuatu justru akan menjadi bumerang dan
berimbas sebaliknya, yakni semakin banyak orang yang akan melihatnya karena
penasaran.
Nah lalu apa implikasinya terhadap kehidupan kita sehari-hari? Jika kita menghitung negara produsen pornografi terbesar di dunia, peringkat pertama adalah Amerika Serikat yang memproduksi sekitar 60% dari semua situs pornografi yang beredar di seluruh dunia, diikuti oleh Belanda dan Inggris. Pasti kalian ngak heran dong, soalnya itu kan negara Barat dengan tradisi yang serba "terbuka" yekan?
Jika kita melihat statistik yang lain, yakni jumlah
penikmat pornografi di dunia maka posisi 1 berada di Amerika Serikat dan dikuti oleh Inggris, yang
jelas tidak aneh. Namun di posisi ketiga justru ada India, padahal India, sama
seperti kita, memblokir situs pornografi. Hal ini cukup ironis ya sebab semakin
dilarang malah semakin penasaran. Oya, ada pendapat lain yang cukup menarik
mengapa Amerika Serikat mencapai posisi paling tinggi dengan persentase yang
lebih besar ketimbang lainnya, sebab sebagian besar VPN yang digunakan untuk
membuka situs pornografi yang diblokir di negara mereka dialamatkan ke Amerika
Serikat.
Hal ini mungkin bisa dijadikan pelajaran buat pemerintah kita yang
dikit-dikit sensor (yang tupai aja diblur) sebab bisa saja nanti hasilnya justru
malah berkebalikan dengan apa yang ingin dicapai oleh pemerintah
SURVIVOR EFFECT
Yang terakhir ini menurut gue adalah yang paling menarik untuk untuk dibahas. Sebelumnya gue ingin menanyakan sesuatu. Ini adalah gambar sebuah pesawat yang pada Perang Dunia II berhasil selamat dari serangan musuh. Menurut kalian, apabila kita ingin memperkecil resiko pesawat-pesawat ini ditembak jatuh oleh musuh, bagian pesawat manakah yang menurut kalian harus diperkuat?
Mungkin kalian akan menjawab bahwa kita harus memperkuat
bagian-bagian yang ditembak peluru musuh, yakni pada bagian sayap, ekor, dan
bagian tengah pesawat. Akan tetapi menurut logika justru yang sebaliknya. Kita harus
memperkuat bagian-bagian yang tidak ditembak oleh peluru-peluru tersebut.
Mengapa? Karena jika kita berpikir dengan logis, dapat disimpulkan bahwa
pesawat yang ditembak pada tersebut tidaklah selamat alias berhasil ditembak
jatuh.
Proses pengambilan keputusan yang keliru karena kita
mempertimbangkan survivor (alias yang selamat) itulah yang disebut survivor
effect (efek penyintas) atau survivorship bias. Efek ini menyebabkan kita menganggap
korban yang selamat lebih penting ketimbang korban yang tidak selamat sehingga
kita akan lebih belajar kepada mereka. Padahal secara statistik, mungkin
proporsi yang tidak selamat lebih signifikan.
Contohnya kita sering mendengar bahwa CEO dari perusahaan
perusahaan besar seperti Mark Zuckenberg pemilik Facebook hingga Steve
Jobs pendiri Apple semuanya drop out dari kuliahnya. Oleh sebab itu, tak
heran kita mungkin menganggap bahwa kuliah tidaklah penting bagi kita untuk
meraih kesuksesan. Tapi lagi-lagi ini adalah akibat efek penyintas. Pada
kenyataannya, walaupun ada satu dua yang sukses, fenomena ini sangatlah jarang.
Bahkan lebih banyak kemungkinan seseorang akan sukses apabila mereka memiliki
pendidikan tinggi. Contohnya CEO Apple sekarang hingga perusahaan-perusahaan
terbesar di dunia mulai dari Amazon, Alphabet (pemilik Google), Microsoft,
hingga pendiri Gojek, Nadiem Makarim, semua lulusan universitas bergengsi. Jadi
hati-hati ya dalam mengambil keputusan, jangan hanya dari satu sisi saja.
Werther effect yang paling bahaya menurut aku..
ReplyDeleteSalut bang, masih update di blog ini, kirain udah lama gak posting
ReplyDelete