Ketika Poppy tiba-tiba menghilang di dalam hutan, itu menjadi awal sebuah petaka, tak hanya bagi teman-teman sekelasnya, namun juga semua orang yang tak beruntung berpapasan dengannya di hidup mereka.
“Poppy!” panggil mereka. “Dimana
kau?”
Mereka melintasi
pepohonan di hutan itu, masih memanggil namanya.
“Poppy!”
teriak guru itu, “Bus akan segera berangkat!”
Suara
gemerisik dedaunan sesekali terdengar. Daun-daun kering mulai berguguran di
sekitar mereka, tertiup angin. Panas menyengat sesekali dari sela-sela ranting
yang telanjang, siap menyambut kemarau yang panjang. Menderitalah, mungkin itu yang akan dibisikkan pohon-pohon
meranggas itu jika mereka bisa berbicara.
“Kalian
ini gimana sih?” keluh sang guru dengan kesal, “Kan kalian sudah kusuruh saling
menjaga satu sama lain!”
“Maaf,
Pak …” jawab mereka dengan gugup, “Anak itu sukanya menyendiri jadinya …”
Brama
menatap murid-muridnya dengan tajam begitu mendengar jawaban itu, “Kalian tidak
melakukannya lagi kan?”
“Melakukan
apa, Pak?”
“Merundungnya!”
“Ka …
kami? Kami bukan tukang bully!”
“Jangan
pura-pura memasang wajah tak berdosa seperti itu,” ujarnya marah, “Aku tak mau
insiden terakhir terulang kembali! Nama baik sekolah kita bisa … ”
“Lihat!
Ada sebuah gubuk!” salah satu anak menunjuk. Pria itupun menoleh.
Benar,
sebuah gubuk tengah berdiri diam di tengah hutan itu, seolah menanti kedatangan
mereka. Atapnya terbuat dari rumbai daun kelapa yang menjuntai dan dindingnya
pun tersusun dari papan-papan kayu yang telah lapuk. Sebuah pintu tampak
menggantung, hampir patah dimakan usia.
“Mungkin
dia ada di sana. Cepat kalian cek!”
“Huh,
merepotkan saja!” keluh salah satu murid yang masih berseragam putih abu-abu
itu, “Darmawisata kita bisa runyam nanti. Belum sampai saja sudah ada anak yang
hilang!”
“Lagian
tujuannya juga ngebosenin kok. Gue sih lebih mending ke pantai.”
“Wisata
edukatif,” dengusnya, “Apaan tuh? Mana kita bayar lagi!”
Mereka
berdua akhirnya sampai di gubuk reyot itu. Anehnya, walaupun seluruh bagian
pondok itu sudah lusuh dan terlihat mau ambruk, ada bekas cor semen yang masih
baru di lantai. Bahkan, itu satu-satunya tempat yang mereka anggap aman untuk
berpijak, alih-alih lantai kayu yang berlubang karena mulai digerogoti serangga.
Bahkan, mungkin tak terhitung makhluk menggelikan yang tengah berkeriapan di
bawahnya.
“Hei,
apa itu dia?” tunjuk salah satu dari mereka.
Seorang
gadis dengan baju seragam sekolah mereka tengah tertunduk di ruangan itu.
Rambutnya yang hitam panjang terurai menutupi wajahnya.
“Hei, Poppy!
Apa yang kau lakukan di situ? Seisi kelas mencarimu!”
Namun
gadis itu masih tak bereaksi.
“Sialan,
dia malah pura-pura nggak dengar.” bisik salah satu dari mereka.
“Hei,
kembali ke bus sekarang! Kalau nggak, Pak Brama akan marah sekali!”
“Anak
culun itu emang selalu nyusahin!” gerutu kedua siswa itu saat berbalik pergi,
meninggalkan Poppy di sana. Mereka sama sekali tak melihat, bahwa ketika Poppy
akhirnya mendongak, seluruh bola matanya berwarna putih dan ia mengomat-ngamitkan
perkataan yang sama sekali tak dimengerti siapapun. Sebuah bahasa kuno.
Ia
kemudian berjalan ke sebuah kotak kayu yang terpuruk di sudut gubuk itu. Dari dalamnya, ia mengambil sebilah clurit dan
sehunus parang berkarat.
Gadis
itu menyembunyikan kedua senjata itu di dalam tasnya dan melangkah pergi,
keluar dari gubug, mengikuti dua teman sekelasnya itu.
***
“APA?
KEMBALI?” tanya Pak Brama dengan heran. “Kenapa? Kita kan sudah separuh
perjalanan?”
“Apa
Bapak tidak tahu apa yang sedang terjadi di ibu kota? Benar-benar kacau! Kepala
sekolah juga amat khawatir dengan keselamatan anak-anak!”
Pak
Brama mendengus napas kesal. Namun sopir itu tadi menyebutkan nama kepala
sekolah; autoritas yang tak mampu dibantahkan.
“Baiklah,
kalau begitu. Tapi anak-anak pasti kecewa.” Pak Brama berbalik ke arah
murid-muridnya ketika bus mulai melaju. “Ada pengumuman. Darmawisata kita
dibatalkan!”
Tak ia
duga, justru terdengar suara riuh gembira anak-anak yang sepertinya memang
sejak awal tak menantikan perjalanan study
tour itu. Seorang remaja, yang dikenal sebagai badut kelas, tiba-tiba saja
bangkit dan menengadahkan tangannya, memimpin mereka untuk bernyanyi
merayakannya.
“GO GO GO, ALE ALE ALE!”
Sorakan
itu segera disambut oleh teman-temannya dengan tepuk tangan. Semua pun ikut
menyanyikannya.
“Halo?
