Kota Bandung emang identik dengan fashion. Sebagian besar turis yang berkunjung ke Bandung bertujuan untuk memuaskan hasrat berbelanja mereka di kota kembang ini. Namun berbeda dengan gue. Sudah sejak lama gue bermimpi menyambangi kota Bandung. Bukan untuk shopping, namun untuk menikmati peninggalan2 sejarahnya. FYI, Bandung adalah salah satu dari tiga kota di dunia yang masih menyimpan bangunan2 bekas kejayaan arsitektur art deco (dua kota lainnya adalah Miami, Amrik dan Mumbai, India). Membicarakan tentang jejak sejarah art deco di Bandung, tentu nggak lepas dari satu nama: Jalan Braga. Nggak terlalu berlebihan memang kalo gue mengatakan menyusuri Jalan Braga berarti berziarah ke warisan sejarah masa lampau bangsa ini.
Riwayat panjang Jalan Braga bisa ditelusuri pada masa pemerintahan Gubernur Jenderal Daendels, dimana jalan ini menjadi bagian dari jalan Anyer – Panarukan yang melibatkan kerja rodi yang menyengsarakan ribuan rakyat Nusantara pada 1808 – 1811. Namun jalan yang dulu dinamakan Pedatiweg ini (karena sering dilalui pedati atau kereta kuda) ini mulai termashyur pada 1882, dimana supermarket pertama di Bandung (dan mungkin juga di Tanah Air) bernama toko de Vries didirikan dan jalan inipun menjadi pusat ekonomi yang lebih dikenal dengan jalan Bragaweg.
Pada awal abad 20 hingga sebelum Perang Dunia II berkecamuk, bangunan2 bergaya art deco di Jalan Braga mulai dibangun. Banyak di antaranya masih berdiri hingga kini sebagai monumen pengingat kolonialisasi dan westernisasi di Nusantara. Dua julukan kota Bandung yakni “Parisj van Java” dan “Kota Kembang” juga berasal dari kepopuleran jalan ini. Namun tak banyak yang tahu bahwa dua julukan tersebut sebenarnya berkonotasi negatif dan bernada cemoohan pada zamannya.
Julukan “Parisj van Java” diberikan oleh seorang ahli tata kota bernama Hendrik Berlage pada tahun 1935, dimana dia mengejek perkembangan arsitektur di Bandung kala itu yang terlalu condong berkiblat ke arah gaya arsitektur Eropa yang memiliki 4 musim, tanpa sama sekali mengindahkan kondisi iklim tropis di Indonesia. Berlage juga menyindir bahwa pemerintah Belanda saat itu mengabaikan konsep arsitektur Indische yang kedaerahan dan lebih suka membangun bangunan2 yang mirip dengan kota Paris, membuktikan kekurangmandirian kota tersebut. Sedangkan julukan kota Kembang ternyata lebih “sinister” lagi. Jalan Braga kala itu mulai terkenal sebagai pusat hiburan malam atau red light district (remang-remang), sehingga julukan Bandung sebagai “kota kembang” pun mencuat. Mungkin2 satunya yang tulus mengungkapkan keindahan kota Bandung kala itu hanyalah Arie Top, seorang perwira Belanda yang dibuang ke Bandung kala itu dan menjuluki kota ini “Paradise In Wxile” atau “Surga dalam Pengasingan”.
Gue rasa cukup kita membahas sisI sejarah Jalan Braga ini. Saatnya kita mengupas dari sisi “jalan2nya ala backpacker-nya”. Jalan Braga terletak di pusat kota sehingga cukup gampang dicapai. Gue sendiri menggunanakn jasa bus Trans Bandung dan turun di halte Alun-Alun. Karena gue ingin mencapai Katedral dulu untuk beribadah Minggu pagi, maka gue melewatkan bangunan2 indah yang berjejer di sisi Alun2 dan segera menuju ke Hotel Savoy Hofman. Nah, jika ingin mencapai Jalan Braga, kita tinggal belok di jalan yang berada di seberang Hotel Savoy Hofman dan berjalan lurus saja. Oleh karena itu, gue mulai dulu ya jalan2nya dari ujung Jalan Braga, yakni Katedral Bandung.
Ini katedralnya, akan gue bahas isinya di postingan gue yang lain.
Di dekat Katedral, rupanya ada juga gereja lain, kali ini gereja Protestan Bethel.
Di seberangnya juga ada lapangan luas yang kalo nggak salah gedung Walikota. Ada patung badak putih yang lumayan keren di sana. Namun sayang, karena aku jalan2 tepat pada tanggal 17 Agustus, maka lapangan ini dipakai upacara dan gue nggak berani mendekat.
Di depan katedral ada sebuah taman dan juga bangunan gedung Bank Indonesia. Sayang gue nggak bisa memfoto keseluruhan bangunan dengan jelas. Selain karena arah cahaya matahari yang nggak berpihak kepadaku, namun juga karena pepohonan rindang yang menutupi bagian depannya.
Dari Katedral ke arah jalan Braga, mau tidak mau kita akan melewati sebuah rel kereta api. Di sini masih berdiri pos penjaga palang pintu rel yang terlihat oldies banget.
