KEBANGKITAN ADIDAYA
NB: cerita ini adalah fan
fiction Gundala dari komik yang pernah terkenal pada era 80-an. Saya tak
memegang hak cipta atas tokoh ini.
“Tunggu,
aku belum siap!” seruku. “Dan mengapa aku harus mengenakan kostum aneh ini?”
“Jangan
sebut itu aneh!” seru pemuda itu dengan nada marah, “Itu adalah seragam para
prajurit planet kami, yang akan mengorbankan jiwa raga mereka dengan berani
demi melindungi rakyat kami!”
“Tapi
kalian bahkan belum menjawab pertanyaanku! Siapa sebenarnya kalian?”
“Kau akan mengetahuinya kelak, Sancaka.” kata pemuda itu, “Aku yakin suatu saat nanti takdir akan mempertemukan kita kembali.”
“Hei,
itu bukan jawaban yang memuaskan!” tuntutku.
“Sekarang
pikirkan dimana kau ingin berada!”
“Apa
maksudmu?”
“Kau
ingin menyelamatkan gadis itu kan? Pikirkan saja dia!”
Pria
itu lalu mendorongku dengan keras. Saat aku terjatuh, tiba-tiba aku merasakan
sengatan listrik yang amat kuat ... namun aku lalu menyadari, aku bukannya
tersambar listrik lagi, melainkan tubuhku yang berubah menjadi listrik.
Tiba-tiba
aku berada di dalam sebuah kandang.
“Siapa
kau?” seorang pria berjas putih menoleh.
“Aku
... “ ucapku ragu, “Aku adalah Gundala!”
***
“Apa
Ayah pikir ia benar-benar sudah siap?” pemuda itu menoleh. Namun yang ia lihat
adalah interferensi pada hologram ayahnya, yang membuat wajah ayahnya tampak
compang-camping.
“Mere ... ka ... akan da ...
tang ... “
Bahkan
suaranya terdengar rusak, seperti kaset yang mulai terurai.
“Cepat ... lah ...pergi
...tugas ...mu ...di si ...ni ...sudah ...sele ...sai...”
“Ayah
...” bisiknya pelan.
“A ...ku ha ...rap...kau
bi...sa ce...pat pu...lang....”
“Ayah...merin...dukan...mu...”
Langit
makin menggelegar. Ia tahu kini saatnya untuk pergi jauh dari tempat itu
sebelum mereka datang. Ia menahan wajah sendunya sebelum hologram itu akhirnya
pudar dan padam.
Ia tak
ingin ayahnya melihatnya menangis.
***
“Kau?”
ucapku terkejut.
Aku
ingat kenapa aku bisa ada di sini.
Aku
ingat pemuda misterius dan ayahnya yang memberikanku kekuatan.
Namun
pria yang kini berdiri di depanku.
Aku
masih tak mengingat namanya.
Rekanku
yang memakai jas lab. Pemuda yang tak pernah kuingat namanya itu.
Dialah sang Jagad Geni.
Tentu
saja aku tak pernah mengingatnya! Aku akhirnya mengerti!
“Kau
tak pernah bekerja di lab itu. Kau penyusup!”
Aku
menoleh dengan geram ke arah Maya, “Kau membantunya. Kau menghipnotis seisi lab
agar mereka percaya bahwa ia bekerja di sana sebagai mahasiswa. Itu cara kalian
mencuri serum anti petir!”
“Serum
ini sangat penting. Sebab hanya dengan inilah aku bisa mendapatkan kerja sama
dari Jagad Geni.”
“Itu
adalah milikku.” kata Jagad Geni. Kini aku justru mendengar nada permusuhan
darinya bagi Ghazul. “Sekarang berikan kepadaku!”
Ghazul
hanya memainkan tabung itu, mengocok-ngocok isinya hingga berputar membasahi
dinding tabung, “Apa kau yakin ini bisa menyembuhkanmu, Jagad Geni.”
“Menyembuhkanmu
dari apa?” aku menatap pria bertopeng itu. Ia tak menjawab.
“Aku
menemukannya di luar lab fisika kuantumku. Berjalan tak tentu arah, bingung
hendak bertanya pada siapa tentang kondisi yang ia miliki.”
“Kedua
orang tuanya adalah peneliti. Laboratorium mereka meledak dan hanya ia yang
selamat. Dan sejak itu, ia mendapatkan kekuatan istimewa itu. Kekuatan EMP.”
tambah Maya.
“Bukan
meledak, namun diledakkan!” serunya, “Mereka dibunuh karena penelitian mereka!”
“Mengapa
kau tak bergabung lebih lama bersama kami ... untuk mencari pembunuh orang
tuamu dan membalaskan dendammu?”
“Bagaimana
aku bisa yakin kau bukan pembunuhnya, Ghazul?” Jagad Geni menatapnya curiga,
“Kau sejak dulu menginginkan penelitian EMP mereka!”
Ghazul
tertawa, “Bukannya kau sendiri yang memberikan seluruh hasil penelitian mereka
dengan balasan serum yang akan membuatmu normal kembali?”
“Berikan
benda itu! sekarang!” serunya tak sabar, “Semua kekuatan plasma ini ... aku tak
menginginkannya! Ini membuatku merasa seperti raja Midas yang menghancurkan
semua yang kusentuh!”
