WARNING: GORY CONTENT
“Ada
satu masalah.” Ridho tiba-tiba berkata.
“Ada
apa?” Foo langsung menyahut, “Apa ada zombie lagi di depan?”
“Bukan
itu, tapi kurasa kita harus berhenti di pom bensin. Mustahil bensin
kita cukup untuk sampai ke Magelang.”
“Apa?
Kenapa kau tak isi penuh tangkinya saat di pom bensin tadi?” seru
Bima dengan kesal.
“Maaf,
tapi aku tak tahu kalau bakalan ada wabah zombie yang merebak!”
jawabnya ketus. “Lagipula kita harus ambil jalan alternatif yang
memutar jauh karena jalan utama sudah tertutup.”
“Ini
gawat!” balas Rima, “Coba bayangkan, pasti zombie-zombie itu
sudah menunggu kita di sana! Kita hanya akan menjadi santapan mereka
di sana.”
“Benar!
Kita sama sekali tak bisa mempertahankan diri!” sambut Jerry.
“Eh,
guys.” ujar Mulia yang semenjak tadi duduk di belakang, “Lihat
ini!”
Semua
menoleh ke arahnya dan terkesiap.
Mulia
mengeluarkan sebilah senapan dari dalam sebuah tas besar berwarna
coklat.
“Da
... darimana kau dapat itu?” ucap Foo dengan gelagapan.
“Masih
ada banyak lagi di dalam sini.”
“I ...
itu kan tas milik pria yang terbunuh tadi.” jawab Rima. Mereka
semua langsung menhampiri tas itu. Benar kata Mulia, ada banyak
senjata di dalamnya. Sebuah senapan, pistol, tak lupa
peluru-pelurunya, juga batang-batang berwarna merah yang tak pernah
mereka lihat sebelumnya.
“Ini
dinamit,” kata Foo, “TNT.”
“Apa?”
jerit Rima, “Untuk apa pria tadi membawa ini semua?”
“Entahlah,
mungkin dia teroris atau semacamnya. Namun ini justru bagus bukan?”
Foo mengacungkan dinamit itu, “Kita jadi punya senjata untuk
mempertahankan diri.”
Rima tak
habis pikir. Apa pria pendiam tadi adalah tentara? Tapi mustahil
seorang tentara membawa bahan-bahan berbahaya seperti ini di dalam
sebuah bus penumpang. Apa benar kata Foo, kalau dia teroris? Atau
apakah pria tadi tahu wabah zombie bakalan menyerang sehingga ia
mempersiapkan diri seperti ini?
“Ada
yang tahu cara menggunakan senjata?” tanya Foo sambil mengisikan
peluru ke senapan itu, “Aku dulu atlet menembak.”
“Aku!”
Mulia mengambil sebuah pistol dari dalam tas, “Ayahku seorang
tentara.”
Ayahmu
tentara? Tapi kenapa kau cu ...” Jerry hendak mengatakan “culun
sekali”, namun mulutnya terhenti ketika melihat Mulia mengokang
senjata itu.
“Apa
ada lagi yang bisa dijadikan senjata?” tanya Rima.
Vina
segera mengorek-orek isi tasnya. Ia mengeluarkan seperangkat alat
bedah berisi pisau dan beberapa jarum suntik.
“Aku
baru saja membelinya di Yogya untuk klinikku. Apa ini bisa?”
Rima
menerima pisau itu, “Ketimbang tidak ada.”
“Baiklah,”
Foo mempersiapkan senjatanya, “Dimana pom bensin terdekat?”
***
Bus itu
berhenti di sebuah pom bensin di pinggir jalan utama. Suasana tampak
sepi. Tampak mobil-mobil ditinggalkan pemiliknya di jalan. Pom bensin
itu tampak terbengkalai, ada serpihan kaca dimana-mana, dan para
pegawainya pun tak terlihat.
