Dari semua museum yang ada di Kota Tua Jakarta, cuma Museum BI yang belum pernah gue jelajahi, nggak tahu kenapa. Makanya di akhir pekan gue sengaja mengunjungi Kota Tua cuma untuk mencicipi seperti apa sih suasana di Museum BI ini. Ditambah lagi, gue tertarik banget ama gaya arsitekturnya yang kolonial banget. Pertama sih gue agak under-estimate gitu, soalnya begitu gue masuk ke museum2 di Kota Tua (kayak Museum Fatahillah, Museum Wayang, Museum Seni dan Keramik, dan Museum Maritim) semuanya langsung bikin suasana *krik krik* alias nggak ada apa-apanya yang patut diliat.
Oke, emang gue akuin semua koleksi2nya menyimpan nilai sejarah yang tinggi, tapi ya mbok ditata dengan rapi dan dengan penjelasan yang rinci sehingga yang melihat juga bisa menghargai. Barang2 di Museum Fatahillah cuma asal taruh aja kayak di gudang furniture. Museum Wayang dan Museum Seni dan Keramik juga merombak total bagian dalamnya (yang gue yakin pasti vintage banget) jadi kotak2 nggak jelas gitu. Museum Maritim apalagi, cuma bagus menaranya doang. Museum Mandiri udah agak mendingan, tapi koleksinya juga belum tertata rapi.
Namun begitu nyampe di museum BI ini, gue langsung sujud syukur. Museumnya artistik dan dramatis banget. Mirip2 ama Museum Kebangkitan Nasional, cuma berpuluh2 kali lebih dahsyat. Gue berasa nggak ada di dalam museum, tapi berasa berada di tengah2 drama yang mengisahkan sejarah perekonomian bangsa kita. Ditambah lagi sejak masa kolonial, bangunan ini lekat kaitannya dengan dewa perniagaan, Hermes. Jadinya nggak salah kalo gue bikin judul yang puitis buat postingan ini.
Gue bener2 bilang jujur guys, ngeluarin kocek 5 ribu buat masuk ke museum2 yang ada di Kota Tua itu nggak “worth it” dan dijamin rugi. Kalo punya duit 5 ribu mending buat foto2 ama badut di lapangan Fatahillah. Kecuali kalo kalian anak alay yang doyan foto2 narsis, mungkin museum2 ini bakal jadi *paradise* ya (bisa dibayangin mereka pasti: “B3nt4rrr b3nt@rrr gW f0tOw2 dhuluuuuw, bu4t d1p4J@n9 d! F3zbukkkk,,,,,b1@r b4nY@k y@n9 eTT,,,,,” hiiiiy).
Tapi menurut seorang temen sesama backpacker yang pernah kesana, katanya Museum BI tuh beda banget. Bahkan kalo ada temen2 backpacker yang jalan2 ke Jakarta, pasti dia ajakin ke sana. Hah, yang bener? Tapi gue masih menyimpan setitik keraguan dalam relung hati gue *halah* dan memutuskan membuktikannya sendiri.
Museum ini mudah banget dicapai guys. Tinggal naek busway jurusan Kota, turun di halte Kota, terus masuk terowongan bawah tanah ampe depan Museum Mandiri. Jalan bentar, nyampek deh. Nah, pas gue masuk ternyata gue harus menitipkan barang2 gue (tapi saran aja guys, dompet jangan lupa dibawa soalnya di dalam ada toko suvenir yang lumayan asyik). Ini interior bagian dalamnya.
Di dalam gue ternyata gue diberi tiket dengan harga GRATIS.
Haaaah for free???? Guys, are you f***ing kidding me???
Karcis gratis bagi gue justru pertanda buruk lho guys. Soalnya museum yang tiketnya 5 ribu aja koleksinya ”sucks” alias garing2, apalagi yang gretongan. Jangan2 begitu kita masuk langsung parkiran alias pintu keluar lagi.
Tapi begitu masuk, gue langsung terkesan. Berasa masuk bioskop. Terus gue ngelewatin teater kecil gitu, cuma nggak lagi muter film. Begitu liat koleksi pertama, gue langsung “Wow!” soalnya dibikin “stage” seolah-olah kita ini ada di pelabuhan Batavia pada masa2 kolonial gitu. Ada pasir2, gambar kapal, dek pelabuhan dari kayu, karung dan tong berisi rempah2, diorama buruh yang menurunkan muatan dari atas kapal, bahkan ditambah sound effect berupa suara ombak!
Ada juga alat2 navigasi kuno ala One Piece ini.
