Pada 13 Maret 1964, sebuah kasus
pembunuhan mengguncang Amerika Serikat dan mengubah sejarah negara
itu. Seorang wanita berusia 28 tahun bernama Kitty Genovese ditusuk
tepat di depan pintu apartemennya di New York. Kala itu, sekitar 38
orang tetangganya menjadi saksi pembunuhan itu, bahkan mendengar
teriakannya meminta tolong selama setengah jam.
Namun naasnya, tak ada satupun dari
mereka yang menolongnya.
Kasus Kitty Genovese membuktikan
fenomena apati warga kota besar. Sebuah istilah baru-pun muncul di
buku teks psikologi, yakni “bystander effect”. Selanjutnya, kasus
kematian gadis ini memicu munculnya apa yang kini disebut sebagai
....
911
Dear readers, welcome to the Dark Case.
Foto Kitty Genovese selama hidup
Catherine Genovese atau yang bisa
dipanggil dengan nama “Kitty” lahir di New York pada 1935 dari
keluarga imigran Italia. Tempatnya tinggal, yakni di Brooklyn,
dikenal sebagai tempat dengan angka kriminalitas tinggi. Ibu Kitty
bahkan kemudian memindahkan keluarganya, termasuk adik-adik Kitty, ke
negara bagian Connecticut karena ia sendiri pernah menyaksikan sebuah
aksi pembunuhan. Namun Kitty, yang kala itu baru saja lulus SMA
memutuskan tetap tinggal di New York dan mencari pekerjaan di sana.
Tentu saja, kota New York dengan gemerlapnya lebih menarik hati
seorang gadis remaja, apalagi ada begitu banyak kesempatan kerja yang
ia peroleh di sana.
Namun selain itu, Kitty ternyata juga
menyimpan sebuah rahasia kelam yang disembunyikannya dari
keluarganya. Kitty sebenarnya adalah penyuka sesama jenis dan
beruntung, ia bisa menemukan tambatan hatinya, seorang wanita bernama
Mary Ann Zielonko di New York. Itulah salah satu alasan ia tetap
tinggal di New York, walaupun angka kriminalitas di sana yang
mencemaskan. Gaya hidup bebasnya ini mungkin lebih bisa diterima di
kota metropolitan seperti New York, dimana para tetangganya saling
“cuek”, namun tentu saja takkan direstui oleh keluarga berdarah
Italia-nya yang dikenal sebagai penganut Katolik yang amat taat.
Sayang, keinginan Kitty untuk tinggal
di wilayah dengan para tetangganya mengurusi diri mereka sendiri
ketimbang urusan orang lain akan berbalik kepadanya bak bumerang.
Kitty tak menyangka, di kota tercintanya New York, dirinya akan meregang nyawa
Kitty bekerja
sebagai bartender dan bekerja amat giat untuk modalnya membuka
sebuah restoran Italia, hingga ia-pun bekerja dua shift hingga larut
malam. Tentu saja yang namanya bar tak mengenal kata tutup, bahkan
ramai-ramainya justru pada malam hingga dini hari. Pada 13 Maret
1964, pukul setengah tiga pagi, Kitty pulang dari bar tempatnya
bekerja. Ia kala itu tak tahu, seorang pria tengah mengawasinya dan
mengikutinya.
Kitty tiba di depan apartemennya, namun
siapa sangka, pria dengan sebilah pisau itu mendekati Kitty ...
Lalu menusuknya.
Kitty berteriak minta tolong, namun
pria itu kembali menusuk Kitty, bahkan memperkosanya. Serangan itu
berlangsung selama setengah jam dan setelah puas, pria itu mengambil
uang sebanyak kurang dari 50 dolar (sekitar 500-an ribu rupiah) dari
dompetnya lalu melenggang pergi dengan mobilnya. Kala itu, hanya satu
orang tetangganya, yakni wanita Sophia Farrar, yang berani keluar
setelah kejadian itu dan menemukan tubuh Kitty yang berlumuran darah
di depan pintunya.
Kittypun menghembuskan napas
terakhirnya di pangkuan tetangganya itu.
Polisi dan ambulans segera berdatangan,
namun sayang, nyawanya tak terselamatkan. Pada 16 Maret 1964, Kitty
dimakamkan di Connecticut, di dekat kediaman ibunya.
Walaupun di foto ini ia tampak dekat dengan seorang pria, namun Kitty adalah lesbian dan mungkin inilah penyebab polisi tak serius menangani kasusnya
Penyelidikan pun berlangsung. Namun
sayang, polisi tak begitu “bersemangat” menangani kasus itu
karena gaya hidup Kitty yang dianggap melenceng. Malahan, kekasihnya,
Mary Ann, justru dianggap sebagai pelakunya, walaupun jelas-jelas
Kitty diserang dan diperkosa oleh seorang pria. Identitas Kitty
sebagai LGBT membuat kasusnya diabaikan dan tak dianggap serius.