Halo?” seorang anak berusaha berbicara dengan orang tuanya melalui telepon
genggam Nokia berantena yang dipegangnya. Namun, suara gegap gempita
teman-temannya yang bernyanyi membuatnya kesulitan mendengar apa yang dikatakan
lawan bicaranya.
“Huh,
kamu sok banget sih pamer di depan kita?” ujar teman sebangkunya dengan kesal,
“Iya percaya deh kamu yang pertama megang telepon keluaran terbaru itu di kelas
kita.”
“Bukan
itu!” ia menaruh telepon genggamnya kembali dengan gusar, “Ayahku terlihat
sangat panik dan menyuruhku pulang sesegera mungkin. Sepertinya terjadi
sesuatu.”
“Ada apa
memangnya?” tanyanya heran.
“Mana
kutahu, aku tadi nggak bisa dengar apa-apa gara-gara suara bising ini!” ujarnya
jengah, apalagi ia adalah anak introvert
yang tak berani serta-merta mengoreksi kerusuhan kelasnya. Pak Brama yang
segalak itu saja tak bisa berbuat apa-apa, apalagi dia.
“Hei,
diam—“ ia ingin sekali berteriak, namun tiba-tiba saja, suara itu terhenti.
Seseorang
di kursi belakang telah melemparkan sesuatu yang langsung membuat bus itu sunyi
senyap, begitu benda yang berputar beberapa kali di udara itu akhirnya tertancap
di kepala sang badut kelas.
Ia
bahkan tak sadar apa yang telah terjadi kepadanya. Yang jelas, seisi kelas
menatap dengan ngeri sabit yang kini tertusuk di dahinya. Ketika darah yang
mengalir melalui sela-sela retakan yang timbul di tengkorak pemuda itu menitik
ke lantai, barulah mereka berani menggumamkan teriakan.
“AAAAAAAAAA!!!”
Tubuh
pemuda itu langsung tersungkur tak bernyawa. Tak ada yang sempat menoleh ke
belakang untuk memastikan siapa yang barusan melemparnya. Hanya dalam selisih
waktu kurang dari sedetik setelah seisi kelas menyadari apa yang terjadi di
hadapan mereka, sang pelakunya sudah bergeser ke depan, menyusuri lorong di
antara bangku-bangku di dalam bus itu. Ia mencabut sabit itu dari kepalanya
hingga darah mengucur deras dari luka di tengkoraknya yang kini menganga lebar;
pertanda bahwa ia belumlah selesai.
Baginya, ini barulah permulaan.
Ia lalu
menyabetkan sabit itu ke arah perut salah satu anak yang duduk di sampingnya. Kemudian
ia menariknya, memburaikan isi perutnya yang langsung terciprat ke arah
teman-teman sekelasnya.
“AAAA!”
pemuda yang tadi memegang handphone
menjadi sasaran berikutnya ketika sang penjagal itu menjambak rambutnya dan langsung
memenggal kepalanya dengan sekali tebas.
Teman
sebangkunya segera panik dan berusaha membuka jendela, namun sang pembantai itu
berhasil menariknya kembali, tanpa peduli rontaannya. Anak itu hanya berhasil
menongolkan kepalanya di luar, yang langsung membuatnya tersadar bahwa itu
adalah kesalahan terbesarnya. Sebab, kepalanya yang terjuntai di luar jendela
itu segera menghantam sebuah papan petunjuk jalan, memisahkannya dari sisa
tubuhnya yang masih terjebak di dalam bus.
“AAAAAAAAAA!”
jerit mereka setelah darah yang terbawa angin terciprat di jendela-jendela.
Teriakan mereka makin menjadi-jadi, terutama setelah ia kembali menebas dan menusuk
teman-temannya yang lain menggunakan parang yang ia bawa di tangan satunya.
“A … apa
yang terjadi di sana?” teriak Pak Brama yang tak mampu melihat jelas apa yang
tengah terjadi karena anak-anak yang bangkit dan berlarian ke arahnya dengan
panik.
Semua teriakan
itu tiba-tiba menghening. Pak Brama bahkan tak sempat menyadari butiran-butiran
darah yang terciprat di wajahnya. Ia hanya menatap murid-muridnya di hadapannya
yang kini terdiam, seolah nyawa mereka telah tercabut dari tubuh mereka dan
membungkam jasad mereka selamanya.
Tubuh
mereka segera terpisah-pisah dan berjatuhan, bak daging yang dicemplungkan ke
dalam kaldu sop ketika sang koki menyiapkannya. Potongan-potongan tubuh itu
tenggelam dalam genangan darah mereka sendiri.
Dari
baliknya, Pak Brama bisa melihat siapa pelakunya.
“Poppy?”
ujarnya merinding, “Ke … kenapa kau melakukan ini semua?”
Gadis
itu hanya tersenyum sembari menghunus parang yang barusan ia gunakan untuk menebas
tubuh teman-temannya dengan sekali sabet. Dari balik bibirnya yang terkunci
dalam seringainya itu, lidahnya masih menggeliat tak tenang di dalam rongga
mulutnya, seolah belumlah puas mencicipi aroma darah.
Akan
tetapi, matanya yang haus darah itu tak terarah kepada guru itu, melainkan pada
sopir yang berada di belakangnya.
Brama
menoleh dengan perlahan ke arahnya.
“Ce … celaka …”
Dalam
hitungan detik, Poppy segera menancapkan parangnya menembus kursi sopir itu
hingga mencuat dari balik perut gembulnya. Segera, tubuh pria itu ambruk dan
menimpa setir yang terputar ke arah kanan, membawa bus itu terhujam tanpa
kendali ke arah hutan yang membujur di sisi jalanan.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment