Hallo guys,
kali ini gue akan mencoba sesuatu yang berbeda dan me-review serial horor (kalo biasanya kan review film hehehe). Kalo “Stranger Things” gue yakin udah banyak
dari kalian yang tahu (dan nonton) kali ya. Tapi kalo “Twin Peaks”? Gue yakin
ada yang masih asing, kecuali kalo kalian penggemar berat serial horor Amrik sana.
Gue akan mencoba membandingkan kedua serial ini, mana yang lebih unggul di
antara keduanya? Kita simak saja.
ORIGINALITAS CERITA
Gue
kenalkan dulu ya ama garis besar cerita kedua serial ini. “Twin Peaks” dimulai
dengan ditemukannya mayat seorang gadis bernama Laura Palmer yang diduga
menjadi korban pembunuhan. Kasus ini kontan menggemparkan kota kecil “Twin
Peaks” yang dikenal damai tersebut, apalagi korbannya adalah siswi SMA paling
populer di kota itu sekaligus sang “Homecoming Queen”. Kasus ini menarik
seorang agen FBI bernama Dale Cooper yang langsung bersahabat dengan sheriff
kota tersebut, yakni Harry Truman, untuk memecahkan kasus pembunuhan tersebut
dan mengungkap siapa pelakunya.
Sekilas
kayak drama kriminal investigasi prosedural biasa yak semacam CSI, namun
ternyata jalan ceritanya bergulir ke hal-hal supranatural setelah Dale Cooper
mendapat berbagai visi dan petunjuk dengan cara supranatural pula.
Kesimpulannya: pembunuhan tersebut dilakukan oleh sesosok makhluk mistis
bernama “Bob” yang berasal dari dimensi lain dan meneror kota tersebut dengan
mengambil wujud salah satu penduduknya. Namun siapakah dia?
“Twin
Peaks” merupakan drama televisi yang cukup jadul dan dibikin pada tahun 1990.
Pada saat penayangannya, serial ini sungguh fenomenal, hingga merintis
perilisan serial-serial TV bergenre serupa, semisal “X Files” hingga “Lost”.
Ada banyak adegan yang tergolong “aneh” bagi selera penikmat televisi kala itu,
seperti adegan seorang kerdil menari di tengah ruangan merah di akhir episode
pilotnya. Tak heran memang, sebab sutradaranya adalah David Lynch yang dikenal
dengan karya-karyanya yang absur dan sureal.
Dilihat
dari originalitas-nya, “Twin Peaks” memang tak tertandingi. Awalnya memang
terlihat klise, namun penonton lagsung disuguhi oleh nuansa yang tak bisa
mereka tebak. Sayang sekali, pada perkembangannya, kualitas “Twin Peaks” justru
semakin menurun, apalagi di season
keduanya. Ceritanya malah lebih-lebih mirip drama opera sabun, sebab terlalu
mengeksploitasi karakter-karakter pendukungnya, walau tetap menonjolkan misteri
sih. Sedangkan kasus pembunuhan Laura Palmer (yang jadi daya tarik serial ini)
justru dipecahkan dengan cara yang amat “ridiculous” dan nggak banget menurut
gue. Nggak heran, setelah season
kedua, serial ini dihentikan penayangannya dengan ending yang amat menggantung.
Nah,
uniknya, sekitar 20 tahun kedua, serial ini dilanjutkan dengan season ketiga (dimana pemain-pemainnya
udah menua semua) dengan kualitas yang jauh (dan gue tekanlah lagi: JAUH) lebih
baik. Konsepnya benar-benar fresh,
walaupun melanjutkan kisah hidup para tokoh-tokoh di season sebelumnya. Segala keabsurd-an di season pertama kembali dilanjutkan, bahkan ke level yang lebih
ekstrim.
Nah,
beranjak ke serial “Stranger Things”. Kisah ini diawali dengan persahabatan
empat anak: Will, Mike, Dustin, dan Lucas. Episode pilot-nya diawali dengan
menghilangnya Will setelah pertemuannya dengan entitas misterius. Ketiga
temannya yang berusaha mencarinya justru bertemu dan berteman dengan Eleven,
gadis misterius dengan kekuatan supranatural. Bersama, mereka berempat berusaha
memecahkan misteri yang menyelimuti kota mereka serta mnyelamatkan teman mereka
yang menghilang.
