Teror mematikan masih belum berakhir, namun apa alasan dibalik serangan supranatural itu?
Brama
tak ingat apa yang terjadi, namun ia bisa mengenang sensasinya.
Ia
terbang.
Ya, terbang.
Ia
barusan melayang; aliran adrenalin membanjirinya dengan rasa penuh ekstasi yang
ia harap akan dirasakannya lagi. Akan tetapi, euforia itu hanya berjalan
singkat. Setelah tubuhnya menghujam tanah, kini hanya belitan rasa sakit yang
menggerogotinya.
Guru itu
berusaha bangkit, namun hanya suara teriakan yang menggentayangi telinganya. Ia
mengira semua itu hanya ada di kepalanya hingga ia menoleh. Selain bisa mencium
bau tanah, rerumputan, dan aroma pinus yang menghantui udara; ia juga seakan bisa
mencicipi aroma darah yang menyisip melalui luka-luka di tubuhnya.
Kemudian,
ia mulai mencium bau yang lain.
Bau
gosong.
Ia
menoleh ke belakang dan menyaksikan bus yang tadi ia tumpangi kini terbakar
hebat setelah menabrak pohon ketika bus itu oleng dan menghantam hutan.
“Paaaak! Tolong kami ….”
Suara yang
bergaung kompak bak orkestra itu rupanya bukan hantu yang bersahut-sahutan,
melainkan suara murid-muridnya yang masih terjebak di dalam bus; masih mencoba
meronta dari balik jendela yang kini menjadi jeruji yang memenjarakan mereka di
dalam neraka sana.
Ia
berusaha meraih mereka, namun hanya bau daging terbakar di udara yang mampu dicengkeramnya.
Di sekelilingnya, tergeletak tubuh murid-muridnya lain yang kini tak lengkap,
tercecer bak berasal dari truk daging yang tumpah.
“A … apa yang sebenarnya terjadi …” lirihnya.
Suara keras
tiba-tiba terdengar memekakkan telinga, membuyarkan segala harapannya untuk
menyelamatkan siswa-siswanya. Apalagi setelah bola api menelan bus itu,
menelanjangi rangka-rangkanya dan memangsa segala sesuatu yang ada di dalamnya.
Ledakan
itu membuatnya kembali terhempas di udara dan mendarat di tanah. Namun, ia
masih bisa mendongak dan menyaksikannya seorang gadis berjalan dari dalam bara
api, seolah-olah elemen penyiksa itu sama sekali tak bisa melukainya.
Poppy.
“Ta …
tapi mustahil …” pikirnya, “Bagaimana mungkin ia masih hidup setelah …”
“AAAAAAARGH!”
ia merasa lehernya tercekat. Bahkan, tubuhnya mulai terangkat sedikit demi
sedikit.
Tidak,
bukan otot-ototnya sendiri, yang jelas sudah begitu kelelahan dan lemah, yang
memberdirikan tubuhnya, melainkan mata gadis itu.
Ya, tak
semasuk akal apapun kedengarannya, namun Brama tahu benar. Gadis itu tengah
mengangkat tubuhnya ke udara menggunakan tatapan matanya. Mata itu jelas bukan
miliknya, sebab menampakkan mata berpupil merah yang jelas, tak dimiliki manusia.
Mata itu bak mata predator yang siap mengoyak mangsanya.
Kini,
bahkan jemari kakinya dari sela-sela sol sepatunya yang kini telah
tercabik-cabik, tak lagi menyentuh tanah. Ia tergantung di udara, bak sebuah
boneka yang mengambang tanpa tali.
“Ke … kenapa …” bisiknya dalam hati. “Kenapa kau melakukan ini?”
Gadis
itu tersenyum, seolah-olah ia bisa mendengar pertanyaan itu dan bersedia
menjawabnya dengan senang hati.
Tiba-tiba
arus ingatan membayang di dalam kepalanya. Semua perbuatan-nya. Semua perbuatan
anak-anak yang kini meregang nyawa dalam bus itu. Semua dosa mereka.
“Ya
Tuhan … itu kau …”
Brama
akhirnya menyadari bahwa sosok itu bukanlah Poppy. Tubuhnya memang dia, namun ada
sesuatu yang lain yang merasukinya.
Sesuatu yang jahat dan kini membalaskan
dendamnya.
“Krak …
kraaaaak …”
Pak
Brama ingin berteriak, namun percuma. Toh jeritannya pasti juga akan tenggelam
dalam suara tulang-tulangnya yang kini bergemeretak. Pertama jari-jarinya satu
demi satu patah, lalu tangan dan kakinya kini membengkok ke arah yang tak
wajar; seolah-olah gadis itu hendak melipat tubuhnya menjadi kubus rubik dari
manusia.
Guru itu
tak tahu seperti apa nanti nasibnya, namun yang jelas, mengingat karmanya,
penderitaannya takkan selesai sesingkat itu.
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment