BUS
menuju Magelang itu mulai berangkat perlahan. Dengan terburu-buru,
aku segera berusaha menghentikannya. Sepertinya sang sopir melihat
lambaian tanganku dan menghentikan busnya. Suara rem angin terdengar
menghembus, kemudian seorang kernet membukakan pintu.
“Ayo
naik!” katanya. Aku segera menerima uluran tangannya. Memang susah
berpergian membawa tas ransel sebesar ini, namun apa boleh buat.
Beberapa
penumpang melemparkan tatapan tak suka ke arahku. Memang salahku sih,
memperlama perjalanan mereka. Dengan kikuk aku segera duduk di salah
satu bangku yang kosong. Sepi sekali bus itu, mungkin karena masih
weekdays. Aku membayangkan, jika musim liburan atau akhir pekan,
pastilah bus ini diipenuhi oleh wisatawan yang ingin pergi ke Candi
Borobudur.
Tas
ranselku memakan tempat satu kursi penumpang sendiri. Kuharap sang
kernet tidak membebankan biaya tambahan bagiku. Hampir semua
penumpang duduk di area depan, terkecuali seorang penumpang pria
terlihat menyendiri di belakang.
Aku
melongok dan menatap mereka satu-persatu ketika bus mulai berjalan
dan sang kernet menariki uang. Ada sepasang nenek-nenek di sana,
berpakaian kebaya. Mungkin warga lokal, pikirku. Ada pula seorang ibu
dan anaknya yang masih kecil. Ia terlihat memasangkan topi (yang
terlihat baru ia belikan, topi semacam itu banyak dijual di
Malioboro). Ada pula beberapa anak muda membawa tas ransel besar
tampak bercengkerama, bahkan sesekali bercanda. Aku menebak mereka
pasti backpacker yang menuju ke Candi Borobudur.
“Turun
Candi Borobudur bisa kan, Pak?” tanya salah satu pemuda di
rombongan itu. Ia memiliki wajah oriental.
“Bisa,
tapi turunnya di terminal. Kalian harus jalan sedikit.” jawab sang
kernet.
“Tak
apalah.”
Ia
tampak mengumpulkan uang dari rekan-rekannya, dua orang gadis dan
seorang pemuda lain.
Aku
kemudian mengalihkan perhatianku ke jalanan. Yogya mulai berlalu.
Jalanan yang semula kuhapal perlahan berubah menjadi jalanan yang
asing, diisi perkampungan dan sesekali sawah di kanan kirinya. Aku
masih bisa melihat Merapi dari kursiku berada.
“Karcis.”
ujar sang kernet ketika mendekatiku.
“Magelang,
satu.” Aku mengulurkan uang pas yang sudah kusiapkan.
Bus kami
berbelok ke sebuah pom bensin. Mungkin sang sopir ingin mengisi bahan
bakar sejenak. Bus kami berhenti dan kulihat tiga orang remaja berseragam sekolah berlari tergopoh-gopoh menghampiri bus kami.
“Pak,
pak! Ke candi kan?” tanya salah seorang di antaranya
terengah-engah.
“Ya,
silakan masuk!”
Ketiga
anak SMA itu masuk. Salah satunya, pemuda bertubuh besar, memukul
kepala pemuda yang lebih kecil badannya.
“Huh,
gara-gara kamu sih! Kita sampai ditinggal bus!”
“Sudah,
sudah! Semoga kita masih bisa menyusul bus rombongan study tour
kita.” sang gadis tampak menggenggam tangan sang pria bertubuh
besar. Aku melihat lirikan mata tak suka dari pemuda satunya. Ah,
drama remaja, pikirku. Untunglah aku tak lagi disibukkan dengan
masalah cinta. Hanya skripsi yang harus kuselesaikan saat ini.
“Hei,”
seorang pemuda mencolek bahuku dari belakang, “Kau mau ke candi
juga?”
Aku
menoleh dan melihat wajah pemuda oriental itu tersenyum kepadaku.
“Ya,
kalian juga?”
Ia
mengangguk. “Kami satu rombongan dari Jakarta. Mengisi libur
kuliah.”
“Ah,
enaknya.”
“Bukannya
kau juga?”
“Aku
ke sana bukan untuk pelesiran, tapi mengerjakan project skripsiku.”
“Oh,
ya? Jurusan apa kau?” ia tampak tertarik.
“Aku
sejarah. Ada penemuan candi baru di kaki Bukit Menoreh, tak jauh dari
Borobudur. Aku ingin menyaksikannya.”
“Oh,
maaf. Perkenalkan dulu, namaku Foo.” Ia mengulurkan tangannya untuk
bersalaman.