Dilihat
dari segi originalitas, season
pertama serial ini SUNGGUH TIDAK orisinil. Semua aspek film ini hampir
merupakan rip-off dari semua cerita
yang pernah dibikin Stephen King. Pemeran-pemeran utamanya yang semuanya masih
bocah mengingatkan kita pada “It”; Eleven yang diculik organisasi pemerintah
karena kekuatannya merupakan jalan cerita “Firestarter”; Eleven, gadis yang
memiliki kemampuan telekinesis juga mirip dengan sosok “Carrie”, juga makhluk
interdimensional yang muncul akibat ulah proyek pemerintah juga tak ayal sama
dengan konsep “The Mist”. Bahkan ending season 1-nya pun serasa mirip banget
sama ending “Twin Peaks” season 2 …
aaaaargh!
Namun
Duffer Brothers, sutradaranya, mengaku bahwa mereka memang terinspirasi
menciptakan serial ini sebagai “homage” kisah-kisah horor pada 70-an dan 80-an.
Well, keduanya memang sutradara
bervisi tinggi nan idealistik, jika tidak, mana mungkin mereka menghasilkan
karya sekeren ini. Namun tetap saja ketidak-orisinal season 1 ini cukup mengganggu gue sehingga gue hanya bisa bilang
serial ini “seru” tanpa menjadi sebuah breakthrough
yang bermakna (jika hanya melihat dari segi cerita dan mengesampingkan artwok-nya seperti sinematrografi dan
musiknya).
Namun semua
berubah setelah season 2 terbit. Di
sini, “Stranger Things” mulai memiliki “identitas” yang layak didapatkannya. Ia
mulai memiliki jalan cerita sendiri yang bercabang-cabang, sesuai konflik yang
dihadapi tiap karakternya. Ceritanya juga jadi super-seru, padahal sejak awal
ekspetasi gue cukup rendah karena biasanya sekuel kan “notoriously” nggak akan
bisa sebagus versi aslinya. But boy, I
was totally wrong! Gue jauh lebih suka season
2 ini ketimbang season 1-nya.
Dilihat
dari sisi originalitas, “Twin Peaks” yang menampakkan sisi orisinilnya sejak season 1 dan berlanjut ke season 3 menang, dibanding “Stranger
Things” yang baru menunjukkannya pada season
2.
KARAKTER
“Twin
Peaks” memiliki segudang karakter dengan cerita mereka sendiri-sendiri. Namun
anehnya, tokoh sebanyak itu tetap membuat para penontonnya betah. Ada Dale
Cooper, sang penegak hukum dengan metode investigasi yang tak masuk nalar dan
kerap dipertanyakan. Ada Donna Hayward, sahabat Laura yang berusaha memecahkan
kasus pembunuhannya. Ada Bobby Briggs, pemuda bermasalah yang menjadi kekasih Laura
dan menjadi tersangka pertama pembunuhan tersebut. Ada James Hurley sang
“pangeran berkuda putih” yang dicintai baik Laura dan Donna. Ada Josie Packard,
sosok femme fatale yang menggoda
dengan masa lalu misterius. Ada Ben Horne, tokoh antagonis yang dibenci semua
orang dan putrinya, Audrey Horne, seorang gadis berjiwa pemberontak. Norma
Jennings, sang pemilik restoran yang cintanya pada Ed Hurley, tak kesampaian.
Ada Shelly Johnson, sang primadona cantik yang memiliki watak licik. Ada Lucy
dan Andy, dua bawahan sheriff yang selalu menjadi comic relief di tiap kemunculan mereka, dan masih banyak lagi.
Semua
tokoh-tokoh tersebut likable, padahal
kalau diresapi, akting mereka nggak bagus-bagus amat, bahkan cenderung “kaku”
menurut gue. Mungkin karena semua tokohnya ganteng dan cantik kali ya (bahkan
yang udah tua-pun tetap rupawan menurut gue). Gue sendiri punya banyak banget
tokoh favorit, seperti Shelly yang cantiknya kebangetan, Audrey yang
karakternya gue suka banget, serta tokoh antagonis Leo Johnson dan Hank
Jennings yang menurut gue setiap kemunculannya selalu mengintimidasi.
Gue juga
suka perkembangan karakternya, dimana di tiap episode, tokoh-tokoh yang semula
dirasa nggak penting (semisal “The Log Lady” dan Deputy Sherriff “Hawk”)
tiba-tiba menjadi penting di jalan ceritanya. Namun sayang, semua berubah di season kedua, dimana jalan ceritanya
mulai “layu” dan banyak diperkenalkan tokoh nggak penting, semisal Windom Earle
(tokoh antagonis yang diperkenalkan setelah pembunuh Laura terungkap) dan Annie
Blackburn yang jadi love interest-nya
sang agen FBI, Dale Cooper. Sumpah, nggak penting banget tuh tokohnya.
Di season ketiga yang dirilis 20 tahun
kemudian (2017) kita diperkenalkan dengan banyak tokoh yang umur tayangnya
sangat pendek (paling banter muncul beberapa adegan) bahkan beberapa nggak
terlalu signifikan bagi jalan cerita. Namun mungkin itulah gaya David Lynch,
sang sutradara (yang ikut berperan sebagai tokoh utama, yakni agen FBI bernama
Gordon Cole). Gue merasa tiap karakter di sini lebih menjadi sarana “display” alias
pamer kemampuan akting para pemerannya ketimbang memperkuat jalan cerita.
Memang
akting tiap pemerannya, bahkan yang figuran-pun, sangat kuat dan memukau. Di
episode-episode pertama gue sudah dibikin terpukau oleh akting Matthew Lilard
sebagai William Hastings. Padahal aktor tersebut dalam karirnya hanya memerankan
tokoh Shaggy di film Scooby Doo, sehingga gue sempat meragukan kemampuan
aktingnya. Tokoh favorit gue sendiri di season
ini adalah Janey-E (diperankan aktris peraih Oscar Naomi Watts) sebagai istri doppleganger Dale Cooper serta tokoh
Candie yang kemunculannya selalu mengundang gelak tawa.
Oya, gue nggak
bisa terlalu me-review jalan cerita
“Twin Peaks” season 3 ya soalnya
bakal jadi spoiler ending “Twin Peaks” season 2 wkwkwkw.
Oke,
sekarang kita bahas “Stranger Things”. Karakter di serial ini nggak sebanyak
“Twin Peaks”, namun cukup memorable.
Karakter favorit gue tentu saja Joyce Byers, ibu Will yang mati-matian mencari
anaknya. Akting Winona Ryder tentu saja memukau sebab ia pernah meraih piala
Oscar. Akting pemeran anak-anaknya juga cukup keren menurut gue (dan nggak
perlu diragukan lagi, Dustin langsung jadi karakter favorit gue hehehe). Bahkan
di season kedua, Will yang nggak
terlalu mendapat “jam tayang” di season
pertamanya, berkesempatan memamerkan kemampuan aktingnya yang apik dan
meyakinkan.
Anehnya, di
sini kisah cinta segitiga antara Nancy (kakak Mike) – Jonathan (kakak Will) –
Steve mirip-mirip dengan kisah cinta segitiga ala “Twin Peaks” antara Donna –
James – Bobby. Bahkan karakter Steve dan Bobby bisa dikatakan sangat mirip
karena sama-sama bad boy yang
kemudian mendapatkan “redemption” pada season
berikutnya.
Kalo gue
bandingin, karakterisasi dan akting kedua serial ini bisa gue anggap seri
hehehe.
ARTWORK
“Twin
Peaks” season 1 dan 2 tayang pada
90-an, jadi nggak terlalu banyak yang biasa diharapkan dari segi seni, baik
sinematografi dan musiknya. Musical score-nya
menurut gue terlalu jadul. Sedihnya (paling nggak menurut gue), musical score ini tetap dipertahankan 20
tahun kemudian ketika season 3
tayang. Mungkin harapannya buat meng-invoke
perasaan nostalgia para pemirsanya yang sudah mengikuti serial ini sejak 90-an.
Sedangkan
untuk “Stranger Things”, musical score
pada bagian opening-nya membuat gue
terpaku. Tak pernah dalam tiap episode-pun (gue udah nonton ampe tamat), gue
terpikir untuk men-skip opening-nya. Soalnya terlalu keren dan
bener-bener chilling. Opening-nya (baik visual maupun musik) memang
merupakan “homage” atau penghormatan bagi film-film dan serial horor pada 70-an
dan 80-an. Gue suka banget pada bagian hampir endingnya (pas muncul judul chapter-nya) soalnya gue merasa
ketukannya disesuaikan dengan detak jantung (?).
Untuk
sinematografinya, “Stranger Things” memang lebih maju sebab dibuat di 2016.
“Twin Peaks” season 1 dan 2 kalah
jauh lah. Namun bila dibandingkan dengan “Twin Peaks” season 3, ada satu hal yang jelas tak dimiliki “Stranger Things”,
yakni sisi eksperimentalnya.