Namun justru sebuah kebetulan-lah yang akhirnya memecahkan kasusnya
dan membawanya kepada kebenaran.
Enam hari setelah penusukan itu,
seorang pria berkulit hitam bernama Winston Moseley
tertangkap basah tengah merampok warga lain. Seorang detektif
mengenali mobil Winston sebagai mobil sang pembunuh Kitty sesuai
deskripsi para tetangga kala itu. Yang mengejutkan, setelah
ditangkap, pria itu tak hanya mengaku membunuh Kitty, namun ia juga
telah mencabut nyawa dua gadis lainnya, Anny Mae Johnson dan Barbara
Kralik. Bahkan Kitty bisa dianggap yang paling “beruntung”
diantara semua korbannya. Annie Mae ditembak dan dibakar hingga
tewas, sedangkan Barbara, korban lainnya, masihlah berusia 15 tahun.
Sang pelakupun diadili dan kasus itupun rampung dengan mudah.
Wajah Winston Moseley, sang pembunuh Kitty
Namun bukan misteri pembunuhan Kitty,
yang dengan mudah terpecahkan, yang mengguncang masyarakat kala itu.
Kasus itu bahkan awalnya tak mendapat perhatian masyarakat karena
dianggap sebagai kasus kriminalitas biasa yang kala itu kerap terjadi
di kota New York. Namun semuanya berubah begitu seorang wartawan
bernama Martin Gansberg mengangkat kisah Kitty ke dalam koran New
York Times.
Ketika menanyai para tetangga yang
menjadi saksi kasus pembunuhan Kitty, sang reporter menemukan sebuah
fakta mengejutkan yang sulit untuk ia percayai. Ada sekitar 38 orang
di apartemen tempat tinggal Kitty yang yang mengetahui bahwa Kitty
tengah diserang. Mereka juga mendengar teriakannya meminta tolong
selama setengah jam serangan itu berlangsung. Namun tak ada satupun
dari mereka tergerak untuk menolong gadis malang itu. Semuanya diam
di dalam kamar mereka, menutup telinga dan nurani mereka, seakan tak
sudi untuk terlibat.
Bahkan dalam salah satu wawancaranya,
ia mendapati bahwa salah satu tetangga Kitty bahkan buru-buru
menyalakan volume radionya dengan keras supaya ia tak mendengar suara
jeritan gadis itu.
Naas sekali, padahal para tetangga
Kitty yang berjumlah 38 orang kala itu dengan mudah pasti bisa
mengalahkan, atau paling tidak menakut-nakuti Winston sehingga nyawa
gadis malang itu bisa terselamatkan. Sayang, mereka lebih memilih
jalan lain, terkungkung dalam egoisme mereka di dalam rumah mereka.
Lalu apa yang sebenarnya terjadi?
Apakah peristiwa yang menimpa Kitty merupakan bukti lunturnya rasa
kemanusiaan para penghuni kota? Benarkah warga kota besar lebih
apatis terhadap penderitaan sesamanya dan lebih mementingkan dirinya
sendiri?
Kematian Kitty di depan apartemennya sendiri bukan hanya akibat aksi kriminalitas, namun juga karena keacuhan tetangganya, didaulat sebagai dampak "bystander effect"
Keunikan kasus ini memicu perbincangan
akademis di penjuru negeri, terutama di kalangan psikolog dan
pemerhati ilmu sosial. Dua orang sosiolog bernama John M. Darley and
Bibb Latané menyebut fenomena ini sebagai “bystander effect”
dimana semakin banyak orang di sekitar korban, maka akan semakin
kecil kemungkinan seseorang akan menolong korban tersebut. Hal ini
terjadi karena setiap orang berpikir bahwa orang lain akan
menyelamatkannya. Namun pada kenyataannya, tak ada seorangpun yang
berani bergerak, sebelum orang lain melakukannya. Inilah naluri
manusia, terutama mereka yang telah terkikis hatinya oleh paham
individualisme, yang sayangnya memang dengan nyata terjadi.
Akibat kematian Kitty
Genovese, pemerintah Amerika Serikat kemudian mencanangkan program
911, yakni nomor darurat yang bisa dihubungi apabila seseorang
memerlukan pertolongan atau untuk
melaporkan sebuah tindak kejahatan. Adanya 911 ini diharapkan mampu
mencegah kasus Kitty Genovese terulang kembali. Paling tidak, jika
warga terlalu takut untuk menolong, mereka bisa dengan cepat meminta
bantuan pihak berwajib.
Namun fenomena “bystander effect”
seolah menjadi penyakit masyarakat yang sukar untuk disembuhkan.
Fenomena yang sama terus saja terjadi, bahkan bertahun-tahun
kemudian. Pada 28 Desember 1975, sepuluh tahun setelah kematian
Kitty, seorang wanita bernama Sandra Zahler juga diserang hingga
tewas di depan apartemennya. Para tetangganya pun mendengar kejadian
itu, namun memutuskan diam dan tidak menolong. Naasnya, lokasi
penyerangan itu berada tepat di depan bekas apartemen Kitty sehingga
seolah, sejarah terulang kembali.
Kasus sama juga terjadi pada 2010,
bahkan terekam kamera. Sebuah rekaman CCTV menunjukkan seorang pria
tunawisma terlihat tengah meregang nyawa dengan kesakitan. Namun
orang-orang di sekitarnya hanya berjalan berlalu lalang tanpa satupun
yang menolongnya. Pria inipun tewas setelah lama tak mendapatkan
pertolongan. Naasnya, peristiwa itu terjadi di New York dan pria itu
tewas ditikam karena berusaha menolong seorang wanita yang dirampok.
Rekaman tragedi memilukan dimana seorang pria tunawisma tengah sekarat di jalan namun tak ada seorangpun datang menolongnya, hingga semua terlambat
Akhirnya semua kembali ke pribadi kita
masing-masing. Akankah kita akan datang menolong apabila melihat
seeorang memerlukan bantuan? Ataukah kita akan menjaga jarak aman
karena lebih mementingkan drii kita sendiri? Pilihan tersebut
sepenuhnya ada di tangan kita.
Namun jangan buru-buru menghakimi.
Bagaimana dengan kalian sendiri? Jika kala itu kalian mendengar
teriakan Kitty malam itu, akankah kalian menolongnya?
Sumber artikel: Wikipedia
Mungkin Joker terinspirasi sama kejadian ini
ReplyDeleteNah wanita yang ditolong tunawisma masak g cari pertolongan :(( kejamnya
ReplyDeleteMungkin syok ato sudah langsung kabur pas si perampok peehatiannya teralihkan?
DeleteGa heran banyak orang di bunuh gtu aja bahkan di siksa, lah waktu ada orang yg minta tolong mereka diem aja
ReplyDeleteHmm
bukannya nggak mau nolongin sih, tapi masalahnya di sana kan kriminalitasnya tinggi. kalo kita asal bantuin bisa jadi kita yang jadi korban selanjutnya...
ReplyDeleteDi kasus si Kitty sih mungkin iya. Tapi habis itu kan udah ada program emergency call. Masa telp 911 aja ga bisa?
DeleteJujur sih, ane juga pasti bakalan ragu buat nolong langsung, malah kemungkinan besar nggak berani. Tapi paling nggak kalo diem2 telpon 911 kan udah sedikit membantu dan aman.
Ini aku baca dari website Notalwaysright, web buat share pengalaman pembaca, mulai dari yang aneh sampe inspirasional secara anonim.
ReplyDeleteKejadiannya di deli di USA. Salah satu karyawannya lagi kejang di lantai, kepala berdarah. Manajer sama karyawan lain pada sibuk ngebantuin, ngebuka pakaiannya biar biar ngga kecekik, manggil ambulans, nekan luka di kepalanya biar darahnya berhenti, dsb.
Nah, pas itu dateng ibu-ibu yang rada tua mau belanja. Ngeliat pegawai pada panik, bukannya nawarin batuan ato apa, malah marah-marah ke managernya soalnya dia mau beli ham dan kaga ada yang ngelayanin.
Bahkan habis managernya nunjukin kalo, itu lagi ada yang sakit, mungkin sekarat di lantai, si ibu tetep aja ngotot minta dilayanin, sambil maki-maki pegawai yang "kerjanya ga becus, bisanya cuma males2an".
Sampe ambulans dateng dan EMT ambulansnya ikitan ngusir si ibu, dia masih keukeuh minta dilayanin soalnya dia itu customer dan customer itu raja.
Akhirnya si manager sampe ikutan naik darah juga dan ngambil ham yang masih bongkahan terus dilempar ke itu ibu-ibu gila.
Si ibu ngambil hamnya nd akhirnya pergi masih sambil ngomel kalo pegawai di deli itu kasar, ga tau sopan santun, dll.
Yang lebih miris, si pegawai yang kejang itu akhirnya ga tertolong, meninggal di ambulans karena serangan jantung. Dan pas pihak toko ngecek CCTV, dia udah kejang di lantai lebih dari 5 menit sebelum managermya ngeliat, dan nolongin, dan selama itu ada 3 orang yang lewat dan cuek aja! Salah satu malah ngelangkahin soalnya badannya pas jatuh ngehalangin jalan
kalau di indonesia. cma diliatin sama foto2 trus gak ditolongin
ReplyDeletePernah dengar, makannya di Amrik kalo ada kejadian seperti ini, pas kita minta tolong, kita nunjuk orang, bukan "seseorang tolong hubungi 911" tapi "kamu" tunjuk orang, "tolong hubungi 911"
ReplyDeleteCz kalo kita gak minta tolong dengan menunjukkan, para penonton cuma akan udur2an (OPO ya istilahnya dlm bhs Indonesia, lupa hamba)