Setelah puas mengarungi lautan *cailah* untuk mengunjungi Pulau Kelor, gue dan rombongan akhirnya sampai ke destinasi kedua kami, yakni Pulau Cipir. Berbeda dengan Pulau Kelor yang masih menyajikan bentengnya yang menakjubkan, Pulau Cipir hanya menawarkan sedikit cita rasa sejarah kepada kami. Bangunan2 yang ada di sini tersisa reruntuhannya saja, seolah-olah pulau ini hendak lari dari kenangan pedih kolonialisme yang dulu mencengkeramnya.
Pulau ini menyimpan sejarah kelam, mulai dari masa Kolonial Belanda bahkan hingga masa Orde Baru. Pulau ini dahulu disebut sebagai Pulau Kuiper yang berfungsi sebagai salah satu benteng pertahanan Belanda bersama dengan Pulau Onrust dan Pulau Kelor. Pulau ini pada tahun 1911 dijadikan tempat karantina jemaah haji yang hendak dan telah menunaikan ibadah mereka di Mekah. Namun karantina haji itu ternyata tidak bertujuan untuk menjaga kesehatan para jemaah haji, melainkan cerita di baliknya ternyata lebih menyeramkan
Kala itu, ibadah haji bisa berlangsung sangat lama, hingga 3 bulan bermukim di Timur Tengah. Sepulang dari Mekah, pemerintah Hindia Belanda takut mereka akan menjadi fanatik dan memberontak terhadap pemerintah kolonial. Maka dari itu, mereka diawasi di pulau ini. Jika mereka “lulus” dari proses cuci otak di pulau ini, mereka akan dianugerahi gelar “Haji”. Namun jika tidak dan dianggap berbahaya, maka ia akan disuntik mati dengan dalih membawa penyakit berbahaya. Pemberian gelar “haji” ini juga bertujuan untuk mempermudah melacak orang tersebut apabila kelak ia memberontak (karena tokoh dengan gelar “haji” tentu akan terkenal dan mudah dicari). Denger2, bentuk pemberian gelar haji ini ternyata hanya ada di Indonesia dan kalo ditelisik dari asal-mulanya ternyata nggak begitu menyenangkan untuk didengar.
Setelah Belanda hengkang, sejarah di pulau ini terbengkalai. Pada pada masa Orde Baru, pulau ini kembali menjadi tempat karantina, kali ini bagi penderita TBC dan kusta (lepra). Namun mereka diangkut ke sini bukan untuk disembuhkan, melainkan sengaja diasingkan agar penyakit mereka tidak mudah menular. Lagi2 sebuah bentuk kesewang-wenangan terhadap sesama manusia. Liat fisik pulau ini, gue jadi inget film Shutter Island yang dibintangi Leonardo di Caprio. Yah mirip2 lah, bekas rumah sakit dan ada bentengnya juga dulu.
Lihat deh aturan #5!
Inilah sisa reruntuhan bangunan rumah sakit untuk jemaah haji kala itu.
Pohon2 kering di pulau ini seakan menjadi metafora yang sempurna dengan peninggalan sejarah di pulau ini yang mulai menguap tak bersisa.
Ini gue rasa kamar mandinya deh.
Masih ada klosetnya.
Gue suka banget ama pintu ini nih. Sureal banget, seakan ini adalah pintu kemana saja Doraemon menuju ke lautan biru.
Meriam yang menghadap ke lautan ini kurasa adalah bagian terbaik dari pulau ini.
Ini suasana pantainya.
Well, overall pantai di Pulau Cipir ini emang nggak se-wow pantai2 indah di Lampung yang pernah gue kunjungin. Sisa2 benteng Martello pun udah hancur tinggal fondasinya aja dan naasnya di atasnya malah dijadikan ini .....
Kantin sih katanya, tapi etis nggak sih dibangun di atas jejak sejarah seperti ini?
Oya, di ujung ini juga ada bekas jembatan yang dulu menghubungkan pulau ini dengan Pulau Onrust, destinasi kami yang berikutnya. Sayang udah hancur lebur.
Nah, setelah menyambangin Pulau Cipir, maka berkelanalah kami ke tujuan berikutnya, yakni Pulau Onrust.
No comments:
Post a Comment