Gue langsung membatin dalam hati, “Nih museum keren juga. Kreatif yang buat.” Dilanjutin ada foto para penjelajah2 legendaris, semacam Marco Polo, Laksamana Cheng Ho, Juan Sebastian del Cano, Alfonso del Alburquerque, Cornelis de Houtman, hingga Sir Henry Middleton (nenek moyangnya Kate Middleton mungkin ya?). Sayangnya di sini nggak ada Ferdinand ndeLessep (itu mah arsitek terusan Suez hehehe).
Ada juga peta kuno Hindia Belanda ini. Ada kesan gimana pas membaca tulisan “Hollandia” di peta ini, Seakan-akan saat menemukan Indonesia kala itu, bangsa Belanda ingin mendirikan sebuah negeri utopia baru di tanah air kita.
Dioramanya juga menarik banget. Ini mengisahkan transaksi perbankan zaman Batavia kuno gitu.
Juga ada foto2 oldies zaman Belanda yang bikin gimana gitu. Kayak kita naek mesin waktu dan kembali ke masa lalu *walaupun kata lagunya Charlotte Church “Even God Can’t Change The Past” alias “Bahkan Tuhan Tak Mampu Memutar Kembali Waktu” hihihi...).
Ekspresi readers: “Nih anak lagi mabok ya, dari tadi sok2 puitis gitu...”
Xixixi peace men! Tapi keren2 khan fotonya? Nah lanjutin lagi, di sini juga ada seragam militer dari 3 masa, ada seragam tentara Belanda, tentara Jepang, hingga tentara nasionalis bangsa kita tercinta Indonesia. Pasti gagah2 mereka ya pake seragam merah putih gini.
Ini adalah rancangan bangunan gedung BI ini atau dulu pas zaman kolonial disebut de Javasche Bank. Ternyata bangunan ini dulunya merupakan bekas rumah sakit lho.
Di ruangan2 berikutnya, nuansa dramatis makin kental terasa. Diorama ini mengambarkan perlawanan bangsa kita menghadapi Belanda. Sound effect-nya dahsyat banget guys, kita jadi berasa berada di tengah pertempuran beneran. Belum ada lighting-nya alias tata cahayanya keren banget. Gue jadi bingung, beneran ini masuknya gratisan, soalnya buat men-display set tata panggung kayak gini pastinya nggak murah.
Ruangan berikutnya lebih dramatis guys, soalnya menggambarkan collapse-nya perekonomian kita saat Krisis Moneter 1997-1998. Makanya dindingnya merah2 berdarah gini. Ada juga tampilan kayak klip pendek menggambarkan demonstrasi dan perjuangan reformasi pada ruangan berikutnya. Yang cerdas, dinding2nya menggunakan kaca sehingga filmnya terpantul2 dan layar filmnya jadi terlihat lebih lebar gitu.
Telepon2 ini di gambar keliatan biasa2 aja, tapi sebenarnya mereka gerak2 seolah2 berdering kencang gitu. Nggak tahu juga apa maksudnya.
Setelah puas melihat drama sejarah perekonomian bangsa kita, kita diantar menyaksikan keagungan arsitektur kolonial di halaman tengah gedung ini. Pilar2nya membuat kita berasa lagi ada di istana2 Eropa deh. Tapi detil hiasannya ternyata Indonesia banget. Contohnya di pucuk jendela yang kulingkarin ini, terlihat relief kala seperti yang biasa terpampang di candi2. Arsiteknya walaupun orang Belanda ternyata juga menghargai keindahan seni bangsa kita. Jadi kebangetan kalo kita sendiri nggak menghargainya, ya nggak?
Selain itu yang unik dari tempat ini tentu hiasan kaca patrinya. Di penjelasan mengenai kaca patri tertulis judul “Under The Patronage of The Gods” alias “Di Bawah Lindungan Para Dewa”. Keren khan, soalnya ada figur dewa Hermes di jendela ini.
Oya omong2 soal kaca patri, di kejauhan gue melihat ada tangga lain yang memiliki kaca2 patri. Sayangnya tempat itu terletak di wilayah “No no zone” alias pengunjung dilarang ke situ. Tapi karena gue kebeleeeet banget pengen foto2 di situ *dan setelah celingak-celinguk nggak ada petugas yang ngawasin* akhirnya gue nekad aja nyelonong masuk ke situ (maklum, orang Indonesia). Hahaha parah ya, jangan ditiru ya guys. Ini dia foto2 yang kuperoleh sebagai hasil ‘melanggar hukum” tadi.
Payahnya, emang sih gue nggak ketahuan petugasnya, tapi ada bapak2 pengunjung yang ngeliat gue *sambil melirik tulisan “Dilarang Masuk*. Pasti pikiran bapak itu, “Dasar anak muda zaman sekarang, suka melanggar peraturan. Anak alay mesti.” Malu deh ketauan hehehe *ketahuan nyelonong, bukan ketauan anak alay-nya, amit2 dah*.
Setelah puas menikmati keagungan arsitektur kolonial Belanda, gue lalu masuk ke ruangan selanjutnya yang katanya merupakan ruangan Numismatik. Kayaknya keren ya buat nama band, “Numismatik Band”, “Yovie and The Numismatik”, dan lain-lain. Numismatik artinya koleksi uang2 kuno, baik uang kertas maupun uang koin. Kayaknya yang dijadiin ruang numismatik ini adalah ruang bekas brankas.
Oya sebelum ruangan ini ada ruangan lain yang ternyata menyimpan batangan2 emas. Gue nebak emas imitasi, soalnya kalo asli dijamin udah ilang *kayak nggak tau Indonesia aja*
Ini dia ruang numismatiknya. Agak remang2 gimana gitu, tapi asyik banget koleksinya. Gue baru tau kalo uang2 zaman dulu tuh ternyata keren2 banget cooooy.
Gue juga baru tau kalo Ken Dedes ternyata udah pernah jadi cover girl uang 10 rupiah hehehe *patungnya tapi*
Ini uang gulden zaman dulu, ada gambar JP Coen.
Dan ini uang pas zaman penjajahan Jepang. Malah ada Gatotkaca di sana.
Waduh...lha iki. Piye kabare bro????
Yang superkeren dari tempat ini adalah penyimpanan koleksi uang2 mancanegaranya. Uang2 ini dismpan dalam lemari2 yang rak2nya bisa ditarik keluar.
Gue cuma sempet liat dua rak aja, milik Austria (apa Swiss ya, lupa) ama Spanyol. Secara raknya ada banyak banget dan suasananya juga dibikin gelap gitu, jadinya nggak bisa kefoto pake hapeku. Tapi at least gue berhasil mengabadikan foto mata uang Spanyol.
Tapi mata uang Swiss (apa Austria tadi) yang setengah mati kerennya. Mungkin lukisan ini menggambarkan Black Death ya? Soalnya ada figur Grim Reaper juga.
Nah, selain uang2 kertas, di sini juga disimpan uang2 koin. Uang2 koin ini umurnya lebih tua, soalnya sejak zaman Majapahit udah ada. Namun ada beberapa uang koin yang menarik perhatianku. Pertama uang koin yang justru berbentuk segitiga ini. Katanya namanya uang token.
Ada juga uang yang unik, namanya uang Kampua/Bida dari masa kerajaan Buton yang berbentuk kain tenun. Uang ini dianggap berharga sebab ditenun oleh sang putri raja sendiri.
Dan ini uang dirham dari kerajaan Aceh yang alamak, kecil2 banget. Bandingin aja ama jari gue.
Itulah koleksi terakhir museum BI. Ruangan selanjutnya adalah toko suvenir (yang harganya murah2, sayang tadi dompet gue ketinggal di tas). Di dindingnya juga terpampang foto2 gedung BI di berbagai kota, seperti di Medan.
Bandung.
Solo (kota tercinta hehehe)
Cirebon.
Manado.
Namun yang kuanggap paling keren justru yang ada di Aceh.
Dan ini wajah asli gedung BI pas zaman2 kolonial dulu. Bisa kalian amati ada lantern (menara kecil) di puncak gedung yang sekarang sudah lenyap.
Terakhir inilah wajah museum BI sekarang. Still “wow” isn’t it?
Nah, akhir kata, gue nyaranin banget kalian berkunjung ke museum ini guys. Ajak juga temen2 ama keluarga kalian. Selain bisa belajar sejarah, kalian juga bisa menikmati sajian dramatis dari museum ini. Salut banget deh buat yang udah menata koleksi di sini. Pokoknya buat museum ini gue tepuk tangan deh, “Plok plok plok, dibantu ya…” *halah*
justru yang ngga bayar lebih 'WOW'
ReplyDeleteBaru nemu ini blog.... xixixixi.... btw 2019 ini gimana ya kondisi museum ini...? Pengen mampir ah....
ReplyDeletejelas lebih kecil bang, bikinnya pake emas
ReplyDelete