“Rima.”
jawabku singkat.
***
Dengan
cepat, kami berlima menjadi akrab. Ternyata mereka memiliki minat
sama denganku, mengunjungi objek-objek bersejarah.
“Apa
kau percaya teori yang menyatakan bahwa candi-candi di sini dibangun
dengan bantuan alien,” pemuda bernama Bima bertanya. Ia satu
rombongan bersama Foo dan kawan-kawannya, “Aku membaca bahwa ada
candi bernama Sukuh di Jawa Tengah yang gaya arsitekturnya mirip
piramida kuil Inca di Amerika Selatan. Juga aku pernah dengar bahwa
ada relief kaktus yang harusnya hanya ada di gurun Amerika Utara,
tapi nyatanya terukir di Candi Penataran, Blitar.”
Aku
tertawa pelan, “Ya, aku penah mendengar teori gila itu. Tapi itu
hanya dugaan saja. Belum pernah ada buktinya kan?”
“Lalu
bagaimana cara nenek moyang kita mengangkat batuan yang amat berat
untuk disusun menjadi candi? Padahal kan beratnya mencapai
berton-ton?” tanya Syefira, kurasa ia salah satu teman kuliah Foo.
“Iya,
aku juga penasaran dengan gunung di Garut yang katanya merupakan
piramida terbesar buatan manusia.” tambah Tara, anggota terakhir
rombongan itu.
“Sudah,
sudah,” aku berusaha menghentikan kegilaan teori mereka, “Yang
pasti, bangsa kita memang teknologinya sudah maju kala itu. Aku
sendiri tak begitu paham bagaimana cara mereka membuat candi. Namun
justru itulah yang harus kita apresiasi bukan? Bahwa kecerdasan
bangsa kita ternyata tak kalah dengan bangsa lain?”
“Lalu
bagaimana dengan candi yang baru temukan di Magelang itu?” tanya
Foo.
“Aku
belum pernah melihatnya, ini akan jadi kali pertamaku. Namun kata
temanku yang sudah mengunjunginya, candi itu masih terkubur dalam
tanah.”
“Hah,
terkubur?” mereka tampak tertarik.
“Begitu
pula dengan Candi Borobudur dulu. Sebelum ditemukan oleh Belanda,
candi tersebut juga terkubur dan terbengkalai. Dulu Magelang menjadi
pusat peradaban yang maju, namun entah mengapa, tiba-tiba
ditinggalkan.”
“Membayangkan
bentuk Candi Borobudur, aku jadi membayangkan,” ujar Foo, “Apakah
ada UFO terkubur di bawahnya?”
Aku
terkekeh, “Kalian ini ada-ada saja. Aku jadi curiga jangan-jangan
kalian anggota Turangga Seta.”
“Turangga
Seta?” tanya Bima. “Apa itu?”
“Oh,
mereka terkenal di kalangan sejarawan. Mereka penganut
pseudo-history, jadi mereka yakin akan kebenaran teori Ancient Aliens
itu dan bersikukuh kalau alien itu ada. Bahkan, mereka tak jarang menggunakan kekerasan untuk membuktikannya.”
“Kelompok
radikal ya?” Syefira manggut-manggut.
“Kurasa
seperti itu. Mereka biasanya anarkis, merusak bahkan mencuri
peninggalan bersejarah untuk membuktikan maksud mereka.” ujarku
sambil menghela napas, “Benar-benar orang-orang yang tak bisa
diajak kompromi.”
“Hei,
itu!” tunjuk salah satu pemuda SMA itu. Dari dekat, aku bisa
melihat nama yang terjahit di seragam mereka. Mulia, Faleny, dan
Jerry.
Aku
segera menoleh ke belakang, ke arah yang ditunjukkan Mulia.
“Kenapa
orang itu terus mengejar bus kita?”
Jerry
malah tertawa melihatnya, “Ya ampun, dia niat banget pengen naik
bus ini. Kenapa nggak nunggu yang lain aja sih?”
Dia
benar. Saat melihat ke jendela paling belakang, kulihat seorang
bapak-bapak tengah berlari susah payah, berusaha mengejar bus kami
dari belakang. Ia terus melambai-lambaikan tangannya, menyuruhnya
untuk berhenti.
“Hei,”
kataku pada sang kernet, “Apa tidak sebaiknya kita berhenti dulu?”
Aku
menoleh kembali dan melihat sesuatu yang membuat mataku terbelalak.
Ada
darah di sekujur tubuhnya.
BERSAMBUNG
Wow keren
ReplyDeletekeknya gw bakal bikin cerbung juga terinspirasi ama ini namanya ride to solo😂
ReplyDelete