“Apaaaaa???” teriak istriku tak percaya, “Kita PPKM lagi?!”
Aku perlahan mengangguk, “Iya tadi diberitakan Pak Presiden
di TV.”
Istriku membanting dirinya ke kasur dengan kesal. “Ta … tapi
kan katanya dulu kita hanya PPKM selama sebulan … tapi akhirnya berlarut-larut
begini. Kapan selesainya?”
Suara Maya, istriku, hampir terisak saat mengatakannya.
“Sudahlah, Ya. Kamu tahu sendiri kan situasi di luar seperti
apa? Pak presiden pastinya melakukan ini semua demi kebaikan kita.”
“Alah kebaikan kita apanya! Liat aja baliho-baliho di luar!
Kita disuruh berdiam di dalam rumah selama masa yang katanya sulit ini, tapi
apa yang mereka lakukan? Malah mereka sendiri yang keluar memasang
baliho-baliho politik seperti itu!”
“Sabar, Ya.” aku kembali menenangkannya, “Yang penting kan
kita sudah vaksin, jadi kita pasti aman …”
“Vaksin? Apa gunanya vaksin?” Maya malah makin berang
mendengarnya, “Katanya kalo kita sudah vaksin, semua akan back to normal. Tapi
apa buktinya? Kita malah masih dikurung di sini!”
“Yah apa boleh buat, kan ada varian baru yang tak bisa
diprediksi. Bahkan katanya varian yang baru ini lebih mudah menyebar, jadi kita
mesti waspada.”
Bagaimana dengan pekerjaan Mas, hah?” Maya menatap tajam ke
arahku, “Apa Mas bisa terus bekerja online seperti itu?”
Aku menatap ke bawah dengan pandangan murung, “Memang
pendapatan kita jauh berkurang selama pandemi ini. Tapi jangan khawatir, aku
yakin kita akan segera dapat bantuan dari pemerintah.”
“Bantuan 600 ribu itu?” teriak istriku, “Jangan harap kita
terima utuh! Pasti sudah dipotong segala macam sama orang-orang kelurahan dan
RT/RW itu. Kau kan tahu seperti apa mereka!”
“Sudahlah, Sayang. Jangan marah-marah terus.” akupun membelainya
dengan mesra, “Omong-omong dimana anak kita, Tino dan Tini?”
“Entahlah, dari tadi aku tak lihat. Mungkin masih belajar
online?”
“Belajar online?” aku menaikkan alisku, “Bukannya sekolah
seharusnya selesai jam 3 siang tadi? Ini kan sudah hampir maghrib?”
Tiba-tiba Tini, anak bungsuku masuk ke kamar kami.
“Pah, Mah, aku khawatir sama Tino.” ujarnya ketakutan.
“Lho, ada apa Nak? Dimana kakakmu?”
“Di … dia tadi menyelinap pergi bersama teman-temannya ke
mall.”
“APA?!” teriak kami berdua.
“I … iya, katanya dia sudah bosan di rumah. Ta … tapi sampai
sekarang dia belum kembali dan …” Tini juga menunjukkan sesuatu di tangannya.
“Astaga! Dia pergi tidak pakai masker?” ujarku tak percaya.
“Ini pasti karena channel-channel Youtube yang sering ia
dengarkan, Mas!” ujar Maya, “Pasti karena itu dia jadi ikut-ikutan menganggap
wabah virus ini sebagai hoax!”
“Iya, Pah.” Tini mau tak mau mengakuinya, “Aku sering
mendengarnya dari kamar Kak Tino. Mereka mengatakan PPKM ini seperti sekual
Marvel yang tak selesai-selesai. Bahkan ada yang menyebutnya PPKM Ragnarok,
PPKM Infinity, PPKM Endgame …”
“Dasar anak itu! Aku akan segera mencarinya!” aku segera
mencari maskerku. Namun sebelum aku menemukannya, aku mendengar suara pintu
depan dibuka.
“Itu pasti Tino pulang!” seruku. Kami bertiga segera
bergegas ke ruang tamu.
“Tino! Tutup segera pintunya!” ujarku sembari menutup
mulutku, “Apa yang kamu lakukan? Kenapa kau keluar tanpa masker?”
Namun Maya menjerit ketika melihat darah di pakaian Tino.
“Ti … Tino? Apa yang terjadi padamu, Nak?” Maya berniat
menghampirinya, namun aku segera menghentikannya.
“Ja … jangan dekati dia! Pakai masker kalian!” ujarku
sembari masih menutupi hidungku dengan lengan bajuku.
Anakku itu terlihat sempoyongan dengan wajah pucat.
“A … apa yang terjadi padamu, No? Dimana teman-temanmu?”
“Me … mereka …” tiba-tiba Tino langsung muntah di hadapan
kami. Kamipun berteriak begitu melihat belatung berkeriyapan di cairan yang
dimuntahkan Tino tadi.
“Di … dia sudah terkena!”
“AAAAAAA! AAAAAAAAAA!!!” Tino meronta kesakitan. Tiba-tiba
paku-paku tajam muncul dari dalam tubuh, menusuknya hingga darah mengucur dari
lubang-lubang yang ditimbulkannya. Lalu, paku-paku itu berjatuhan begitu saja,
berdenting di lantai.
“Di … dia akan berubah menjadi seperti mereka! Kita harus
melakukan sesuatu!” teriakku sembari mengambil salah satu paku itu.
“Tidak, jangan!” teriak istriku, “JANGAAAAN!”
Walaupun berat, namun ini harus kulakukan. Aku tak mau ia
nantinya menginfeksi istri dan anak perempuanku yang amat aku sayangi.
“JLEB!” aku segera menancapkan paku itu ke kepala itu.
Segera iapun terjerembap, rebah ke lantai, tanpa bergerak sedikitpun.
“Ti … Tino …” Maya mulai menangis. Tini berusaha
menenangkannya.
“Sreeeek … sreeeeek …” tiba-tiba terdengar suara dari arah
jendela. Akupun menoleh dan menatap ngeri wajah tetanggaku yang terpampang di
luar kaca jendela. Kini ia hanya tertinggal sebuah kepala yang melayang,
diikuti organ-organ dalamnya yang bergelantungan. Ketika ia tahu ia tak bisa
masuk ke sini, iapun terbang pergi. Di luar terdengar suara tawa anak-anak
dengan langkah-langkah kecil mereka. Anak tetanggaku itu pasti sudah berubah
menjadi makhluk-makhluk botak itu.
“Kita harus segera pergi! Kita tak punya waktu!” ujarku.
“Ta … tapi Tino …” Maya masih menangis.
“Tak ada waktu lagi! Lingkungan kita sudah masuk Zona Merah!
Sebentar lagi mereka akan datang … laskar dukun itu … dan kau tahu kan apa yang
akan mereka lakukan pada kita? Mereka akan membunuh kita, tak peduli kita
terinfeksi virus santet itu atau tidak!”
Maya dengan masih bersimbah air mata akhirnya bangkit dan menuruti
perkataanku. Dulu awalnya aku amat panik ketika ini pertama kali terjadi, namun
kini aku mulai bisa mengendalikan diri dan berpikir jernih. Hanya ini yang bisa
kami lakukan, pergi dari satu tempat ke tempat yang lain, sampai pandemi gaib
ini berakhir, entah kapan.
Ya, aku sudah mulai terbiasa dengan semua ini; jauh lebih
terlatih ketimbang ketika Pemberlakuan Pembatasan Karena Monster ini pertama
kali diberlakukan.
Sebab jika kupikir-pikir, bukanlah PPKM ini sudah
berlangsung selama 15 tahun sekarang?
Wah, Keren sekali
ReplyDeleteWatdepak 😭😭😭😭
ReplyDeleteNgeri cuk
ReplyDeleteIni kopid atau zombie?
ReplyDelete-BN
Baru tau kalau santet bisa nyebar lewat udara
ReplyDelete