Ketika
tayang, episode 8 dari “Twin Peaks” season
2 cukup mengguncangkan jagad pertelevisian kala itu (buset bahasanya lebay
banget). Sebab cara David Lynch menggambarkan kelahiran Bob, sosok antagonis
utama di universe ini, sungguh
non-konvensional, bahkan terlalu radikal untuk ukuran film televisi. Alih-alih
menggunakan narasi atau dialog, seluruh scene
(yang total berlangsung selama 10 menit) menggabungkan media visual dan musik
untuk menggambarkan sebuah ledakan bom atom (yang sekali lagi, berjalan selama
10 MENIT!) dengan iringan orkestra “Threnody of The Victims of Hiroshima” oleh
komposer asal Polandia, Penderecki. Musiknya benar-benar “errie” dan menyayat
telinga ketika kita dibawa masuk ke dalam jantung ledakan sebuah bom nuklir
yang (ironisnya) indah dan penuh warna.
Kalo kalian
penasaran, silakan cari sendiri adegannya di youtube. Namun saran gue, jika
kalian ingin mengikuti serialnya dan memahaminya lebih baik, silakan ikuti dari
season 1-3 dan jangan cari spoiler
adegannya yah. Akan lebih memukau karena bakalan bener-bener di luar ekspetasi.
Adegan yang
benar-benar berani dan gila itu jelas membuat “Twin peaks” menang dalam hal artwork, tapi dari segi musik, “Stranger
Things” jelas lebih unggul.
KENGERIAN
The funny thing is, walaupun dibuat hampir 25 tahun sebelumnya
“Twin Peaks” menurut gue masih jauh lebih menakutkan ketimbang “Stranger
Things”. Baik season 1, 2, maupun 3
memiliki adegan scare yang cukup memorable. Hal itu cukup luar biasa, sebab di season 1 dan 2, teknik sinematografinya
masih sangat sederhana dan nggak secanggih “Stranger Things”. Bahkan, nggak ada
CGI atau monster-monsteran di season ini.
Ada dua
adegan yang pasti masih diingat oleh pemirsa “Twin Peaks” versi 90-an yakni
adegan saat Bob menakut-nakuti Maddy (sepupu Laura) dan klimaks episode
terakhir season 2 dimana Dale Cooper
masuk ke dimensi lain yang disebut “White Lodge” dan berhadapan dengan doppleganger-nya. Kedua adegan itu cukup
creepy bagi gue dan bikin gue
deg-degan. Sedangkan untuk season 3,
adegan paling seram menurut gue pas opening
episode pilotnya saat sosok monster bernama “Mother” beraksi dan adegan ending episode 8 yang menjadi “homage”
film horor hitam putih ala tahun 40-an.
Yap, itulah
review perbandingan antara “Twin Peaks” dan “Stranger Things”. Kedua-duanya
merupakan serial keren yang super-recommended
buat kalian. Oya, satu lagi; keduanya sama-sama bergenre horor komedi, jadi
siap-siap aja terhibur dengan beberapa joke-joke
yang kadang garing, tapi kadang juga bisa bikin ngakak.
Namun
keunggulannya, “Stranger Things” enak dinikmati tiap episodenya dan mudah
dipahami jalan ceritanya. Sedangkan jika kalian ingin mengikuti “Twin Peaks”
sejak awal, kalian kudu banyak-banyak bersabar. Kalian mungkin akan merasa
bosan di season pertama dan kedua,
namun siap-siap saja, sebab di season
ketiga semua itu akan tertebus dengan luar biasa.
Dan masalah
ending, “Twin Peaks” merupakan serial yang selalu kontroversial sebab
sutradaranya, David Lynch tak pernah mau menggambarkan secara gamblang apa yang
terjadi dalam ceritanya. Jadi kalian terpaksa harus banyak berspekulasi dan
membuka banyak forum diskusi untuk mencari tahu apa maksud tiap adegannya.
Bahkan ending-nya pun amat nggak jelas dan terbuka bagi semua opini dan sudut
pandang. Jadi, siap-siap saja menghadapi semua ke-absurd-an serial “Twin Peaks” jika kalian emang mau berkomitmen
menyaksikannya.
sumber gambar: http://www.imdb.com
sumber gambar: http://www.imdb.com
I loveee TP. My favorite tv show all time. Pas jamannya nunggu serial itu tayang di tv bener2 full anticipate dont-know-what-to-expect. Wierd in a good way. Aah 80-90s was the best year
ReplyDeleteSiaran tayang di tv mana¿
Deleteiya lupa2 inget dulu pernah tayang di tv lokal tapi lupa
DeleteSiap nice artikel,yang jadi pengingat tuh musik jazznya di twinpeaks sumpah klimaks banget sama lokasi dan ceritanya,
ReplyDelete