“Apakah
aman?” Rima melongok ke jendela. Foo memberi aba-aba bagi sebagian
dari mereka untuk turun. Foo dan Ridho turun. Sementara Mulia
berjaga, bersiap menembak jika ada zombie mendekati mereka.
“A ...
aku ingin pergi ke kamar mandi.” bisik Tara pada Bima.
“Ini
benar-benar bukan waktunya, Tar!” keluh Bim. “Bisakah kau tahan?”
“Tapi
aku benar-benar kebelet!”
Bima
akhirnya menyerah dan mengantarnya turun.
“Baiklah,
ayo cepat masuk!” Bima berjaga ketika mereka berada di depan
toilet. Tara segera masuk, namun sesampainya di dalam, ia langsung
menjerit.
“AAAAAAAA!!!”
Gadis itu segera keluar dan memeluk Bima.
“Ada
apa?”
Tiba-tiba
saja Bima meringis ketakutan. Dari dalam toilet perempuan, muncul
seorang wanita merangkak berlumuran darah. Ia berusaha menggapai
mereka. Perutnya yang besar tampak bergerak-gerak. Ia tengah hamil.
“I ...
ia sudah terinfeksi ...” bisik Bima ngeri. Urat-urat di wajah dan
kulit wanita itu menonjol seperti orang-orang lain yang ternfeksi.
Matanya tampak haus darah, namun ia tak berdaya untuk menggapai
mereka karena beban di perutnya.
“Tak
... tak bisakah kita menolongnya ...”
“Menolongnya
bagaimana?”
“Ta
... tapi bayi dalam perutnya ...”
Tara
menjerit ketika tiba-tiba perut wanita itu sobek. Seutas tangan kecil
merobeknya dari dalam, berusaha menggapai-gapai udara luar. Air
ketuban dan darah langsung tumpah ruah dari dalam perut wanita itu.
Janin itu mencoba melebarkan sobekan yang tadi ia buat dan
memunculkan wajah penuh gigi taring. Ia merangkak keluar dari rahim
ibunya sendiri, menggeliat di antara tali pusar yang melilitnya.
Teriakan
Tara yang menjadi-jadi mengundang para zombie lain untuk muncul.
“Semuanya,
lari!” seru Foo.
Beruntung,
Ridho sudah selesai mengisi bensin. Ia segera naik sementara Foo
menembakkan senjata untuk melindungi Tara dan Bima yang tengah
berlari kembali ke bus.
Tiba-tiba
saja,
“AAAAAAARGH!!!”
Bima berteriak ketika seorang zombie muncul
dari salah satu pintu toilet dan berhasil menggigit telapak
tangannya.
“BIMA!”
jerit Tara.
Namun
sebelum zombie itu kembali melancarkan serangan, sebutir peluru
keburu bersarang di kepalanya dan melumpuhkannya. Tara dan Bima
menoleh dan melihat Mulia kembali menembaki satu demi satu zombie.
“Cepat
masuk!” seru Foo, mengulurkan tangannya ke arah Bima dan Tara.
“Tidak!
Jangan biarkan dia masuk!” seru Vina sembari memeluk anaknya
erat-erat. “Pemuda itu ... pemuda itu terinfeksi ...”
“Tapi
kita tak bisa membiarkannya di luar dan dimakan makhluk-makhluk itu!”
Foo bersikeras.
“Tidak,
dia benar ...” Bima menggelengkan kepalanya, “A ... aku hanya
akan melukai kalian jika aku ikut masuk ...”
Tara
menangis mendengar jawaban itu, “Ti ... tidak ...”
“Masih
ada cara, cepat masukkan dia!” seru Rima tiba-tiba. Ia lalu menoleh
ke arah Vina, “Kau bawa desinfektan kan? Kita akan mengamputasi
tangannya di sini. Itu akan menghambat penyebaran virusnya.”
“Apa
kau gila?” seru Foo.