Berikut inilah beberapa gambaran warisan art deco di Jalan Braga. Tentu lebih bakal terasa atmosfer kolonialnya ya kalo yang berseliweran di sini adalah mobil2 lama seperti VW Kodok dan Volkswagen, bukan motor dan mobil2 modern seperti ini.
Bangunan ini cukup unik ketimbang bangunan2 lainnya. Pertama ada hiasan kaca patrinya yang cukup bagus. Kedua ada ukiran kala yang biasanya cuman ada di candi2. Rupanya bangunan ini menggabungkan gaya arsitektur Eropa dengan Nusantara. Keren!
Yang gue suka dari tempat ini adalah plang2 nama toko yang diletakkan bergantung, sama seperti yang biasa ada di Eropa. Tapi kok kebanyakan menjual bir ya?
Bangunan ini juga cukup menarik perhatian gue. Selidik punya selidik, ternyata gedung ini dulunya adalah sebuah theatre bernama de Majestic. Eksteriornya cukup keren. Sayang dipagari besi gitu, padahal kepengen liat interiornya.
Di ujung jalan Braga ini adalah Jalan Asia Afrika (yang dulunya bernama Jalan Groote Postweg atau Jalan Kantor Pos Besar). Ada banyak bangunan bersejarah di sini, semisal Hotel Savoy Hofman yang menaranya saja sudah terlihat dari kejauhan.
Lalu ada Gedung Merdeka alias Museum Asia Afrika yang dulunya adalah gedung Societet Concordie, tempat berkumpulnya para bangsawan2 Belanda untuk bersosialisasi. Tempat ini pasti sudah banyak kalian tahu mencatat sejarah dunia ketika pada tahun 1955 diadakan Konferensi Asia Afrika. Hal ini mengingatkan kita betapa besarnya bangsa kita saat itu. Hanya 10 tahun berselang setelah mencapai kemerdekaan, bangsa kita sudah berkecimpung dengan aktif, bahkan menjadi pemimpin yang disegani di dunia politik internasional. Buktinya presiden kita terdahulu Bung Karno, bersama tokoh2 dunia lainnya berhasil mempersatukan bangsa2 di Asia dan Afrika. Suatu prestasi yang menurut gue sulit sekali dicapai untuk negara yang baru saja lahir.
Gedung indah ii bernama Warenhuis de Vries. Dilihat dari namanya seperti ini dulunya bangunan gudang (warehouse). Bangunan ini direstorasi oleh bank OCBS NISP pada 2011.
Gue nggak tahu apa sejarah gedung Nedhandel NV ini, namun arsitekturnya indah sekali.
Ini gedung Kantor Pos besar. Nice statue in front of it, reminds me of Daily Planet.
Dan di seberangnya ada bangunan bermenara ini yang ternyata adalah gedung Bank Mandiri.
Dan ini peninggalan bangunan2 art deco dari sudut lain kota Bandung.
Nah, pusat kota Bandung adalah alun2 dengan masjid Agungnya yang megah ini. Konon masjid ini beratap tumpang seperti masjid2 umumnya di ranah jawa. Namun nggak tahu kenapa sekarang masjid ini malah dihiasi dengan kubah2 seperti ini. Memang sih masjid ini terlihat lebih ber-estetika tinggi, namun kayaknya malah terkesan lebih suka menjiplak bentuk2 masjid dari luar dan melupakan filosofi dan sejarah masyarakat Islam Nusantara pada zaman dahulu.
Oya lapangan di alun2 ini sedang dirombak total ketika gue berkunjung di sana. Harapannya sih bakal seperti ini di masa depannya kalo sudah rampung.
Hmmm ... ini pasti idenya Ridwan Kamil. Memang sih ide2nya bagus, seperti membuat begitu banyak taman bertema unik di berbagai penjuru Bandung (kayak Taman Jomblo misalnya, pengen sekali-kali ke sana).
Sebenarnya gue kepengen sih mengunjungi bangunan2 bersejarah lainnya kayak Museum Geologi ama Gedung Sate. Dan konon menurut penuturan warga lokal *halah* kedua lokasi yang berdekatan itu dapat dicapai dengan 2 kali naek angkot (angkot = kendaraan para backpacker). Namun sayang gue mengurungkan niat itu. Secara gue kebetulan berwisata di sana pada tanggal merah HUT RI, gue tebak pasti Museum Geologi-nya tutup. Jadi percuma aja ke sana. Mending gue cari waktu lain buat backpackeran ke sonoh sekalian ngacak2 museumnya (nggak ding).
Akhir kata, kelestarian bangunan2 bersejarah di jalan Braga ini haruslah tetap dijaga. Bangunan2 modern boleh lah terus dikembangkan di kota indah ini, maklum Bandung dengan ITB-nya kan pusatnya para arsitek berkualitas. Namun tetap jangan sampai kota ini melupakan identitas dan sejarahnya (AKA jangan teralu banyak apartemen di kota ini kayak di Solo). Pokoknya jangan sampai deh gue kalo seandainya berkunjung lagi 5 atau 10 tahun ke depan malah mengatakan, “Kau sudah berubah!”.
Bang dave padahal kalau ke gedung sate pas hut RI suk ada karnaval gitu bagus deh -,-
ReplyDelete