Aku
merasa tersentak mendengarnya.
Ia merasakan apa yang aku
rasakan?
Kami
bernasib sama, pikirku. Kami dan kekuatan kami. Itu kutukan.
Tidak,
aku buru-buru menghapus pikiran itu.
Kekuatan
ini bisa kupergunakan untuk menyelamatkan Minarti dari kekejaman orang-orang
ini.
Mereka
tengah bertengkar, ini adalah kesempatan yang baik.
Aku
segera mengeluarkan hentakan listrik dari tanganku, namun Ghazul terlalu cepat.
Ia mengibaskan tangannya, sementara perhatiannya masih tercurah pada Jagad Geni
yang ingin memberontak. Segera, kandang itu mengeluarkan lecutan plasma
bertegangan tinggi.
Listrik
itu tak melumpuhkanku, namun sempat membuatku kecut hati.
“Jangan
pikir kau bisa mengambil kesempatan! Superhero palsu sepertimu butuh ribuan
waktu untuk mengalahkanku!” ucapnya geram, “Kandang inilah sumber pemancar EMP
yang menjadi senjata kami. Kekuatanmu sama sekali tak ada apa-apanya di dalam
sini!”
“Kekuatan
kristal Kunzite yang mengendalikannya dan membuatnya lebih kuat.” Maya memamerkan
cincin di jarinya.”Kami tak butuh Jagad Geni sekarang untuk melakukan serangan
EMP berkat kristal ini.”
“Apa?”
seru Jagad Geni murka, “Kalian berusaha menyingkirkanku?”
Namun
kejutan lain terjadi.
Tiba-tiba
aku melihat Minarti bangkit dan langsung menyergap Maya dari belakang.
“Gundala!
Segera serang cincinnya!”
Ternyata
semenjak tadi ia sudah tersadar dan menguping segala pembicaraan kami.
Aku
segera mengulurkan jariku dan mengeluarkan sengatan listrik ke arahnya.
Wanita
itu menjerit ketika listrikku menyambar cincinnya dan menghancurkan kilau
kristal yang menjadi matanya. Kini kristal itu menghitam, kehilangan muatannya.
“TIDAK!”
seru Ghazul. Namun serangan Jagad Geni segera membuatnya sibuk. Sementara
bertempur dengan Jagad Geni, tanpa sadar Ghazul menjatuhkan serum anti petir
ciptaanku itu. Aku segera meraihnya dan segera mengajak Minarti melarikan diri.
“Ayo,
kita harus cepat pergi!” seruku.
“Tunggu!”
Minarti segera merampas cincin lapis lazuli dari jari manis Maya yang kini tak
sadarkan diri, “Sudah kubilang beribu kali ... ini milikku!”
Aku
segera menggamit tangannya dan mengajaknya keluar dari kandang itu.
“Siapa
kau? Bagaimana tadi kau tahu namaku?” tanya Minarti sepanjang perjalanan. Tentu
ia tak mengenali Sancaka di balik topengnya.
“Sancaka
yang mengirimku. Ia meminta pertolonganku untuk menyelamatkanku!” paling tidak
itu akan tetap membuatku terlihat seperti pahlawan di mata Minarti.
“Kalau
kau bertemu dengannya, katakan bahwa aku tak bisa memaafkannya.”
Langkahku
terhenti dan aku melihat air mata menetes di pelupuk matanya,
“Beri
tahu padanya bahwa aku takkan pernah memaafkannya karena meninggalkanku.”
Aku
hanya terdiam melihat ia tersedu. Aku memang telah meninggalkannya sendirian
saat itu. Dan karena itu, ia ditangkap oleh gerombolan ini.
Ini
salahku.
Kali
ini aku mengecewakannya, jauh daripada sebelumnya.
Tiba-tiba
aku mendengar suara bergelegar dari arah kandang yang mulai runtuh itu. Siapa
pemenangnya? Ghazul ataukah Jagad Geni. Siapapun jawaranya, keduanya merupakan
penyembah kejahatan. Aku tak bisa membiarkan mereka lolos dan membahayakan
banyak orang.
Aku
mengeluarkan segenap kekuatanku untuk meledakkan kandang itu.
***
Awang
menatap ke langit. Sambaran petir mahadahsyat itu, ia tahu itu bukanlah sesuatu
yang alami.
Cincinnya
melacak bahwa ada manusia berkekuatan super di kota ini selain dirinya dan
pengacau bernama Jagad Geni itu.
Lawan
atau kawan? Awang tak tahu.
Matanya
memperhatikan kilatan cahaya itu. Lalu ia memejamkan matanya, memperhatikan
dengan seksama dengan telinganya kapan bunyi guntur akan terdengar.
Ini
dia, pikirnya ketika mendengar gemuruh itu berselisih sekian milidetik saat ia
melihat kilatannya.
Dengan
saksama ia menghitung selisih waktu itu dan mengalikannya dengan kecepatan
rambat bunyi di udara saat itu. Ada banyak faktor yang menentukan, termasuk
kelembapan udara saat itu. Namun ia bisa memperkirakan jarak antara tempatnya
berada sekarang dengan sumber petir itu.
Ketemu kau!
BERSAMBUNG
No comments:
Post a Comment