“Lakukan
saja!” Tara menarik Bima ke dalam dan mereka segera menutup pintu.
Ridho segera melajukan busnya meninggalkan pom bensin itu. Sementara
itu para zombie terus berusaha merangsek masuk. Beberapa
menggoyang-goyangkan bus ini, bahkan berusaha memecahkan kaca.
“Cepat
pergi!” seru Jerri.
“Aku
tak bisa!” seru Ridho, “Mereka mengepung kita!”
“Bunyikan
klaksonnya sekencang mungkin!” perintah Foo. Ridho menurutinya dan
membunyikan klakson. Suara bising itu segera mengganggu para zombie
dan merekapun berjalan menjauh.
“Bantu
aku, Bu Vina!” seru Rima ketika bus itu mulai berjalan kembali.
Wanita itu segera meninggalkan anaknya dan menyiapkan alat-alat
bedah. ia lalu menyuntikkan obat penghilang rasa sakit dan
membebatkan perban sekencang mungkin di tangan Bima.
“Aaaaaargh
...” pemuda itu mengerang kesakitan, “Cepatlah ...”
Rima
segera menyayat telapak tangan Bima yang tadi tergigit dan mengupas
dagingnya. Pemuda itu berteriak kesakitan, walaupun tadi sudah
disuntik dengan morfin.
“Itu
takkan berhasil,” seru Vina, “Kita harus memotong tangannya!”
“Dengan
apa? Kita tak punya gergaji atau semacamnya.”
“Pakai
ini!” Mulia mengulurkan sebuah palu yang biasa digunakan untuk
memecah kaca jendela dalam keadaan darurat kepada Foo. Pemuda itu
dengan kebingungan menerimanya.
Vina dan
Rima segera menyayatkan pisau itu lebih dalam untuk memotong
pergelangan tangannya. Mereka dengan mudah mengiris daging di
tangannya, namun mereka terhambat dengan tulang putih yang menonjol
begitu mereka berhasil mengupasnya.
“AAAAAAARG!
AAAAAAAAAAAARGH!!!” Bima berteriak tak karuan dan mulai menggeliat.
“Pegangi
kakinya!”
Tara dan
Syefira segera memegangi kedua kaki Bima yang terus
menendang-nendang.
“Lakukan,
Foo!” seru Rima.
“A ...
aku tak bisa ...” pemuda itu tampak ragu.
“Lakukan!
Jika tidak ia akan berubah menjadi zombie dan kita semua akan dalam
bahaya besar!”
Foo
akhirnya meneguhkan hatinya dan mulai memukul-mukulkan palu itu ke
tulang tangan Bima. Pemuda itu terus menggeliat ketika tulang itu
perlahan retak.
“Putar
tulangnya!”
“KRAAAAAK!!!”
Foo tak
punya pilihan lain selain memelintir tulang itu agar patah. Bima
menjerit sambil mengejang ketika Foo akhirnya berhasil memutar dan
mematahkan tangan itu. Ia langsung melemparkannya. Namun di luar
dugaaan mereka, tangan yang telah berubah menjadi zombie itu masih
terus bergerak, bahkan mencoba berjalan menggunakan jemarinya.
“JLEEEB!!!”
Mulia segera menusukkan sebilah pisau dan menancapkan tangan itu di
lantai bus.
Vina
segera menyiramkan alkohol ke luka pemuda itu dan membebat tangannya
yang kini sudah tumpul dengan erat.
“Gawat,
aku khawatir jika tidak segera mendapatkan transfusi, pemuda ini akan
meninggal kehabisan darah.” Perawat itu menyeka keringat di dahinya
setelah semua bahaya itu berlalu.
Tara
sembari menangis memangku tubuh Bima yang kini tak sadarkan diri.
“Kita
harus segera ke Magelang.” Rima menatap ke depan. Namun perjalanan
yang biasanya hanya memakan waktu satu jam itu sepertinya akan sangat
sulit mereka capai.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment