Mulia
hanya bisa menatap dengan geram ketika Faleny secara refleks memeluk
Jerry ketika menyaksikan adegan mengerikan itu. Ia menatap gadis itu
lekat-lekat.
Sebulan
yang lalu ia menyatakan cintanya. Namun tak hanya ditolak, dia juga
ditertawakan habis-habisan. Dan sekarang, justru dengan sengaja ia
memamerkan kemesraannya di depan matanya.
Apakah
ia pikir dirinya tak berharga? Ia teringat kejadian tadi di pom
bensin, ketika ia turun untuk pergi ke kamar mandi, justru mereka
berdua menguncinya di dalam. Ia memang sering menjadi bahan bully-an
teman-temannya. Alasannya sederhana, ia adalah pemuda biasa-biasa
saja dan tidak populer, beda seperti Jerry, Faleny, dan gengnya.
Apakah
salah ia mencintainya? Apa ia tak pantas mendapatkan cintanya?
Ia masih
menatap tangan Faleny yang terlingkar di pinggang Jerry.
“Dasar
perempuan kurang ajar!” bisiknya dalam batin.
***
“Ta
... tapi dia ...” tanpa sadar Rima yang saat itu ketakutan setengah
mati, menggenggam tangan Foo dengan keras.
Dengan
cepat, Ridho, sang sopir memutar setir dan melajukan busnya. Para
gadis kembali menjerit ketika tiba-tiba Raga menerjang bagian depan
bus. Ia berlumuran darah dan wajahnya terlihat mengerikan.
Berkali-kali ia menghantamkan tangan dan kepalanya untuk memecahkan
kaca jendela depan bus.
“A ...
apa yang dia lakukan?” jerit Rima.
Ridho
tak punya pilihan lain selain mempercepat busnya dan melindas tubuh
Raga. Mereka semua menjerit saat terdengar suara “Kraaaak!” yang
amat keras ketika ban raksasa dari bus menggencet tubuhnya dan
meremukkan tulangnya.
“A ...
apa yang kau lakukan?” seru Rima, “Kau baru saja membunuhnya!”
“Apa
kau tak lihat yang terjadi yang di sekitar kita!” seru Ridho sambil
terus melajukan mobilnya.
Ridho
benar, suasana di sekitar kami seperti neraka. Mobil-mobil terbakar.
Sementara itu kerusuhan terjadi di jalan. Rima menoleh dan melihat
beberapa orang keluar dari sebuah warteg dengan berlumuran darah.
Di
tangan mereka tergenggam bagian-bagian tubuh manusia yang dagingnya
mereka santap mentah-mentah.
“Astaga!”
jerit Rima, “Apa yang terjadi?”
Gadis
itu menoleh dan melihat Foo serta Bima tak mampu berkata apa-apa.
Syefira dan Tara juga tampak ketakutan.
“Titik!
Titik!” jerit seorang wanita.
“Apa
yang terjadi?” perawat bernama Vina itu segera menghampirinya.
“Adikku!”
jerit Yuli dengan panik, “Tolong adikku!”
Titik
terlihat limbung dan jatuh ke lantai, memegang dadanya yang
kesakitan.
“Dia
... dia terkena serangan jantung ...” Vina dengan sigap berusaha
membantunya, “Apa dia bawa obatnya?”
“Tidak,”
Yuli terlihat menangis, “Kami meninggalkannya di rumah. Sakit
jantungnya sudah tak pernah kambuh lagi.”
“Tak
apa-apa, Kak ...” Titik memaksakan diri tersenyum, meskipun ia
terlihat menahan rasa sakit, “Aku sudah lama ingin berjumpa suami
dan anakku di surga ...”
Seusai
mengatakan itu, kepalanya langsung terkulai dan matanya terpejam.
Vina segera memeriksa denyut nadinya, namun ia lalu menggeleng.
“Maafkan,
aku. Dia sudah meninggal.”
“Tidaaaaak
...” pipi Yuli berlumuran air mata.
Rima
menoleh ketika mendengar isakan seorang anak. Ia segera menenangkan
gadis cilik itu.
“Jangan
menangis, Dik.” ujar Rima sambil tersenyum, walaupun dia sendiri
ketakutan, “Siapa namamu.”
Gadis
itu menjawab di tengah isakannya, “Naura ...”
“Topiku
indah sekali.” Rima memuji topi berenda yang ia kenakan.
“SIAL!”
tiba-tiba Ridho membanting setirnya ke kiri sehingga hampir membuat
kami terjatuh kembali.
Rima
menoleh ke depan dan melihat sebuah bus terbakar di depan mereka,
menutup jalan. Kini bus yang mereka tumpangi tengah berjalan di tanah
berumput sehingga mereka harus menjaga keseimbangan ketika bus
bergoyang-goyang ke kanan dan kiri karena jalanan yang tak rata.
“Awasss!”
jerit Rima. Ridho dengan sigap menghentikan busnya. Hampir saja
mereka menabrak sebatang pohon. Kini, pohon itu berdiri tepat di
depan kaca jendela depan bus mereka, membaginya menjadi dua. Entah
apa jadinya jika bus itu menabraknya.
“KYAAAAA!!!”
terdengar jeritan Faleny yang selama ini duduk di belakang. Mereka
semua menoleh dan melihat orang-orang berlumuran darah, bahkan tak
lengkap lagi anggota tubuhnya, mengepung bus.
Tiba-tiba
saja pria yang selama ini diam dan duduk di bangku paling belakang
berusaha melarikan diri dengan membuka pintu belakang.
“Tidak!
Jangan!” seru Foo.
Namun
terlambat, zombie-zombie itu sudah keburu menggapai tubuh pria itu
dan menariknya ke luar. Terdengar jeritan pria itu, namun yang lebih
mengerikan, kini zombie-zombie itu berusaha merangsek masuk melalui
pintu yang kini terbuka.
Mulia
dan Jerry yang berada dekat pintu segera berusaha menutup pintu itu.
Namun tangan-tangan zombie itu berhasil mengganjal di sela-sela
pintu. Mereka terus meraung dan mengibaskan tangan mereka, mencoba
meraih mangsa. Foo dan Bima segera membantu kedua pemuda itu, namun
mereka masih kesulitan menutupnya.
Mulia
menoleh dan melihat Faleny berdiri di sampingnya dengan ketakutan,
sementara perhatian semua orang terarah pada kerumunan zombie yang
berusaha mereka tahan di luar. Ia melepaskan pegangannya sedikit
sehingga pintu itu terbuka makin lebar, bahkan beberapa zombie mampu
memasukkan kepala mereka dan meraung.
“Inilah
saatnya,” pikir Mulia, “Hanya inilah kesempatanku satu-satunya.”
Tiba-tiba
saja, ia meraih tangan Faleny dan melemparkannya ke luar. Gadis itu
menjerit ketika para zombie itu menangkap tubuhnya dan mencabiknya,
membawanya pergi.
“Ini
kesempatan kita!” seru Mulia. Mereka segera mendorong pintu itu
hingga menutup ketika perhatian para zombie itu tertuju pada tubuh
Faleny yang tengah mereka mangsa.
“Apa
yang kau lakukan?!” seru Jerry dengan marah.
“Ma
... maaf ...” Mulia menampakkan wajah sedihnya, “Aku berusaha
menolongnya ... namun zombie-zombie itu berhasil meraihnya ...”
Jerry
pun duduk di salah satu kursi dan menangis tersedu-sedu.
Mulia
hanya tersenyum melihatnya.
***
“Lanjutkan
perjalanan!” Foo memberi komando, “Bisa mati kita jika lama-lama
di sini!”
Ridho
melajukan bus itu kembali, mencoba menghindari pohon yang hampir
mereka tabrak, dan mencoba kembali ke jalan besar.
“Tapi
kemana kita akan pergi?” tanyaku cemas.
“Ini
wabah yang menular dengan cepat.” ujar Vina, satu-satunya dari
mereka yang memiliki pengalaman dan pengetahuan medis. “Kita harus
menghindari kota besar. Semakin banyak orang, semakin banyak juga
yang terinfeksi.”
“Berarti
kita tak bisa kembali ke Yogya atau terus ke Semarang.” kata
Syefira, “Lalu kemana? Apa kita akan terus ke Magelang?”
“Untuk
apa?” bantah Bima, “Tak bisa dijamin wabah itu belum menyebar
sampai ke sana?”
“Guys,
sepertinya perawat itu benar.” Tara menunjukkan berita di Line-nya,
“Wabah zombie ini sudah menjangkiti kota-kota besar. Seluruh
Jakarta hingga ke jawa Timur sudah terinfeksi.”
Mereka
semua segera mengecek handphone. Benar rupanya, di grup whatsapp,
tersiar kabar tentang kerusakan dan kerusuhan yang menjalar hampir di
semua kota besar di Jawa. Bahkan wabah ini katanya telah mencapai
Sumatra dan Singapura.
Ridho,
sang sopir kami segera menyalakan radio. Terdengar berita pengumuman
dari pemerintah.
“...
Kepada semua yang selamat ... diperintahkan untuk naik ke dataran
yang lebih tinggi ... dari pengamatan kami, para zombie tidak mampu
bernapas di tempat dengan kadar oksigen yang semakin menipis.
Diulangi ... semua yang selamat harap segera menuju ke dataran tinggi
... para tentara sudah kami persiapkan di sana ...”
“Kurasa
ini artinya kita akan tetap meneruskan perjalanan ke Magelang.”
kata Foo.
BERSAMBUNG
Ditunggu up datenya bang
ReplyDelete